Anda di halaman 1dari 77

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN KASUS
DEMENSIA PADA NENEK NA DENGAN KERUSAKAN
MEMORI DI SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI

KARYA ILMIAH AKHIR

DARA MALAHAYATI
0806456985

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM NERS
DEPOK
JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN KASUS
DEMENSIA PADA NENEK NA DENGAN KERUSAKAN
MEMORI DI SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

DARA MALAHAYATI
0806456985

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM NERS
DEPOK
JULI 2013
ii
iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT,


karena atas rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.
Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Ners pada Program Studi Profesi Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) Ibu Dewi Irawaty, MA, Phd, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia;
2) Ibu Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, S.Kep, M.N, selaku koordinator
mata ajar peminatan keperawatan gerontik program profesi yang telah
memberikan pengarahan dan membantu proses praktik peminatan sampai
penyusunan karya ilmiah akhir;
3) Ibu Ns. Widyatuti, S.Kp., M.Kes., Sp.Kom selaku dosen pembimbing
yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan
saya dalam penyusunan karya ilmiah akhir;
4) Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep selaku dosen pembimbing klinik dan penguji
yang telah memberikan masukan dan mengarahkan saya dalam
penyusunan karya ilmiah akhir;
5) Pihak Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti yang telah
memberikan kesempatan untuk melakukan praktik peminatan;
6) Seluruh werdha di wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya
Bhakti, khususnya Nenek M yang telah bersedia menjadi werdha kelolaan
selama praktik;
7) Keluarga saya yang selalu memberikan bantuan dan dukungan moril
maupun materil dan limpahan doa;

iv
8) Seluruh teman dan sahabat yang selalu memberikan semangat dan
membantu saya selama proses praktik profesi sampai menyelesaikan karya
ilmiah akhir;

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepannya.

Depok, 10 Juli 2013


Penulis

v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah
ini :
Nama : Dara Malahayati
NPM : 0806456985
Program Studi : Profesi Ilmu Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis : Karya Ilmiah Akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exsclusive Royalty
Free Right) atas karya saya yang berjudul:

Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Kasus


Demensia pada Nenek NA dengan Kerusakan Memori di Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada Tanggal :
Yang menyatakan

(Dara Malahayati)

vi
ABSTRAK

Nama : Dara Malahayati


Program Studi : Profesi Ilmu Keperawatan
Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Kasus Demensia pada Nenek NA dengan Kerusakan
Memori di Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti

Demensia merupakan gejala yang mengindikasikan adanya kehilangan fungsi


intelektual meliputi memori, bahasa, konsentrasi, dan kemampuan kognitif. Salah
satu dampak yang diakibatkan oleh demensia adalah kerusakan memori.
Kerusakan memori pada lansia dapat mempengaruhi kemampuan melakukan
aktivitas sehari-hari maupun perubahan perilaku sosialnya. Karya ilmiah ini
bertujuan untuk memaparkan hasil pemberian asuhan keperawatan pada Nenek
NA dengan kerusakan memori di wisma Bungur, STW Karya Bhakti. Intervensi
keperawatan yang dipilih adalah pemberian stimulasi kognitif yang terdiri dari
reality orientation dan reminiscence therapy. Hasil evaluasi yang didapatkan
selama enam minggu antara lain Nenek NA dapat mengenal dirinya dan orang
terdekatnya. mengenal kembali memori masa lalunya melalui media foto, dan
meningkatkan aktivitas berkomunikasi dengan orang lain. Pemberian latihan
kognitif dan orientasi realita secara terjadwal di STW untuk lansia yang
mengalami kerusakan memori menjadi upaya untuk meningkatkan kepercayaan
diri lansia sehingga kualitas dan kesejateraan lansia akan meningkat.

Kata kunci:
Demensia, kerusakan memori, lansia, stimulasi kognitif

vii Universitas Indonesia


ABSTRACT

Name : Dara Malahayati


Study Program : Profesional of Nursing Science
Title : Analysis of Clinical Nursing Practice of Urban Health on
Dementia Case for Ny. NA with impaired memory in STW
Yayasan Karya Bhakti

Dementia is a symptom that indicates loss of intellectual function including


memory, language, concentration and cognitive ability. One of impacts of
dementia is impaired memory. Impaired memory can influence ability in doing
daily activities as well as social skill of older adults. The aim of this paper was to
explain the result of nursing care of Ny. NA with impaired memory in Wisma
Bungur, STW Karya Bhakti. One of selected nursing interventions was giving
cognitive stimulation including reality orientation and reminiscence therapy. The
result of implementation during six weeks such as Ny. NA could recognize herself
and the closest persons remember the past memory by photo and improve
communication activities with other people. Giving cognitive exercise and reality
orientation regularly in STW for older adults with impaired memory should be
addressed to improve the confidence of older adults in order to increase the
quality and welfare of the older adults.

