Anda di halaman 1dari 33

PORTOFOLIO

Demam typoid

Presentan
dr. Nina Bonita

Pendamping
dr. Yulfi Aneta

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD PARIAMAN
2018-2019

1
PORTOFOLIO KASUS DEMAM TIFOID

Nama Peserta : dr. Nina Bonita


Nama Wahana : RSUD PARIAMAN
Nama Pasien : Ny. M
Tanggal Presentasi : oktober 2019
Nama Pendamping : dr. Yulfi Aneta
Tempat Presentasi : RSUD PARIAMAN
Objektif Presentasi : Keilmuan
Bahan Bahasan : Kasus
Cara Membahas : Presentasi dan diskusi

2
Borang Portofolio Kasus Medikal

3
BAB 1

Topik: Demam Typoid

Tanggal (kasus): 2019 Presenter : dr. Nina Bonita


Oktober
Tanggal Presentasi: Pendamping : Dr. Yulfi Aneta
2019
Tempat Presentasi: RSUD PARIAMAN
Objektif Presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
R □
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Bumil
Dewasa Lansia

Laki laki ,23 tahun ,demam kurang lebih sejak 10 hari yang lalu naik
Deskripsi
turun SMRS

Mengenali, melakukan penegakan diagnosis, dan pengobatan pada OS


Tujuan
Hipertensi Emergensi

Bahan □Tinjauan
□ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan : Pustaka

Cara Membahas □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Diskusi
Data OS : Nama : Tn. A, 23 tahun No. Registrasi :
Nama RS : RSUD PARIAMAN Telp : - Terdaftar sejak : 2019

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan kondisi yang paling umum ditemukan dalam praktik


pelayanan primer. Pada tahun 2010 terdapat 40% orang dewasa berusia 25 tahun
ke atas yang tersebar di seluruh dunia, didiagnosis dengan hipertensi. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya usia maka jumlah pasien
dengan hipertensi juga akan semakin bertambah, dimana baik hipertensi sistolik
maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari
separuh orang yang berusia >65 tahun.1,2
Sebagian besar krisis hipertensi terjadi pada hipertensi esensial. Kira – kira
1% penderita hipertensi akan menjadi maligna. Insiden krisis hipertensi menurun
dengan ditemukannya obat antihipertensi yang efektif dan kombinasi pengobatan
dengan antihipertensi baru.3

2
Krisis hipertensi adalah suatu kondisi klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadinya kelainan organ target. Krisi hipertensi dibagi menjadi hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi.2
Peningkatan prevalensi hipertensi dipengaruhi oleh pertumbuhan
populasi, usia, serta perilaku sebagai faktor risiko seperti diet tidak sehat,
penggunaan alkohol yang membahayakan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan
yang berlebiha dan paparan terhadap stress secara persisten. 1 Tingginya tekanan
pada pembuluh darah menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dalam
usahanya untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Apabila kondisi ini tidak
diatasi maka hipertensi dapat menuju pada serangan jantung, pembesaran jantung
dan pada akhirnya kegagalan jantung. Tingginya tekanan pembuluh darah dapat
juga menyebabkan darah bocor ke dalam otak, menjadi stroke. Hipertensi juga
dapat menyebabkan kegagalan ginjal, kebutaan, ruptur tekanan darah, dan
gangguan kognitif.1 Data mengenai hipertensi krisis di Indonesia masih belum
banyak diteliti, namun studi Multinational Monitoring of Trends and
Determinants in Cardiovacular Disease (Monica) yang dilakukan di Jakarta pada
tahun 1988 menempatkan hipertensi sebagai faktor risiko utama kejadian
kardiovaskular. Meskipun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, para
kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis Hipertensi, sebab penderita yang
jatuh dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak
ditanggulangi dengan cepat dan tepat.

3
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari
130 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 80 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat
(tenang).1
Krisis hipertensi adalah suatu kondisi klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadinya kelainan organ target. Krisi hipertensi dibagi menjadi ;
A. Hipertensi Urgensi
Hipertensi urgensi adalah hipertensi berat dengan tekanan darah
> 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran.
B. Hipertensi Emergensi
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah lebih dari
180/120mmHg yang diikuti dengan kerusakan pada organ target. 2

2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya usia maka
jumlah pasien dengan hipertensi juga akan semakin bertambah, dimana baik
hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolic sering
timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun.3
Sebagian besar krisis hipertensi terjadi pada hipertensi esensial. Kira – kira
1% penderita hipertensi akan menjadi maligna. Angka ini menjadi lebih rendah
lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena ditemukannya obat antihipertensi yang
efektif dan kombinasi pengobatan dengan antihipertensi baru dengan maintance
drug therapy.

5
2.3 Faktor-faktor Risiko Hipertensi
Faktor risiko terjadinya hipertensi antara lain: 3
1. Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada
laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita
meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
2. Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul
pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika
Hispanik.
3. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada
wanita.
4. Kebiasaan Gaya Hidup Tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain
minum minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.
 Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap
rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil
dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di
otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk
melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan
pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan darah yang lebih tinggi.
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan
tekanan darah karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh
darah. Kandungan bahan kimia dalam tembakau juga dapat
merusak dinding pembuluh darah.
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan
ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan
darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk

6
memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan
tubuh lainnya.
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan
ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan
darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk
memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan
tubuh lainnya.
 Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan
darah. Pada orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi.
Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa
darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding
arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan
kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik juga dapat
meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan
menyebabkan risiko hipertensi meningkat.

Faktor predisposisi terjadinya krisis hipertensi adalah


1. Hipertensi yang tidak terkontrol
2. Hipertensi yang tidak diobati atau penderita yang minum obat MAO
inhibitor, dekongestan, kokain.
3. Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi krosis esensial
4. Hipertensi renovaskular
5. Glumerulonefritis akut
6. Eklampsia
7. Feokromositoma
8. Sindrom putus obat antihipertensi.
9. Trauma kepala berat

7
2.4 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 %
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek
dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor
yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polisitemia.3
2. Hipertensi sekunder. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan lain-lain.3

2.5 Patofisiologi Krisis Hipertensi


Menurut JNC 8 hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah
lebih atau sama dengan 130/80mmHg. Krisis hipertensi dibagi menjadi hipertensi
urgensi dan emergensi. Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah lebih
dari 180/120mmHg pada keadaan yang stabil tanpa kerusakan pada organ target.
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah lebih dari 180/120mmHg
yang diikuti dengan kerusakan pada organ target.2
Tekanan darah adalah tekanan yang terbentuk saat darah bersirkulasi
dalam pembuluh darah arteri yang dinyatakan dalam satuan mmHg. Tekanan
darah adalah hasil dari pengalian curah jantung (Cardiac Output) dengan total
tahanan perifer (Total Peripheral Resistance). Faktor yang mempengaruhi
timbulnya tekanan darah tinggi adalah sistem hormonal (renin-angiotensin-
aldosterone system), neuronal dan sistem autoregulasi.4
Autoregulasi adalah kemampuan intrinsik dari suatu organ (otak, jantung,
dan ginjal) untuk memelihara aliran darah menjadi konstan disamping terjadinya
perubahan tekanan perfusi (tekanan arteri-tekanan vena). Ketika tekanan perfusi
menurun pada suatu organ, maka aliran darah akan mulai turun tetapi akan

