Anda di halaman 1dari 67

TEXTBOOK READING STAHL’S ESSENTIAL

PSYCHOPHARMOCOLOGY
SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

“IMPULSICITY, COMPULSIVITY AND ADDICTION”

Pembimbing
dr. Taufik Hidayanto, Sp. KJ

Disusun Oleh :
Nadya Hasna Rasyida DA G4A017059
Dian Nursyifa Rahma G4A017062
Tri Ratna Fauziah G4A017063
Risma Orchita A.F G4A017072
Fatia Murni Chamida G4A017092
Hasna Hanief Nabilah G4A018081
M. Iqbal Syifaurrahman G4A018031

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD BANYUMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN
TEXTBOOK READING STAHL’S ESSENTIAL
PSYCHOPHARMOCOLOGY
SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

“IMPULSICITY, COMPULSIVITY AND ADDICTION”

Disusun untuk memenuhi salah satu ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Banyumas

Disusun Oleh :
Nadya Hasna Rasyida DA G4A017059
Dian Nursyifa Rahma G4A017062
Tri Ratna Fauziah G4A017063
Risma Orchita A.F G4A017072
Fatia Murni Chamida G4A017092
Hasna Hanief Nabilah G4A018081
M. Iqbal Syifaurrahman G4A018031

Telah dipresentasikan dan disetujui oleh pembimbing


Pada tanggal, Juli 2019
Pembimbing,

dr. Taufik Hidayanto, Sp. KJ

2
BAB 14
IMPULSI, KOMPULSI DAN ADIKSI

Ikhtisar Impulsi, Kompulsi dan Adiksi


Berkembangnya pemahaman mengenai jalur jalur sirkuit neuron yang
terkait dengan impulsif dan kompulsi telah menjelaskan mengenai banyak
gangguan psikiatrik dengan dua dimensi gangguan ini. Dalam pembahasan ini,
tidak hanya akan dibahas mengenai kecanduan obat, salah satu bagian yang paling
sering dibahas pada kelompok ini, namun juga akan membahas secara singkat
mengenai “gangguan impulsi kompulsi” lainnya, termasuk diantaranya gangguan
obsesif kompulsif (OCD), trikotilomania, judi, agresi, obesitas dan gangguan lain
yang diperkiraka memiliki hubungan dengan insufisiensi pemprosesan informasi
di otak terutama pada bagian korteks prefrontal/sirkuit striatum (Gambar 14-1 dan
Tabel 14-1). Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung impulsi pada defisit
perhatian dan hiperaktivitas (ADHD, pada BAB 12) dan bipolar dan mania (Pada
BAB 6&7), dan pembahasan kali ini akan membahas teori impulsi di gangguan
tersebut lagi.
Beberapa pembahasan mengenai hipotesa neurobiologi mekanisme
gangguan impulse-kompulsi dan tatalaksana yang tersedia. Meskipun pada OCD
telah dikenal secara umum tatalaksana menggunakan serotonergik, namun
apotekermasih merasa enggan dengan efek samping penyalahgunaan obat obatan
tersebut, sedangkan disisi lain, dokter maupun spesialis cenderung sering
menggunakan obat-obatan tersebut sebagai pilihan terapi. Kemungkinan, hal
tersebut dikarenakan kurangnya alternatif tatalaksana yang cukup efektif untuk
gangguan impulsi-kompulsi. Bagaimanapun, peningkatan pemahaman
neurobiologi mengenai gangguan impulsi-kompulsi diharapkan dapat membantu
menemukan terapi terapi alternatif yang dapat bermanfaat bagi adiksi, kompulsi
dan impulsi. Untuk diskripsi lengkap dan penegakkan diagnosis, harus dilakukan
dengan konsultasi dengan berpacu pada referensi terpercaya.

3
Ikhtisar Ganggaun Impulsif Kompulsi
Impulsif dan kompulsif disebut sebagai endofenotip, yaitu gejala yang
terkait dengan sirkuit otak spesifik dan yang muncul secara diagnostik sebagai
dimensi psikopatologi yang banyak digunakan pada gangguan kejiwaan (Tabel
14-1, Gambar 14-1). Sederhananya, impulsif dan kompulsif adalah gejala yang
disebabkan oleh otak yang mengalami kesulitan mengatakan "tidak." Faktanya,
kedua konstruk gejala ini mungkin dapat dibedakan dengan melihat adanya
kegagalan dalam mengendalikan respon: impulsif sebagai ketidakmampuan untuk
menghentikan tindakan sejak awal, dan kompulsi sebagai ketidakmampuan untuk
mengakhiri tindakan yang sedang berlangsung. Baik impulsif maupun kompulsif
merupakan bentuk ketidakfleksibelan kognitif.
Lebih tepatnya, impulsif didefinisikan sebagai suatu tindakan tanpa
pemikiran sebelumnya; kurangnya refleksi tentang konsekuensi dari perilaku
seseorang; kegagalan penghambatan motorik, sering memilih perilaku berisiko;
atau (kurang ilmiah) kurang tekad untuk tidak menyerah pada godaan (lihat
definisi pada Tabel 14-2).
Di sisi lain, kompulsif didefinisikan sebagai tindakan yang tidak sesuai
dengan situasi tetapi tetap ada, dan yang sering mengakibatkan konsekuensi yang
tidak diinginkan. Bahkan, kompulsi ditandai oleh ketidakmampuan untuk
beradaptasi perilaku setelah mendapat umpan balik negatif. Kebiasaan yang
muncul adalah sejenis kompulsi, dan dapat dilihat sebagai respons yang dipicu
oleh rangsangan lingkungan terlepas dari keinginan yang muncul dari
konsekuensi respon yang ada. (Tabel 14-2). Kebiasaan dapat dilihat sebagai
respons terkondisi (seperti mencari narkoba, mencari makanan, judi) terhadap
stimulus yang kondisional (seperti berada di sekitar orang atau tempat atau barang
yang terkait dengan obat, makanan, atau perjudian di masa lalu) yang telah
diperkuat baik oleh pengalaman masa lalu dengan penghargaan (penguatan
positif) atau dengan menghilangkan suatu peristiwa permusuhan (kehilangan
penguatan negatif yang berasal dari penarikan atau keinginan). Sedangkan
perilaku yang terarah pada suatu tujuan dimediasi oleh pengetahuan dan keinginan

4
untuk konsekuensi dari hal tersebut, sebaliknya, kebiasaan bersifat dikendalikan
oleh rangsangan eksternal melalui asosiasi stimulus-respons yang masuk ke dalam
sirkuit otak melalui pengulangan perilaku dan dibentuk setelah pelatihan yang
cukup, dapat secara otomatis dipicu oleh rangsangan, dan didefinisikan sebagai
kepekaan terhadap hasil yang ada. Mengingat bahwa tindakan yang diarahkan
pada tujuan yang secara relatif melibatkan aspek kognitif, untuk rutinitas sehari-
hari hal tersebut dapat bersifat adaptif untuk mengerjakan kegiatan yang dapat
dilakukan dengan tingkat sadar minimal. Namun, kebiasaan juga dapat
menunjukkan suatu perilaku gigih yang sangat maladaptif (Gambar 14-1, Tabel
14-1).

Tabel 14.1 Kemungkinan pengkategorikan endofenotip impulsif dan kompulsif sebagai


gangguan impulsif-kompulsif Obsesif kompulsif

5
Gambar 14.1 Bagan Gangguan Impulsif Kompulsif. Gangguan impulsif-kompulsif
dapat dilihat dari keberagaman gangguan psikiatrik yang luas. Impulsi dapat dipandang
sebagai ketidak mampuan untuk menghentikan inisiasi dari aksi dan memengaruhi sirkuit
otak pada bagian stria ventral, yang terhubung dengan thalamus (T), ke bagian korteks
ventromedial prefrontal (VMPFC), dan pada kortex anterior cingulatum (ACC).
Kompulsif dapat dipandang sebagai ketidakmampuan untuk menghentikan hal hal yang
sedang berlangsng. Secara hipotesa, hal ini berlangsung di sirkuit yang berbeda dengan
impulse, dan terletak di dorsal stria, thalamus (T) dan korteks orbitofrontal (OFC).
Perilaku impulsif seperti penggunaan obat obatan, judi dan obesitas dapat berubah
menjadi kompulsi dikarenakan adanya perubahan neuroplastik yang mengikutsertakan
sistem habit dan secara teori akan menyebabkan impuls untuk berpindah dari ventral ke
dorsal

6
Abuse / penyalahgunaan Pemberian sendiri obat apa pun dengan
cara yang tidak sesuai dengan budaya
yang menyebabkan konsekuensi yang
merugikan
Adiksi Pola perilaku penyalahgunaan narkoba
ditandai dengan keterlibatan yang
berlebihan dengan penggunaan obat
(penggunaan kompulsif), pengamanan
pasokannya, dan kecenderungan
kambuh setelah penghentian.
Kompulsiviti Tindakan berulang yang tidak sesuai
dengan situasi yang ada, yang tidak
memiliki hubungan yang jelas dengan
tujuan keseluruhan, dan yang sering
mengakibatkan konsekuensi yang tidak
diinginkan; perilaku yang menghasilkan
ketekunan dalam merespons dalam
menghadapi konsekuensi yang
merugikan; ketekunan dalam
merespons dalam menghadapi respons
yang salah dalam situasi pilihan atau
gigihnya suatu tindakan yang menjadi
kebiasaan.
Cross tolerance and cross dependence Kemampuan suatu obat untuk menekan
manifestasi ketergantungan fisik yang
dihasilkan oleh obat lain dan
mempertahankan keadaan
ketergantungan fisik.
Ketergantungan Keadaan fisiologis dari adaptasi yang
dihasilkan oleh pemberian berulang
obat-obatan tertentu seperti alkohol,
heroin, dan benzodiazepin ketika obat-

7
obatan tersebut dihentikan secara tiba-
tiba, dan dikaitkan dengan penarikan
obat fisik yang berbeda dari perubahan
bermotivasi dari penarikan akut dan
pantang berlarut-larut, yang merupakan
bagian dari kecanduan.
Kebiasaan Respons yang dipicu oleh rangsangan
lingkungan terlepas dari keinginan yang
diinginkan terhadap konsekuensinya.
Respons terkondisi terhadap stimulus
ini telah diperkuat baik oleh
pengalaman masa lalu dengan
penghargaan (penguatan positif) atau
dengan menghilangkan peristiwa
permusuhan (penguatan negatif).
Impulsiviti Kecenderungan untuk bertindak
lebihawal tanpa tinjauan ke depan;
tindakan yang disusun dengan buruk,
diungkapkan sebelum waktunya, terlalu
berisiko, atau tidak sesuai dengan
situasi dan yang sering mengakibatkan
konsekuensi yang tidak diinginkan;
kecenderungan terhadap respon yang
cepat dan tidak terencana terhadap
rangsangan internal dan eksternal tanpa
memperhatikan konsekuensi negatif
dari reaksi tersebut terhadap diri
mereka sendiri atau orang lain. Impulsif
sering diukur dalam dua domain:
pilihan penghargaan kecil, langsung
atas penghargaan tertunda yang lebih
besar, atau ketidakmampuan untuk

8
menghambat perilaku untuk mengubah
arah tindakan atau untuk menghentikan
tanggapan setelah perilaku dimulai.
Rebound Ekspresi berlebihan dari kondisi
sebenarnya yang kadang-kadang
dialami oleh pasien segera setelah
penghentian pengobatan yang efektif.
Penguatan Kecenderungan pemberian ulang secara
mandiri obat untuk memberikan
kesenangan.
Kambuh Pengulangan timbulnya gejala penyakit,
setelah penghentian perawatan medis
yang efektif, dari kondisi awal saat
pasien sakit.
Toleransi Toleransi terjadi ketika, setelah
pemberian berulang, dosis obat yang
diberikan menghasilkan efek yang
menurun, atau, sebaliknya, ketika dosis
yang semakin besar harus diberikan
untuk mendapatkan efek yang diamati
dengan penggunaan aslinya.
Withdrawal Reaksi psikologis dan fisiologis
terhadap penghentian obat yang
membuat ketergantungan secara tiba-
tiba.
Tabel 14.2 Definisi kata kunci

Neurocircuity dan Gangguan Impulsi-Kompulsi


Mengapa impuls dan dorongan tidak dapat dihentikan dalam berbagai
gangguan kejiwaan (Tabel 14-1, Gambar 14-1)? Jawabannya mungkin disebabkan
oleh adanya masalah di sirkuit kortikal yang biasanya menekan perilaku tersebut.
Secara sederhana, impulsif dan kompulsif dihipotetiskan akibat dorongan

9
neurobiologis yang “bottom-up,” dengan impulsif berasal dari striatum ventral,
kompulsivitas berasal dari striatum dorsal, dan area berbeda dari korteks
prefrontal yang bertindak “top-down” untuk menekan dorongan ini (Gambar 14-1
hingga 14-3). Penghambatan kontrol kehendak diatur oleh mekanisme kortikal
top-down, menyiratkan bahwa impulsif dan kompulsif dapat disebabkan oleh
relaksasi dari kontrol ini. Berdasarkan teori tersebut maka output perilaku
dikendalikan oleh keseimbangan antara sistem dual neurobehavioral dan sistem
competing neurobehavioral. Apa yang sebenarnya terjadi tergantung pada
keseimbangan antara "top-down" dan "bottom-up," dengan impulsif dan
kompulsif yang disebabkan oleh kegagalan sistem respons inhibisi (yaitu, kontrol
kognitif top-down yang tidak memadai: Gambar 14-1 sampai 14-3) atau akibat

terlalu banyak tekanan yang datang dari bottom-up dari ventral striatum untuk
impulsif (Gambar 14-2) atau dari striatum dorsal untuk kompulsivitas (Gambar
14-3).

Gambar 14-2 Sirkuit impulsif dan penghargaan. Sirkuit "bottom-up" yang


menggerakkan impulsif (diperlihatkan dengan warna merah muda) adalah lingkaran
dengan proyeksi dari ventral striatum ke thalamus, dari thalamus ke korteks prefrontal
ventromedial (VMPFC), dan dari VMPFC kembali ke ventral striatum. Sirkuit ini
biasanya dimodulasi "top-down" dari prefrontal cortex (PFC). Jika sistem penghambatan
respons top-down ini tidak memadai atau diatasi dengan aktivitas dari bottom-up ventral
striatum, perilaku impulsif dapat terjadi.

10
Gambar 14-3 Sirkuit kompulsif dan penghambatan respons motorik. Sirkuit
"bottom-up" yang menggerakkan kompulsif (ditunjukkan dengan warna merah muda)
adalah lingkaran dengan proyeksi dari striatum dorsal ke thalamus, dari thalamus ke
korteks orbitofrontal (OFC), dan dari OFC kembali ke striatum dorsal. Sirkuit kebiasaan
ini dapat dimodulasi "top-down" dari OFC, tetapi jika sistem penghambatan respons top-
down ini tidak memadai atau diatasi dengan aktivitas dari striatum punggung bawah ke
atas, perilaku kompulsif dapat terjadi.

Secara neuroanatomikal, impulsif dan kompulsif dipandang sebagai


pengulangan loop neuron yang berbeda: impulsif sebagai sistem pembelajaran
ventral dependen yang bergantung pada aksi-hasil (Gambar 14-2) dan sistem
kebiasaan yang kompulsif dorsal (Gambar 14-3). Banyak perilaku dimulai sebagai
impuls dalam lingkaran ventral dari penghargaan dan motivasi (Gambar 14-2).
Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa perilaku ini bermigrasi secara dorsal
(Gambar 14-3) karena serangkaian neuroadaptasi dan neuroplastisitas yang
melibatkan sistem kebiasaan yang mana suatu tindakan impulsif akhirnya menjadi
kompulsif (Gambar 14-1). Proses penyampaian informasi dari satu loop neuronal
ke loop neuronal lain tampaknya melibatkan pengaturan dari hippocampus dan
amigdala dan area lain dari korteks prefrontal (Gambar 14-4).
Contoh migrasi ventral ke dorsal yang banyak diketahui adalah pada kasus
kecanduan obat. Meskipun penggunaan obat awal dianggap sukarela dan terkait
dengan sifat impulsif, penyalahguna obat secara bertahap kehilangan kontrol
terhadap perilaku pencarian obat dan konsumsi obat, sehingga menjadi kompulsif
(Gambar 14-5). Impuls untuk menggunakan obat atau untuk melakukan perilaku
tertentu pada awalnya membuat "mabuk" atau setidaknya memberikan
kesenangan dan kepuasan (Gambar 14-5). Jika hal ini tidak sering terjadi maka
tidak akan memicu kaskade neuroplastik dari ventral ke dorsal, dan tetap di bawah
kontrol relatif, dan terkadang dapat terlihat sebagai "nakal" (Gambar 14-5).
Namun, penggunaan obat impulsif atau perilaku impulsif yang berulang terlalu
sering dapat berkembang menjadi penggunaan kompulsif yang didorong oleh
keinginan untuk mengurangi gejala putus obat yang semakin memberat dari waktu
ke waktu (Gambar 14-5). Individu dengan kecanduan obat atau perilaku
mengalami ketegangan dan gairah dalam mengantisipasi melakukan perilaku
tetapi mood disforik (tetapi tidak ada withdrawal secara fisiologis) ketika dicegah
dari melakukan perilaku atau menkonsumsi obat. Kesenangan dan kepuasan yang

11
disebabkan oleh obat / perilaku pada awalnya, berkurang seiring waktu, mungkin
membutuhkan peningkatan dosis (misalnya, bertaruh dengan jumlah uang lebih
banyak, peningkatan jumlah atau frekuensi konsumsi obat) untuk mencapai efek
yang sama (mirip dengan toleransi) (Gambar 14-5).
Mungkin dosis pertama obat apa pun akan selalu menjadi yang terbaik,
berefek paling kuat dan tanpa efek samping. Namun, individu biasanya tidak
hanya mengambil satu dosis, atau melakukan perilaku yang memuaskan hanya
sekali. Impulsif yang tinggi menjadi predisposisi perkembangan kompulsi dan
dapat memprediksikan ketergantungan yang berlebihan pada kebiasaan.
Pembentukan kebiasaan yang cepat dapat mendasari transisi pada individu yang
memiliki impulsif yang tinggi terhadap dorongan dan kebiasaan. Kompulsif
merupakan perilaku maladaptif yang terjadi terus menerus dan dalam jangka
waktu yang lama. Hal ini bukan karena menjadi nakal dan menyerah pada godaan
(Gambar 14-5), namun seperti yang terjadi pada anjing Pavlov dengan respons
kompulsif tanpa sadar, dengan kemauan yang sangat inadekuat untuk
menginterupsi perilaku destruktif begitu terjadi kebiasaan kompulsif (Tabel 14-2
dan Gambar 14-5).

12
Gambar 14-4 Sirkuit Spiral dari impulsif dan kompulsif. Perkembangan dari
penggunaan obat impulsif sesekali menjadi penggunaan kompulsif dan kecanduan
melibatkan disregulasi sirkuit hadiah bottom-up dan penghambatan top-down sirkuit ini
yang tidak mencukupi. Amigdala dan hippocampus juga memberikan input pengaturan ke
sistem ini. ACC, anterior cingulate cortex; DLPFC, korteks prefrontal dorsolateral; OFC,
korteks orbitofrontal; T, thalamus; VMPFC, korteks prefrontal ventromedial.

- Sirkuit dopamin mesolimbik sebagai jalur umum terakhir dari


penghargaan
Semua obat yang dapat menyebabkan kecanduan meningkatkan dopamin
(DA) di ventral striatum, atau disebut juga nukleus accumbens. Area otak ini sama
dengan yang dibahas pada Bab 4 tentang psikosis dan juga dikenal sebagai jalur
dopamin mesolimbik yang diduga terlalu aktif dalam psikosis dan memediasi
gejala skizofrenia yang positif (lihat Gambar 4- 12, 4-13, 4-30, 4-31). Jalur umum
terakhir untuk penguatan dan penghargaan di otak juga dihipotesiskan sebagai
jalur dopamin mesolimbik yang sama (Gambar 14-6). Beberapa bahkan
menganggap ini sebagai "pusat kesenangan hedonis" otak dan dopamin sebagai

13
"neurotransmiter kesenangan hedonis." Ada banyak cara untuk memicu neuron
dopamin mesolimbik melepaskan dopamin secara alami, mulai dari capaian
prestasi intelektual hingga prestasi atletik , menikmati simfoni, dan mengalami
orgasme. Beberapa menyebut hal ini sebagai "mabuk secara alami" (Gambar 14-
6). Input ke jalur mesolimbik yang memediasi mabuk secara alami ini merupakan
“farmasi” yang luar biasa dari zat-zat yang terjadi secara alami mulai dari morfin /
heroin otak (endorphin), ganja otak (anandamide), nikotin otak (asetilkolin) , serta
kokain dan amfetamin otak (dopamin) (Gambar 14-7).
Banyaknya penyalahgunaan obat psikotropika juga memiliki jalur umum
akhir yang menyebabkan jalur mesolimbik melepaskan dopamin, seringkali
dengan cara yang lebih eksplosif dan memuaskan daripada yang terjadi secara
alami. Sekarang mulai terlihat bahwa perilaku maladaptif serta obat-obatan dapat
menghasilkan pelepasan dopamin yang merangsang sistem penghargaan (Gambar
14-7). Hal ini termasuk dalam pembentukan gangguan impulsif-kompulsif
(Gambar 14-1) dan termasuk perilaku seperti judi, menggunakan internet, belanja,
dan bahkan makan. Obat-obatan mem-bypass neurotransmiter otak dan secara
langsung merangsang reseptor otak untuk obat-obatan ini, menyebabkan
pelepasan dopamin. Ketika otak telah terpapar oleh neurotransmiter menyerupai
penyalahgunaan obat, pencapaian penghargaan secara alami tidak perlu dilakukan
karena penghargaan akibat penyalahgunaan obat telah didapatkan lebih intens dan
dalam jangka waktu yang lebih pendek. Namun, tidak seperti mabuk alami,
reward yang diinduksi obat dapat memulai kaskade neuroadaptation dalam loop
ventral striatum yang bermigrasi ke loop striatal dorsal (Gambar 14-1), sehingga
keadaan mabuk awal yang disebabkan oleh penggunaan awal obat secara impulsif
mengarah ke withdrawal, craving, dan preokupasi dalam menemukan obat,
sehingga memulai siklus yang buruk dari penyalahgunaan, kecanduan,
ketergantungan, dan withdrawal (Gambar 14-5).

14
Gambar 14-5. Pergeseran dari impulsif ke kompulsif. Kecanduan narkoba
memberikan contoh dari pergeseran dari impulsif ke kompulsif yang datang
dengan migrasi dari sirkuit ventral ke dorsal. Dorongan untuk meminum obat
pada awalnya mengarah pada kesenangan dan kepuasan yang besar (“mabuk”).
Jika hal ini jarang terjadi, perilaku tersebut mungkin agak “nakal” tetapi tidak
akan berlanjut menjadi keharusan. Dengan penggunaan zat kronis, kompulsivitas
dapat berkembang sebagai dorongan individu berubah dari mencari kesenangan
menjadi mencari bantuan dari gejala yang menyedihkan dari withdrawal dan
antisipasi untuk mendapatkan obat.

Adiksi Zat
Tidak semua orang yang menggunakan narkoba mengalami kecanduan.
Mengapa? Beberapa obat secara intrinsik tampaknya lebih membuat ketagihan
daripada yang lain (Tabel 14-3). Alasan lainnya, beberapa individu mungkin lebih
impulsif atau memiliki sistem penghargaan yang secara genetik mengalami
disfungsi. Tampaknya sifat impulsif dan disfungsi sistem penghargaan dapat
memberikan kecenderungan terhadap penggunaan dan penyalahgunaan narkoba,
dan ketika obat sering dicerna, penggunaan obat impulsif dapat melibatkan sistem
kebiasaan yang mana pada beberapa individu mungkin lebih mudah daripada pada
orang lain, sehingga memicu neuroplastisitas dalam sirkuit kompulsivitas, yang

15
secara hipotetis merupakan cara dimana konsumsi obat akhirnya menjadi
kompulsif pada beberapa individu (Gambar 14-1 dan 14-5).
A. Stimulan
Kecepatan masuknya obat ke otak menentukan tingkat "mabuk" secara
subyektif (Gambar 14-8). Ini mungkin alasan mengapa obat yang dihirup,
didengus, atau disuntikkan, kemudian masuk ke otak dengan cara yang
mendadak dan eksplosif, biasanya jauh lebih kuat daripada ketika obat yang
sama itu diambil secara oral, di mana kecepatan masuk ke otak lebih lambat
akibat proses penyerapan gastrointestinal. Kokain bahkan inaktif secara oral,
sehingga pengguna telah belajar selama bertahun-tahun untuk
menggunakannya melalui intranasal - di mana obat dengan cepat masuk ke
otak secara langsung, melewati hati, dan dengan demikian dapat memiliki
onset yang lebih cepat dengan cara ini daripada bahkan dengan pemberian
intravena. Cara yang paling cepat dan kuat untuk mengantarkan obat ke otak
adalah dengan merokok, rute ini menghindarkan obat melalui first-pass
metabolisme melalui hati dan agak mirip dengan pemberian obat dengan intra-
arteri / intra-karotid melalui penyerapan langsung melintasi area permukaan
masif paru-paru. Semakin cepat masuknya obat ke dalam otak, semakin kuat
efek penguatnya, mungkin karena bentuk pemberian obat ini memicu
penembakan DA secara fasik, jenis yang terkait dengan imbalan dan arti-
penting (lihat Bab 12 untuk diskusi, dan Gambar 12-10, 12- 29, dan 12-31).
Di sisi lain, beberapa stimulan yang sama diambil pada dosis rendah
secara oral, terutama dalam formulasi pelepasan terkontrol yang
meminimalkan penyerapan puncak, memperlambat laju absorpsi, dan
memperpanjang durasi paparan obat, tidak secara khusus memperkuat, tetapi
sebaliknya digunakan sebagai agen terapeutik untuk mengobati ADHD, seperti
dibahas pada Bab 12 dan diilustrasikan dalam Gambar 12-29 dan 12-30.
Seperti yang dibahas pada Bab 12, secara hipotetis, stimulan yang diberikan
dengan cara slow-release ini berfungsi untuk "menyempurnakan" sirkuit otak
yang tidak efisien dengan menargetkan korteks prefrontal, meningkatkan tonik
dopamin yang ditembakkan untuk motivasi dan perhatian, dan mengurangi
impuls dan hiperaktif, sambil memungkinkan pelepasan dopamin yang cukup

16
untuk untuk belajar dan untuk memfasilitasi perilaku / penghargaan yang
diarahkan pada tujuan yang tepat (Gambar 12-10 hingga 12-31). Meskipun
tindakan terapi stimulan dianggap diarahkan pada korteks prefrontal untuk
meningkatkan neurotransmisi norepinefrin dan dopamin di sana (Gambar 12-
13 hingga 12-18; Gambar 12-31), efek penguatan dan penyalahgunaan
stimulan dianggap terarah pada sirkuit penghargaan, terutama pada pelepasan
dopamin dari neuron dopamin mesolimbik pada nukleus accumbens (Gambar
12-31).

Gambar 14.6 Dopamin adalah pusat penghargaan. Dopamine (DA) telah


lama dikenal sebagai pemain utama dalam regulasi penguatan dan penghargaan.
Secara khusus, jalur mesolimbik dari area ventral tegmental (VTA) ke nukleus
accumbens tampaknya sangat penting untuk reward. Kegiatan yang secara alami
bermanfaat, seperti mencapai prestasi besar atau menikmati makanan yang enak, dapat
menyebabkan peningkatan DA yang cepat dan kuat di jalur mesolimbik.
Penyalahgunaan obat juga menyebabkan pelepasan DA di jalur mesolimbik. Faktanya,
penyalahgunaan obat-obatan seringkali dapat meningkatkan dopamin dengan cara
yang lebih eksplosif dan menyenangkan daripada yang terjadi secara alami.
Sayangnya, tidak seperti perasaan mabuk alami, aktivasi yang disebabkan oleh
penyalahgunaan obat pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan dalam sirkuit
reward yang berhubungan dengan lingkaran setan dari keasyikan obat, keinginan,

17
kecanduan, ketergantungan, dan withdrawal. Konseptualisasi ini memiliki kesamaan
dengan banyak gangguan impulsif-kompulsif seperti perjudian patologis. Artinya,
individu dengan gangguan ini mengalami ketegangan dan gairah dalam
mengantisipasi melakukan perilaku dan mood disforik (tetapi tidak ada penarikan
fisiologis) ketika dicegah melakukan perilaku. Selain itu, kesenangan dan kepuasan
yang awalnya dialami saat melakukan perilaku tampaknya berkurang seiring waktu,
mungkin membutuhkan peningkatan “dosis” (misalnya, berjudi dengan jumlah uang
lebih banyak) untuk mencapai efek yang sama (mirip dengan toleransi).

Ternyata dalam jangka panjang itu bukan penghargaan dari obat, tetapi
antisipasi dari penghargaan, yang terkait dengan pencarian obat, atau pencarian
makanan, atau mencari berbagai jenis situasi lain yang terlibat dalam berbagai
gangguan impulsif-kompulsif (Tabel 14-1). Neuron dopamin berhenti
merespons pada penguat utama (yaitu, obat, makanan, perjudian) dan mulai
merespons stimulus terkondisi (yaitu, melihat obat, pintu lemari es, kasino
judi). Respons yang dikondisikan mendasari keinginan dan penggunaan
kompulsif, dan peningkatan dopamin bermigrasi ke striatum dorsal (Gambar
14-1 dan 14-4). Obat dan perilaku pada awalnya dapat menyebabkan
peningkatan dopamin pada striatum ventral dan penghargaan (Gambar 14-1, 4-
2, 14-4, 14-6, 14-7), tetapi dengan pemberian berulang, seiring dengan
berkembangnya kebiasaan, dopamin mempercepat pergeseran dari
obat/perilaku ke respon terkondisi/pemicu lingkungan, seiring dengan dopamin
meningkatkan pergeseran dari striatum ventral/nucleus accumbens (Gambar
14-2) ke striatum dorsal (Gambar 14-3).

18
Gambar 14-7. Peraturan neurotransmitter dari mesolimbik reward. Jalur
umum akhir dari imbalan di otak dihipotesiskan sebagai jalur dopamin mesolimbik.
Jalur ini dimodulasi oleh banyak zat yang terjadi secara alami di otak untuk
memberikan penguatan normal pada perilaku adaptif (seperti makan, minum, seks)
dan dengan demikian menghasilkan "mabuk secara alami," seperti perasaan suka cita
atau pencapaian. Input neurotransmitter ini ke sistem imbalan meliputi morfin / heroin
otak sendiri (yaitu, endorfin seperti enkephalin), kanabis / ganja di otak (yaitu,
anandamide), nikotin otak (yaitu, asetilkolin), dan kokain otak/ amfetamin (yaitu,
dopamin itu sendiri), antara lain. Banyaknya penyalahgunaan obat-obatan psikotropika
yang terjadi di alam memintas neurotransmiter otak dan secara langsung merangsang
reseptor otak dalam sistem penghargaan, menyebabkan pelepasan dopamin dan
konsekuensinya "mabuk artifisial" Dengan demikian alkohol, opioid, stimulan, ganja,
benzodiazepin, hipnotik penenang. , halusinogen, dan nikotin semuanya memengaruhi
sistem dopaminergik mesolimbik ini. PFC, korteks prefrontal; PPT / LDT, nuklei
tegmental pedunculopontine dan laterodorsal.

Dopamin dikaitkan dengan motivasi, dan motivasi untuk mendapatkan


obat adalah ciri utama kecanduan. Pencarian narkoba dan penggunaan narkoba
menjadi dorongan motivasi utama ketika seseorang kecanduan, dan dengan
demikian subjek yang kecanduan itu bergairah dan termotivasi dalam mencari
cara untuk memdapatkan narkoba, tetapi malas dan apatis ketika terpapar pada
kegiatan yang tidak terkait dengan narkoba (Gambar 14-5 dan 14-8). Dimulai
dengan peningkatan pelepasan DA mengarah ke peningkatan aktivitas ventral
striatum dan korteks cingluate anterior (ACC) dengan reward dapat berakhir
sebagai dorongan kompulsif dengan peningkatan dosis dalam upaya untuk

19
mendapatkan peningkatan stimulasi hadiah untuk mengembalikan resultan
defisiensi DA. Perbedaan antara harapan untuk efek obat dan efek DA yang
tumpul mempertahankan penggunaan obat dalam upaya untuk mencapai hadiah
yang diharapkan. Stimulan dosis tinggi dapat menyebabkan tremor, emosi
labil, gelisah, mudah marah, panik, dan perilaku stereotip berulang. Pada dosis
berulang yang lebih tinggi, stimulan dapat menyebabkan paranoia dan
halusinasi, dengan hipertensi, takikardia, iritabilitas ventrikel, hipertermia, dan
depresi pernapasan. Pada overdosis, stimulan dapat menyebabkan gagal
jantung akut, stroke, dan kejang.

Gambar 14-8. Dopamin, farmakokinetik, dan efek penguat. Penggunaan


obat akut menyebabkan pelepasan dopamin (DA) di striatum. Namun, efek penguat
obat sangat ditentukan tidak hanya oleh adanya DA tetapi juga oleh peningkatan DA
di otak, yang pada gilirannya ditentukan oleh kecepatan di mana obat memasuki dan
meninggalkan otak, dalam hal ini menargetkan transporter dopamin (DAT).
Peningkatan DA yang besar dan tiba-tiba (seperti yang disebabkan oleh
penyalahgunaan obat-obatan yang memblokir DAT) meniru penembakan DA secara
phasic yang terkait dengan penyampaian informasi tentang reward dan arti-penting.
Tingkat pengambilan obat tergantung pada rute pemberian, dengan pemberian
intravena dan inhalasi menghasilkan penyerapan obat tercepat, diikuti dengan
mendengus. Selain itu, berbagai penyalahgunaan obat-obatan memiliki “nilai
penghargaan” yang berbeda (yaitu, tingkat yang berbeda di mana mereka
meningkatkan DA) berdasarkan pada mekanisme aksi individu mereka.

20
Tidak hanya methylphenidate dan amfetamin, tetapi juga kokain
merupakan inhibitor transporter dopamin (DAT) dan transporter norepinefrin
(NET) (lihat diskusi pada Bab 12, dan Gambar 12-25 dan 12-28). Kokain juga
menghambat transporter serotonin (SERT) dan merupakan anestesi lokal, yang
dieksploitasi sendiri oleh Freud untuk membantu mengurangi rasa sakit kanker
rahang dan mulutnya. Freud mungkin juga telah mengeksploitasi properti
kedua dari obat, yaitu untuk menghasilkan euforia, mengurangi kelelahan, dan
menciptakan rasa ketajaman mental karena penghambatan reuptake dopamin di
transporter dopamin, setidaknya untuk sementara waktu, sampai hadiah yang
diinduksi oleh obat digantikan oleh kompulsif yang diinduksi oleh obat.
Meskipun tidak ada tatalaksana yang telah disetujui untuk pecandu
stimulan, di masa depan mungkin ada vaksin kokain yang menghilangkan obat
sebelum mencapai otak, tidak ada efek yang lebih kuat yang menyertai
konsumsi obat. Secara teoritis, dimungkinkan juga untuk pemberian enzim
kokain esterase secara intravena dalam bentuk jangka panjang yang
menghancurkan kokain sebelum dapat memberikan efek penguatnya, seperti
yang telah ditunjukkan pada model hewan. Naltrexone, antagonis µ-opioid
yang disetujui untuk pengobatan kecanduan opioid dan alkohol, juga sedang
diselidiki untuk pasien dengan ketergantungan poly-drug baik pada heroin
opioid maupun stimulan amfetamin. Buprenorfin, opioid sintetis yang
digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan untuk kecanduan opioid,
menstimulasi parsial agonis pada reseptor µ dan κ-opioid, dan dapat
mengurangi penggunaan kokain pada pecandu opioid. Kombinasi dengan
naltrexone untuk pecandu kokain yang tidak memiliki kecanduan opioid juga
sududah mulai diteliti. Kombinasi ini menghasilkan stimulasi hanya reseptor κ-
opioid dan bukan reseptor µ-opioid dan dapat mengurangi kompulsif akibat
kokain pada hewan tanpa menghasilkan kecanduan opioid - menunjukkan
bahwa, setidaknya dalam kasus ini, tiga obat mungkin lebih baik dari satu!

21
Tabel 14-3 Kemungkinan kecanduan pada berbagai zat
Kemungkinan kecanduang saat
mengkonsumsi zat sekurang-kurangnya satu kali
Tembakau 32%
Heroin 23%
Kokain 17%
Alkohol 15%
Stimulan 11%
Anxiolitik 9%
Marijuana 9%
Analgesik 8%
Inhalant 4%

B. Nikotin
Seberapa umum merokok dalam praktik psikofarmakologi klinis? Beberapa
perkiraan adalah bahwa lebih dari setengah dari semua rokok dikonsumsi oleh
pasien dengan gangguan kejiwaan bersamaan, dan bahwa merokok adalah
komorbiditas yang paling umum di antara pasien yang mengalami sakit mental.
Diperkirakan sekitar 20% populasi umum (dalam USUS) merokok, sekitar 30%
orang yang secara teratur melihat dokter umum merokok, tetapi 40-50% pasien
dalam praktik psikofarmakologi merokok, termasuk 60-85% pasien dengan
ADHD, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Sayangnya, riwayat merokok saat ini
sering tidak diambil dengan hati-hati atau dicatat sebagai salah satu diagnosis
perokok dalam praktik kesehatan mental, dan hanya sekitar 10% perokok
melaporkan perawatan yang ditawarkan secara proaktif oleh psikofarmakologis
dan dokter lain.
Nikotin bertindak langsung pada reseptor kolinergik nikotinat di sirkuit
imbalan (Gambar 14-7). Neuron kolinergik dan asetilkolin neurotransmitter
dibahas pada Bab 13 dan diilustrasikan dalam Gambar 13-17 hingga 13-24.
Reseptor nikotinat diilustrasikan dalam Gambar 13-20 hingga 13-22. Ada dua
subtipe utama reseptor nikotinik yang diketahui ada di otak, subtipe α4β2 dan
subtipe α7 (dibahas pada Bab 13 dan diilustrasikan pada Gambar 13-20).
Aktivitas nikotin di daerah tegmental ventral adalah aktivitas yang secara teoritis
berkaitan dengan kecanduan, yaitu pada reseptor postsinaptik α4β2-nikotinik pada
neuron dopamin, yang menyebabkan pelepasan dopamin dalam nukleus
accumbens, dan pada α7-nicotinic presynaptic receptor pada neuron glutamat,
yang menyebabkan pelepasan glutamat, dan pada gilirannya melepaskan dopamin

22
dalam nukleus accumbens (Gambar 14-9). Tindakan pelepasan dari reseptor α7-
nikotinat presinaptik pada neuron glutamat dibahas pada Bab 13 dan diilustrasikan
pada Gambar 13-20. Nikotin juga tampaknya menurunkan sensitivitas reseptor
postinaptik α4β2 pada interneuron GABAergik penghambat di VTA (Gambar 14-
9); ini juga mengarah pada pelepasan DA dalam nucleus accumbens dengan
menghilangkan neuron mesolimbik dopaminergik. Tindakan nikotin pada reseptor
α7-nikotinik postinaptik di korteks prefrontal dapat dikaitkan dengan tindakan
nikotin yang pro-kognitif dan mengingatkan secara mental, tetapi tidak dengan
tindakan adiktif. Reseptor α4β2-nikotinik beradaptasi dengan mengirimkan
nikotin pulsatil kronis intermiten dengan cara yang mengarah pada kecanduan
(Gambar 14-10).
Artinya, awalnya reseptor ini dalam keadaan istirahat dibuka oleh
pengiriman nikotin, yang pada gilirannya menyebabkan pelepasan dan penguatan
dopamin, kesenangan, dan penghargaan (Gambar 14-10A). Saat rokok selesai,
reseptor ini menjadi peka, sehingga mereka tidak dapat berfungsi sementara dan
dengan demikian tidak dapat bereaksi terhadap asetilkolin atau nikotin (Gambar
14-10A). Dalam hal mendapatkan penghargan lebih lanjut, Anda mungkin
berhenti merokok pada saat ini. Sebuah pertanyaan menarik untuk ditanyakan
adalah: berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk reseptor nikotinik untuk
menjadi peka? Jawabannya nampaknya: kira-kira selama yang dibutuhkan untuk
menghirup semua kepulan rokok standar dan membakarnya sampai habis. Jadi,
mungkin bukan kebetulan bahwa rokok itu memiliki panjang seperti itu. Ukuran
rokok lebih pendek tidak memaksimalkan kesenangan, kemudian rokok yang
lebih panjangmerupakan suatu yang sia-sia karena pada saat itu semua reseptor
sudah tidak peka (Gambar 14-10A).
Masalah bagi perokok adalah bahwa ketika reseptor tersensitisasi ke
keadaan istirahat dan ini memicu keinginan dan penarikan karena kurangnya
pelepasan dopamin lebih lanjut (Gambar 14-10A). Pertanyaan menarik lainnya
adalah: berapa lama untuk resensitisasi reseptor nikotinik? Jawabannya
tampaknya: tentang lamanya waktu yang dibutuhkan perokok di antara tiap waktu
perokok merokok. Untuk rata-rata satu bungkus per hari perokok terjaga selama
16 jam, itu akan menjadi sekitar 45 menit, mungkin menjelaskan mengapa ada 20
batang rokok dalam satu bungkus (yaitu, cukup bagi perokok rata-rata untuk
menjaga reseptor nikotiniknya sepenuhnya peka sepanjang hari).
Menghilangkan reseptor nikotinik dengan membuat mereka peka
menyebabkan neuron berusaha mengatasi kekurangan reseptor yang berfungsi ini
dengan meningkatkan jumlah reseptor (Gambar 14-10B). Namun, hal tersebut sia-
sia, karena nikotin hanya menurunkan kepekaan mereka pada saat berikutnya
rokok dihisap (Gambar 14-10C). Lebih lanjut, peningkatan regulasi ini merugikan
diri sendiri karena berfungsi untuk memperkuat keinginan yang terjadi ketika
reseptor ekstra tersensitisasi ke keadaan istirahat mereka (Gambar 14-10C).

23
Dari sudut pandang reseptor, tujuan merokok adalah untuk menurunkan
kepekaan semua reseptor nikotinat α4β2, melepaskan dopamin maksimum pada
awalnya, tetapi pada akhirnya sebagian besar untuk mencegah keinginan.
Pemindaian positron emission tomography (PET) dari reseptor α4β2-nikotinik
pada perokok manusia mengkonfirmasi bahwa reseptor nikotinik terpapar dengan
cukup banyak nikotin untuk waktu yang cukup lama dari setiap rokok untuk
mencapai hal ini. Nafsu keinginan tampaknya dimulai pada tanda pertama
resensitisasi reseptor nikotinik. Dengan demikian, hal buruk tentang resensitisasi
reseptor adalah memunculkan keinginan. Hal yang baik dari sudut pandang
perokok adalah bahwa ketika reseptor resensitisasi, mereka tersedia untuk
melepaskan lebih banyak dopamin dan menyebabkan kesenangan atau menekan
keinginan dan penarikan lagi.
Mengobati ketergantungan nikotin tidak mudah. Ada bukti bahwa
kecanduan nikotin dimulai dengan rokok pertama, dengan dosis pertama
menunjukkan tanda-tanda akan bertahan sebulan pada hewan percobaan (mis.,
Aktivasi korteks cingulate anterior selama ini setelah satu dosis tunggal). Nafsu
keinginan dimulai dalam sebulan administrasi berulang. Mungkin yang lebih
merepotkan adalah temuan bahwa “pembelajaran jahat” yang terjadi dari
penyalahgunaan zat apa pun termasuk nikotin mungkin sangat, sangat tahan lama
setelah paparan nikotin dihentikan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
perubahan ini bahkan berlangsung seumur hidup, dengan bentuk "memori
molekuler" menjadi nikotin, bahkan pada mantan perokok berpuasa jangka
panjang. Salah satu agen sukses pertama yang terbukti efektif adalah nikotin itu
sendiri, tetapi dalam rute pemberian selain merokok yaitu: permen karet, permen
pelega tenggorokan, semprotan hidung, inhaler, dan patch transdermal.
Memberikan nikotin melalui rute lain ini tidak mencapai pada akumulasi tingkat
tinggi atau ledakan pulsatil yang dikirim ke otak dibandingkan dengan merokok,
sehingga mereka tidak terlalu menguatkan. Namun, bentuk-bentuk alternatif
pengiriman nikotin ini dapat membantu mengurangi keinginan karena nikotin
dalam jumlah yang terus-menerus dikirim, mungkin mengurangi jumlah sejumlah
resensitisasi dan keinginan reseptor nikotinat yang penting.

24
Gambar 14-9. Aktivitas nikotin. Nikotin secara langsung menyebabkan pelepasan
dopamin dalam nukleus accumbens dengan mengikat reseptor nikotinik nikotinat α4β2
pada neuron dopamin di area ventral tegmental (VTA). Selain itu, nikotin berikatan
dengan reseptor presinaptik α7 nikotinik pada neuron glutamat di VTA, yang pada
gilirannya mengarah pada pelepasan dopamin dalam nukleus accumbens. Nikotin juga
tampaknya menurunkan sensitivitas reseptor postinaptik α4β2 pada interneuron GABA di
VTA; Pengurangan neurotransmisi GABA menghambat neuron dopamin mesolimbik dan
dengan demikian merupakan mekanisme ketiga untuk meningkatkan pelepasan dopamin
dalam nukleus accumbens. PFC, korteks prefrontal; PPT / LDT, nuklei tegmental
pedunculopontine dan laterodorsal.

25
Gambar 14-10. Penguatan dan reseptor nikotinat α4β2. (A) Dalam keadaan istirahat
reseptor nikotinat α4β2 ditutup (kiri). Pemberian nikotin, seperti dengan merokok,
menyebabkan reseptor terbuka, yang pada gilirannya menyebabkan pelepasan dopamin
(tengah). Stimulasi jangka panjang dari reseptor-reseptor ini menyebabkan desensitisasi
mereka, sehingga mereka untuk sementara tidak dapat lagi bereaksi terhadap nikotin (atau
asetilkolin); ini terjadi dalam waktu yang kira-kira sama dengan waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan satu batang rokok (kanan). Ketika reseptor resensitize, mereka
memulai keinginan dan penarikan karena kurangnya pelepasan dopamin lebih lanjut. (B)
Dengan desensitisasi kronis, reseptor α4β2 meningkatkan regulasi untuk mengimbangi.
(C) Jika seseorang terus merokok, pemberian nikotin yang diulang terus menyebabkan
desensitisasi semua reseptor α4β2 ini, dan dengan demikian upregulasi tidak baik.
Bahkan, upregulasi dapat menyebabkan keinginan meningkat ketika reseptor tambahan
resensitize ke keadaan istirahat mereka.

26
Pengobatan lain untuk ketergantungan nikotin adalah varenicline, selektif
agonis parsial reseptor α4β-nicotinic acetylcholine (Gambar 14-11 dan 14-12).
Gambar 14-11 kontras efek agonis parsial nikotinat (NPA) dengan agonis penuh
nikotinat dan antagonis nikotinat pada saluran kation yang terkait dengan reseptor
kolinergik nikotinik. Agonis penuh nikotinat meliputi asetilkolin, agonis penuh
kerja pendek, dan nikotin, agonis penuh kerja panjang. Mereka membuka saluran
secara penuh dan sering (Gambar 14-11, kiri). Sebaliknya, antagonis nikotinat
menstabilkan saluran dalam keadaan tertutup, tetapi tidak menurunkan kepekaan
reseptor ini (Gambar 14-11, kanan). NPA menstabilkan reseptor nikotinik dalam
keadaan menengah yang tidak peka dan di mana saluran terbuka lebih jarang
daripada dengan agonis penuh, tetapi lebih sering daripada dengan antagonis
(Gambar 14-11, tengah).

Gambar 14-11. Aktivitas molekuler agonis parsial nikotinat (NPA). Agonis penuh pada
reseptor α4β2, seperti asetilkolin dan nikotin, menyebabkan saluran sering terbuka (kiri).
Sebaliknya, antagonis pada reseptor ini menstabilkan mereka dalam keadaan tertutup,
sehingga mereka tidak menjadi peka (kanan). Agonis parsial nikotinat (NPA)
menstabilkan saluran dalam keadaan peralihan, menyebabkan saluran tersebut lebih
jarang terbuka daripada agonis penuh tetapi lebih sering daripada antagonis (tengah).

Seberapa kecanduan tembakau, dan seberapa baik NPA bekerja untuk


mencapai penghentian merokok? Sekitar dua pertiga dari perokok ingin berhenti,
sepertiga mencoba, tetapi hanya 2-3% yang berhasil dalam jangka panjang. Dari
semua substansi penyalahgunaan, beberapa survei menunjukkan bahwa tembakau
memiliki kemungkinan tertinggi membuat Anda menjadi tergantung ketika Anda

27
telah mencoba suatu zat setidaknya satu kali (Tabel 14-3). Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa nikotin mungkin merupakan zat yang paling menyebabkan
ketagihan. Berita baiknya adalah bahwa NPA varenicline meningkat tiga kali lipat
atau empat kali lipat dari angka berhenti 1 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun
dibandingkan dengan plasebo; berita buruknya adalah ini berarti hanya sekitar
10% perokok yang telah menggunakan varenicline yang masih berpantang
setahun kemudian. Banyak dari pasien ini yang diresepkan varenicline hanya
selama 12 minggu, yang mungkin terlalu singkat untuk memberikan efektivitas
maksimal.
Pendekatan lain untuk pengobatan penghentian merokok adalah dengan
mencoba mengurangi keinginan yang terjadi selama pantang dengan
meningkatkan dopamin dengan bupropion reuptake norepinefrin-dopamin
inhibitor (NDRI) (lihat Bab 7, dan Gambar 7-35 hingga 7-37). Idenya adalah
untuk mengembalikan sebagian dopamin ke reseptor postsinaptik D2 dalam
nukleus accumbens ketika mereka menyesuaikan kembali dengan kurangnya
mendapatkan “perbaikan” dopamin dari penarikan nikotin baru-baru ini (Gambar
14-13). Jadi, ketika merokok, dopamin dilepaskan dengan melimpah di nukleus
accumbens karena aksi nikotin pada reseptor α4β2 pada neuron dopamin VTA
(Gambar 14-13A). Selama berhenti merokok, reseptor nikotinat yang
teresensitisasi tidak lagi menerima nikotin adalah suatu keinginan karena tidak
adanya pelepasan dopamin dalam nukleus accumbens ("di mana dopamin saya?" -
Figur 14-13B). Ketika bupropion NDRI diberikan, secara teoritis sedikit dopamin
sekarang dilepaskan dalam nukleus accumbens, membuat keinginan berkurang
tetapi biasanya tidak menghilangkannya (Gambar 14-13C). Seberapa efektif
bupropion dalam penghentian merokok? Tingkat berhenti untuk bupropion adalah
sekitar setengah dari garis NPA. Tingkat berhenti untuk nikotin dalam rute
administrasi alternatif seperti transdermal patchs mirip dengan bupropion.
Pendekatan baru untuk mengobati kecanduan nikotin meliputi penyelidikan
vaksin nikotin dan agen kolinergik nikotinat kerja langsung lainnya.

28
Gambar 14-12. Aktivitas Varenicline di sirkuit imbalan. Varenicline adalah agonis
parsial nikotinat (NPA) selektif untuk subtipe reseptor α4β2. Tindakannya pada reseptor
α4β2-nicotinic - terletak pada neuron dopamin dan interneuron GABA di VTA semuanya
ditunjukkan. PFC, korteks prefrontal; PPT / LDT, nuklei tegmental pedunculopontine dan
laterodorsal.

29
Gambar 14-13. Mekanisme aksi bupropion dalam penghentian merokok. (A) Seorang
perokok reguler memberikan nikotin (lingkaran) yang andal, melepaskan dopamin di area
limbik dengan interval yang sering, yang bermanfaat bagi reseptor D2 lopik dopamin di
sebelah kanan. (B) Namun, selama upaya berhenti merokok, dopamin akan terputus
ketika nikotin tidak lagi melepaskannya dari neuron mesolimbik. Ini mengacaukan
reseptor limbik D2 postsinaptik dan mengarah pada keinginan dan apa yang beberapa
orang sebut sebagai "kecocokan nikotin" di terminal neuron dengan bupropion. (C)
Pendekatan terapeutik untuk melenyapkan keinginan selama tahap awal penghentian
merokok adalah dengan memberikan sedikit dopamin itu sendiri dengan memblokir
dopamin reuptake langsung di terminal saraf dengan bupropion. Meskipun tidak sekuat

30
nikotin, hal tersebut memang menghilangkan dan dapat membuat pantang lebih dapat
ditoleransi.

Gambar 14-14. Situs berikatan obat hipnotik sedatif. (A) Benzodiazepin (BZ) dan
barbiturat keduanya bekerja pada reseptor GABAA, tetapi pada lokasi pengikatan yang
berbeda. Benzodiazepin tidak bertindak sama sekali pada reseptor GABAA; sebaliknya,
mereka selektif untuk subtipe α1, α2, α3, dan α5 reseptor yang juga mengandung subunit
γ tetapi tidak δ. (B) Anestesi umum, alkohol, dan neurosteroid dapat berikatan dengan
reseptor GABAA jenis lain, terutama yang mengandung un subunit.

31
C. Alkohol
Artis terkenal Vincent van Gogh dilaporkan minum secara sangat berat dan
merusak, beberapa berspekulasi bahwa ia mengobati sendiri gangguan bipolarnya
dengan cara ini, sebuah gagasan yang diperkuat oleh penjelasannya, "Jika badai di
dalam terlalu keras, saya mengambil gelas terlalu banyak untuk membuat saya
kaget." Alkohol mungkin menyengat tetapi tidak mengobati gangguan kejiwaan
secara adaptif dalam jangka panjang. Sayangnya, banyak pecandu alkohol yang
memiliki gangguan kejiwaan komorbid lalu melakukan pengobatan sendiri
dengan alkohol daripada mencari pengobatan untuk menerima agen
psikofarmakologis yang lebih tepat. Selain komorbiditas yang sering dengan
gangguan kejiwaan, diperkirakan 85% pecandu alkohol juga merokok.

32
Gambar 14-15. Aktivitas alkohol di area ventral tegmental (VTA). Neuron opioid
bersinaps di VTA dengan interneuron GABAergik dan dengan terminal saraf presinaptik
dari neuron glutamat. Tindakan penghambatan opioid pada reseptor µ-opioid di sana
menyebabkan pelepasan dopamin dalam nukleus accumbens. Alkohol baik secara
langsung bekerja pada reseptor µ atau menyebabkan pelepasan opioid endogen seperti
enkephalin. Alkohol juga bekerja pada reseptor metabotropik glutamat presinaptik
(mGluR) dan saluran kalsium peka-tegangan presinaptik (VSCC) untuk menghambat
pelepasan glutamat. Akhirnya, alkohol meningkatkan pelepasan GABA dengan
memblokir reseptor GABAB presinaptik dan melalui tindakan langsung atau tidak
langsung pada reseptor GABAA.

Gambar 14-16. Aktivitas naltrexone di area ventral tegmental (VTA). Neuron opioid
membentuk sinapsis dalam VTA dengan interneuron GABAergik dan dengan terminal

33
saraf presinaptik dari neuron glutamat. Alkohol dapat bekerja secara langsung pada
reseptor µ atau menyebabkan pelepasan opioid endogen seperti enkephalin; dalam kedua
kasus, hasilnya adalah peningkatan pelepasan dopamin ke nucleus accumbens.
Naltrexone adalah antagonis reseptor µ-opioid; sehingga menghambat efek
menyenangkan dari alkohol yang dimediasi oleh reseptor µ-opioid.

Pandangan yang disederhanakan tentang mekanisme aksi alkohol adalah


bahwa ia meningkatkan penghambatan pada sinapsis GABA dan mengurangi
eksitasi pada sinapsis glutamat. Tindakan alkohol di sinapsis GABA
meningkatkan pelepasan GABA melalui pemblokiran reseptor GABAB
presinaptik, dan juga secara langsung merangsang reseptor GABAA post-sinaptik,
terutama subtipe δ yang responsif terhadap modulasi neurosteroid tetapi tidak
terhadap modulasi benzodiazepine, baik melalui aksi langsung atau dengan
melepaskan neurosteroid (Gambar 3). 14-14). Subtipe delta reseptor GABAA
dibahas pada Bab 9 dan diilustrasikan pada Gambar 9-21. Alkohol juga bekerja
pada reseptor metabotropik glutamat presinaptik (mGluRs) dan saluran kalsium
peka voltase (VSCC) presinaptik untuk menghambat pelepasan glutamat (Gambar
14-15). mGluR diperkenalkan pada Bab 4 dan diilustrasikan dalam Gambar 4-22
dan 4-23. VSCC dan perannya dalam pelepasan glutamat diperkenalkan pada Bab
3 dan diilustrasikan dalam Gambar 3-22 hingga 3-24. Alkohol juga dapat
memiliki beberapa efek langsung atau tidak langsung pada pengurangan aksi
glutamat pada reseptor NMDA post-sinaptik dan pada reseptor mGluR post-
sinaptik (Gambar 14-15). Efek penguat alkohol secara teori dimediasi tidak hanya
oleh efeknya di GABA dan sinapsis glutamat tetapi juga oleh aksi di sinapsis
opioid dalam sirkuit penghargaan mesolimbik (Gambar 14-15). Neuron opioid
muncul dalam nukleus arkuata dan memproyeksikan ke VTA, bersinapsulasi pada
neuron glutamat dan GABA. Hasil bersih dari aksi alkohol pada sinapsis opioid
dianggap sebagai pelepasan dopamin dalam nukleus acccumbens (Gambar 14-15).
Alkohol dapat melakukan ini dengan secara langsung bekerja pada reseptor µ-
opioid atau dengan melepaskan opioid endogen seperti enkephalin. Tindakan
alkohol ini menciptakan alasan untuk memblokir reseptor µ-opioid dengan
antagonis seperti naltrexone (Gambar 14-16). Gambar 14-7 juga menunjukkan
adanya reseptor cannabinoid presinaptik di kedua glutamat dan sinapsis GABA, di
mana alkohol dapat beraksi. Antagonis cannabinoid seperti rimonabant, yang
menghambat reseptor CB1, dapat mengurangi konsumsi alkohol dan mengurangi
keinginan pada hewan yang tergantung pada alkohol.

34
Gambar 14-17. Aktivitas acamprosate di ventral tegmental area (VTA). Acamprosate
tampaknya memblokir reseptor glutamat, khususnya reseptor glutamat metabotropik
(mGluR) dan mungkin juga reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Ketika alkohol
diambil secara kronis dan kemudian ditarik, perubahan adaptif yang diakibatkannya baik
dalam sistem glutamat dan sistem GABA menciptakan keadaan eksitasi berlebih glutamat
serta defisiensi GABA. Dengan memblokir reseptor glutamat, acamprosate dapat
mengurangi hipereksitabilitas glutamat selama penghentian alkohol.

Beberapa agen terapi mengeksploitasi farmakologi alkohol yang dikenal


dan disetujui untuk mengobati ketergantungan alkohol. Salah satunya, naltrexone,

35
memblok reseptor opioid-µ (Gambar 14-16). Adapun penyalahgunaan opioid,
reseptor µ-opioid secara teoritis juga berkontribusi pada euforia dan "tinggi"
minum banyak. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa antagonis µ-opioid
akan menghalangi kenikmatan minum banyak dan meningkatkan pantang dengan
tindakannya pada sirkuit penghargaan (Gambar 14-16). Teori ini didukung oleh
uji klinis, yang menunjukkan bahwa naltrexone tidak hanya meningkatkan
kemungkinan mendapatkan alkohol sama sekali, tetapi juga mengurangi "minum
banyak" (didefinisikan sebagai lima atau lebih minuman per hari untuk pria dan
empat atau lebih untuk wanita).
Hasil untuk pasien dengan ketergantungan alkohol yang menggunakan
naltrexone mungkin lebih menguntungkan ketika bentuk naltrexone yang
diresepkan diberikan sebulan sekali dengan injeksi intramuskuler, yang disebut
XRnaltrexone. Ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa metode pemberian obat
ini memaksakan kepatuhan setidaknya selama sebulan. Pemberian obat-obatan
setiap bulan dan bukan harian mungkin merupakan apa yang dibutuhkan oleh
sirkuit hadiah bagi seseorang dengan masalah penyalahgunaan zat. Seperti
dibahas sebelumnya dalam bab ini, pasien yang kecanduan berbagai zat
kehilangan kemampuannya untuk membuat keputusan yang rasional, dan sebagai
gantinya menanggapi dengan segera dan secara impulsif terhadap keinginan untuk
mencari obat-obatan, dan memiliki kapasitas yang luas untuk penolakan terhadap
sifat maladaptif dari keputusan kompulsif mereka. Cukup sulit untuk membuat
pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat untuk memasuki perawatan atau
minum obat sama sekali, apalagi membuat orang itu memutuskan setiap hari tidak
hanya untuk tetap berpantang tetapi juga untuk minum obat. Kecanduan dan sifat
manusia seperti apa adanya, tidak mengherankan bahwa pasien sering keluar dari
perawatan dan melanjutkan penyalahgunaan obat. Jika Anda minum ketika Anda
mengonsumsi naltrexone, opioid yang dilepaskan tidak menyebabkan kenikmatan,
jadi mengapa repot-repot minum? Beberapa pasien juga tentu saja berkata,
mengapa repot-repot mengonsumsi naltrexone? - dan kambuh kembali ke minum
alkohol. Namun, jika Anda telah diberikan suntikan yang berlangsung selama
sebulan, dan memiliki impuls yang tak tertahankan untuk minum, dan Anda
"terpeleset" dan mulai minum, Anda tidak dapat menghentikan naltrexone Anda.
Jadi, jika Anda "minum" naltrexone Anda, Anda mungkin menemukan bahwa
Anda tidak mendapatkan desas-desus atau kenikmatan karena mabuk, dan karena
itu mungkin berhenti setelah beberapa minuman. Anda bahkan bisa berpantang
selama beberapa hari lagi.
Acamprosate adalah turunan dari asam amino taurin dan berinteraksi
dengan sistem glutamat, untuk menghambatnya, dan dengan sistem GABA, untuk
meningkatkannya, sedikit seperti bentuk "alkohol buatan" (bandingkan Gambar
14-15 dengan Gambar 14). -17). Dengan demikian, ketika alkohol diambil secara
kronis dan kemudian ditarik, perubahan adaptif yang diakibatkannya pada sistem
glutamat dan sistem GABA menciptakan keadaan kelebihan glutamat dan bahkan

36
eksitotoksisitas serta defisiensi GABA. Terlalu banyak glutamat dapat
menyebabkan kerusakan saraf, seperti dibahas pada Bab 13 dan diilustrasikan
dalam Gambar 13-28 dan 13-29. Sejauh acamprosate dapat menggantikan alkohol
pada pasien selama penarikan, aksi acamprosate mengurangi hiperaktif glutamat
dan defisiensi GABA (Gambar 14-17). Ini terjadi karena acamprosate tampaknya
memiliki aksi pemblokiran langsung pada reseptor glutamat tertentu, khususnya
reseptor mGlu (khususnya mGluR5 dan mungkin mGluR2). Dengan satu atau lain
cara, acamprosate tampaknya mengurangi pelepasan glutamat yang terkait dengan
penghentian alkohol (Gambar 14-17). Tindakan, jika ada, pada reseptor NMDA
dapat bersifat tidak langsung, seperti halnya aksi pada sistem GABA, yang
keduanya mungkin merupakan efek hilir sekunder dari tindakan acamprosate pada
reseptor mGlu (Gambar 14-17).
Disulfiram adalah obat klasik untuk mengobati kecanduan alkohol. Ini
adalah inhibitor aldehyde dehydrogenase yang ireversibel dan, ketika alkohol
dicerna, menghasilkan peningkatan kadar asetaldehida yang toksik. Ini
menciptakan pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kulit memerah, mual,
muntah, dan hipotensi, dengan harapan mengondisikan pasien terhadap respons
negatif daripada positif untuk minum. Jelas, kepatuhan adalah masalah dengan
agen ini, dan reaksi aversif terkadang berbahaya.
Agen eksperimental yang menunjukkan beberapa hasil yang baik dalam
mengobati ketergantungan alkohol termasuk antikonvulsan topiramate (dibahas
lebih rinci di bawah pada bagian tentang obesitas), antagonis 5HT3 (mekanisme
yang dibahas pada Bab 7 dan diilustrasikan pada Gambar 746), dan antagonis
reseptor CB1 cannabinoid. Antagonis opioid baru seperti nalmefene (Selinco)
juga sedang berada dalam uji klinis tahap akhir. Subjek tentang cara mengobati
penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol merupakan hal yang kompleks, dan
perawatan psikofarmakologis paling efektif bila dipadukan dengan terapi
terstruktur seperti program 12 langkah, adalah suatu topik yang berada di luar
cakupan teks ini. Diharapkan dokter akan belajar bagaimana memanfaatkan lebih
baik lagi berbagai tatalaksana dan perawatan untuk alkoholisme yang tersedia saat
ini, dan menentukan apakah mereka dapat digunakan untuk mengobati penyakit
yang menghancurkan ini untuk mencapai hasil yang jauh lebih baik daripada yang
tersedia ketika tidak ada perawatan yang diberikan, diterima, atau dipertahankan.