Key Words:
dementia, cognitive stimulation, impaired memory, older adults

viii Universitas Indonesia


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .....................vi
ABSTRAK/ABSTRACT .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................xi

1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 8

2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9


2.1 Konsep Dasar Lansia........................................................................... 9
2.1.1. Definisi Lansia ........................................................................... 9
2.1.2. Penuaan pada Sistem Neurologi ............................................... 9
2.1.3. Kesehatan Lansia di Perkotaan ................................................ 11
2.2 Demesia............................................................................................. 13
2.2.1. Definisi Demensia .................................................................... 13
2.2.2. Penyebab Demensia ................................................................. 14
2.2.3. Tahapan Demensia ................................................................... 14
2.2.4. Kerusakan Memori .................................................................. 15
2.2.4.1 Definisi Memori ........................................................... 15
2.2.4.2 Definisi Kerusakan Memori ......................................... 16
2.2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Memori ......... 16
2.2.4.4 Dampak Kerusakan Memori ......................................... 16
2.3 Asuhan Keperawatan ...................................................................... 17

3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ...................................... 20


3.1 Pengkajian Residen .......................................................................... 20
3.1.1 Identitas ............................................................................ 20
3.1.2 Riwayat Kesehatan .......................................................... 20
3.1.3 Aktivitas ........................................................................... 21
3.1.4 Keadaan Psikososial ........................................................ 22
3.1.5 Keadaan Fisik .................................................................. 23
3.2 Rencana Asuhan Keperawatan ......................................................... 24
3.2.1 Analisa Data ..................................................................... 24
3.2.2 Rencana Intervensi ........................................................... 25

ix Universitas Indonesia
3.3 Implementasi .................................................................................... 26
3.4 Evaluasi ............................................................................................. 28

4. ANALISA SITUASI ............................................................................. 31


4.1 Profil Lahan Praktik ......................................................................... 31
4.2 Analisis Masalah Keperawatan ........................................................ 32
4.2.1 Analisis Masalah Terkait Kehidupan Lansia
di Perkotaan ............................................................................. 32
4.2.3 Analisis Masalah Terkait Kerusakan Memori ............. 35
4.3 Analisis Stimulasi Kognitif dengan Konsep dan Penelitian Terkait 36
4.4 Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Dilakukan .................. 39

5 PENUTUP ............................................................................................. 39
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 39
5.2 Saran ............................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 – Analisa Data Kasus Kelolaan


Lampiran 2 – Rencana Asuhan Keperawatan: Kerusakan Memori
Lampiran 3 – Rencana Asuhan Keperawatan: Risiko Jatuh
Lampiran 4 – Rencana Asuhan Keperawatan: Hambatan Mobilitas Fisik
Lampiran 5 – Hasil Pengkajian MMSE, GDS, FMS, Kart Indeks, dan BBT

x Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lanjut usia atau lansia merupakan istilah yang biasa digunakan untuk seseorang
yang mulai memasuki tahap perkembangan akhir. World Health Organization
(WHO) membagi kategori tahap perkembangan akhir menjadi usia pertengahan
45-59 tahun, usia lanjut 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun, dan usia sangat tua >90
tahun (WHO, 2013). Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas.

Proses penuaan merupakan suatu proses perubahan fisik dan tingkah laku yang
mulai muncul ketika seseorang memasuki usia tahap perkembangan akhir. Oleh
karena itu, teori mengenai proses penuaan dikelompokkan menjadi kelompok
besar dilihat dari teori biologis dan teori psikososial (Stanley &Beare, 2007).
Teori biologis mencoba menjelaskan proses penuaan secara fisik, termasuk
perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia, dan kematian. Dari
segi teori psikososial, penjelasan mengenai proses penuaan lebih dipusatkan pada
perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia.

Peningkatan jumlah penduduk lansia sebanding dengan peningkatan usia harapan


hidup penduduk di suatu negara yang menjadi salah satu indikator keberhasilan
pembangunan di negara tersebut. Berdasarkan data demografi penduduk usia
lanjut Internasional (U.S. Census Bureau International Data Base, 2009), jumlah
lansia di dunia yakni sekitar 20,5 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk usia
lanjut tidak hanya terjadi di dunia tetapi juga di Indonesia. Hasil sensus penduduk
tiap lima tahun sekali menunjukan bahwa pada tahun 2005 jumlah penduduk usia
lanjut bertambah menjadi 8,48% dari seluruh penduduk Indonesia. Hasil sensus
penduduk 2010 menunjukan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan
jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa atau
9,6% dari penduduk total di Indonesia (Menkokesra, 2013). Berdasarkan data

1 Universitas Indonesia
2

tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk usia lanjut di


Indonesia yang cukup besar. Oleh karena itu, kemungkinan peningkatan risiko
terjadinya masalah yang akan dialami oleh para usia lanjut juga perlu menjadi
perhatian bagi semua pihak.

Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut memiliki risiko semakin meningkatnya


masalah kesehatan yang dialami lansia. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007
menunjukkan pola penyakit pada lansia antara lain gangguan sendi, hipertensi,
katarak, stroke, gangguan mental emosional, penyakit jantung, dan diabetes
mellitus. Riskesdas 2007 juga mendapatkan data bahwa penyebab kematian pada
umur 65 ke atas, baik lansia laki-laki maupun perempuan sebesar 20-25 % adalah
penyakit stroke. Penurunan fisik pada lansia yang mengalami penyakit stroke juga
dapat mengakibatkan defisit fungsional pada sistem neurologis yang berhubungan
dengan kerusakan memori, kemampuan bahasa, kognitif, dan motoriknya (Stanley
&Beare, 2007). Kerusakan memori dan penurunan kogntif disertai dengan
penyakit fisik yang dialami lansia dapat menimbulkan masalah kesehatan lain.

Gejala penyakit yang menyebabkan kerusakan memori secara progresif dikenal


dengan istilah demensia. Demensia mengindikasikan adanya kehilangan fungsi
intelektual meliputi memori, penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-
hari, penurunan kemampuan orientasi, dan adanya perubahan perilaku sosial yang
sering dalami pada lansia(Commonwealth of Australia, 2006). Adanya penurunan
fungsi intelektual mengakibatkan perubahan yang mempengaruhi kehidupannya
baik secara fisik, sosial, dan emosional (Hoffman & Platt, 2001). Risiko
terjadinya penurunan fungsi intelektual pada lansia akan semakin besar dan
berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi.

Prevalensi kasus demensia pada tahun 2005 di kawasan Asia Pasifik mencapai
13,7 juta jiwa dan diprediksikan akan bertambah pada tahun 2050 menjadi 64,6
juta jiwa. Berdasarkan data Deklarasi Kyoto, tingkat prevalensi dan insidensi
demensia di Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan
Jepang (Alzheimer's Disease International, 2006). Di Swedia dan Spanyol

Universitas Indonesia
3

prevalensi demensia sebesar 16,3% pada lansia yang berkunjung ke primary care.
Hasil penelitian di Semarang tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi kejadian
tersebut di daerah perkotaan cukup tinggi yaitu 16%, hal ini menunjukkan tidak
berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh di negara-negara maju lainnya
(Suryadi, 2004). Dengan demikian terlihat bahwa prevalensi terjadinya demensia
baik di Indonesia maupun di kawasan Internasional juga cukup besar dan salah
satu penyebab munculnya gejala demensia pada lansia dapat diakibatkan dari
penyakit vaskuler.

Penyakit vaskuler adalah penyebab kedua terbesar dari munculnya gejala


demensia setelah penyakit Alzheimer (Stanley & Beare, 2007). Faktor lingkungan
yang berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat juga memberikan dampak
peningkatan risiko terjadinya demensia. Berdasarkan hasil penelitian Hendrie
pada tahun 1995, gaya hidup yang tidak sehat menjadi faktor risiko utama dari
berbagai penyakit, misalnya stroke, penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus.
Salah satu penyakit vaskuler yang paling sering dialaimi oleh lansia adalah stroke.
Final Report dari pemerintah Australia pada tahun 2005 (dalam Hartati &
Widayanti, 2010) mengatakan penyakit stroke merupakan salah satu faktor risiko
besar terjadinya demensia. Penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya
menyatakan bahwa sekitar 70% penderita stroke mengalami gangguan kognitif
(ringan - berat) dan sekitar 25-30% diantaranya berkembang menjadi demensia.

Aliran darah ke otak mengalami gangguan akibat adanya kerusakan pada area
otak saat seseorang mengalami stroke. Hal ini akan mempengaruhi fungsi
neurologis yang berpusat di otak, mulai dari kognitif, memori, bahasa, bahkan
motorik dapat terganggu tergantung area mana yang banyak mengalami kerusakan
(Stanley & Beare, 2007). Walaupun tidak semua orang yang mengalami stroke
juga mengalami gejala demensia, namun risiko munculnya gejala demensia juga
besar pada penderita post stroke. Munculnya gejala demensia berbeda-beda pada
tiap tahapannya (Stanley &Beare, 2007; Ebelsor, 2005). Pada tahap awal, lansia
mulai mengalami hilangnya memori terbaru yang menyebabkan kesulitan dalam
menerima informasi baru dan disorientasi tempat serta waktu.