8
kembali normal beberapa menit kemudian. Respon autoregulasi ini terjadi karna
adanya pengaruh sistem hormonal dan neural. Autoregulasi secara normal terjadi
sebagai respon dari hipoperfusi pada otak, jantung dan ginjal. Ketika sistem
aurotegulasi ini tidak berfungsi maka dapat menyebabkan krisis hipertensi.4
Patofisiologi dari hipertensi emergensi hingga saat ini masih sulit
dipahami. Beberapa studi menyebutkan bahwa kegagalan autoregulasi normal dan
peningkatan mendadak tahanan sistemik pembuluh darah / Systemic Vascular
Resistance (SVR). Peningkatan SVR terjadi karna pelepasan hormon
vasokonstriktor dari dinding pembuluh darah yang meregang. Peningkatan
tekanan pada pembuluh darah dimulai oleh kerusakan endotel, pengaktifan
intravaskular dari proses pembekuan, nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah kecil
dan pelepasan vasokonstriktor. Jika proses ini tidak berhenti, akan terjadi
kerusakan pembuluh darah terus menerus, iskemik pada jaringan dan disfungsi
autoregulasi.4
Krisis hipertensi adalah keadaan darurat yang dikarenakan peningkatan
tekanan darah yang berat. Sebelumnya dikatakan bahwa kenaikan tekanan darah
seperti ini dikarenakan konsekuensi dari tatalaksana tekanan darah tinggi yang
tidak adekuat. Saat ini krisis hipertensi lebih sering disebabkan karna gangguan
hemodinamik secara akut yang tumpang tindih dengan keadaan hipertensi kronik.
Pada akhirnya terjadi perubahan patologik (nekrosis fibrinoid) pada pembuluh
darah dan ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah. Penambahan volume
dan vasokonstriksi terjadi karna perfusi ginjal yang turun dan meningkatnya
serum renin dan angiotensin.5
Keadaan naiknya tekanan darah yang berat ini menyebabkan tingginya
tekanan intrakranial yang menyebabkan pasien mengalami hipertensi ensefalopati
yang menimbulkan gejala sakit kepala, penglihatan kabur, pusing, penurunan
kesadaran dari somnolen hingga koma. Ketika hipertensi menyebabkan
kerusakan akut hingga mengenai pembuluh darah retina maka akan menyebabkan
terjadinya accelerated malignant hypertension. Krisis hipertensi juga
menyebabkan tingginya peningkatan beban pada ventrikel kiri yang dapat
menimbulkan angina bahkan udem pulmonal.5

9
A. Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
Ketika terjadi hipertensi emergensi, ventrikel kiri tidak dapat
mengkompensasi untuk peningkatan SVR secara akut. Hal ini
menyebabkan gagal jantung ventrikel kiri dan udem pulmonal atau
iskemik miokard. 4

B. Hipertensi dan penyakit neurovaskular


Autoregulasi pada otak adalah kemampuan pembuluh darah otak untuk
mempertahankan aliran darah otak saat terjadi perubahan tekanan perfusi.
Peningkatan tekanan darah yang tinggi secara mendadak menyebabkan
hiperperfusi dan meningkatnya aliran darah yang menyebabkan
peningkatan intrakranial dan edem serebral. 4

C. Hipertensi dan penyakit ginjal


Ketika hipertensi terjadi maka arteri renal akan mengalami disfungsi
endotel dan gangguan vasodilatasi yang pada ankhirnya mengubah
autoregulasi ginjal. Ketika terjadi kerusakan autoregulasi pada ginjal,
tekanan intraglomerular akan mulai mengubah tekanan arteri sistemik
yang menyebabkan tidak adanya perlindungan terhadap ginjal selama
terjadi fluktuasi tekanan darah. Saat terjadi krisis hipertensi maka akan
terjadi gagal ginjal akut.4
2.6 Manifestasi Klinis Krisis Hipertensi
A. Hipertensi Urgensi
Tidak ada tanda kerusakan organ target. 4
Gejala:
 Sakit kepala
 Pernapasan cepat dan pendek
 Epistaxis
B. Hipertensi Emergensi
Terdapat tanda kerusakan organ target.4
A) Kardiak
1. Diseksi aorta
2. Gagal jantung
3. Udem paru akut
4. Iskemik miokard
B) Renal
1. Gagal ginjal akut
2. Hematuria
C) Neurologik
1. Perdarahran intraserebral
2. Sakit kepala
3. Pusing

10
4. Kehilangan penglihatan
5. Hipertensi ensefalopati
D) Oftalmik
1. Retinopati

2.7 Diagnosis Krisis Hipertensi


Diagnosis krisis hipertensi dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan fisik, dan identifikasi faktor resiko
penyakit kardiovaskular. Setelah diagnosis ditegakkan krisis hipertensi harus di
tatalaksana secepat mungkin, setelah itu baru telusuri penyebab krisis hipertensi.
2.7.1 Anamnesis
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ
target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien.
Sakit kepala, perubahan tingkat kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa
terjadi pada pasien dengan hipertensi ensefalopati, atau bahkan tanpa gejala
(asimptomatik). Perlu pula ditanyakan tekanan darah sebelumnya, riwayat
konsumsi obat-obatan anti hipertensi ataupun obat-obatan yang mempengaruhi
tekanan darah seperti NSAID, simpatomimetik, estrogen, dan lainnya.6
Riwayat risiko juga perlu ditemukan diantaranya riwayat penyakit dahulu
atau riwayat keluarga dengan hipertensi, CKD, diabetes mellitus, dyslipidemia,
stroke, penyakit jantung koroner (sebelum usia 55 tahun pada laki-laki usia
sebelum 65 tahun pada perempuan). Gaya hidup yang tidak sehat seperti
merokok, diet, obesitas, aktifitas fisik yang kurang dan alkohol.6
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat
dan tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua
lengan, dan dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri sehingga dapat
mengevaluasi hipotensi postural. Pasien yang berusia kurang dari 30 tahun
sebaiknya juga diukur tekanan arterinya di ekstremitas bawah, setidaknya satu
kali. Laju nadi juga dicatat.7
Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian
terhadap tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya distensi vena.
Pemeriksaan pembuluh darah dapat menggambarkan penyakit pembuluh darah
dan sebaiknya mencakup funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit pada arteri

11
karotis dan arteri femoralis serta palpasi pada pulsasi femoralis dan kaki. Retina
merupakan jaringan yang arteri dan arteriolnya dapat diperiksa secara langsung.
Seiring dengan peningkatan derajat beratnya hipertensi dan penyakit
aterosklerosis, terjadi perubahan progresif pada pemeriksaan funduskopi, yaitu
adanya peningkatan refleks cahaya arteriol, defek pertukaran arteriovenosus,
hemoragik, eksudat, dann pada pasien dengan hipertensi maligna dapat ditemukan
papiledema.7
Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju dan
ritme jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi jantung
ketiga dan keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis
yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat ditemukan rhonki
basah halus dan tanda bronkospase. Pemeriksaan abdomen untuk menemukan
adanya bruit renal atau abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta
yang abnormal. Bruit abdomen, khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar
sepanjang sistol ke diastol, meningkatkan kemungkinan adanya hipertensi
renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan pada ekstremitas untuk mengevaluasi
edema atau hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan fisik sebaiknya termasuk
pemeriksaan saraf.7,8
Cara pemeriksaan tekanan darah9
a) Pengukuran tekanan darah yang umum dilakukan menggunakan alat tensi
meter yang dipasang/dihubungkan pada lengan pasien dalam keadaan
duduk bersandar, berdiri atau tiduran. Penurunan lengan dari posisi hampir
mendatar (setinggi jantung) ke posisi hampir vertikal dapat menghasilkan
kenaikan pembacaan dari kedua tekanan darah sistolik dan diastolik.
a) Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan
darah dapat dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat
selama 5 menit. Bila perlu dapat dilakukan dua kali pengukuran dengan
selang waktu 5 sampai 20 menit pada sisi kanan dan kiri. Ukuran manset
dapat mempengaruhi hasil.
b) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya
harus dapat melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di
atas daerah lipatan lengan atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.

12
c) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-
lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik
dicatat pada saat terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan
tekanan diastolik dicatat pada bunyi yang kelima (Korotkoff V).
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa : Darah perifer
lengkap, albuminuria dan proteinuria, glukosa, profil lipid dan ureum
kreatinin.
b. EKG
EKG dapat dilakukan untuk mendeteksi atrial fibrilasi, RVH/LVH, dan
penyakit jantung iskemik.
c. Funduskopi

Gambar 1. Papiledema
d. Rontgen thorax/ CT Scan/ Brain CT Scan/ Ekokardiografi dapat
dilakukan jika kecurigaan adanya penyakit jantung. Foto thorax, EKG
dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien
dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan neurologis. Pada
keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan
ekokardiografi perlu dilakukan.6,10
Kemampuan membedakan antara hipertensi emergensi dan urgensi harus
dapat dilakukan dengan cepat dan segera agar dalam penatalaksaan
tidak terlambat yang berakibat peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien.8 Catatan riwayat penyakit harus dilaporan untuk mengetahui kegawatan
hipertensi, obat – obatan yang diminum terakhir. Riwayat penyakit yang
menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi.
Tanda– tanda neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala dan kejang.8

13
Pemeriksaan laboratorium seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa
harus disertakan pada pasien hipertensi krisis.10

Gambar 2 Algoritma Diagnosis Hipertensi11

14
Gambar 3 Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan Krisis Hipertensi1

15
2.8 Terapi

2.8.1 Non farmakologis


1. Mengurangi Berat badan
Studi menunjukkan bahwa obesitas dan hipertensi menjadi sangat
berhubungan terutama pada obesitas sentral. Mengganti makanan tidak
sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat
memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti
menghindari diabetes dan dislipidemia.5
2. Mengurangi asupan garam.
Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan
tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak
menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng,
daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien
hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/
hari. 5

16
3. Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60
menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan
darah dan berat badan. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas
rutin mereka di tempat kerjanya. 5
4. Mengurangi konsumsi alkohol.
Konsumsi alKohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita,
namun konsumsi alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan
perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.
Konsumsi alKohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per
hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian
membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam
penurunan tekanan darah. 5
5. Berhenti merokok.
Nikotin pada rokok dapat mempengaruhi pada ganglia autonomi dan
berefek juga pada hipertensi renovaskular karena efek atregonik pada
pembuluh darah. 5

2.8.2 Farmakologis
Dalam penatalaksaan kegawatan hipertensi dua hal penting perlu
dipertimbangkan yaitu berapa cepat dan berapa rendah tekanan darah harus
diturunkan. Pemilihan obat bergantung pada situasi klinis. Pada prinsipnya, obat
yang dipakai dalam penanganan hipertensi emergensi harus memiliki onset kerja
cepat, mudah dititrasi, aman, tidak mahal, dan nyaman bagi pasien.
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi
cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
(Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Pada fase

17
awal goal standar penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110
1,6
mmHg.

Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral mauun oral bukan tanpa


resiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-
hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
[1,6]
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

B. Obat – obatan spesifik untuk hipertensi urgensi


Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor dengan onset mulai 15 – 30 menit. Captopril dapat diberikan 25
mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50 – 100 mg setelah
90 – 120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan
[6]
stenosis pada arteri renal bilateral).


Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada psien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap
penggunaan nicardipin atau plasebo. Nicardipin memiliki efektifitas yang
mencapai 65% dibandingkan plasebo yang mencapai 22% (P=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam
hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering
[6]
terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.


Labetolol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerja mulai antara 1 – 2 jam. Dalam penelitian labetolol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam
penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap group ada
yang diberikan dosis 100, 200 dan 300 mg secara oral dan menghasilkan
penurunan tekan darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum
labetolol dapat diberikan mulai dari dosi 200 mg secara oral dan dapat

18
diulangi setiap 3 – 4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul
[6]
adalah mual dan sakit kepala.

Clonidin adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergic
receptor agonist) yang memiliki onset kerja antara 15 – 30 menit dan
puncaknya antara 2 – 4 jam. Doasi awal bisa diberikan 0,1 – 0,2 mg
kemudian berikan 0,05 – 0,1 setiap jam sampai tercapainya tekanan darah
yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. efek samping yang sering
[6]
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.

Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak
kerja antara 10 – 20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh
FDA untuk terapi hipertensi urgensi kerana dapat menurunkan tekanan
darah yang mendadak dan tidak dapat diperidisikan sehingga berhungan
dengan kejadian strok. Pada tahun 1995 National Heart, Lung, and Blood
Institute meninjau kembali bukti keamanan tentang penggunaan obat
golongan Ca channel blocker terutama nifedipine kerja cepat harus
digunakan secara hati-hati terutama pada penggunaan dosis besar untuk
[6]
terapi hipertensi.
2.Hipertensi Emergensi

A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung
pada kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-
obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan
ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat.
Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan
Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam
berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
[6]
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi

19

Neurologic emergency. Kegawat daruratan neurologi sering terjadi pada
hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan strok iskemik akut. American Heart Association
merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hepertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan strok iskemik tekanan darah harus
dipantau secara hati-hati 1 – 2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan
darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahakan
[6]
> 130 mmHg.

Cardiac emergency. Kegawat daruratan yang utama pada jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan
hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat
diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa
nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner.
Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol
dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat
dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan
tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekan darah yang
[6]
diinginkan (TD sistolik > 120 mmHg) dalam waktu 20 menit.

Kidney failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih
kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat.
Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari petensi keracunan
[6]
sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena
pengaruh obat – obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis.
Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau
klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang – orang

20
dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol
dengan pemberian sodium nitroprussid (vasodilator arteri) atau phentolamine
IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai
tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang
dicetuskan oleh klonidin terapi yang terbaik adalah dengan memberikan
kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan
[6]
anti-hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
Gambar 4 Obat – obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi
[6]
emergensi.

2.8.3 Prognosis
Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi yang efektif harapan hidup
penderita hipertensi maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab kematian
[11]
tersering adalah strok, gagal ginjal dan gagal jantung. Kematian disebabkan
oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular
accident(20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infark miokard

21
(1%) dan diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya
[5]
obat yang efektif dan penanggulangan yang tepat pada dekade terakhir.

22
BAB 3
LAPORAN KASUS

Nama : Ny. Murni


Usia : 59 tahun
Tanggal masuk : 24 Juni 2019

Keluhan Utama:

 Pandangan kabur sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit Sekarang

 Pandangan kabur sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit pada kedua
mata

 Mual(+) muntah (-)

 Nyeri kepala (-) riwayat trauma pada kepala sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat HT (+) tidak terkontrol

 Riwayat stroke (+) os pernah dirawat di RS dengan keluhan lemah


keempat anggota gerak, dominan anggota gerak kanan

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat HT, DM, jantung, stroke pada keluarga disangkal

Objektif :

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis. GCS 15
Tekanan darah : 182/105 mmHg.

23
Nadi : 59 kali / menit.
Suhu : 37.5oC
Pernapasan : 20 kali / menit.
Berat badan : 69 kg
Status Generalisata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-). Gerak bola
mata ke kanan terbatas
Leher : Tidak ditemukan kelainan, JVP 5-0 cm
Thoraks
o Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, dalam keadaan statis dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler di kedua lapangan paru, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-).
o Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat.
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS.
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : Tidak ditemukan kelainan.
Palpasi : Distensi tidak ada, hepar dan lien dalam batas normal
Perkusi : timpani.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, edema (-/-),
tidak terdapat lateralisasi
Laboratorium
Hb : 15,3 gr/dl
Leukosit : 13000 /mm3
Trombosit : 489.000 /mm
Hematokrit : 44,6 %

24
GDR : 84
Urinalisa :
Warna : kuning urobilinogen : (-)
Kekeruhan : jernih bilirubin : (-)
Berat jenis : 1.015 nitrit : (-)
pH : 6.0 leukosit : (-)
protein : (-) eritrosit : (-)
glukosa : (-)
EKG

Sinus rhythm, gelombang P normal, tidak terdapat gelombang Q patologis,


gelombang QRS normal, ST change (+), gambaran t inverted pada V3,V4,V5,V6
Assesment
Diagnosis Kerja : Krisis Hipertensi
Plan

 IVFD RL 8 jam/kolf
 Drip Nicardipine 1 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % (syiringe pump) mulai
10cc/jam
 Titrasi naik setiap 15 menit 2,5 cc/jam
 Target 1-2 jam pertama MAP turun 20-25 %, jika melebihi MAP
dosis dinaikan, jika MAP tercapai pertahankan dosis
 Aspilet 1x80 mg
 Paracetamol 3x500 mg
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Injeksi ranitidine 2x1 amp
 MLDL RG
 Cek enzim jantung

25
 Rawat bagian penyakit dalam
Follow up rawatan
Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana
25/6/2019 S/ - Target MAP 1-2 jam
01.55 keluhan tidak ada
turun 20-25 % sekitar
O/
KU : sedang 115,46-108,24
KSD : CMC - Lanjutkan terapi :
TD : 215/109 - Drip Nicardipin sesuai
HR : 90x
protap
RR : 20x
- IVFD RL 8 jam/kolf
MAP = sistol + 2(diastol)
- Aspilet 1x80 mg
3
- Paracetamol 3x500 mg
MAP = 144,33
- Injeksi ceftriaxone 2x1
A/ Krisis Hipertensi
gr
25/6/2019 S/ - Injeksi Ranitidin 2x1
03.00 keluhan tidak ada
amp
O/
- Pertahankan TD, jika
KU : sedang
KSD : CMC TD turun dosis
TD : 122/70
nicardipin turun (titrasi
HR : 90x
RR : 20x turun/1 jam)
MAP = sistol + 2(diastol) - Lanjutkan terapi :
3 - IVFD RL 8 jam/kolf
MAP = 87,23 - Aspilet 1x80 mg
A/ Krisis Hipertensi - Paracetamol 3x500 mg
- Injeksi ceftriaxone 2x1
gr
- Injeksi Ranitidin 2x1
amp
26/6/2019 S/ - Drip Nicardipin mulai
Pandangan kabur (+)
10cc/jam, titrasi turun
O/
- IVFD RL 8 jam/kolf
KU : sedang
- Aspilet 1x80 mg
KSD : CMC
- Paracetamol 3x500 mg
TD : 145/85
- Injeksi ceftriaxone 2x1
HR : 94x
RR : 20x gr
MAP = sistol + 2(diastol) - Injeksi Ranitidin 2x1
3
amp
MAP = 105
- Candesartan 1x8 mg
A/ Krisis Hipertensi
- Konsul bagian Mata
27/6/2019 S/ - Drip Nicardipin mulai
Pandangan kabur (+)

26
O/ 5cc/jam, titrasi turun
KU : sedang - IVFD RL 8 jam/kolf
KSD : CMC - Aspilet 1x80 mg
TD : 154/111 - Paracetamol 3x500 mg
HR : 88x - Injeksi ceftriaxone 2x1
RR : 20x
gr
MAP = sistol + 2(27iastole)
- Injeksi Ranitidin 2x1
3
MAP = 125,33 amp
A/ Krisis Hipertensi - Candesartan 1x8 mg
Parese N VI - Amlodipin 1x10 mg
Fundus Hipertensi Ringan - Cendo Lyteers 4x1
tetes ODS
28/6/2019 S/ - Drip Nicardipin mulai
Pandangan kabur (+)
2,5cc/jam, titrasi
Pergerakan bola mata ke kiri terbatas
O/ turun AFF
KU : sedang - IVFD RL 8 jam/kolf
KSD : CMC - Aspilet 1x80 mg
TD : 153/102 - Paracetamol 3x500 mg
HR : 82x - Injeksi ceftriaxone 2x1
RR : 18x
gr
MAP = sistol + 2(diastol)
- Injeksi Ranitidin 2x1
3
MAP = 119 amp
A/ Krisis Hipertensi - Candesartan 1x16 mg
Parese N VI - Amlodipin 1x10 mg
Fundus Hipertensi Ringan - Cendo Lyteers 4x1
tetes ODS
29/6/2019 S/ - IVFD RL 8 jam/kolf
Pandangan kabur (+) - Aspilet 1x80 mg
O/ - Paracetamol 3x500 mg
KU : sedang - Injeksi ceftriaxone 2x1
KSD : CMC
gr
TD : 154/94
- Injeksi Ranitidin 2x1
HR : 94x
RR : 20x amp
MAP = sistol + 2(diastol) - Candesartan 1x16 mg
3 - Amlodipin 1x10 mg
MAP = 114 - Cendo Lyteers 4x1
A/ Krisis Hipertensi
tetes ODS
Parese N VI
- Rencana Pulang
Fundus Hipertensi Ringan

27
BAB 4
ANALISIS KASUS

Pasien perempuan 59 tahun datang ke IGD RSUD Pariaman dengan


keluhan pandangan kabur pada kedua mata sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien juga mengeluhkan mual. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat
hipertensi yang tidak terkontrol. Pasien juga memiliki riwayat stroke. Sebelumnya
pasien pernah dirawat di RS dengan keluhan lemah keempat anggota gerak,
dominan anggota gerak kanan. Riwayat hipertensi, jantung, stroke dan DM pada
keluarga disangkal.

Salah satu Faktor risiko terjadinya hipertensi pada laki-laki usia > 45
tahun, pada wanita >55 tahun, dimana pria lebih banyak mengalami kemungkinan
menderita hipertensi daripada wanita. Salah satu faktor predisposisi terjadinya
krisis hipertensi adalah hipertensi yang tidak terkontrol. Tatalaksana yang tidak
adekuat meyebabkan tekanan darah meningkat berat. Akan terjadi gangguan
hemodinamik akut yang tumpang tindih dengan hipertensi kronik. Jika keadaan
ini terus menerus akan terjadi kerusakan pembuluh darah, iskemik pada jaringan
dan disfungsi autoregulasi. Ketika kerusakan mengenai pembuluh darah retina
maka akan menyebabkan gejala penglihatan kabur.

