Fashion merupakan istilah yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Kita seringkali mengidentikkan fashion dengan busana atau pakaian, padahal sebenarnya yang dikatakan fashion adalah segala sesuatu yang sedang tren dalam masyarakat. Hal ini mencakup busana, selera makan, hiburan, barang-barang konsumsi dan lain-lain. Menurut Alex Thio dalam bukunya, Sociology, “fashion is a great though brief enthusiasm among relatively large number of people for a particular innovation”. Jadi sebenarnya fashion bisa mencakup apa saja yang diikuti oleh banyak orang dan menjadi tren. Fashion juga berkaitan dengan unsur novelty atau kebaruan, oleh karena itu fashion cenderung berumur pendek dan dan tidak bersifat kekal. Dan karena yang cenderung bergerak dan selalu berubah setip saat adalah busana, maka fashion sering dikaitkan dengan busana, padahal selama ada sesuatu yang baru tentang suatu artefak yang melibatkan kesenangan banyak orang, itu bisa menjadi fashion (Thio, 1989: 582). “Fashion terutama busana, merupakan sisi kehidupan masyarakat yang saat ini sedemikian penting sebagai salah satu indikator bagi muncul dan berkembangnya gaya hidup (life style)” (Featherstone, 2001: 197). Fashion merupakan sesuatu yang sering disinonimkan dengan busana, padahal pengertian sesungguhnya fashion bisa mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan adornment, style maupun dress. Media massa memberikan andil yang tidak sedikit bagi berkembangnya tren busana yang kemudian diikuti oleh sebagian besar perempuan yang ingin tampil trendi dan modis. Dengan adanya media, masyarakat menyamakan cara berpakaian mereka seperti apa yang dikenakan idolanya masing-masing. Hal ini terbukti bahwa apa saja sekarang menjadi pusat perhatian di media-media dan dijadikan acuan oleh masyarakat. Fashion sebagai ekspresi diri dan komunikasi dari pemakainya memberikan implikasi bagi penggunaan fashion dalam kaitannya dengan bagaimana orang mengkomunikasikan nilai, status, kepribadian, identitas, dan perasaan kepada orang lain. Ciri dan identitas pribadi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditunjukkan ketika kita hidup dalam masyarakat, dimana individualitas menjadi tolak ukur penilaian dalam sebuah hubungan maupun interaksi. Karena fashion bisa mengekspresikan sesuatu yang tidak terucap secara verbal inilah, maka fashion juga seringkali digunakan untuk menunjukkan identitas personal dari individu yang bersangkutan. Hanya dengan mengenakan jenis pakaian tertentu maka, orang lain akan bisa menilai kepribadian dan citra dirinya. Sementara itu, diantara para perempuan, pada tataran usia remajalah mereka cenderung lebih terpengaruh oleh perkembangan fashion. Mereka yang cenderung masih belum stabil, selalu mencoba hal-hal baru, ingin selalu menonjolkan diri terutama di mata lawan jenisnya. Fashion memang identik dengan perempuan, hal ini sudah menjadi common knowledge yang hampir semua orang mengakuinya. Diantara perempuan- perempuan, mulai dari kecil, remaja, hingga dewasa dan tua, maka pada tataran remajalah demam fashion begitu berpengaruh dalam kehidupan mereka. Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat disekitarnya. Adapun pengertian lain, gaya hidup adalah suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya. Dewasa ini, gaya hidup sering disalah gunakan oleh sebagian besar remaja. Apalagi para remaja yang berada dalam kota Metropolitan. Mereka cenderung bergaya hidup dengan mengikuti mode masa kini. Tentu saja, mode yang mereka tiru adalah mode dari orang barat. Jika mereka dapat memfilter dengan baik dan tepat, maka pengaruhnya juga akan positif. Namun sebaliknya, jika tidak pintar dalam memflter mode dari orang barat tersebut, maka akan berpengaruh negatif bagi mereka sendiri. Salah satu contoh gaya hidup para remaja yang mengikuti mode orang barat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah berpakaian. Masalah berpakaian para remaja masa kini selalu dikaitkan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Karena, sebagian remaja Indonesia khususnya, dalam berpakaian selalu mengkuti mode yang berlaku. Bahkan yang lebih menyedihkan, di stasiun- stasiun TV banyak ditampilkan contoh gaya hidup dalam berpakaian para remaja yang mengikuti mode orang barat. Otomatis bukan hanya remaja Metropolitan saja yang mengikuti mode tersebut, tetapi juga orang-orang yang berada dalam perkampungan atau pedalaman. Salah satu pakar psikologi perkembangan Elizabeth B. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa secara hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai pada saat anak-anak mulai matang secara seksual yaitu pada usia 13 sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir meliputi periode setelahnya sampai dengan 18 tahun. Erik Erikson mengungkapkan krisis pada masa remaja yakni identity vs identity diffusion. Pada masa remaja, individu berupaya mengeksplorasi diri dan lingkungannya untuk kemudian membentuk jati dirinya yang sesungguhnya (who they are, what they are all about, and where they are going in life) yang akan terus melekat sepanjang kehidupannya. Pengenalan dan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan ini ditujukan untuk mengetahui respon-respon lingkungan terhadap dirinya pada saat remaja menampilkan perilaku dan peran-peran tertentu. Respon- respon ini yang pada akhirnya membentuk suatu pemahaman pada remaja mengenai hal yang diharapkan lingkungan pada dirinya dan hal yang tidak diharapkan. Karenanya, untuk mengetahui berbagai respon dari sekelilingnya, remaja seringkali menampilkan berbagai macam perilaku dalam waktu yang cenderung berdekatan. Kemauan dan pilihannya terhadap hobi, bidang tertentu, permainan, seni, berbusana, grup musik, dan lainnya dengan mudah dapat berubah- ubah. Yang perlu diperhatikan adalah eksplorasi perilaku dan peran yang dilakukan oleh remaja berkaitan dengan peran seperti apa yang diharapkan dari diri mereka, karena mereka memahami bahwa mereka bukan lagi kanak-kanak namun belum pula dapat disebut sebagai orang dewasa yang utuh. Karenanya, peran-peran yang diharapkan oleh lingkungan adalah peran orang dewasa yang dipelajari oleh remaja secara bertahap, dan mereka diharapkan mulai meninggalkan perilaku yang biasa ditampilkannya di masa kanak-kanak. Di sisi lain, kegagalan dalam membentuk jati diri akan membuat individu tidak memiliki identitas yang pasti/jelas, yang muncul dalam ketidakmampuan merumuskan ‘saya adalah…’, yakni individu tidak mengenali kekhasan dirinya, kelebihan dan kekurangannya, kebutuhannya, dan ciri lain dari dirinya sendiri. Kegagalan ini diawali dengan ketidakmampuan individu remaja memahami harapan-harapan lingkungan dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya memainkan berbagai peran yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Gaya berbusana remaja akan berkaitan dengan penerimaan dirinya akan perubahan kondisi fisik yang dialami, kemampuan menyesuaikan penampilan agar relevan dengan yang diharapkan orang dewasa, dan kemampuan mengenali nilai dan perilaku yang bertanggung jawab yang diharapkan oleh orang dewasa. Social cognition atau dapat kita sebut sebagai kognisi sosial mengacu kepada cara individu mengkonseptualkan dan menalar dunia sosial mereka. Hal ini diantaranya mencakup bagaimana individu berpikir mengenai cara mereka berelasi dengan orang lain, bagaimana orang-orang bertingkah laku, interaksi antar orang, interaksi individu dengan orang lain, dan partisipasi mereka dalam sebuah kelompok. Menurut kajian psikologi sosial, kognisi sosial dapat diartikan sebagai pemahaman mengenai diri di lingkungan, pemahaman mengenai lingkungan sosial yang ada di sekitar individu. Dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap lingkungan sosial, individu diharapkan dapat menampilkan/memainkan peran yang sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya. Peran individu tersebut dapat berbeda-beda dalam 1 seting sosial tertentu; dapat pula kompleks, dalam saat bersamaan bisa jadi berbagai peran menempel pada diri individu. Peran menuntut pemahaman, penguasaan diri dan lingkungan, rencana mengenai sikap dan perilaku yang hendak ditampilkan. Khusus pada remaja, pembahasan mengenai kognisi sosial biasanya dikaitkan dengan dua hal yakni adolescent egocentrismdan perspective taking. Perspective taking adalah kemampuan untuk memperkirakan perspektif orang lain (terhadap sesuatu hal) dan memahami pikiran dan perasaan orang lain (Lapsley&Murphy, 1985). Dengan tingginya perspective taking pada diri individu, artinya ia dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain pada konteks tertentu, dan dengan pemahaman itu individu menyusun/merencanakan perilaku yang tepat sebagai respon terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain yang ada di sekitarnya. Karenanya, dikaitkan dengan kognisi sosial sebagai pemahaman terhadap dunia sosial dan interaksi individu dengan lingkungannya, maka, individu yang memiliki pemahaman yang baik mengenai dunia sosialnya sudah pasti memiliki pemahaman yang baik mengenai pikiran dan perasaan orang lain di sekitarnya. Dengan pemahaman yang baik, ia dapat menampilkan respon perilaku yang tepat sesuai dengan yang diharapkan lingkungan. David Elkind (1976) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan social thinking, ada 2 pembagian egosentrisme remaja, yakni imagery audience dan personal fable. Remaja merasa ia selalu menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya, dimanapun ia berada, bahwa orang-orang selalu memperhatikan segala perilakunya; mereka merasa bahwa dirinya adalah aktor/aktris di panggung, dan orang-orang lain adalah penonton/audiensnya. Inilah yang dikenal dengan imagery audience. Konsep personal fable mengacu pada keyakinan remaja akan keunikan diri mereka (personal uniqeness) yang membuat mereka merasa tidak ada yang dapat memahami diri mereka, perasaan, dan pikiran mereka, selain diri mereka sendiri atau teman-teman sebaya yang cenderung memiliki pengalaman yang sama dengan mereka. Keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah adalah 3 lingkungan Utama yang sangat mempengaruhi remaja dalam bertingkah laku. Ketiga lingkungan ini merupakan tempat remaja belajar mengenai aturan dan norma yang berlaku di masyarakat, belajar mengenai perilaku yang dapat diterima dan perilaku yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Ketiga lingkungan ini pula yang akan mengajarkan kepada remaja bahwa ketika ia berperilaku A, lingkungan menyukai dirinya dan perilaku B tidak diharapkan oleh lingkungan. Dengan perilaku-perilaku itu kemudian remaja membentuk jati dirinya yang sesungguhnya. Pada fenomena berbusana atau gaya berpakaian, remaja lebih banyak mengeksplorasi dirinya. Ia mencoba berbagai gaya busana untuk kemudian menunggu respon yang ditampilkan oleh lingkungan. Kuatnya dorongan dalam diri remaja bahwa ia menarik dan layak diperhatikan oleh lingkungannya, menjadi indikasi bahwa perlu usaha untuk menyeimbangkan antara kebutuhan diperhatikan dengan perlunya memahami harapan lingkungan. Di sini, orang tua dan lingkungan keluarga, sebagai tempat anak mengenal, memahami, menerapkan nilai-nilai kehidupan memegang peranan penting. Sedianya, orangtua memberikan umpan balik terhadap gaya berbusana remaja dengan mengaitkannya terhadap harapan- harapan dari lingkungan sosial. Orangtua perlu terlebih dahulu mengenalkan arti berpakaian, peran yang dimiliki remaja (sebagai dirinya, sebagai anak, sebagai generasi muda, pelajar, dll), dan penilaian lingkungan terhadap dirinya dan gaya berpakaiannya, serta arti atau makna berada di tempat umum bersama orang lain. Orangtua perlu untuk mendengarkan gaya berbusana yang nyaman bagi sang remaja, arti model pakaian tertentu bagi dirinya dan kelompoknya, lalu berdiskusi bersama mengenai gaya berbusana yang tepat di berbagai seting atau tempat pertemuan. Remaja perlu dikenalkan dengan tugas-tugas perkembangannya dan diberikan contoh-contoh perilaku yang dapat dia tampilkan guna memenuhi tugas perkembangannya tersebut. Pendidikan dan relasi yang tepat antara orangtua dan anak adalah relasi yang menghargai satu sama lain, mencoba memahami kemauan, pikiran, perasaan remaja, relasi yang mau mendengarkan, relasi yang tidak banyak mengkritik dan menghakimi remaja, relasi dengan komunikasi yang terbuka, relasi yang membebaskan remaja untuk berpendapat dan berargumentasi. Al-qur’an Surat Al-A’raf: 26
ِي يَابن َم
َ َ د آدََا َق َنز َلن م أََُيك َلِبَاسًا ع ِي ل َار يوُ ُم َ ِيشًا سَوآت ِك َرۖو َ َُاس َ ِبَل َ و َىَّقو ََل ِكَ الت َ ذ َيرۚخ ََل َ َِك ذ ِن َ م َِات َ آي َّ ِاّلل َ ُم َ ََّلع َله َُون َّك َّر َذي Artinya : “Hai anak-cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan untuk kamu pakaian yang dapat menutupi aurat-auratmu dan untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat."