Anda di halaman 1dari 6

Nama : Septika Putri Anggraini

Nim : 20012621923003
Kelompok Sandang

Trend Fashion Terhadap Diri Manusia


Fashion merupakan istilah yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Kita
seringkali mengidentikkan fashion dengan busana atau pakaian, padahal
sebenarnya yang dikatakan fashion adalah segala sesuatu yang sedang tren dalam
masyarakat. Hal ini mencakup busana, selera makan, hiburan, barang-barang
konsumsi dan lain-lain. Menurut Alex Thio dalam bukunya, Sociology, “fashion is
a great though brief enthusiasm among relatively large number of people for a
particular innovation”. Jadi sebenarnya fashion bisa mencakup apa saja yang
diikuti oleh banyak orang dan menjadi tren. Fashion juga berkaitan dengan unsur
novelty atau kebaruan, oleh karena itu fashion cenderung berumur pendek dan dan
tidak bersifat kekal. Dan karena yang cenderung bergerak dan selalu berubah setip
saat adalah busana, maka fashion sering dikaitkan dengan busana, padahal selama
ada sesuatu yang baru tentang suatu artefak yang melibatkan kesenangan banyak
orang, itu bisa menjadi fashion (Thio, 1989: 582). “Fashion terutama busana,
merupakan sisi kehidupan masyarakat yang saat ini sedemikian penting sebagai
salah satu indikator bagi muncul dan berkembangnya gaya hidup (life style)”
(Featherstone, 2001: 197). Fashion merupakan sesuatu yang sering disinonimkan
dengan busana, padahal pengertian sesungguhnya fashion bisa mencakup segala
sesuatu yang berkaitan dengan adornment, style maupun dress. Media massa
memberikan andil yang tidak sedikit bagi berkembangnya tren busana yang
kemudian diikuti oleh sebagian besar perempuan yang ingin tampil trendi dan
modis. Dengan adanya media, masyarakat menyamakan cara berpakaian mereka
seperti apa yang dikenakan idolanya masing-masing. Hal ini terbukti bahwa apa
saja sekarang menjadi pusat perhatian di media-media dan dijadikan acuan oleh
masyarakat. Fashion sebagai ekspresi diri dan komunikasi dari pemakainya
memberikan implikasi bagi penggunaan fashion dalam kaitannya dengan
bagaimana orang mengkomunikasikan nilai, status, kepribadian, identitas, dan
perasaan kepada orang lain. Ciri dan identitas pribadi menjadi sesuatu yang sangat
penting untuk ditunjukkan ketika kita hidup dalam masyarakat, dimana
individualitas menjadi tolak ukur penilaian dalam sebuah hubungan maupun
interaksi. Karena fashion bisa mengekspresikan sesuatu yang tidak terucap secara
verbal inilah, maka fashion juga seringkali digunakan untuk menunjukkan identitas
personal dari individu yang bersangkutan. Hanya dengan mengenakan jenis pakaian
tertentu maka, orang lain akan bisa menilai kepribadian dan citra dirinya. Sementara
itu, diantara para perempuan, pada tataran usia remajalah mereka cenderung lebih
terpengaruh oleh perkembangan fashion. Mereka yang cenderung masih belum
stabil, selalu mencoba hal-hal baru, ingin selalu menonjolkan diri terutama di mata
lawan jenisnya. Fashion memang identik dengan perempuan, hal ini sudah menjadi
common knowledge yang hampir semua orang mengakuinya. Diantara perempuan-
perempuan, mulai dari kecil, remaja, hingga dewasa dan tua, maka pada tataran
remajalah demam fashion begitu berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya
dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat
disekitarnya. Adapun pengertian lain, gaya hidup adalah suatu seni yang
dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan
perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin
canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup
oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat
memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya.
Dewasa ini, gaya hidup sering disalah gunakan oleh sebagian besar remaja.
Apalagi para remaja yang berada dalam kota Metropolitan. Mereka cenderung
bergaya hidup dengan mengikuti mode masa kini. Tentu saja, mode yang mereka
tiru adalah mode dari orang barat. Jika mereka dapat memfilter dengan baik dan
tepat, maka pengaruhnya juga akan positif. Namun sebaliknya, jika tidak pintar
dalam memflter mode dari orang barat tersebut, maka akan berpengaruh negatif
bagi mereka sendiri. Salah satu contoh gaya hidup para remaja yang mengikuti
mode orang barat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah berpakaian. Masalah
berpakaian para remaja masa kini selalu dikaitkan dengan perkembangan zaman
dan teknologi. Karena, sebagian remaja Indonesia khususnya, dalam berpakaian