D. Sedatif-Hipnotik
Hipnotik sedatif meliputi barbiturat dan agen terkait seperti ethclorvynol
dan ethinamate, chloral hydrate and derivatives, dan turunan piperidinedione
seperti glutethimide dan methyprylon. Para ahli sering memasukkan alkohol,
benzodiazepine, dan Z-drug hypnotics di kelas ini juga. Mekanisme aksi
hipnotik sedatif pada dasarnya sama dengan aksi benzodiazepin: yaitu,

37
positive allosteric odulators (PAM) untuk reseptor GABAA. Tindakan
hipnotik sedatif berada di lokasi reseptor GABAA. Aksi olecular dari semua
hipnotik sedatif serupa, tetapi benzodiazepin dan barbiturat tampaknya bekerja
di lokasi yang berbeda satu sama lain, dan juga hanya pada beberapa subtipe
reseptor GABAA, yaitu subunit dengan α1, α2, α3, atau α5.
Barbiturat jauh lebih aman dari pada benzodiazepin, menyebabkan lebih
sering ketergantungan, lebih sering disalahgunakan, dan menghasilkan reaksi
penarikan yang jauh lebih berbahaya. Rupanya, situs reseptor pada reseptor
GABAA yang memediasi aksi farmakologis barbiturat bahkan lebih mudah
peka dengan konsekuensi yang bahkan lebih berbahaya daripada reseptor
benzodiazepine. Situs barbiturat juga memediasi euforia yang lebih intens dan
rasa ketenangan yang lebih diinginkan daripada situs reseptor enzodiazepine.
Karena benzodiazepin umumnya merupakan alternatif yang memadai untuk
barbiturat, psikofarmakologis karena dapat membantu meminimalkan
penyalahgunaan barbiturat dengan meresepkannya jarang jika pernah. Dalam
kasus reaksi withdrawl, memasang kembali dan kemudian menempelkan
barbiturat di bawah pengawasan klinis yang ketat dapat membantu proses
detoksifikasi.
E. Opioid
Opioid bertindak sebagai neurotransmitter yang dilepaskan dari neuron
yang muncul di nukleus arkuata dan memproyeksikan baik ke VTA dan ke
nukleus accumbens, dan melepaskan enkephalin (Gambar 14-18). Opioid
endogen yang terjadi secara alami bertindak berdasarkan berbagai subtipe
reseptor. Tiga subtipe reseptor yang paling penting adalah reseptor µ-, δ-, dan
κ-opioid (Gambar 14-18). Otak membuat opioid endogennya sendiri, kadang-
kadang disebut sebagai "brain’s own morphine". Ini semua adalah peptida
yang berasal dari protein prekursor yang disebut pro-opiomelanocortin
(POMC), proenkephalin, dan prodynorphin (Gambar 14-18 ). Sebagian dari
protein prekursor ini dibelah untuk membentuk endorfin, enkephalin, atau
dinorfin, yang disimpan dalam neuron opioid, dan mungkin dilepaskan selama
neurotransmisi untuk memediasi aksi opioid seperti endogen, termasuk peran
dalam memediasi penguatan dan kesenangan dalam reward circuitry.

38
Gambar 14-18. Endogenous opioid
Neurotransmitters.
Obat opioid bekerja pada berbagai reseptor yang disebut reseptor opioid, yang paling
penting adalah µ, δ, dan κ. Zat seperti opioid endogen adalah peptida yang berasal
dari protein prekursor yang disebut POMC (proopiomelanocortin), proenkephalin,
dan prodynorphin. Sebagian protein prekursor ini dibelah untuk membentuk endorfin,
enkephalin, atau dinorfin, yang kemudian disimpan dalam neuron opioid dan
mungkin dilepaskan selama transmisi saraf untuk memediasi penguatan dan
kesenangan.

Opioid eksogen penghilang rasa sakit (seperti oksikodon, hidrokodon, dan


banyak lainnya) atau obat pelecehan (seperti heroin) dianggap bertindak
sebagai agonis pada reseptor µ, -, dan κ-opioid, terutama pada situs µ. Pada
dan di atas dosis penghilang rasa sakit, opioid menginduksi euforia, yang
merupakan properti penguat utama opioid. Opioid juga dapat menyebabkan
euforia yang sangat intens tetapi singkat diikuti oleh rasa ketenangan yang
mendalam yang dapat berlangsung beberapa jam, diikuti oleh kantuk
("mengangguk"), perubahan suasana hati, kekeruhan mental, apatis, dan
gerakan motor melambat. Dalam overdosis, agen yang sama bertindak sebagai
depresan respirasi, dan juga dapat menyebabkan koma. Tindakan akut opioid
dapat dibalik dengan antagonis opioid sintetik, seperti nalokson dan
naltrekson, yang bersaing sebagai antagonis pada reseptor opioid.

39
Ketika diberikan secara kronis, opioid menyebabkan toleransi dan
ketergantungan. Adaptasi reseptor opioid terjadi dengan mudah setelah
pemberian opioid kronis. Tanda pertama dari ini adalah kebutuhan pasien
untuk mengambil dosis opioid yang lebih tinggi untuk mengurangi rasa sakit
atau untuk memicu euforia yang diinginkan. Akhirnya, mungkin ada sedikit
ruang antara dosis yang menyebabkan euforia dan yang menghasilkan efek
toksik dari overdosis. Tanda lain bahwa ketergantungan telah terjadi dan
reseptor opioid telah beradaptasi dengan mengurangi sensitivitas mereka
terhadap aksi agonis adalah produksi sindrom penarikan begitu opioid yang
dikelola secara kronis hilang. Antagonis opioid, seperti nalokson, dapat
memicu sindrom penarikan pada orang yang ketergantungan opioid.
Sindrom penarikan opioid ditandai oleh pasien merasakan disforia,
menginginkan dosis opioid lain, mudah tersinggung, dan memiliki tanda
hiperaktif otonom seperti takikardia, tremor, dan berkeringat. Pilo-erection
sering dikaitkan dengan penghentian opioid, terutama ketika obat dihentikan
secara tiba-tiba. Hal ini membuat pelaku opioid akan sering berhenti dan
mendapatkan dosis opioid lain untuk meredakan gejala penarikan. Dengan
demikian, apa yang mungkin telah dimulai sebagai pencarian euforia dapat
berakhir sebagai upaya untuk menghindari penarikan. Clonidine, agonis α2-
adrenergik, dapat mengurangi tanda-tanda hiperaktif otonom selama penarikan
dan membantu dalam proses detoksifikasi.
Reseptor opioid dapat beradaptasi kembali dengan normal jika diberi
kesempatan untuk melakukannya tanpa adanya tambahan asupan opioid. Ini
mungkin terlalu sulit untuk ditoleransi, jadi memasang kembali opioid lain,
seperti metadon, yang dapat diambil secara oral dan kemudian secara perlahan
dikurangi, dapat membantu dalam proses detoksifikasi. Agonis µ-opioid
parsial, buprenophine, sekarang tersedia dalam formulasi dosis sublingual
yang dikombinasikan dengan nalokson, juga dapat menggantikan opioid
agonis penuh yang lebih kuat, dan kemudian diturunkan. Ini dikombinasikan
dengan nalokson antagonis opioid, yang tidak diserap secara oral atau
sublingual, tetapi mencegah penyalahgunaan intravena, karena injeksi
kombinasi buprenorfin ditambah nalokson menghasilkan tidak tinggi dan

40
bahkan dapat memicu penarikan. Perawatan substitusi agonis paling baik
digunakan dalam pengaturan program perawatan perawatan terstruktur yang
mencakup skrining obat urin acak dan layanan psikologis, medis, dan kejuruan
yang intensif.
Bagi mereka yang dapat berhenti menggunakan opioid selama setidaknya
7-10 hari sehingga gejala penarikan serius tidak terjadi, naltrexone suntik yang
lama dapat menjadi terapi yang sangat efektif untuk pecandu opioid, karena
obat ini memblokir "kecurangan" selama sebulan, dan mencegah tindakan
farmakologis dari opioid yang disalahgunakan di situs µ-opioid,
memungkinkan detoksifikasi untuk melanjutkan bahkan jika pasien mencoba
untuk mengambil opioid. Ini adalah obat yang sama dalam formulasi yang
sama yang dibahas di atas dan disetujui untuk pengobatan penyalahgunaan
alkohol.
Tidak semua yang menyalahgunakan opioid adalah pecandu stereotip yang
merokok atau menyuntikkan narkoba, hidup di jalanan, dan menghidupi
dirinya dengan kejahatan. Ada juga epidemi serius penyalahgunaan oral
opioid resep oleh mereka yang bekerja atau pelajar, dan yang memperoleh
obat-obatan ini baik dari resep atau dari pengedar narkoba yang membeli
mereka dari resep, apotek, atau online.
F. Marijuana (Ganja)
Tindakan ganja dan bahan aktifnya Δ9 tetrahydrocannabinol (THC) pada
sirkuit imbalan, ada di reseptor cannabinoid yang merupakan situs di mana
cannabinoid endogen digunakan secara alami sebagai neurotransmiter
retrograde. Persiapan kanabis dihisap untuk menghasilkan kanabinoid yang
berinteraksi dengan reseptor kanabinoid otak sendiri untuk memicu pelepasan
dopamin dari sistem imbalan mesolimbik. Ada dua reseptor kanabinoid yang
dikenal, CB1 (di otak, digabungkan melalui protein G dan memodulasi
adenilat siklase dan saluran ion) dan CB2 (terutama dalam sistem kekebalan).
Reseptor CB1 dapat memediasi tidak hanya sifat penguat ganja, tetapi juga
alkohol dan sampai batas tertentu dari zat psikoaktif lainnya (termasuk
kemungkinan beberapa makanan). Anandamide adalah salah satu
endocannabinoid dan anggota kelas kimia neurotransmitter yang bukan

41
monoamina, bukan asam amino, dan bukan peptida: itu adalah lipid,
khususnya anggota keluarga etanolamida asam lemak. Anandamide memiliki
sebagian besar tetapi tidak semua sifat farmakologis dari THC, karena aksinya
pada reseptor cannabinoid otak ditiru tidak hanya oleh THC tetapi juga
dimusuhi sebagian oleh otak selektif cannabinoid reseptor antagonis reseptor
CB1 rimonabant.
Dalam dosis memabukkan yang biasa, ganja menghasilkan rasa
kesejahteraan, relaksasi, rasa persahabatan, hilangnya kesadaran duniawi,
termasuk membingungkan masa lalu dengan masa kini, memperlambat proses
berpikir, gangguan ingatan jangka pendek, dan perasaan untuk mencapai
wawasan khusus. Pada dosis tinggi, ganja dapat menyebabkan kepanikan,
delirium toksik, dan, jarang, psikosis. Salah satu komplikasi dari penggunaan
jangka panjang adalah "sindrom amotivasional" pada pengguna yang sering.
Sindrom ini terlihat terutama pada pengguna harian yang berat dan ditandai
dengan munculnya penurunan dorongan dan ambisi, sehingga "amotivational."
Hal ini juga terkait dengan gejala lain yang mengganggu sosial dan
pekerjaan, termasuk rentang perhatian yang diperpendek, penilaian buruk,
mudah distraktibilitas, gangguan keterampilan komunikasi, introversi, dan
berkurangnya efektivitas dalam situasi antarpribadi. Kebiasaan pribadi
mungkin memburuk, dan mungkin ada kehilangan wawasan, dan bahkan
perasaan depersonalisasi. Kelemahan lain dari ganja adalah bahwa orang-
orang yang rentan terhadap skizofrenia dapat memicu penyakit ini, melakukan
serangan lebih awal, atau memperburuk penyakit yang ada saat
menyalahgunakan ganja, dan pada tingkat yang lebih besar daripada dengan
obat lain yang dapat disalahgunakan.
G. Halusinogen
Halusinogen adalah sekelompok agen yang bekerja pada sinapsis serotonin
dalam sistem penghargaan (Gambar 14-19). Mereka menghasilkan keracunan
yang terkait dengan perubahan dalam pengalaman sensorik, termasuk ilusi
visual dan halusinasi, peningkatan kesadaran rangsangan eksternal dan
peningkatan kesadaran pikiran internal dan rangsangan. Halusinasi ini
dihasilkan dengan tingkat kesadaran yang jelas dan kurangnya kebingungan

42
dan mungkin bersifat psikedelik dan psikotomimetik. Psychedelic adalah
istilah untuk pengalaman yang subyekti. Karena kesadaran indrawi yang
meningkat, pikiran seseorang sedang diperluas atau bahwa ia bersatu dengan
umat manusia atau alam semesta dan memiliki semacam pengalaman religius.
Psikotomimetik berarti bahwa pengalaman itu menirukan keadaan psikosis,
tetapi kemiripan antara perjalanan dan psikosis dangkal. Stimulan kokain dan
amfetamin dan club drug phencyclidine (PCP) jauh lebih benar-benar meniru
psikosis.
Keracunan hallucinogen termasuk ilusi visual; “jejak” visual di mana
gambar mengotori goresan-goresannya ketika bergerak melintasi jejak visual;
makropsia dan mikropsia; emosi dan mood lability; waktu terasa lebih lambat;
perasaan bahwa warna dapat didengar dan suara dapat terlihat; intensifikasi
persepsi suara; depersonalisasi dan derealisasi; namun tetap terjaga dan
terjaga. Perubahan lain mungkin termasuk gangguan penilaian, takut
kehilangan pikiran, kecemasan, mual, takikardia, peningkatan tekanan darah,
dan peningkatan suhu tubuh. Tidak mengherankan, keracunan halusinogen
dapat menyebabkan apa yang dianggap sebagai serangan panik, sering disebut
"perjalanan buruk." Ketika keracunan meningkat, seseorang dapat mengalami
keadaan kebingungan akut yang disebut delirium di mana pelaku disorientasi
dan gelisah. Ini dapat berkembang lebih jauh menjadi psikosis terbuka dengan
delusi dan paranoi.

43
Gambar 14-19. Mekanisme Halusinogen di HTA2A Receptor.
Tindakan utama obat halusinogen seperti LSD, mescaline, psilocybin, dan MDMA
ditunjukkan di sini: yaitu agonisme reseptor 5HT2A. Halusinogen dapat memiliki
aksi tambahan pada reseptor serotonin lain (khususnya 5HT1A dan 5HT2C) dan pada
sistem neurotransmitter lainnya, dan MDMA khususnya juga memblokir transporter
serotonin (SERT).

Halusinogen mencakup dua kelas agen utama. Kelas agen pertama


menyerupai serotonin (indole-alkylamines) dan termasuk halusinogen klasik
d-lysergic acid diethylamide (LSD), psilocybin, dan dimethyltryptamine
(DMT) (Gambar 14-19). Kelas agen kedua menyerupai norepinefrin dan
dopamin dan juga terkait dengan amfetamin (fenilalkilamin) dan termasuk
mescaline, 2,5-dimethoxy-4-methylamphetamine (DOM) dan lainnya. Baru-
baru ini, ahli kimia sintetis telah membuat beberapa "obat perancang" baru
seperti 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) dan "Foxy" (5-
methoxy-diisopropyltryptamine). Ini adalah stimulan atau halusinogen dan
menghasilkan keadaan subjektif yang kompleks yang kadang-kadang disebut
sebagai "ekstasi," yang juga disebut oleh pelaku kekerasan sebagai MDMA itu
sendiri. MDMA menghasilkan euforia, disorientasi, kebingungan, peningkatan

44
kemampuan bersosialisasi, dan rasa empati dan wawasan pribadi yang
meningkat.
Halusinogen memiliki interaksi yang agak kompleks pada sistem
neurotransmitter, tetapi salah satu yang paling menonjol adalah aksi umum
sebagai agonis di lokasi reseptor 5HT2A (Gambar 14-19). Halusinogen tentu
memiliki efek tambahan pada reseptor 5HT lainnya (terutama reseptor
somatodendritic 5HT1A dan reseptor postinaptik 5HT2C) dan juga pada
sistem pemancar neurotransmitter lainnya, terutama norepinefrin dan
dopamin, tetapi kepentingan relatif dari tindakan ini kurang diketahui dengan
baik. MDMA juga tampaknya menjadi penghambat kuat transporter serotonin
(SERT) dan juga merupakan pelepas serotonin. MDMA dan beberapa obat
lain yang terkait secara struktural bahkan dapat menghancurkan terminal
akson serotonin. Namun, tindakan yang tampaknya menjelaskan mekanisme
umum untuk sebagian besar halusinogen adalah stimulasi reseptor 5HT2A.
Halusinogen dapat menghasilkan toleransi yang luar biasa, kadang-kadang
setelah dosis tunggal. Desensitisasi reseptor 5HT2A dihipotesiskan untuk
mendasari toleransi klinis dan farmakologis yang cepat ini. Dimensi unik lain
dari penyalahgunaan hallucinogen adalah produksi "kilas balik," yaitu
kekambuhan spontan dari beberapa gejala keracunan yang berlangsung dari
beberapa detik hingga beberapa jam tetapi dengan tidak adanya administrasi
baru-baru ini dari halusinogen. Ini terjadi beberapa hari hingga berbulan-bulan
setelah pengalaman obat terakhir, dan tampaknya dapat dipicu oleh sejumlah
rangsangan lingkungan. Mekanisme psikofarmakologis yang mendasari kilas
balik tidak diketahui, tetapi fenomenologinya menunjukkan kemungkinan
adaptasi neurokimiawi dari sistem serotonin dan reseptornya terkait dengan
toleransi terbalik yang sangat tahan lama. Atau, kilas balik bisa menjadi
bentuk pengkondisian emosional yang tertanam dalam amigdala dan
kemudian dipicu ketika pengalaman emosional kemudian sementara tidak
mengambil halusinogen namun mengingatkan salah satu pengalaman yang
terjadi ketika mabuk dengan halusinogen. Ini bisa memicu kaskade penuh
perasaan yang terjadi saat mabuk dengan halusinogen. Ini analog dengan jenis

45
yang mengalami kilas balik yang terjadi tanpa obat pada pasien dengan
gangguan stres pasca trauma.
H. Club Drug
1. Phencyclidine (PCP) and Ketamine
Keduanya memiliki aksi di sinapsis glutamat dalam sistem
penghargaan (Gambar 14-7 dan Gambar 7-91). Mereka berdua bertindak
sebagai antagonis dari reseptor NMDA, mengikat ke situs dalam saluran
kalsium (lihat diskusi di Bab 4 dan Gambar 4-28). Keduanya awalnya
dikembangkan sebagai anestesi. PCP terbukti tidak dapat diterima untuk
penggunaan ini karena menginduksi pengalaman psikotomimetik /
halusinasi yang sangat mirip dengan skizofrenia. Hipoaktivitas reseptor
NMDA yang disebabkan oleh PCP telah menjadi model untuk kelainan
neurotransmitter yang sama yang didalilkan untuk mendasari skizofrenia.
PCP menyebabkan analgesia yang intens, amnesia, delirium,
stimulan serta tindakan depresan, gaya berjalan yang mengejutkan, bicara
yang tidak jelas, dan bentuk nystagmus yang unik (mis., Nystagmus
vertikal). Tingkat keracunan yang lebih tinggi dapat menyebabkan
katatonia (kegembiraan berganti-ganti dengan keadaan pingsan dan
katalepsi), halusinasi, delusi, paranoia, disorientasi, dan kurangnya
penilaian. Efek overdosis dapat termasuk koma, suhu sangat tinggi,
kejang, dan kerusakan otot (rhabdomyolysis).
Ketamin analog yang terkait secara struktural dan terkait
mekanisme masih digunakan sebagai anestesi, tetapi menyebabkan jauh
lebih sedikit pengalaman psikotomimetik / halusinasi. Namun demikian,
beberapa orang menyalahgunakan ketamin, salah satu "obat klub", dan
kadang-kadang disebut "K khusus". Yang menarik, infus ketamin
subanestetik telah berulang kali terbukti mengurangi gejala depresi pada
depresi tahan pengobatan unipolar dan pada bipolar. depresi dan
mengurangi pikiran untuk bunuh diri.
2. Gamma-hydroxybutyrate (GHB)
Gamma-hydroxybutyrate (GHB) dibahas dalam Bab 11 sebagai
pengobatan untuk narkolepsi / cataplexy. Kadang-kadang juga

46
disalahgunakan oleh individu yang ingin mendapatkan tinggi atau oleh
predator untuk memabukkan tanggal mereka (GHB adalah salah satu obat
"pemerkosaan"). Mekanisme aksi GHB adalah sebagai agonis pada
reseptor GHB sendiri dan pada reseptor GABAB.
3. Inhalants
Inhalansia seperti toluena dianggap sebagai pelepas langsung dopamin
dalam nukleus accumbens. "Bath Salt" adalah stimulan sintetik yang
umumnya mencakup bahan aktif metilenoksiprogrovaleron (MDPV) tetapi
dapat juga mengandung mephedrone atau mehylone. Mereka juga disebut
"Plant Food" dan seperti stimulan lainnya dapat memiliki efek penguatan
tetapi juga menyebabkan agitasi, paranoia, halusinasi, bunuh diri, dan
nyeri dada

Obesitas Sebagai Gangguan Impulsi Kompulsi


Bisakan anda menjadi kecanduan dengan makanan? Bisakah sirkuit
otakmu membuatmu makan? Meskipun kecanduan makanan merupakan diagnosis
yang belum bisa diterima secara formal, ia bisa muncul ketika stimulus eksternal
menjadi trigger pada ebiasaan makan maladaotif yangtetap dilakukan meskipun
penderita tampak kenyang dan dengan konsekuensi yang merugikan kesehatan,
hal ini bisa disebut sebagai suatu paksaan dan kebiasaan, dengan pembentukan
perilaku makan yang menyimpang dengan cara yang serupa dengan kecanduan
narkoba (Tabel 14-4).
Tabel 14-4 Kecanduan makan : apakah obesitas merupakan gangguan impulsif -
dissorder?
Obesitas, nafsu makan, makan, dan dimensi dari impulsi/kompulsi
Peningkatan penghargaan makanan / peningkatan motivasi dan dorongan untuk
mengkonsumsi makanan
Meningkatkan jumlah makanan untuk menjaga rasa kenyang, toleransi
Kurangnya kontrol atas makan - tidak bisa berhenti
Banyak waktu yang dihabiskan untuk makan
Pengkondisian dan kebiasaan makanan dan isyarat makanan

47
Kesusahan dan disforia saat berdiet
Makan terlalu cepat atau terlalu banyak saat tidak lapar, sampai kenyang
Makan berlebihan dipertahankan meskipun pengetahuan tentang konsekuensi fisik
dan psikologis yang merugikan yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang
berlebihan
Makan sendirian, merasa jijik dengan diri sendiri, bersalah, atau tertekan
Pesta makan dapat terjadi dengan atau tanpa membersihkan
Bulimia adalah pesta makan namun dengan rasa jijik dan pembersihan diri yang
mengarah pada upaya untuk mencegah penambahan berat badan dengan olahraga
berlebihan, muntah yang diinduksi, penyalahgunaan obat pencahar, enema, atau
biuretik

Kompulsif berupa makan pada obesitas, pesta makan dan bulimia bisa
menjadi mirip dengan penolakan makanan secara kompulsif seperti pada
anoreksia nervosa. Bab ini tidak menjelaskan secara komprehensif gangguan
makan namun hanya membahas aspek-aspek obesitas yang mungkin dalam
beberapa kasus sesuai dengan konstruksi gangguan impulsif-kompulsif dan
bagaimana beberapa pengobatan baru untuk obesitas dapat membantu kasus-kasus
seperti itu.
Bagaimana menentukan kapan cara anda makan merupakan cerminan dari
pilihan gaya hidup, dan kapan itu merupakan gangguan impulsif-kompulsif?
Obesitas didefinisikan oleh indeks massa tubuh seseorang (BMI ≥ 30), dan tidak
berhubungan dengan tingkah laku. Tidak semua orang yang mengalami obesitas
memiliki dorongan makan, karena obesitas juga terkait dengan faktor genetik dan
gaya hidup seperti olahraga, asupan kalori, dan makanan yang dimakan serta
kandungan spesifiknya (lemak, karbohidrat, vitamin, dan komponen lainnya).
Hanya bentuk-bentuk obesitas yang tampaknya didorong oleh dorongan motivasi
berlebihan untuk makanan dan dimediasi oleh sirkuit hadiah yang dapat dianggap
sebagai gangguan impulsif-kompulsif (Tabel 14-4). Ketika terpapar isyarat
makanan, individu yang obesitas menunjukkan peningkatan aktivasi otak
(dibandingkan dengan individu kurus) di area anatomi yang memproses

48
palatabilitas, dan penurunan aktivasi sirkuit hadiah selama konsumsi makanan
aktual, analog dengan apa yang terjadi dalam kecanduan obat.


Gambar 14-20A Peptida mengatur nafsu makan di
hipotalamus. Nafsu makan diatur oleh keseimbangan antara jalur
perangsang nafsu makan (di sebelah kiri) yang melepaskan agouti
terkait peptida (AgRP) dan neuropeptida Y (NPY), dan jalur
penekan nafsu makan (di sebelah kanan) yang melepaskan
hormon α-melanocytestimulating (α-MSH). Neuron penekan
nafsu makan membuat prekursor pro-opiomelanocortin (POMC),
yang dipecah menjadi α-MSH, yang pada gilirannya berikatan
dengan melanocortin 4 receptor (MC4R) untuk menekan nafsu
makan. Tidak terdapat hunian MC4Rby α-MSH, dan karenanya
merangsang nafsu makan.

Nafsu makan / motivasi untuk makan, dan jumlah sebenarnya dari


makanan yang dikonsumsi, keduanya dapat dipengaruhi oleh agen
psikofarmakologis yang aktif secara terpusat pada banyak individu. Misalnya,
beberapa obat pelecehan yang diketahui mengurangi nafsu makan, terutama
stimulan dan nikotin. Bupropion, naltrexone, topiramate, dan zonisamide
semuanya telah diamati secara anekdot untuk menyebabkan penurunan berat
badan pada pasien yang menggunakan agen ini karena alasan lain. Sebaliknya,
ganja dan beberapa antipsikotik atipikal (lihat Bab 5 dan Gambar 5-41)

49
sebenarnya merangsang nafsu makan dan menyebabkan penambahan berat badan.
Dasar neurobiologis dari makan dan nafsu makan jelas terkait dengan hipotalamus
(Gambar 14-20A hingga 14-20G), dan ke koneksi yang dibuat sirkuit hipotalamus
untuk menghargai jalur (Gambar 14-2 hingga 14-4)
Penelitian saat ini sedang mencoba untuk mengklarifikasi peran daftar
panjang regulator hipotalamus kunci dalam pengendalian makan: orexin (yang
juga mengatur tidur dan dibahas dalam Bab 11 dan diilustrasikan dalam Gambar
11-21 hingga 11-23), α-melanosit -stimulating hormone (α-MSH), neuropeptide
Y, peptida terkait agouti (semua diilustrasikan dalam Gambar 14-20A hingga 14-
20G), dan masih banyak lagi termasuk leptin, ghrelin, adiponektin, hormon
melaninkonsentrasi, kolesistokinin, kolesistokinin, insulin, glukagon, sitokin
peptida, galanin, dan lain-lain, transkrip yang diatur kokain dan amfetamin.
Hipotalamus berfungsi sebagai pusat otak yang mengendalikan nafsu
makan dengan memanfaatkan satu set kompleks sirkuit dan regulator. Salah satu
rumusan tentang bagaimana hipotalamus melakukan ini adalah gagasan bahwa
ada jalur perangsang nafsu makan utama yang tindakannya dimediasi oleh dua
peptida (neuropeptida Y dan protein yang berhubungan dengan agouti) (Gambar
14-20A). Menentang ini adalah jalur penekan nafsu makan utama yang
tindakannya dimediasi oleh neuron pro-opiomelanocortin (POMC) yang membuat
POMC peptida; POMC dapat dipecah menjadi hormon perangsang β-endorphin
atau α-melanocyte (α-MSH). α-MSH berinteraksi dengan reseptor melanosit 4
(MC4R) untuk menekan nafsu makan (Gambar 14-20A). Peningkatan berat badan
bisa terjadi karena aktivitas berlebihan dari jalur perangsang nafsu makan, oleh
aktivitas yang kurang dari jalur penekan nafsu makan, atau keduanya. Beberapa
bagian dalam jalur nafsu makan hipotalamus ini adalah kombinasi dari stimulan
phentermine, yang telah disetujui sebagai monoterapi untuk pengobatan obesitas,
dengan topiramate antikonvulsan (phentermine / topiramate ER, orQsymia).
Phentermine bertindak seperti amfetamin, menghalangi transporter dopamin
(DAT) dan transporter norepinefrin (NET) dan, pada dosis tinggi, transporter
monoamine vesikular (VMAT) (lihat diskusi mekanisme aksi amfetamin pada
Bab 12 dan diilustrasikan dalam (Gambar 12 -28 hingga 12-31). Ketika stimulan

50
seperti phentermine meningkatkan dopamin dan norepinefrin di hipotalamus,
mereka mengurangi nafsu makan dan menyebabkan penurunan berat badan.


Gambar 14-20B Aksi phentermine. Phentermine meningkatkan
dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) di hipotalamus dengan
memblokir baik transporter norepinefrin dan reuptake dopamin
(NET dan DAT, masing-masing). Peningkatan input DA dan NE
ke neuron pro-opiomelanocortin (POMC) di jalur nafsu makan
menekan sebagian neuron POMC (ditampilkan sebagai warna
menetas di sebelah kanan), menyebabkan peningkatan hormon
perangsang α-melanosit (α-MSH) melepaskan, yang berikatan
dengan melanocortin 4 receptor (MC4R) untuk menekan nafsu
makan sebagian.

Satu hipotesisnya adalah mereka melakukan ini dengan menstimulasi


neuron POMC untuk melepaskan α-MSH dalam hipotalamus (Gambar 14-20B).
Namun, ketika diberikan dengan sendirinya dalam dosis yang memadai untuk
menekan nafsu makan (Gambar 14-20B), ada batasan untuk penggunaan
phentermine. Misalnya, toleransi terhadap phentermine biasanya berkembang dari
waktu ke waktu, dan beratnya sering kembali. Juga, phentermine secara
bersamaan menargetkan dopamin di sirkuit imbalan dan risiko menyebabkan
penyalahgunaan atau kecanduan. Efek noradrenergik terkait dosis dosis tambahan
dapat meningkatkan denyut nadi dan tekanan darah dan menyebabkan komplikasi

51
kardiovaskular, terutama pada pasien obesitas yang rentan dengan penyakit
kardiovaskular.
Salah satu solusi untuk keterbatasan monoterapi phentermine ini adalah
dengan menurunkan dosis phentermine namun meningkatkan aksinya dengan
menambahkan agen topiramate. Dalam produk kombinasi phentermine /
topiramate ER, dosis phentermine hanya sekitar seperempat hingga setengah dari
apa yang biasanya diresepkan ketika phentermine diberikan sebagai monoterapi
untuk pengobatan obesitas. Ini mengurangi potensi efek kardiovaskular dan
memperkuat. Dengan menggabungkannya dengan topiramate, kemanjuran
phentermine dosis rendah tidak hilang, dan faktanya ditingkatkan karena sinergi
dengan mekanisme topiramate (Gambar 14-20C).



