Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Nikel merupakan salah satu elemen utama dari inti bumi yang diperkirakan
sebagian besar terbuat dari campuran nikel dan besi. Nikel logam yang sangat
keras dan putih mengkilap ditemukan dalam kerak bumi di mana merupakan unsur
ke dua puluh dua yang paling berlimpah. Kebanyakan nikel yang ditambang untuk
keperluan industri ditemukan dalam bijih seperti pentlandit (Ni,Fe)S, garnierite (n
NiSO3 mHgSiO3.H2O), dan limonit. Sekitar 70 % -80 % nikel berada dalam batuan
laterit yang tersebar di daerahdaerah tropis dan subtropis, seperti Indonesia, New
Caledonia, Australia, Cuba, dan Filipina. Nikel adalah logam penting yang
digunakan dalam produksi stainless steel dan campuran logam. Nikel terbentuk
bersama dengan belerang dalam millerite (NiS), dengan arsenik dalam galian
nikolit (NiAs), dan dengan arsenik dan belerang dalam (nikel glance).Endapan
nikel laterit terbentuk karena proses pelapukan dari batuan ultramafik yang
terbentang dalam suatu singkapan tunggal terbesar di dunia seluas lebih dari 120
km x 60 km.
Secara umum, mineral bijih di alam ini dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu
mineral sulfida dan mineral oksida. Begitu pula dengan bijih nikel, ada sulfida dan
ada oksida. Masing-masing mempunyai karakteristik sendiri dan cara
pengolahannya pun juga tidak sama. Dalam bahasan kali ini akan dibatasi
pengolahan bijih nikel dari mineral oksida (Laterit). Bijih nikel dari mineral oksida
(Laterite) ada dua jenis yang umumnya ditemui yaitu Saprolit dan Limonit dengan
berbagai variasi kadar. Perbedaan menonjol dari 2 jenis bijih ini adalah kandungan
Fe (Besi) dan Mg (Magnesium), bijih saprolit mempunyai kandungan Fe rendah
dan Mg tinggi sedangkan limonit sebaliknya.
Proses pengolahan nikel ini menggunakan metode pirometalurgi, karena
metode ini sangat cocok untuk material berkadar tinggi, dalam hal ini nikel
termasuk salah satu mineral berkadang tinggi. Selain itu, proses pengolahan
dengan metode pirometalurgi ini tidak menghabiskan banyak waktu dibanding
dengan metode hidrometalurgi. Akan tetapi ada beberapa kelemahan ataupun
kerugian yang didapat apabila menggunakan metode pirometalurgi ini yaitu
diantaranya, percemaran udara yang dihasilkan dari pembakaran, gas buangan dari
hasil pembakaran beracun dan konsumsi energi yang lebih besar. Kerugian pada
metode pirometalurgi ini sebanding dengan hasil yang didapat, jadi pengolahan
nikel menggunakan metode pirometalurgi tidak sia-sia dalam aspek waktu, tenaga
dan bahan bakar. Dalam proses pengolahan bijih nikel meliputi beberapa tahapan
proses utama. Tahap pertama yaitu crushing, yang artinya penghancuran
bongkahan mineral menjadi lebih kecil sehingga bisa dilanjutkan ke proses
selanjutnya. Selanjutnya, tahap kedua yaitu tahap kominusi dimana pada tahap ini
masih dilakukan pengurangan ukuran mineral menjadi kurang lebih 100 mikron.
Setelah itu, pada tahap ketiga dilakukan proses Drying yang bertujuan untuk
mengambil sejumlah cairan yang terkandung dalam suatu bahan galian (padatan)
dengan medium gas atau udara sehingga kandungan air pada bahan galian tersebut
berkurang karena menguap. Kemudian, tahap selanjutnya yaitu dilakukan proses
kalsinasi yang bertujuan untuk mendekomposisikan kalsium karbonat yang
terkandung dalam mineral tersebut. Lalu proses selanjutnya yaitu proses smelting
dimana proses ini bertujuan untuk mereduksi bijih sehingga menjadi logam unsur.

1.2 Rumusan masalah


a. Bagaimana cara mengolah nikel dengan metode pyrometallurgy?
b. Bagaimana cara menghitung mess balancing?
1.3 Tujuan
a. Memahami apa itu nikel dan kegunaannya
b. Mengetahui cara memperoleh mineral nikel
c. Mengetahui cara pengolahan nikel menggunakan metode pyrometallurgy
d. Mengetahui cara menghitung mess balancing pada metode pyrometallurgy
1.4 Manfaat
a. Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar pada mata
kuliah pyrometallurgy.
b. Memberikan pengetahuan lebih kepada mahasiswa program studi metalurgi
tentang cara mengolah nikel dengan metode pyrometallurgy.
c. Sebagai referensi bagi pada peneliti untuk melakukan penelitian tentang cara
mengolah mineral nikel dengan metode pyrometallurgy.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nikel
Nikel adalah salah satu unsur kimia yang tergolong dalam logam transisi,
berwarna putih keperakan dengan sedikit keemasan bersifat kuat dan mudah
dibentuk. Nikel bersifat lembek dalam keadaan murni, namun akan menjadi baja
keras yang tahan karat jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya.
Sekitar 70 % -80 % nikel berada dalam batuan laterit yang tersebar di daerahdaerah
tropis dan subtropis, seperti Indonesia, New Caledonia, Australia, Cuba, dan
Filipina (Kyle, 2010). Nikel adalah logam penting yang digunakan dalam produksi
stainless steel dan campuran logam (Zhu.D.Q et al., 2012).

Gambar 2.1 Batuan Nikel


Nikel berwujud secara gabungan dengan belerang dalam millerite, dengan
arsenik dalam galian niccolite, dan dengan arsenik dan belerang dalam
(nickelglance). Nikel juga terbentuk bersama-sama dengan kromit dan platina
dalam batuan ultrabasa seperti peridotit, baik termetamorfkan ataupun tidak.
Terdapat dua jenis endapan nikel yang bersifat komersil, yaitu sebagai hasil
konsentrasi residu silica dan pada proses pelapukan batuan beku ultrabasa serta
sebagai endapan nikel-tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan pirit,
pirotit, dan kalkopirit. Ore body dengan Ni grade yg tinggi umumnya didapat dari
proses pelapukan batuan (bedrock) yg kaya Olivine karena memang kandungan Ni
di Olivine lebih tinggi dibanding mineral mafik yg lain.

1. Karekteristik Nikel

Nikel mempunyai sifat tahan karat. Dalam keadaan murni, nikel bersifat
lembek, tetapi jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya, dapat
membentuk baja tahan karat yang keras. Adapun karakteristik Nikel antara
lain:

Tabel 2.1 Karakteristik Nikel

No Karakteristik Keterangan lain


1 Nama Nikel
2 Lambang Ni
3 Nomor atom 28
4 Deret kimia Logam transisi
5 Golongan VIII B
6 Periode 4
7 Blok d
8 Penampilan Kemilau, metalik
9 Massa atom 58,6934(2) g/mol
10 Konfigurasi electron [Ar] 3d8 4s2
11 Jumlah electron tiap kulit 2 8 16 2
12 Volume Atom 6.6 cm3/mol
13 Struktur Kristal fcc
Sumber : www.serambigeologi.com
2. Sifat Fisik dan Sifat Kimia Nikel

1) Sifat kimia Nikel


Adapun sifat-sifat kimia dari nikel yaitu antara lain:
a. Pada suhu kamar nikel bereaksi lambat dengan udara.
b. Jika dibakar, reaksi berlangsung cepat membentuk oksida NiO.
c. Bereaksi dengan C l 2 membentuk Klorida (NiCl2).
d. Bereaksi dengan steam H 2O membentuk Oksida NiO.
e. Bereaksi dengan HCl encer dan asam sulfat encer, yang
reaksinyaberlangsung lambat.
f. Bereaksi dengan asam nitrat dan aquaregia, Ni segera larut

Ni + HNO3 → Ni(NO3)2+ NO + H2O

g. Tidak beraksi dengan basa alkali


h. Bereaksi dengan H 2S menghasilkan endapan hitam.

2) Sifat Fisika Nikel


Adapun sifat-sifat fisika dari nikel yaitu antara lain:
a. Logam putih keperak-perakan yang berkilat, keras
b. Tahan karat
c. Dapat ditempa dan ditarik.
d. Feromagnetik
e. TL : 1420ºC, TD : 2900ºC

3. Jenis - Jenis Nikel

Jenis bijih nikel dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :


a. Nikel Sulfida
Bijih nikel sulfida terbentuk melalui proses vulkanik atau hidrotermal,
banyak mengandung tembaga dan kobalt, sedikit logam mulia seperti emas,
platinum, palladium dan rhodium, biasanya mengandung 0,4 – 2 % Ni, 0,2-2 %
Cu, 10 – 30 % Fe dan 20 % S. Bijih nikel sulfida merupakan campuran dari
mineral sulfida dengan berbagai mineral batuan (Pournaderi. S, 2014). Bijih nikel
sulfide terdapat di negara Rusia dan Kanada (Rochani, 2013).

b. Nikel Laterit
Laterit dihasilkan dari pelapukan batuan secara kimiawi yang berlangsung
dalam waktu yang panjang dibawah suhu yang cukup tinggi pada kondisi iklim
basah atau lembab. Nikel laterit adalah hasil laterisasi batuan ultramafik yang
memiliki kandungan besi dan magnesium yang tinggi, dapat ditemukan pada
permukaan tanah yang relatif dangkal yaitu sekitar 6- 15, tetapi bisa juga
mencapai 60 meter di bawah permukaan tanah. Pembentukan bijih nikel laterit
dapat berlangsung lebih dari satu juta tahun (Kose, 2011).

Gambar 2.2 Mineral Laterit (Sumber: Sari, 2013).

4. Sumber Dan Pembentukan Bijih Nikel

Adapun mineral-mineral utama pada logam bijih nikel yaitu antara lain:

a. Millerit, NiS
b. Smaltit (Fe,Co,Ni)As
c. Nikolit (Ni)As
d. Pentlandite (Ni, Cu, Fe)S
e. Garnierite (Ni, Mg)SiO3.xH2O
Nikel terbentuk bersama dengan belerang dalam millerite (NiS), dengan
arsenik dalam galian nikolit (NiAs), dan dengan arsenik dan belerang dalam
(nikel glance). Nikel juga terbentuk bersama-sama dengan chrom dan platina
dalam batuan ultrabasa, seperti peridotit, baik termetamorfkan ataupun tidak.
Terdapat dua jenis endapan nikel yang bersifat komersil, yaitu:

1. Sebagai hasil konsentrasi residual silika dan pada proses pelapukan batuan
beku ultrabasa.
2. Sebagai endapan nikel-tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan
pirit, pirotit, dan kalkopirit.

Unsur nikel berhubungan dengan batuan basa yang disebut norit. Nikel
ditemukan dalam mineral pentlandit, dalam bentuk lempeng-lempeng halus dan
butiran kecil bersama pyrhotin dan kalkopirit. Nikel biasanya terdapat dalam
tanah yang terletak di atas batuan basa. Nikel adalah bahan galian golongan A,
yang dimana bahan galian yang tergolong strategis. Minyak bumi dan batubara
juga sama dalam bahan galian golongan A. Pada umumnya bahan galian
golongan A sangat dicari oleh investor – investor yang bergerak dibidang
pertambangan dan usaha lainnya.