selalu mengkuti mode yang berlaku. Bahkan yang lebih menyedihkan, di stasiun-
stasiun TV banyak ditampilkan contoh gaya hidup dalam berpakaian para remaja
yang mengikuti mode orang barat. Otomatis bukan hanya remaja Metropolitan saja
yang mengikuti mode tersebut, tetapi juga orang-orang yang berada dalam
perkampungan atau pedalaman.
Salah satu pakar psikologi perkembangan Elizabeth B. Hurlock (1980)
menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang secara
seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa secara hukum. Masa remaja
terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja
awal dimulai pada saat anak-anak mulai matang secara seksual yaitu pada usia 13
sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir meliputi periode setelahnya
sampai dengan 18 tahun.
Erik Erikson mengungkapkan krisis pada masa remaja yakni identity vs
identity diffusion. Pada masa remaja, individu berupaya mengeksplorasi diri dan
lingkungannya untuk kemudian membentuk jati dirinya yang sesungguhnya (who
they are, what they are all about, and where they are going in life) yang akan terus
melekat sepanjang kehidupannya. Pengenalan dan eksplorasi terhadap diri dan
lingkungan ini ditujukan untuk mengetahui respon-respon lingkungan terhadap
dirinya pada saat remaja menampilkan perilaku dan peran-peran tertentu. Respon-
respon ini yang pada akhirnya membentuk suatu pemahaman pada remaja
mengenai hal yang diharapkan lingkungan pada dirinya dan hal yang tidak
diharapkan. Karenanya, untuk mengetahui berbagai respon dari sekelilingnya,
remaja seringkali menampilkan berbagai macam perilaku dalam waktu yang
cenderung berdekatan. Kemauan dan pilihannya terhadap hobi, bidang tertentu,
permainan, seni, berbusana, grup musik, dan lainnya dengan mudah dapat berubah-
ubah.
Yang perlu diperhatikan adalah eksplorasi perilaku dan peran yang
dilakukan oleh remaja berkaitan dengan peran seperti apa yang diharapkan dari diri
mereka, karena mereka memahami bahwa mereka bukan lagi kanak-kanak namun
belum pula dapat disebut sebagai orang dewasa yang utuh. Karenanya, peran-peran
yang diharapkan oleh lingkungan adalah peran orang dewasa yang dipelajari oleh
remaja secara bertahap, dan mereka diharapkan mulai meninggalkan perilaku yang
biasa ditampilkannya di masa kanak-kanak.
Di sisi lain, kegagalan dalam membentuk jati diri akan membuat individu
tidak memiliki identitas yang pasti/jelas, yang muncul dalam ketidakmampuan
merumuskan ‘saya adalah…’, yakni individu tidak mengenali kekhasan dirinya,
kelebihan dan kekurangannya, kebutuhannya, dan ciri lain dari dirinya sendiri.
Kegagalan ini diawali dengan ketidakmampuan individu remaja memahami
harapan-harapan lingkungan dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya
memainkan berbagai peran yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya.
Gaya berbusana remaja akan berkaitan dengan penerimaan dirinya akan
perubahan kondisi fisik yang dialami, kemampuan menyesuaikan penampilan agar
relevan dengan yang diharapkan orang dewasa, dan kemampuan mengenali nilai
dan perilaku yang bertanggung jawab yang diharapkan oleh orang dewasa.
Social cognition atau dapat kita sebut sebagai kognisi sosial mengacu
kepada cara individu mengkonseptualkan dan menalar dunia sosial mereka. Hal ini
diantaranya mencakup bagaimana individu berpikir mengenai cara mereka berelasi
dengan orang lain, bagaimana orang-orang bertingkah laku, interaksi antar orang,
interaksi individu dengan orang lain, dan partisipasi mereka dalam sebuah
kelompok. Menurut kajian psikologi sosial, kognisi sosial dapat diartikan sebagai
pemahaman mengenai diri di lingkungan, pemahaman mengenai lingkungan sosial
yang ada di sekitar individu. Dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap
lingkungan sosial, individu diharapkan dapat menampilkan/memainkan peran yang
sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya. Peran individu tersebut dapat
berbeda-beda dalam 1 seting sosial tertentu; dapat pula kompleks, dalam saat
bersamaan bisa jadi berbagai peran menempel pada diri individu. Peran menuntut
pemahaman, penguasaan diri dan lingkungan, rencana mengenai sikap dan perilaku
yang hendak ditampilkan.
Khusus pada remaja, pembahasan mengenai kognisi sosial biasanya
dikaitkan dengan dua hal yakni adolescent egocentrismdan perspective
taking. Perspective taking adalah kemampuan untuk memperkirakan perspektif
orang lain (terhadap sesuatu hal) dan memahami pikiran dan perasaan orang lain
(Lapsley&Murphy, 1985). Dengan tingginya perspective taking pada diri individu,
artinya ia dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain pada konteks tertentu,
dan dengan pemahaman itu individu menyusun/merencanakan perilaku yang tepat
sebagai respon terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain yang ada di
sekitarnya. Karenanya, dikaitkan dengan kognisi sosial sebagai pemahaman
terhadap dunia sosial dan interaksi individu dengan lingkungannya, maka, individu
yang memiliki pemahaman yang baik mengenai dunia sosialnya sudah pasti
memiliki pemahaman yang baik mengenai pikiran dan perasaan orang lain di
sekitarnya. Dengan pemahaman yang baik, ia dapat menampilkan respon perilaku
yang tepat sesuai dengan yang diharapkan lingkungan.
David Elkind (1976) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan social
thinking, ada 2 pembagian egosentrisme remaja, yakni imagery
audience dan personal fable. Remaja merasa ia selalu menjadi pusat perhatian
orang-orang di sekitarnya, dimanapun ia berada, bahwa orang-orang selalu
memperhatikan segala perilakunya; mereka merasa bahwa dirinya adalah
aktor/aktris di panggung, dan orang-orang lain adalah penonton/audiensnya. Inilah
yang dikenal dengan imagery audience. Konsep personal fable mengacu pada
keyakinan remaja akan keunikan diri mereka (personal uniqeness) yang membuat
mereka merasa tidak ada yang dapat memahami diri mereka, perasaan, dan pikiran
mereka, selain diri mereka sendiri atau teman-teman sebaya yang cenderung
memiliki pengalaman yang sama dengan mereka.
Keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah adalah 3 lingkungan
Utama yang sangat mempengaruhi remaja dalam bertingkah laku. Ketiga
lingkungan ini merupakan tempat remaja belajar mengenai aturan dan norma yang
berlaku di masyarakat, belajar mengenai perilaku yang dapat diterima dan perilaku
yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Ketiga lingkungan ini pula yang
akan mengajarkan kepada remaja bahwa ketika ia berperilaku A, lingkungan
menyukai dirinya dan perilaku B tidak diharapkan oleh lingkungan. Dengan
perilaku-perilaku itu kemudian remaja membentuk jati dirinya yang sesungguhnya.
Pada fenomena berbusana atau gaya berpakaian, remaja lebih banyak
mengeksplorasi dirinya. Ia mencoba berbagai gaya busana untuk kemudian
menunggu respon yang ditampilkan oleh lingkungan. Kuatnya dorongan dalam diri
remaja bahwa ia menarik dan layak diperhatikan oleh lingkungannya, menjadi
indikasi bahwa perlu usaha untuk menyeimbangkan antara kebutuhan diperhatikan
dengan perlunya memahami harapan lingkungan. Di sini, orang tua dan lingkungan
keluarga, sebagai tempat anak mengenal, memahami, menerapkan nilai-nilai
kehidupan memegang peranan penting. Sedianya, orangtua memberikan umpan
balik terhadap gaya berbusana remaja dengan mengaitkannya terhadap harapan-
harapan dari lingkungan sosial. Orangtua perlu terlebih dahulu mengenalkan arti
berpakaian, peran yang dimiliki remaja (sebagai dirinya, sebagai anak, sebagai
generasi muda, pelajar, dll), dan penilaian lingkungan terhadap dirinya dan gaya
berpakaiannya, serta arti atau makna berada di tempat umum bersama orang lain.
Orangtua perlu untuk mendengarkan gaya berbusana yang nyaman bagi sang
remaja, arti model pakaian tertentu bagi dirinya dan kelompoknya, lalu berdiskusi
bersama mengenai gaya berbusana yang tepat di berbagai seting atau tempat
pertemuan. Remaja perlu dikenalkan dengan tugas-tugas perkembangannya dan
diberikan contoh-contoh perilaku yang dapat dia tampilkan guna memenuhi tugas
perkembangannya tersebut. Pendidikan dan relasi yang tepat antara orangtua dan
anak adalah relasi yang menghargai satu sama lain, mencoba memahami kemauan,
pikiran, perasaan remaja, relasi yang mau mendengarkan, relasi yang tidak banyak
mengkritik dan menghakimi remaja, relasi dengan komunikasi yang terbuka, relasi
yang membebaskan remaja untuk berpendapat dan berargumentasi.
Al-qur’an Surat Al-A’raf: 26

‫ِي يَا‬‫بن‬ ‫َم‬


َ َ ‫د آد‬َ‫َا َق‬ ‫َنز‬
‫َلن‬ ‫م أ‬َُ‫َيك‬
‫َل‬‫ِبَاسًا ع‬
‫ِي ل‬ ‫َار‬
‫يو‬ُ
‫ُم‬
َ ‫ِيشًا سَوآت‬
‫ِك‬ ‫َر‬‫ۖو‬
َ ُ‫َاس‬
َ ‫ِب‬‫َل‬
‫َ و‬
‫َى‬‫َّقو‬ َ‫َل‬
‫ِكَ الت‬ ‫َ ذ‬ ‫َير‬‫ۚخ‬ َ‫َل‬
َ َ‫ِك‬ ‫ذ‬
‫ِن‬
َ ‫م‬ ِ‫َات‬
َ ‫آي‬ َّ
ِ‫اّلل‬
َ ‫ُم‬
َ َّ‫َلع‬
‫َله‬ َ‫ُون‬ ‫َّك‬
‫َّر‬ ‫َذ‬‫ي‬
Artinya :
“Hai anak-cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan untuk kamu
pakaian yang dapat menutupi aurat-auratmu dan untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat."

Anda mungkin juga menyukai