Gambar 14-20C. Topiramate mempotensiasi aksi
phentermine. Topiramate secara hipotetis menghambat jalur
perangsang nafsu makan di sebelah kiri dengan mengurangi input
glutamatergik yang merangsang dan dengan meningkatkan input
inhibitor GABA-ergic (ditunjukkan sebagai neuron yang
memudar di sebelah kiri). Menggabungkan ini dengan aksi
phentermine di sebelah kanan yang merangsang jalur penekan
nafsu makan (ditampilkan sebagai warna menetas dan juga
ditunjukkan pada Gambar 14-20B), ini menghasilkan efek
sinergis dan peningkatan pada nafsu makan dan penurunan berat
badan, memungkinkan lebih rendah, lebih banyak dosis

52
phentermine dan topiramate yang dapat ditoleransi untuk
digunakan.

Topiramate, diamati untuk mengurangi berat badan sebagai"Efek


samping" ketika diresepkan untuk perawatan epilepsi atau migrain yang disetujui,
melakukannya dengan mekanisme yang kurang dipahami, mungkin terkait dengan
keduanya meningkatkan tindakan penghambatan GABA dan mengurangi tindakan
glutamat yang merangsang melalui tindakan yang lebih langsung pada berbagai
saluran ion tegangan-gated (Gambar 14- 20C). Topiramate juga menghambat
enzim carbonic anhydrase, meskipun apa kontribusi ini untuk tindakan terapi
topiramate pada obesitas masih belum jelas. Secara teoritis, topiramate dapat
bertindak untuk mengurangi stimulasi glutamatergik dan untuk meningkatkan
penghambatan GABAergik dalam jalur perangsang nafsu makan (Gambar 14-
20C), menghasilkan penghambatan bersih jalur ini.


Gambar 14-20D. Aksi bupropion. Bupropion bantuan
antidepresan dan penghentian merokok juga diperkirakan
memiliki efek pada pusat nafsu makan hipotalamus. Bupropion
meningkatkan dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) di
hipotalamus dengan memblokir transporter norepinefrin dan re-
dake ulang dopamin (NET dan DAT, masing-masing), seperti
ditunjukkan pada Gambar 14-20B, tetapi mungkin kurang kuat.
Peningkatan input DA dan NE ke neuron pro-opiomelanocortin
(POMC) dalam jalur penekan nafsu makan mengaktifkan

53
sebagian neuron POMC (ditampilkan sebagai warna menetas di
sebelah kanan) yang menyebabkan peningkatan hormon
perangsang α-melanosit yang merangsang (α-MSH) ) melepaskan,
yang berikatan dengan reseptor melanocortin 4 (MC4R) untuk
menekan nafsu makan sebagian (bandingkan dengan Gambar 14-
20B). Namun, tindakan bupropion pada jalur penekan nafsu
makan dikurangi karena stimulasi neuron POMC juga
mengaktifkan loop umpan balik negatif yang dimediasi endorfin /
opioid yang dimediasi endogen (juga dengan phentermine dan
ditunjukkan pada Gambar 14-20B).


Gambar 14-20E. Naltrexone mempotensiasi aksi bupropion.
Baik naltrexone dan bupropion saja dapat menyebabkan
penurunan berat badan sendiri. Namun, kombinasi naltrexone dan
bupropion memiliki efek sinergis pada penurunan berat badan
yang melampaui monoterapi dengan salah satu agen dengan aksi
farmakologis ganda pada jalur penekan nafsu makan. Yaitu,
naltrexone memblok loop umpan balik negatif yang dimediasi
endorphin / endogen-opioid yang biasanya membatasi aktivasi
neuron pro-opiomelanocortin (POMC) dalam jalur penekan nafsu
makan (ditunjukkan pada Gambar 14-20D dengan hanya neuron
yang menetas di sebelah kanan). Dengan umpan balik negatif ini
dihapus dengan pemberian naltrexone, bupropion dapat lebih siap
meningkatkan penembakan neuron POMC (ditunjukkan di sini
sebagai neuron merah-panas di sebelah kanan), yang mengarah ke
tingkat hormon stimulasi αmelanocyte yang sangat tinggi
(αMSH), yang mengikat lebih banyak kuat untuk melanocortin 4
reseptor (MC4R) untuk lebih menekan nafsu makan dan
menyebabkan penurunan berat badan.

54
Gambar 14-20F.
Mekanisme kerja
lorcaserin. Serotonin
5HT2C agonis lorcaserin
baru-baru ini di setujui
untuk pengobatan
obesitas. Berdasarkan
hipotesis, lorcaserin
mengikat reseptor 5HT2C
di neuron Pro-
opiomelanocortin
(POMC) untuk menekan
nafsu makan,
mengaktifkan neuron
POMC dan melepaskan
α-melanocytestimulating
hormone (α-MSH), yang
mana akan berikatan
dengan reseptor
melanocortin 4 (MC4R)
untuk menekan nafsu
makan.

Mekanisme kerja seperti itu akan bersinergi dengan aktivasi secara


simultan dari jalur penekan nafsu makan oleh phentermine (Gambar 14-20B dan
14-20C), untuk menghasilkan yang lebih kuat dan tahan lama dalam hasil penekan
nafsu makan di bandingkan dengan kedua obat saja. Sejauh ini, seperti itulah
masalahnya. Tolerabilitas topiramite ditingkatkan dengan menurunkan dosisnya
dibawah dosis pada pengobatan epilepsi atau migrain, atau untuk penggunaan off
–label sebagai monoterapi untuk menurunkan berat badan. Selanjutnya topiramite
diberikan dalam formulasi pelepasan terkontrol sehingga kadar obat di plasma
mencapai puncak dan dengan demikian sedasi akan berkurang.
Phentermine/ Thopiramate ER pada uji klinis menunjukkan penurunan
berat badan terkait dosis, dari 6% menjadi 9% dibandingkan dengan placebo,
sekitar 2/3 pasien dengan obesitas kehilangan setidaknya 5% dari berat badan

55
mereka (hanya 20% pasien obesitas yang kehilangan sebanyak ini dengan
plasebo) dalam 12 minggu. Beberapa pasien tidak merespon, tentu saja dan
penurunan berat badan menjadi sederhana, dan hasil jangka panjang tidak
diketahui. Komponen dari topiramete berpotensi teratogenik pada pasien hamil.
Namun, kombinasi ini akan sangat berguna untuk pengelolaan obesitas.

Gambar 14-20G. Naltrexone memberikan potensi dalam aksi zonisamide. Antikonvulsan


zonisamide bekerja di pusat nafsu makan hipotalamus mirip dengan topiramate (Gambar
14-20C). Berdasarkan hipotesis zonisamide mengurangi input glutamat eksitatori dan
meningkatkan input GABA inhibitor di neuron appetite stimulating pathway (jalur
stimulasi nafsu makan), yang akan menyebabkan penurunan output neuropeptide Y
(NPY) dan agouti-related peptide (AgRP), dan menurunkan stimulasi nafsu makan.
Naltrexone menghilangkan umpan balik negatif yang di mediasi endorpin/ endogen
opioid yang membatasi aktivasi neuron pro-opiomelanocortin (POMC) dalam jalur

56
penekanan nafsu makan (Gambar 14-20E). Dengan menghilangkan umpan balik negatif
kadar α-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH) akan meningkat (mis. Tidak di
hambat), yang mengarah ke supresi nafsu makan. Kombinasi naltrexone dan zonisamide
saat ini sedang di teliti sebagai terapi potensial untuk obesitas dan gangguan makan
kompulsif-impulsif.

Kombinasi lain yang menargetkan beberapa mekanisme psikofarmakologis secara


simultan untuk obesitas adalah bubpropion/ naltrexone (Contrave), pada akhir
pengujian klinis pada tulisan ini. Bupropion sendiri telah lama di teliti secara
anekdot untuk mengetahui kehilangan berat badan pada beberapa pasien (Gambar
14-20D). Bupropion bukan hanya antidepresan (lihat chapter 7 dan gambar 7-35
hingga 7-37) tetapi juga terapi yang terbukti untuk berhenti merokok (lihat diskusi
sebelumnya dalam bab ini dan gambar 14-13), menunjukkan bahwa mekanisme
kerja terapi bupropion terjadi dalam jalur penghargaan (reward pathway). Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika bupropion memiliki mekanisme kerja
terapeutik terkait dengan kecanduan nikotin, termasuk kemungkinan obesitas dan
kecanduan makan.
Bupropion bekerja sebagai inhibitor reuptake norepinephrine-dopamin
(NDR, Bab 7, gambar 7-35 hingga 7-37). Mekanisme ini serupa tetapi kurang
kuat dibandingkan dengan amfetamin (Chapter 12, gambar 12-28 sampai 12-31;
dan juga gambar 14-20D) atau phentermin. Ketika mekanisme kerja NDRI
bupropion terjadi di hipotalamus, hal tersebut berdasar hipotesis akan
meningkatkan penekanan nafsu makan yang di mediasi oleh neuron POMC.
Namun, hal tersebut juga mengaktifkan jalur umpan balik negatif yang di mediasi
oleh β-endorphin/ endogenous-opioid yang akan mengurangi seberapa banyak
bupropion dapat mengaktifkan neuron POMC (gambar 14-20D).
Studi praklinis menunjukkan bahwa penambahan naltrexone dapat
menghilangkan umpan balik negatif opioid ini dan memberikan potensi
kemampuan bupropion untuk meningkatkan inaktivasi neuron POMC. Penelitian
ini memberikan penjelasan rasional terkait mekanisme kerja farmakologi sinergis
pada penekanan nafsu makan dan penurunan berat badan yang telah diamati pada
hewan percobaan dan dalam uji klinis obesitas ketika naltrexone dikombinasikan
dengan bupropion (gambar 14-20E). Naltrexone sendiri menyebabkan sedikit
penurunan berat badan pada pasien yang menggunakannya untuk terapi yang di
setujui terkait dengan kecanduan alkohol dan opioid. Namun, ketika dosis

57
naltrexone lebih rendah dari dosis yang digunakan pada terapi kecanduan alkohol
dan opioid di gabungkan dengan dosis bupropion yang digunakan untuk
mengobati depresi atau untuk berhenti merokok ke dalam subjek yang obesitas,
terapi kombinasi tersebut menyebabkana penurunan berat badan yang lebih besar
daripada monoterapi. Terutama subjek yang diterapi kombinasi tampak
menunjukkan penurunan berat badan yang berlanjut hingga minggu ke-24, hal
tersebut berbeda sangat kontras pada pasien sebelumnya yang mendapatkan
bupropion saja. Penyelidikan lebih lanjut terkait dengan keamanan terapi
kombinasi ini sedang berlangsung, dengan kemungkinan akan segera di setujui
untuk terapi obesitas.
Pengobatan lain yang di setujui baru-baru ini untuk obesitas adalah
serotonin 5HT2C agonist lorcaserin (belviq) (gambar 14-20F dan 14-21). Reseptor
5HT2C telah lama di kaitkan dengan nafsu makan, asupan makan, dan berat badan
dan antagonis 5HT2C berhubungan dengan penambahan berat badan terutama jika
diberikan bersama antihistamin H1 (yang merupakan kasus bagi banyak
antipsikotikatipikal dan beberapa antidepresan) (gambar 14-21;lihat juga
pembahasan dalam chapter 5 tentang antipsikotik dan gambar 5-29, 5-39, 5-41
hingga 5-43, dan diskusi pada chapter 7 tentang antidepresan dan gambar 7-45, 7-
66, 7-67). Sesuai dengan formulasinya bahwa blokade reseptor 5HT2C berkaitan
dengan penambahan berat badan adalah penelitian dengan hewan percobaan yang
reseptor 5HT2C “tersingkir/knocked out” juga mengalami obesitas. Hal tersebut
akan mengikuti bahwa tindakan sebaliknya pada reseptor 5HT2C yaitu stimulasi
dengan agonis reseptor 5HT2C akan berkaitan dengan penurunan nafsu makan,
berkurangnya asupan makan, dan penurunan berat badan. SSRIS akan
meningkatkan serotonin pada semua reseptornya, termasuk reseptor 5HT2C yang
akan berhubungan dengan penurunan berat badan dan dapat efektif dalam
bulimia. Lorcaserin adalah selektif dan well-characterized agonis 5HT2C yang
berkerja dengan mengaktifkan jalur penekanan nafsu makan POMC (gambar 14-
20F dan 14-21B). Lorcaserin memiliki mekanisme kerja dalam penurunan berat
badan yang kuat berdasarkan uji klinis dengan studi jangka panjang selama 2
tahun. Penurunan berat badan pada pasien obesitas yang menggunakan locaserin
sebanyak 3-4% dibandingkan yang menggunakan plasebo. Pada pasien obesitas

58
yang tidak memiliki DM tipe 2 sekitar ½ dari mereka kehilangan 5% berat
badannya di bandingkan dengan ¼ dari mereka yang di terapi dengan plasebo.
Terapi di masa depan untuk obesitas dan gangguan makan kompulsif-
impulsif mungkin termasuk kombinasi dari terapi ziconamide antikonvulsan +
naltrexone (gambar 14-20G), yang mana menggabungkan beberapa mekanisme
yang telah dibahas sebelumny, karena zonisamide memiliki beberapa sifat
farmakologis yang sama dengan topiramat. Agonis MCR4 yang bekerja secara
langsung (gambar 14-20) juga masih dalam pengujian untuk terapi obesitas
namun terkait efek samping nya terhadap hipotalamus, dan efektifitas dari
pendekatan mekanisme tunggal ini, seperti beberapa mekanisme tunggal lainnya
untuk terapi obesitas, mungkin tidak cukup kuat. Inhibitor triple reuptake dari
serotonin, norepineprine, dan dopamine seperti tasofensine berhubungan dengan
penurunan berat badan dan sedang dalam uji klinis untuk terapi obesitas.
Beberapa obat yang telah disetujui penggunaanya untuk diabetes menjanjikan
terapi untuk obesitas, termasuk metformin.
Salah satu pengobatan yang digunakan untuk obesitas adalah orlistat yang
bekerja di perifer untuk menghambat penyerapan lemak dan tidak melewati sirkuit
penghargaan (reward circuity) kecuali hal tersebut menyebabkan respon negatif
terhadap makanan berlemak (diare dan flatus). Namun, orlistat tidak terlalu di
manfaatkan atau sangat cocok untuk banyak pasien. Berbagai jenis operasi
bariatrik juga efektif, terutama untuk obesitas morbid, dan semakin bnayk di
gunakan untuk terapi obesitas secara umum, namun berisiko dan mahal. Beberapa
pengobatan lain untuk obesitas telah ditarik dari pasar, termasuk berbagai
stimulan, seperti efedrin (hipertensi dan stroke), dan fenfluramine (dan
dexfenfluramin) yang merupakan turunan dari amfetamin terhalogenasi. Awalnya
fenfluramin digunakan sebagai monoterapi, dan kemudian di kombinasikan
dengan phentarmine dan sementara waktu dalam bentuk kombinasi yang dikenal
dengan phen-fen. Namun, fenfluramine di tarik dari pasar setelah di temukan sifat
toksik pada katup jantung dan paru. Sibutramin (SNRI dengan dosis rendah dan
triple reuptake inhibitor dengan dosis tinggi) juga di tarik dari pasar karena
menyebabkan hipertensi dan gangguan jantung. Beberapa stimulan masih tersedia
sebagai terapi pengendali (phentarmin, dietilpropion) tetapi tidak terkait

59
penurunan berat badan yang berkelanjutan pada sebagian besar individu yang
menggunakan sebagai monoterapi, dan juga memiliki efek samping berupa
hipertensi jika terjadi penyalahgunaan potensi monoterapi.