2.2 Proses Pengolahan Bijih Nikel dengan Proses Pirometalurgi


Secara umum, mineral bijih di alam ini dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu
mineral sulfida dan mineral oksida. Begitu pula dengan bijih nikel, ada sulfida dan
ada oksida. Masing-masing mempunyai karakteristik sendiri dan cara
pengolahannya pun juga tidak sama. Dalam bahasan kali ini akan dibatasi
pengolahan bijih nikel dari mineral oksida (Laterit).
Bijih nikel dari mineral oksida (Laterite) ada dua jenis yang umumnya
ditemui yaitu Saprolit dan Limonit dengan berbagai variasi kadar. Perbedaan
menonjol dari 2 jenis bijih ini adalah kandungan Fe (Besi) dan Mg (Magnesium),
bijih saprolit mempunyai kandungan Fe rendah dan Mg tinggi sedangkan limonit
sebaliknya.
Tingkat kebasaan ini menentukan brick/ refractory/bata tahan api yang
harus digunakan di dalam tungku (furnace), jika basisitas tinggi maka refractory
yang digunakan juga sebaiknya mempunyai sifat basa agar slag (terak) tidak
bereaksi dengan refractory yang akan menghabiskan lapisan refractory tersebut.
Basisitas juga menentukan viscositas slag, semakin tinggi basisitas maka slag
semakin encer dan mudah untuk dikeluarkan dari furnace. Namun basisitas yang
terlalu tinggi juga tidak terlalu bagus karena difusi Oksigen akan semakin besar
sehingga kehilangan Logam karena oksidasi terhadap logam juga semakin besar.
Setelah bahan galian ditambang dan lalu di dangkut dengan alat muat
(wheel loader) menuju ke stockfile. Dan setelah diangkut sebaiknya melakukan
proses pengolahan nickel. Dalam proses pengolahan bijih nickel meliputi beberapa
tahapan proses utama yaitu, crushing, Pengering, Pereduksi, peleburan, Pemurni,
dan Granulasi dan Pengemasan.

1) Crushing
Dimana proses ini bertujuan untuk reduksi ukuran dari ore agar mineral
berharga bisa terlepas dari bijihnya. Berbeda dengan pengolahan emas, dalam
tahap ini untuk nikel ore ini hanya dibutuhkan ukuran maksimal 30 mm
sehingga hanya dibutuhkan crusher saja dan tidak dibutuhkan grinder. Adapun
gambar dari crushing dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.3 Gyratory Crusher


2) Sizing

Merupakan proses pemilahan bijih yang telah melalui proses kominusi


sesuai ukuran yang dibutuhkan. Kegiatan Sizing meliputi Screening yaitu
salah satu pemisahan berdasarkan ukuran adalah proses pengayakan
(screening). Sizing dibagi menjadi dua antara lain :

1. Pengayakan / Penyaringan (Screening / Sieving)

Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan secara


mekanik berdasarkan perbedaan ukuran partikel. Pengayakan (screening)
dipakai dalam skala industri, sedangkan penyaringan (sieving) dipakai
untuk skala laboratorium. Produk dari proses pengayakan/penyaringan
ada 2 (dua), yaitu antara lain :

a. Ukuran lebih besar daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize)


b. Ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang ayakan
(undersize)

Saringan (sieve) yang sering dipakai di laboratorium yaitu antara lain :

a. Hand sieve

Hand sieve yaitu alat yang digunakan untuk memisahkan bagian


yang tidak diinginkan berdasarkan ukurannya. Adapun gambar hand
sive dibawah ini sebagai berikut :
Gambar 2.4 Hand sieve

b. Vibrating sieve series / Tyler vibrating sive

Vibrating sieve series umumnya bekerja untuk memisahkan


padatan yang terkandung dalam minyak kasar (dirt crude oil) dengan
cara di ayak dengan cara di getar pada media saringan dengan ukuran
mess tertentu (sesuai dengan kebutuhan). Adapun gambar vabriating
sieve series dibawah ini sebagai berikut :

Gambar 2.5 Vibrating sieve series / Tyler vibrating sive

c. Sieve shaker / rotap

Siever shaker adalah alat yang digunakan untuk memisahkan


padatan dengan cairan dengan menggunakan peralatan penyaringan
berlapis serta adanya nilai mesh saringan yang berbeda-beda. Peralatan
ini memanfaatkan getaran dan tambahan air yang memudahkan bahan
yang hendak dipisahkan bisa lewat saringan. Gambar sieve shaker
dapat dilihat, sebagai berikut :

Gambar 2.6 Sieve shaker / rotap

d. Wet and dry sieving

Wet dan dry sieving adalah pencucian dan pengeringan mineral


bijih yang bertujuan untuk memisahkan concentrate dengan pengotor.
Adapun gambar wet and dry sieving dibawah ini sebagai berikut :

Gambar 2.7 Wet and dry sieving


2. Klasifikasi (Classification)

Klasifikasi adalah proses pemisahan partikel berdasarkan kecepatan


pengendapannya dalam suatu media (udara atau air). Klasifikasi
dilakukan dalam suatu alat yang disebut classifier. Produk dari proses
klasifikasi ada 2 (dua), yaitu antara lain:

a. Produk yang berukuran kecil/halus (slimes) mengalir di bagian atas


disebut overflow.
b. Produk yang berukuran lebih besar/kasar (sand) mengendap di bagian
bawah (dasar) disebut underflow.

Proses pemisahan dalam classifier dapat terjadi dalam tiga cara (concept),
yaitu :

a. Partition concept
b. Tapping concept
c. Rein concept

3) Pengeringan di Tanur Pengering (Drying)


Dari stockpile, hasil tambang (ore) diangkut menuju apron feeder. Di apron
feeder ore mengalami penyaringan dan pengaturan beban sebelum diangkut
dengan belt conveyor menuju dryer atau tanur pengering. Diruang pembakaran
tersebut terdapat alat pembakar yang menggunakan high sulphur oil atau yang
biasa disebut minyak residu sebagai bahan bakar. Dalam tahap pengeringan ini
hanya dilakukan penguapan sebagian kandungan air dalam bijih basa dan tidak
ada reaksi kimia. Ore kemudian dihancurkan dan kemudian dikumpulkan di
gudang bijih kering (Dry Ore Storage).
Dimana drying atau pengeringan dibutuhkan untuk mengurangi kadar
moisture dalam bijih. Biasanya kadar moisture dalam bijih sekitar 30-35 % dan
diturunkan dalam proses ini dengan rotary dryer menjadi sekitar 23%
(tergantung desain yang dibuat). Dalam rotary dryer ini, pengeringan dilakukan
dengan cara mengalirkan gas panas yang dihasilkan dari pembakaran
pulverized coal dan marine fuel dalam Hot Air Generator (HAG) secara Co-
Current (searah) pada temperature sampai 200 C. Adapun gambar rotary drier
dapat diliht dibawah ini :

Gambar 2.8 Rotary Drier

4) Kalsinasi dan Reduksi di Tanur Pereduksi


Tujuannya untuk menghilangkan kandungan air di dalam bijih, mereduksi
sebagian nikel oksida menjadi nikel logam, dan sulfidasi. Setelah proses drying,
bijih nikel yang tersimpan di gudang bijih kering pada dasarnya belumlah
kering secara sempurna, karena itulah tahapan ini bertujuan untuk
menghilangkan kandungan air bebas dan air kristal serta mereduksi nikel oksida
menjadi nikel logam. Proses ini berlansung dalam tanur reduksi. Bijih dari
gudang dimasukkan dalam tanur reduksi dengan komposisi pencampuran
menggunakan ratio tertentu untuk menghasilkan komposisi silika magnesia dan
besi yang sesuai dengan operasional tanur listrik. Selain itu dimasukkan pula
batubara yang berfungsi sebagai bahan pereduksi pada tanur reduksi maupun
pada tanur pelebur. Untuk mengikat nikel dan besi reduksi yang telah tereduksi
agar tidak teroksidasi kembali oleh udara maka ditambahkanlah belerang. Hasil
akhir dari proses ini disebut kalsin yang bertemperatur sekitar 700oC.
Tujuan utama proses ini adalah menghilangkan air kristal yang ada dalam
bijih,air kristal yang biasa dijumpai adalah serpentine (3MgO.2SiO2.2H2O)
dan goethite (Fe2O3.H2O). Proses dekomposisi ini dilakukan dalam Rotary
Kiln dengan tempetatur sampai 850oC menggunakan pulverized coal secara
Counter Current. Adapun gambar proses kalsinasi dan reduksi dapat dilihat
dibawah ini :

Gambar 2.9 Proses Kalsinasi dan Reduksi

5) Peleburan di Tanur Listrik (smalting)


Untuk melebur kalsin hasil kalsinasi/reduksi sehingga terbentuk fasa
lelehan matte dan Slag. Kalsin panas yang keluar dari tanur reduksi sebagai
umpan tanur pelebur dimasukkan kedalam surge bin lalu kemudian dibawa
dengan transfer car ke tempat penampungan. Furnace bertujuan untuk melebur
kalsin hingga terbentuk fase lelehan matte dan slag. Dinding furnace dilapisi
dengan batu tahan api yang didinginkan dengan media air melalui balok
tembaga. Matte dan slag akan terpisah berdasarka berat jenisnya. Slag
kemudian diangkut kelokasi pembuangan dengan kendaraan khusus.
Proses peleburan dalam electric furnace adalah proses utama dalam
rangkaian proses ini. Reaksi reduksi 80% terjadi secara langsung dan 20%
secara tidak langsung pada temperature sampai 1650 C. Adapun gambar
electric furnace dapat dilihat dibawah ini :

Gambar 2.10 Electric furnace

6) Pengkayaan di Tanur Pemurni (refining)


Bertujuan untuk menaikkan kadar Ni di dalam matte dari sekitar 27 persen
menjadi di atas 75 persen. Matte yang memiliki berat jenis lebih besar dari slag
diangkut ke tanur pemurni / converter untuk menjalani tahap pemurnian dan
pengayaan. Proses yang terjadi dalam tanur pemurni adalah peniupan udara dan
penambahan sililka. Silika ini akan mengikat besi oksida dan membentuk ikatan
yang memiliki berat jenis lebih rendah dari matte sehingga menjadi mudah
untuk dipisahkan.
Pada proses ini yang paling utama adalah menghilangkan atau
memperkecil kandungan sulfur dalam crude Fe-Ni dan sering disebut
Desulfurisasi. Dilakukannya proses ini berkaitan dengan kebutuhan proses
lanjutan yaitu digunakannya Fe-Ni sebagai umpan untuk pembuatan Baja
dimana baja yang bagus harus mengandung Sulfur maksimal 20 ppm sedangkan
kandungan Sulfur pada Crude Fe-Ni masih sekitar 0,3% sehingga jika
kandungan sulfur tidak diturunkan maka pada proses pembuatan baja
membutuhkan kerja keras untuk menurunkan kandungan sulfur ini. Adapun
gambar pengkayaan di tanur pemurnian dapat dilihat dibawah ini :

Refining

Penampungan Nikel
Mete
De-Sulfurization Shaking / LD Converter

Tujuan proses De- Proses Oksidasi


Sulphurisasi adalah untuk mengurangi/menurunkan
menurunkan kadar sulphur zat zat pengotor
sesuai spesifikasi produk (Imfurities) di dalam
atau kebutuhan pelanggan. crude feni

Gambar 2.11 Pengkayaan di Tanur Pemurnian

7) Granulasi dan Pengemasan

Untuk mengubah bentuk matte dari logam cair menjadi butiran-butiran


yang siap diekspor setelah dikeringkan dan dikemas. Matte dituang kedalam
tandis sembari secara terus menerus disemprot dengan air bertekanan tinggi.
Proses ini menghasilkan nikel matte yang dingin yang berbentuk butiran-
butiran halus. Butiran-butiran ini kemudian disaring, dikeringkan dan siap
dikemas.
Ekstrak nikel dari bijihnya yang konvensionil dilakukan secara
pyrometallurgy. Sekarang telah dtemukan proses pengolahan bijih nikel secara
hydrometallurgy yaitu “ammonia – pressure leach process” dan “sulfuric acid
– pressure leach process”.Bijih laterit kadar rendah (± 1,5 %) dilebur dengan
menambahkan besi dan ferrosileon dijadikan ferronickel (feronikel). Adapun
gambar granulasi dan pengemasan dapat dilihat dibawah ini :

Fe-Ni Ingot

Fe-Ni Shot

Gambar 2.12 Granulasi dan Pengemasan

Pada prinsipnya proses ini adalah mencetak, ferronikel yang telah dimurnikan
berdasarkan standard produk menjadi bentuk ingot atau shot.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat Dan Bahan Penelitian

Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah biji nikel dari mineral
oksida yang didapat di alam, serta untuk pengolahannya menggunakan Electric
Furnace.

