Demokrasi adalah pembatasan hak agar tidak melanggar hak orang lain (Yuwono
Sudarsono)
Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan pers adalah
sebuah keniscayaan. Institusi pers tidak akan bekerja sempurna sesuai kodratnya
tanpa jaminan kebebasan. Oleh karena itu kebebasan pers disebut hak asasi manusia
yang paling hakiki. Lazim pula dijadikan sebagai barometer demokrasi.
Kebebasan pers pertama kali dipelopori oleh John Milton pada abad ke 17. Dalam
sebuah pidatonya yang berjudul Aeropagitica ia berucap “a speech for unlicenced
printing.” Ucapan filusof berkebangsaan Inggris itu menandai permulaan lahirnya
gerakan anti sensor sebagai tindakan preventif terhadap publikasi.
Perjuangan Milton baru diakui dunia internasional dua abad kemudian, semenjak
dideklarasikannya piagam Universal Hak Azasi Manusia oleh PBB pada tanggal 28
Desember 1948. Jaminan kebebasan itu tercatat dalam pasal 19 yang berbunyi:
“Everyone has the right to freedom of opinion and expression: this right includes
freedom to hold opinion without interference and to seek, receive and impart
information and ideas through any media and regardless of frontiers.”
(Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam
hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
1
mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara
apapun serta dengan tidak memandang batas-batas.)
Hal tersebut dinilai masih kurang lengkap. PBB kemudian menyetujui lagi kovenan
internasional tentang Hak Sipil dan Politik (internasional kovenant of sipil and political
right). Kebebasan pers lagi-lagi dimaksukkan sebagai hal yang harus dijamin. Pasal
19 kovenan itu berbunyi:
1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference
2. Everyone shall have the right to freedom of expression: this right shall include
freedom to seek, receive, and impart information an ideas of all kinds,
regardless of frontiers of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form
of art, or through any other media of his choice
3. the exercise of the rights provide for in paragraph 2 on this article carries with it
special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain
restriction, but these shall only be such as are provide by law and are
necessary;
(a) for respect of the right or reputation of others
(b) for the protection of national security or public order or public health or
morals.
(1. setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa dipengaruhi
orang lain
(2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatkan
pendapat, hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis
atau dalam bentuk cetakan karya seni atau melalui media lain sesuai dengan
pilihannya.
(3. Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat 2 pasal ini
menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat
dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini dapat dilakukan sesuai dengan
hukum, sepanjang diperlukan untuk:
a. Menghormati hak atau nama baik orang lain
b. Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,
kesehatan atau moral umum.)
2
Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara telah
jaminan keberlangsungan kebebasan pers tersebut. Jaminan itu tertuang dalam
konstitusi UUD 1945 pasal 28 F yang menyatakan “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.”
Hal tersebut diperkuat lagi dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dalam pasal 23
ayat 2 “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarkan pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum , dan keutuhan bangsa.”
Lalu dipertegas dalam UU Pers No. 40/1999, “kebebasan pers adalah hak asasi warga
negara,” dan setiap usaha yang menghalangi tegaknya kebebasan pers dipidana dua
tahun penjara atau denda Rp 500 Juta.
Dengan banyaknya jaminan tersebut diatas, sesungguhnya tidak ada lagi alasan untuk
tidak menjalankan kebebasan pers di tanah air. Kini bangsa Indonesia berdiri sejajar
dengan bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu menerapkan prinsip-prinsip
kebebasan pers.
3
Namun kebebasan pers tidaklah bersifat mutlak, dalam konsep hak asasi manusia
kebebasan pers dikategorikan sebagai derogated right atau hak yang dapat diabaikan/
dibatasi. Pengabaian terhadap kebebasan pers dapat dilaksaksankan apabila terjadi
keadaan darurat yang bersifat memaksa dan luar biasa, misalanya: bencana alam,
kekacauan negara dan darurat militer, dll
Namun perlu diingat, sesuai dengan pasal 19 ICCPR, pembatasan itu harus dinyatakan
dalam UU/peraturan, diberi batasan mana yang harus dibatasi dan memiliki jangka
waktu tertentu. Apabila kondisi kembali normal maka kebebasan pers secara penuh
harus diberlakukan kembali.
Maka sesuai dengan semangat ICCPR pasal 19 ayat 3 (melindungi hak orang lain,
moral, keamanan dan ketertiban), media penyiaran yang menyiarkan program di luar
kegiatan jurnalistik terbuka untuk disensor. Namun sekali lagi, sensor (pembatasan)
harus melalui persetujuan undang-undang/hukum.
4
Di Indonesia berdasarkan UU No. 8/1992 tentang perfilman, semua yang akan
ditayangkan atau dipertujukkan —kecuali produk jurnalistik -- wajib lulus sensor. Yang
ditunjuk sebagai lembaga sensor adalah lembaga sensor film.
“Pembatasan” terhadap media penyiaran akan lebih terasa urgen lagi bila kita kaitkan
dengan penggunaan frekuensi yang mana frekuensi pada hakekatnya adalah milik
publik yang jumlahnya terbatas. Karena hakekatnya frekuensi adalah milik publik, maka
publik juga harus terlibat dalam pengaturan frekuensi tersebut melalui lembaga-
lembaga resmi yang diakui mewakili kepentingan publik.
Akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan bahwa kebebasan pers tidaklah bersifat
mutlak sebagaimana yang tertulis dalam ICCPR. Dalam rangka melindungi nilai-nilai
moral, kesehatan, kemanan dan ketertiban umum, kebebasan pers “dapat” dibatasi dan
pembatasan itu harus dilakukan berdasarkan UU/peraturan dan harus dalam keadaaan
darurat dan luarbiasa.
5
2. Bahwa konsep kemerdekaan bersuara tidak dapat diterapkan pada segala
aspek media. Ada masalah-masalah dalam pers yang tidak berhubungan
langusng dengan kemedekaan informasi. Mahkamah Agung Amerika Serikat,
misalnya, banyak menolak permintaan banding dari perusahaan media dengan
alasan bahwa kasusnya tidak secara langsung menghalangi kemerdekaan
pers, tetapi juga berhubungan dengan masalah perusahaan dan perburuhan
yang bisa diatur oleh hukum umum.
3. Walaupun jaminan kemerdekaan berpendapat dan penyelenggaraan pers
barlaku untuk untuk media penyiaran, ada aspek lainnya dari isi media siaran,
yaitu pengunaan ruang pubik (frekuensi) yang tidak berhubungan langsung
dengan penerapan hak asasi ini. Di Amerika Serikat hal ini berakibat, berbeda
dari pers cetak, media siaran dibatasi melalui beberapa peraturan komunikasi
(communication act) yang dibuat oleh Kongres dan dijalankan oleh Federal
Communication Commission (FCC)
Kebebasan pers sebenarnya bukan hanya bebas dari kekangan negara, tetapi juga
bebas dari kekuatan ekonomi dan pasar. Gejala-gelaga dominasi pasar atas
kebebasan pes sudah mulai tumbuh. Prof. James Carey dari Columbia University
sudah mensinyalir bahwa kebebasan dari kekangan negara justru menyebabkan
leluasanya kebebasan pasar untuk mengendalikan kebebasan pers itu sendiri.
Oleh karena itu esensi kebebasan adalah terlindungi kepentingan publik dari dua
kekuatan, yakni kekuatan negara dan ekonomi/pasar. Sudah menjadi keniscayaan
bahwa setiap kebebasan pasti memerlukan tanggung jawab. Demikian juga dengan
kebebasan pers (media). Menurut Dennis McQuail, tanggung jawab media adalah
segala proses baik sukarela maupun terpaksa dimana media menjawab secara secara
langsung atau tidak langsung pada lingkungan masyarakatnya kualitas dan atau
konsekuensi dari publikasi yang dimuatnya (McQuail, 2005).
Oleh karena itu, proses pertanggungjawaban meliputi tiga kriteria (McQuail,
2005):
1. Media harus menghormati hak kebebasan untuk mempublikasikan sesuatu
2. Media harus melindungi atau membatasi bahaya yang mengkin timbul dari
publikasi terhadap individu dan masyarakat
6
3. Media harus lebih memajukan aspek-aspek positif dari publikasi daripada hanya
membatasinya
Dari ketiga kriteria tersebut, kriteria pertama merefleksikan sifat dasar dari kebebasan
berekspresi dalam sistem demokrasi, sedangkan yang kedua, adanya kewajiban
terhadap masyarakat di satu sisi dan kewajiban terhadap hak, kebutuhan dan
kepentingan individu di sisi lain. Adapun kreteria ketiga menekankan pada dialog dan
interaksi antara media dan institusi lain dalam masyarakat.
Mekanisme dan prosedur utama dari kerangka ini, yakni berisi kumpulan regulasi-
regulasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh media termasuk
peraturan-peraturan formal dan prosedur-prosedur pelengkap untuk
pengimlementasian setiap regulasi tersebut. Isu-isu utama yang berkaitan
7
dengan kerangka ini biasanya pelanggaran terhadap hak-hak individu atau hal
lainnya dimana media, khususnya (media elektronik) dapat diregulasi.
Keuntungan dari pendekatan ini, yakni, bahwa terdapat kekuasaan yang besar
untuk memaksa tuntutan-tuntutan. Ada pula kontrol demokratis melalui
mekanisme sistem politik, kurang lebihnya bermakna sebagai chek terhadap
tekanan dan pelanggaran. Di sini setiap pembatasan-pembatasan terhadap
kebebasan dan juga bidang setiap regulasi dengan jelas dibangun.