Pada pemeriksaan fisik ditemuka keadaan umum sakit sedang, kesadaran


kooperatif, tekanan darah 182/105 mmHg, frekuensi nadi 59 kali / menit, suhu
37.5oC, frekuensi pernapasan 20 kali / menit. Pada pemeriksaan fisik mata
ditemukan gerak bola mata ke kanan terbatas. Tidak ditemukan gangguan pada
pemeriksaan fisik lain dan pemeriksaan laboraturium. Pada EKG terdapat
gambaran gelombang T inverted pada lead V3, V4, V5, V6 menandakan adanya
iskemik pada bagian anterolateral jantung. Pada pasien ini ditegakkan diagnosis
kerja Krisis Hipertensi. Pentlaksanaan pada pasien ini diberikan Nicardipine
dengan target 1-2 jam pertama MAP turun 20-25 %. Target MAP pada pasien
tercapai dengan pemantauan dan penatalaksanaan dalam beberapa hari rawatan.

Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah lebih dari


180/120mmHg yang diikuti dengan kerusakan pada organ target. Ketika terjadi

28
hipertensi emergensi, ventrikel kiri tidak dapat mengkompensasi untuk
peningkatan SVR secara akut. Hal ini menyebabkan gagal jantung ventrikel kiri
dan udem pulmonal atau iskemik miokard. Diagnosis krisis hipertensi ditegakkan
dengan anamnesis, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan fisik dan penunjang
untuk mengetahui apakah ada dan organ arget mana yang terganggu.

Pada kasus hipertensi emergensi Penurunan Mean Arterial Pressure


(MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam berikutnya. Penurunan
tekanan darah secara cepat dan berlebihan dihindari karna akan mengakibatkan
jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi. Pilihan obat
antihipertensi parenteral dapat mempercepat pencapaian MAP. Pada penelitian
yang sudah dilakukan sebelumnya didapatkan penggunaan nicardipin memiliki
efektifitas mencapai 65%. Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat
yang efektif dan penanggulangan yang tepat pada dekade terakhir. Dengan
pemantauan rutin dan penatalaksanaan yang sesuai didapatkan hasil yang baik.

29
BAB 5
KESIMPULAN

Krisis hipertensi adalah suatu kondisi klinis yang ditandai oleh


tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadinya kelainan organ target. Krisis hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi
(tanpa kerusakan organ target) urgensi dan hipertensi emergensi (dengan
kerusakan organ target). Hal ini dapat disebabkan kegagalan autoregulasi normal
dan peningkatan mendadak tahanan sistemik pembuluh darah / Systemic Vascular
Resistance(SVR). Manifestasi klinis yang ditemukan pada bergantung pada
kerusakan target organ yang terjadi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Terapi perlu dipertimbangkan
pemberian obat-obat anti hipertensi intravena untuk mencegah kerusakan organ
sasaran.
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi
cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
(Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Terapi
hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral
secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring
tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal
penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam berikutnya.
Pemantauan rutin dan penatalaksanaan yang sesuai akan memberikan hasil yang
baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Lloyd-Jones DM, Morris PB, Ballantyne CM, Birtcher KK, Daly DD,
DePalma SM, et al. Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
American College of Cardiology Task Force on Expert Consensus
Decision Pathways. Journal American College of Cardiology.
2017;70(14):1785–1822.

2. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Dennison
Himmelfarb C, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of
High Blood Pressure in Adults: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines. Journal American College of Cardiolog. 2018;71(19):127–
248.

3. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East


Asia Region: an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-14.

4. Taylor DA. Hypertensive Crisis: A Review of Pathophysiology and


Treatment. Critical Care Nursing Clinics North America.2015;27(4):439–
47.
5. Leonard S. Lily. Pathophysiology oh Heart Disease. 6th ed. Boston:
Wolters Kluwer; 2016. 32-327.

6. National Heart Foundation of Australia. 2016. Guideline for the diagnosis


and management of hypertension in adult. Melbourne.

7. E.J. Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi (Terjemahan). Jakarta : EGC.

8. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan


RI. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. 2006.

9. Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine


17th edition. New York: McGrawHill: 2008.

10. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan Hipertensi


Urgensi. BIK Biomed.

11. PERKI. 2015. Pedoman Tataksana pada Penyakit Kardiovaskular.

31

Anda mungkin juga menyukai