Gambar 14-21. Serotonin 5HT2C dan nafsu makan. Kombinasi dari antagonis histamin
H1 dan antagonis serotonin 5HT2C (A) (menyajikan dalam banyak antipsikotik atipikal)
yang dapat meningkatkan nafsu makan dengan konsekuensi peningkatan berat badan.

60
Sebaliknya agonis 5HT2C, seperti lorcaserin (B) akan menyebabkan penekanan nafsu
makan dan penurunan berat badan.

Gangguan Perilaku Impulsi Kompulsi


Konseptual impulsif dan kompulsif saat ini sebagai dimensi psikopatologi yang
melintasi banyak gangguan kejiwaan menunujukkan bahwa perilaku itu sendiri
dapat memperkuat dan membuat ketagiahan. Menghargai perilaku dan kecanduan
pada perilaku tertentu secara hipotesis hal tersebut berbagi sirkuit yang sama
dengan kecanduan obat (gambar 14-1 hingga 14-7). Impulsif /kompulsif tidak
dapat menjelaskan semua aspek dari berbagai kondisi, dan membahas bagaimana
konstruksi ini dapat diterapkan pada masing – masing resiko yang
menggampangkan beberapa gangguan yang kompleks dan sangat berbeda ini
(tabel 14-; tabel 14-4 hingga 14-8). Selain itu, diskusi dalam bab ini tidak
membahas terlalu banyak aspek unik dari gangguan ini, kriteria diagnosisnya saat
ini masih diperdebatkan terkait kriteria diagnosisnya masih terus berkembang,
atau apakah beberapa kondisi merupakan gangguan sama sekali. Sebaliknya kita
melihat disini kondisi kejiwaan yang menunjukkan perilaku impulsif (artinya
mereka sulit di cegah karena mereka memilih short-term reward/ pengahargaan
jangka pendek daripada keuntungan jangka panjang) atau kompulsif (artinya
perilaku yang awalnya memberi penghargaan menjadi kebiasaan yang sulit di
hentikan karena hal tersebut akan mengurangi ketegangan dan efek penarikan).

Tabel 14-5. Kapan suatu dorongan menjadi gangguan impulsif-konvulsif ?

Gangguan Judi
Kecanduan internet
Piomania
Kleptomania
Parafila
Ganggaun hiperseksualita

Banyak impuls yang dapat menjadi gangguan impusif-konfulsif jika


dilakukan secara berlebihan, dan beberapa tercantum dalam tabel 14-5. Beberapa

61
ahli percaya gangguan judi harus masuk dalam klasifikasi bersama dengan
kecanduan narkoba sebagai satu-satunya gangguan non-substansi dalam kategori
itu. Gangguan judi ditandai dengan upaya berulang yang gagal untuk berhenti
meskipun konsekuensi nya merugikan, toleransi (judi dengan jumlah dolar lebih
tinggi dan lebih tinggi), penarikan psikologis saat tidak berjudi, dan adanya
kelegaan saat memulai kembali perjudian. Kecanduan internet, pyromania, dan
kleptomania tidak dianggap sebagai gangguan yang sebenarnya oleh banyak
orang, tetapi hal tersebut melibatkan ketidakmampuan untuk menghentikan
perilaku tersebut. (misalnya, waktu yang digunkaan saat internet, menyalakan
api, mencuri berdasarkan dorongan hati), menunjukkan perkembangan toleransi
dan penarikan, dan menunjukkan kelegaan ketika memulai kembali perilaku
tersebut. Paraphilia, yang dianggap sebagai gangguan kejiwaan, dan kelainan
hiperseksual, yang dipertimbangkan sebagai gangguan kejiwaan, semua memiliki
karakteristik impulsif yang sama yang beralih ke kompulsivitas untuk berbagai
perilaku seksual.
Banyak gangguan yang dianggap sebagai neurodevelopmental memiliki
impulsif/kompulsif sebagai gejala. Termasuk ADHD, yang di bahas secara rinci di
chapter 12 (lihat sirkuit yang terkait dengan impulsif pada gambar 12-2, 12-5, 12-
7, 12-8 dan 14-1, 14-2, 14-4). ADHD adalah gangguan impulsif-kompulsif di
mana pengobatannya mungkin efektif untuk impulsif. Sedangkan peningkatan
dopamin dalam nukleus accumbens dari ventral striatum dengan stimulan dosis
tinggi yang diberikan secara cepat dapat meningkatkan aksi impulsif,
meningkatkan dopamin dalam sirkuit orbitofrontal cortex (OFC) dengan stimulan
pelepasan dosis rendah dan lambat dapat mengurangi impulsif dan meningkatkan
kemampuan individu untuk mengatakan tidak pada kecendrungan impulsif.
Impulsif juga dapat terjadi pada maniak dan sangat sulit diobati ketika disertai
dengan ADHD, terutama pada anak-anak. Autisme dan gangguan spektrum terkait
dapat dikaitkan dengan impulsif tetapi juga perilaku stereotip yang kompulsif.
Sindrom Tourette dan gangguan tic terkait dan gangguan gerakan stereotip
mungkin sebagian besar merupakan bentuk kompulsif (Tabel 14-6).

62
Tabel 14-6. Apakah terdapat gangguan neurodevelopmnetal impulsif-kompulsif ?
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
Gangguan Autisme
Syndrome Tourette dan Gangguan Tic
Gangguan Gerakan Stereotip

Kekerasan Impulsif dalam psikosis, maniak, dan gangguan kepribadian


Melukai diri sendiri dan perilaku atau kekerasan parasuicidal terhadap diri sendiri
Oppositional defiant disorder
Gangguan perilaku
Gangguan kepribadian sosial
Gangguan kepribadian antisosial
Psikopat
Tabel 14-7. Apakah kekerasan dapat menjadi gangguan impulsif-kompulisf ?
Gangguan Eksplosif Intermitten

Obsessive–compulsive disorder (OCD)


Body dysmorphic disorder (BDD)
Gangguan penimbunan (Hoarding)
Trichotilomania (TTM)
Skin picking
Compulsive shopping
Hypochondriasis
Somatization
Tabel 14-8. OCD atau ICD ? Apakah gangguan spektrum obsesif-kompulsif juga
gangguan impulsif-konfulsif ?

Agresi dan kekerasan telah lama menjadi isu kontroversial dalam psikiatri
(Tabel 14-7). Ketika kekerasan direncanakan, tidak berperasaan, dan
diperhitungkan, itu mungkin kriminal, psikopat, dan pemangsa - dan jenis
kekerasan ini tidak bersifat impulsif atau kompulsif. Namun, agresi dan
kekerasan, baik kepada orang lain maupun diri sendiri, dikaitkan dengan banyak

63
gangguan kejiwaan (Tabel 14-7), dan terutama ketika agresi dan kekerasan
bersifat impulsif, dan mudah diprovokasi, perilaku ini semakin dianggap sebagai
impulsif dari psikopatologi. Kekerasan yang impulsif dapat terjadi pada gangguan
psikotik dari banyak jenis, termasuk psikosis yang diinduksi obat, skizofrenia dan
bipolar mania, serta pada gangguan kepribadian ambang. Terapi kondisi tersebut
seringkali dengan antipsikotik, dapat membantu. Agresi dan kekerasan dalam
gangguan semacam itu dapat dianggap sebagai ketidakseimbangan antara sinyal
"berhenti" top-down dan dorongan bottom-up dan sinyal "pergi", seperti pada
gangguan impulsif-kompulsif lainnya (Gambar 14-1, 14-2, 14-3). Kadang-kadang
agresi menjadi semakin kompulsif, daripada manipulatif dan terencana, seperti
dalam beberapa kasus pengulangan merugikan diri sendiri dalam gangguan
kepribadian ambang, terutama dalam pengaturan institusional. Ada kertetarikan
baru dalam kondisi yang dikenal sebagai gangguan eksplosif intermiten sebagai
gangguan agresi impulsif-kompulsif. Ini dapat digambarkan sebagai reaksi
berulang terkait frustrasi dengan lekas marah, amarah, dan perilaku destruktif
yang tidak direncanakan dan tidak berkomitmen untuk mencapai tujuan nyata
(misalnya, uang, kekuasaan, intimidasi), tanpa adanya gangguan kejiwaan lain
yang bisa menjelaskan agresi impulsif. Karena individu dengan gangguan
kepribadian antisosial, gangguan kepribadian dissosial, sifat psikopat, dan
gangguan perilaku semuanya dapat memiliki campuran agresi manipulatif dan
terencana serta agresi impulsif, penyebab episode kekerasan tertentu sangat sulit
ditentukan. Gangguan penentangan oposisi (Oppositional defiant disorder) pada
anak-anak sering dikaitkan dengan tindakan impulsif, termasuk verbalisasi
impulsif dan oposisi.

Gangguan Obsesif Kompulsif


Gangguan obsesif kompulsif (OCD) merupakan prototip dari gangguan
impulsi dan kompulsi, meskipun lebih sering diklasifikasikan sebagai gangguan
cemas (Tabel 14-8). Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien memiliki dorongan
yang intens untuk melakukan hal hal yang stereotip dan bersifat ritualistic, tanpa
memiliki pandangan penuh mengenai betapa tidak penting dan berlebihannya hal-
hal yang mereka lakukan dan tidak memiliki keinginan kuat untuk melihat hasil

64
dari tindakan-tindakan tersebut. Kompulsi yang paling sering dialami adalah
memeriksa dan membersihkan. Pada OCD, kecenderungan melakukan kompulsi
hanya sebagai cara untuk menghindar dari rasa cemas yang mereka rasakan. Pada
tingkat kecemasan yang tinggi, melakukan suatu hal berulang ulang dipercaya
akan mengurangi kecemasan, sehingga pasien cenderung melakukan hal tersebut
berulang kali. Kecemasan dan pikiran akan membuat kebiasaan tersebut
meningkat, baik dalam konteks positif maupun negatif. Saat kebiasaan kebiasaan
tersebut berubah sepenuhnya menjadi sebuah kompulsi, melakukan hal hal
tersebut sudah tidak lagi harus dipikirkan, namun menjadi sebuah kebiasaan
repetitif yang dilakukan tanpa disadari.
Perilaku yang berlebihan dipercaya sebagai cara untuk mengurangi
kecemasan dari obsesi yang dipikirkan. Ironinya, meskipun pasien dengan OCD
merasa ada dorongan untuk melakukan tindakan berulang, namun mereka sering
cemas dan merasa bahwa mereka lebih mengganggu dibandingkan membantu.
Bila seperti itu, mengapa mereka masih melakukannya? Daripada mengkonsep
suatu kompulsi sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan,
kebiasaan ini lebih tepat bila dideskripsikan sebagai kebiasaan yang diprovokasi
secara tidak sadar dari suatu stimulus yang didapat dari lingkungan.
Mengambil dari hipotesa mengenai kebiasaan tersebut, hal itu dapat
dikurangi dengan melihat dan mencegah paparan dan respon, yang didalamnya
termasuk paparan secara bertahap terhadap benda/situasi yang dapat
memprovokasi timbulnya kecemasan dan pencegahan terhadap reaksi kompulsi.
Terapi kognitif perilaku (cognitive behavioral therapy/CBT) ini di tenggarai
memiliki efek terapeutik dengan menghancurkan pola-pola kompulsif yang
dilakukan pasien untuk mencegah kecemasan yang membutuhkan kontrol
dominan terhadap lingkungan eksternal (misalkan : keinginan untuk memeriksa
pintu yang terkunci) dan juga untuk mempertahankan kecemasan yang tidak
pantas. Daripada memandang kompulsi sebagai respon abnormal terhadap suatu
obsesi, hal yang sebaliknya justru bisa jadi benar; obsesi pada OCD kemungkinan
adalah rasionalisasi dari dorongan dorongan karena kompulsi. Pasien OCD telah
memperlihatkan kurangnya kemampuan untuk memproses OFC dan kurangnya

65
fleksibilitas kognitif dan menyebabkan tidak mampu untuk mencegah respon
kompulsi.
Terapi lini pertama dari OCD adalah SSRI. Meskipun pengobatan lini
kedua dapat dilakukan dengan satu jenis anti-depresan trisiklik dengan sifat anti-
serotonergik, klomipramin, dengan SNRI atau MAOI, pilihan terbaik bagi pasien
yang gagal pengobatan SSRI adalah dengan SSRI dosis tinggi atau augmentasi
dari SSRI dengan anti-psikotik atipikal. Mekanisme kerja dari obat-obatan
tersebut telah dibahas secara detil di BAB 7. Augmentasi SSRI dengan
benzodiazepine, litium atau buspiron dapat dipertimbangkan untuk digunakan.
Terapi eksperimental pada pasien dengan OCD antara lain stimulasi otak, yang
telah didiskusikan di BAB 7, mengenai depresi dan diilustrasikan pada Gambar 7-
76.
Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan OCD di jabarkan pada Tabel 14-8.
Termasuk diantaranya compulsive shopping (tidak perlu dimasukkan sebagai
golongan gangguan), penarikan rambut secara kompulsif (trikotilomania) dan
penarikan kulit secara kompulsi. Kondisi ini bahkan lebih kompulsif
dibandingkan impulsive. Body Dysmorphic Disorder (BDD) merupakan suatu
kondisi dengan preokupasi terhadap kecacatan pada penampilan yang
menyebabkan beberapa perilaku repetitive seperti berkaca, berbenah dan
menanyakan mengenai penampilannya. Preokupasi mengenai kesehatan, fungsi
tubuh dan nyeri dapat muncul juga pada hipokondriasis dan somatisasi, sehingga
hal ini dapat diklasifikasikan sebagai obsesi.

Ringkasan
Sebelumnya telah didiskusikan mengenai konsep terbaru mengenai
impulse dan kompulsi sebagai salah satu bagian dimensi dari psikopatologi yang
dapat menyebabkan banyak gangguan psikiatrik. Perilaku perilaku dan
ketergantungan obat memiliki jalur penyebab yang sama dengan impulsi –
didefinisikan sebagai perilaku yang sulit untuk dicegah karena keuntungan jangka
pendek lebih dipilih dibandingkan keuntungan jangka panjang- yaitu pada jalur
prefrontal, dan kompulsi –didefinisikan sebagai perilaku yang semakin lama
semakin susah untuk dihentikan karena perilaku tersebut dapat menurunkan

66
ketegangan- di yakini berakar pada jalur inhibisi respon motoric dorsal pada
bagian prefrontal. Secara hipotesis, kegagalan dalam menyeimbangkan inhibisi
dan eksitasi merupakan penyebab paling umum impulsi dan kompulsi secara
neurobiologik.
Baik obat obatan maupun perilaku dapat dihubungkan dengan impulse dan
kompulsi dan memiliki dimensi pada psikopatologi sebagai adiksi obat dan
gangguan psikiatrik. pembahasan ini mendiskusikan mengenai mekanisme
psikofarmakologi dari berbagai obat obatan yang sering disalahgunakan, seperti
nikotin, alcohol, dan juga opioid, stimulant, sedatif-hipnotik, mariyuana,
halusinogen, dan obat obatan lainnya. Pada kasus nikotin dan alcohol, banyak
terapi psikofarmakologi yang didiskusikan, termasuk alpha4-beta2-selective
nicotine partial agonist (NPA) vareniclin untuk menghentikan kebiasaam
merokok, naltrexone untuk opioid dan kecanduan alcohol, acamprosate untuk
kecanduan alcohol. Obesitas dan hubungannya dengan kecanduan makanan juga
didiskusikan dengan terapi terapi terbaru, termasuk diantaranya adalah lorcaserin,
phentermine/topiramate dan bupropion/naltrexone. Pada akhirnya, beberapa
gangguan perilaku yang didiskusikan sebagai gangguan dengan potensi untuk
menjadi gangguan impulsi-kompulsif atapun sebagai gangguan perilaku antara
lain judi, ADHD, impulse violence, gangguan kepribadian borderline, gangguan
obsesif kompulsif dan beberapa jenis gangguan lainnya.

67

Anda mungkin juga menyukai