Hukum dan regulasi lebih mudah diterapkan pada struktur (kepemilikan) dari pada
isi media, dimana kebebasan berekspresi timbul, namun disitu pula sulit dibuat
defenisinya. Hukum dan regulasi lebih memberikan keuntungan terhadap
kekuasaan dan uang, meskipun hukum dan regulasi bermaksud melindungi
kepentingan secara keseluruhan. Hukum dan regulasi juga kadang-kadang
kurang efektif, susah ditegakkan, tidak bisa diprediski luas jangkauannya dan efek
jangka panjangnya serta susah diubah dan diganti walaupun sudah ketinggalan
jaman. Bila demikian hukum dan regulasi akan tetap menjadi bagian dari sistem
dan dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu oleh segelintir
orang (misalnya subsidi dan hukum).
Contoh regulasi dan undang-undang yang mengatur struktur dan organisasi
media adalah UU Penyiaran, UU Pers dan UU Perfilman. Ketiga UU tersebut
menjamin kebebasan media dalam menyampaikan pesan-pesan kepada publik.
Meskpun demikian, segenap UU tersebut juga tetap membatasi kebebasan media
guna melindungi kepentingan publik, misalnya larangan tayangan pornografi di
media TV dan koran, klasifikasi siaran, perlindungan terhadap anak-anak dan
remaja, dsb.
8
Sedangkan kondisi hukum dan regulasi juga kadang-kadang kurang efektif,
susah ditegakkan, tidak bisa diprediski luas jangkauannya dan efek jangka
panjangnya serta susah diubah dan diganti walaupun sudah ketinggalan jaman,
bisa dilihat pada kasusnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang tersebut adalah warisan peninggalan kolonial Belada, sejumlah
pasal-pasal dalam UU tersebut nyata-nyata mengancam kebebasan berekspresi,
misalnya pasal-pasal tetang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden,
Penyebar Kebencian (haatzai artikelen), Delik Keamanan Negara dan lain
sebagainya. Namun KUHP tersebut sampai sekarang masih digunakan, karena
DPR dan Prisiden belum menyetujui RUU KUHP yang baru.
9
Mekanisme dan prosedur utama kerangka ini terdiri dari aktivitas kelompok-
kelompok penekan, termasuk organisasi khlayak media dan survey opini public,
meminta media massa agar mengekspresikan kepentingan publik.
Di sejumlah negara terdapat berbagai bentuk dewan pers atau komisi penyiaran
yang melayani kompalin/keluhan yang datang dari public. Nah media massa
diharapkan mengikuti metode ini, dengan membuat semacam divisi yang
menerima pengaduan dari masyarakat. Pemerintah juga senantiasa memiliki
komisi dan institute untuk menilai kinerja media. Sejumlah media dioperasikan
atas nama kepercayaan public (public trusts) yang tidak berorientasi profit (non
profit) untuk melayani informasi public atau tujuan sosial lainnya
Ide utama dari kerangka ini adalah masyarakat dapat mengontrol informasi yang
disampaikan oleh media sehingga tercipta hubungan yang interaktif antara media
dan publik. Di Indonesia, saat ini terdapat sejumlah pemantau-pemantau media
yang senantiasa mengontrol pemberitaan media agar senantiasa melindungi
kepentingan publik. Salah satunya adalah Lembaga Konsumen Media, Surabaya
dan Media Watch The Habibie Center yang berbasis di Jakarta.
Disamping itu, sejumlah surat kabar saat ini juga sudah mulai mengadopsi
ombudsman media. Ombudsman adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh
media untuk menerima dan melayani keluhan dan komplain dari masyarakat yang
dirugikan oleh pemberitaan pers. Surat kabar di Indonesia yang sudah
menggunakan ombusdsman media diantaranya Jawa Pos dan Kompas
10
professional media. Selain kode etik tersebut terdapat pula prosedur-prosedur
yang biasa digunakan bila media media menerima komplain atau klaim-klaim
berkaitan dengan pemberitaan media.
Isu-isu yang biasanya berhubungan dengan kode etik atau code of conduct ini,
yakni berkaitan dengan misalnya “menyerang kehormatan seseorang” dan lain
sebagainya. Pengembangan profesionalisme di media biasanya didukung oleh
pemerintah, intitusi publik lainnya melalui pelatihan dan pendidikan. Di Indonesia,
terdapat sejumlah kode etik yang ada di lingkungan institusi media. Misalnya,
untuk jurnalis terdapat Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ disusun oleh asosiasi para
jurnalis yang kemudian disahkan oleh Dewan Pers. Di televisi, ada yang disebut
Pedoman Program Siaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). P3 dan SPS
disusun oleh Komisi Penyiara Indonesia (KPI)
Referensi
11