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi beberapa tahap, rangkaian penelitian secara umum


ditunjukan dengan diagram alir dibawah :

Ore

Kominusi

Drying

Calcining

Smelting

Crude FeNi

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Proses Pengolahan

Gambar 4.1 Diagram Proses FerroNikel

4.1.1 Kominusi
Pada proses kominusi tahapan pengecilan ore hanya sampai pada
proses crisher dengan ukuran maksimal 30mm. Penentuan ukuran ini,
dikarenakan pada ukuran tersebut kadar LOI (Lost of Igantion) yang
terdapat pada material lebih mudah tereduksi.

4.1.2 Drying
Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar moisture dalam bijih.
Biasanya kadar moisture dalam bijih sekitar 30-35% dan diturunkan
dalam proses ini dengan rotory dryer menjadi sekitar ± 23% (tergantung
desain yang dibuat). Dikarenakan dalam kondisi tersebut yang paling baik
dalam produksi nikel, dan rata-rata kadar yang digunakan pada penilitan
berkisar ± 23%.

4.1.3 Calcining
Pada proses ini air kristal yang terdapat pada bijih dihilangkan, air
kristal yang biasa dijumpai adalah serpentine (3MgO.2SiO2. 2H2O) dan
Geotithe (Fe2O3.H2O). Proses dekomposisi ini dilakukan dalam rotary
kiln dengan temperatur sampai dengan 850oC karena apabila suhu terlalu
tinggi, akan menggangu kestabilan dalam tanur yang dapat
mengakibatkan getaran yang kuat dalam tanur.

a. Serpentine
Reaksi dekomposisi dari serpentine adalah sebagai berikut:

3MgO.2SiO2.2H2O 3MgO + 2SiO2 + 2H2O

Reaksi ini terjadi pada temperatur 460-650oC dan tergolong reaksi


endotermik. Pemanasan lebih lanjut MgO dan SiO2 akan membentuk
forsterite dan enstatite yang merupakan reaksi eksotermik.

2 MgO + SiO2 = 2MgO.SiO2


MgO + SiO2 = MgO.SiO2

b. Goethite
Reaksi dekomposisi dari goethite adalah sebagai berikut:

Fe2O3.H2O = Fe2O3 + H2O


Reaksi ini terjadi pada 2600C – 3300C dan merupakan reaksi
endotermik.
Di samping menghilangkan air kristal, pada proses ini juga biasanya
didesain sudah terjadi reaksi reduksi dari NiO dan Fe2O3. Dalam
teknologi Krupp rent, semua reduksi dilakukan dalam rotary kiln dan
dihasilkan luppen. Sedangkan dalam technology Electric Furnace,
hanya sekitar 20% NiO tereduksi secara tidak langsung dalam rotary
kiln menjadi Ni dan 80% Fe2O3 menjadi FeO sedangkan sisanya
dilakukan dalam electric furnace. Produk dari rotary kiln ini disebut
dengan calcined ore dengan kandungan moisture sekitar 2% dan siap
dilebur dalam electric furnace.

4.1.4 Smelting
Proses peleburan dalam electric furnace adalah proses utama dalam
rangkaian proses ini. Reaksi reduksi 80% terjadi secara langsung dan
20% secara tidak langsung pada temperature sampai 1650 oC. Reaksi
reduksi langsung yang terjadi adalah sebagai berikut:

NiO(l) + C(s) = Ni(l) + CO(g)


FeO(l) + C(s) = Fe(l) + CO(g)
Beberapa material yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
oksigen juga tereduksi dan menjadi pengotor dalam logam.

SiO2(l) + 2C(s) = Si(l) + 2CO(g)


Cr2O3(l) + 3C(s) = 2Cr(l) + 3CO(g)
P2O5(l) + 5C(s) = 2P(l) + 5CO(g)
3Fe(l) + C(s) = Fe3C(l)
Karbon disupplay dari Antracite (tergantung desain), dan reaksi terjadi
pada zona leleh elektroda. CO(g) yang dihasilkan dari reaksi ini
ditambah dengan CO(g) dari reaksi boudoard mereduksi NiO dan FeO
serta Fe2O3 melalui mekanisme solid-gas reaction (reaksi tidak
langsung):

NiO(s) + CO(g) = Ni(s) + CO2(g)


CoO(s) + CO(g) = Co(s) + CO2(g)
FeO(s) + CO(g) = Fe(s) + CO2(g)
Fe2O3 (s) + CO(g) = 2FeO(s) + CO2(g)

Oksida stabil seperti SiO2, Cr2O3 dan P2O5 tidak tereduksi melalui
reaksi tidak langsung. Sampai di sini Crude Fe-Ni sudah terbentuk dan
proses sudah bisa dikatakan selesai. Yield (recovery) dari nikel pada
EAF dapat didekati seperti pada gambar berikut:
Yield (recovery) dari nikel pada EAF dapat didekati seperti pada
gambar berikut:

Gambar 4.2 Hubungan antara Fe yield dan Ni yield dalam EAF

4.1.5 Refining
Pada proses ini yang paling utama adalah
menghilangkan/memperkecil kandungan sulfur dalam crude Fe-Ni dan
sering disebut Desulfurisasi. Dilakukannya proses ini berkaitan dengan
kebutuhan proses lanjutan yaitu digunakannya Fe-Ni sebagai umpan
untuk pembuatan Baja dimana baja yang bagus harus mengandung Sulfur
maksimal 20 ppm sedangkan kandungan Sulfur pada Crude Fe-Ni masih
sekitar 0,3% sehingga jika kandungan sulfur tidak diturunkan maka pada
proses pembuatan baja membutuhkan kerja keras untuk menurunkan
kandungan sulfur ini.

Proses ini dilakukan pada ladle furnace dengan agent sebagai berikut:
Tabel 2. Agent Untuk desulfurisasi

Material / CaC2 CaO CaF2 SiO2 MgO Al2O3 Na2CO3


(%)
Carbide 79.00 11.20 3.02 2.90 0.35 0.71 -
Soda Ash - - - - - - 99.00

Sedangkan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

CaC2 (S) + S = CaS (S) + 2C (Sat)


Na2CO3 + S + Si = Na2S + (SiO2) + CO
Na2Co3 + SiO2 = Na2O . SiO2 + CO2

Reaksi ini merupakan reaksi eksotermik sehingga tidak membutuhkan


pemanasan lagi pasca smelting.
Proses selanjutnya adalah converting, sebenarnya proses ini masih
dalam bagian refining hanya untuk membedakan antara menurunkan
sulfide dengan menurunkan pengotor lain seperti Si, P, Cr dan C sesuai
dengan kebutuhan. Sedangkan prosesnya sama hanya saja reaksi lebih
dominan oksidasi dari oksigen.
Si (l) + O2 (g) = SiO2 (l) ↔ SiO2 (l) + CaO (l) = CaO .
SiO2 (l)
Cr (l) + 5O2 (g)= 2Cr2O3 (l)
4P(l)+ 5O2 (g) = 2P2O5 (l) ↔CaO (l)+P2O5 (l)= CaO.
P2O5 (l)
C(l) + ½ O2 (g) = CO (g)
C(l)+ O2 (g) = CO2 (g)
Tabel 3. Contoh Komposisi Crude Fe-Ni yang dihasilkan

Chemical Composition (%)

Ni Co C Si P S Cr Fe

De-S 20.53 0.30 1.52 1.78 0.025 0.015 0.69 balance


Fe-Ni
LC > 20 0.30 ≤ 0.02 ≤ 0.3 ≤ 0.02 ≤ 0.030 ≤ 0.3 balance
Fe-Ni

4.1.6 Mass Balance


Pada material balance berlaku persamaan
Input = Output
Total input = Laterite (Material Agent + Oksigen)
= 107 + ( 2 kilogram + 0,42 kilogram)
= logn 42 Kg.
Input = Output
109, 42 Kg = Laterite + Slag
= Laterite + 0,42 Kg
Laterite = 109, 42 Kg – 0,42 Kg
= 109 Kg
Total Output = Laterite + Slag
= 109 Kg + 0,42 Kg
= 109, 42 Kg

Anda mungkin juga menyukai