Universitas Indonesia
4

Gejala semakin diperburuk dengan adanya gangguan memori saat ini dan masa
lalu. Selain itu gejala apraksia, agnosia, afasia, diorientasi semakin buruk, terjadi
gangguan siklus tidur, mulai terjadi inkontinensia, mulai depresi dan gelisah, serta
kemungkinan halusinasi muncul pada tahap pertengahan demensia (Stanley
&Beare, 2007; Ebelsor, 2005; Hoffman & Platt, 2001). Di tahap akhir, gejala
demensia jika tidak diatasi akan semakin memperparah perubahan perilaku dan
kerusakan intelektual lansia mulai dari kemampuan kognitif, daya inget dan
memori jangka panjang dan pendek, kesulitan berkomunikasi, penurunan
kemampuan perawatan diri, nafsu makan menurun, gangguan siklus tidur semakin
parah, inkontinensia usus dan kandung kemih mulai terjadi, bahkan gangguan
mobilisasi pada lansia(Stanley &Beare, 2007; Ebelsor, 2005). Gejala yang muncul
pada setiap tahapan demensia, sedikit banyak mempengaruhi aktivitas lansia
sehari-hari.

Berdasarkan dari gejala yang muncul di setiap tahapannya, jika demensia tidak
ditangani sejak awal maka masalah yang dapat muncul antara lain kerusakan
memori, gangguan mobilisasi, peningkatan risiko jatuh, gangguan tidur, gangguan
nutrisi, dan juga masalah perawatan diri lansia (Stanley &Beare). Risiko
munculnya masalah-masalah tersebut akan membuat lansia sangat ketergantungan
dengan orang lain dan cenderung menarik diri karena tidak dapat melakukan
aktivitasnya dengan maksimal (Hoffman & Platt, 2001). Oleh karena itu, perlu
dilakukannya identifikasi awal dan penanganan segera untuk mengatasi demensia.
Teridentifikasinya gejala demensia pada tahap awal dapat mencegah
memburuknya kerusakan yang ada sehingga meningkatkan kualitas hidup lansia
menjadi lebih baik dan memiliki kemampuan yang maksimal.

Penggunaan strategi adaptif selain terapi obat yang diberikan juga sangat
diperlukan oleh penderita demensia. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan kognitif lansia salah satunya dengan stimulasi
kognitif. Stimulasi kognitif merupakan intervensi yang dilakukan kepada lansia
dengan demensia melalui kegiatan yang menyenangkan dan menstimulasi
kemampuan berpikir, berkonsentrasi dan juga melatih memori (Thomason, 2012).

Universitas Indonesia
5

The World Alzheimer Report (Alzheimer’s Disease International, 2011) juga


merekomendasikan penggunaan stimulasi kognitif sebaiknya dilakukan pada
tahap awal demensia.

Intervensi stimulasi kognitif yang diberikan melalui asuhan keperawatan pada


lansia demensia terdiri dari reality orientation dan reminiscence therapy (Frieri,
2010). Melalui intervensi tersebut diharapkan dapat melatih lansia untuk
mengorientasikan kembali siapa dirinya, siapa saja orang di sekitarnya, orientasi
waktu dan tempat dimana dirinya saat ini berada. Berdasarkan hasil penelitian
terbaru diketahui bahwa kegiatan berdiskusi mengenai kejadian masa lalu dan
masa kini, memilih topik yang diminat, permainana kata, puzzle, musik serta
aktivitas fisik lain dapat menstimulasi otak untuk berpikir dan meningkatkan
memori (Thomason, 2012). Penggunaan gambar, foto benda-benda, dan video
dapat menstimulasi otak lansia dan memaksimalkan kemampuan kognitif sesuai
kemampuan pada tahap usianya.

Lansia demensia yang mengalami peningkatan ketergantungan melakukan


aktivitas sehari-hari memerlukan perawatan dari tenaga profesional dan non
profesional, termasuk keluarga. Dukungan keluarga merupakan suatu bentuk
perilaku pelayanan yang dilakukan baik dalam bentuk dukungan emosional,
penghargaan, informasi, maupun instrumental terkait tenaga, uang, dan waktu
(Happy, 2009). Peran serta keluarga dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan perawatan lansia dengan demensia untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Namun, adanya pergeseran pola keluarga yang banyak terdapat
didaerah perkotaan besar menimbulkan berbagai pilihan tempat tinggal bagi lansia
selain bersama keluarga. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam
hubungan kontak sosial, gejala kesepian lansia yang tinggal bersama keluarga
lebih tinggi bila dibandingkan dengan lansia yang tinggal sendiri atau bersama
kelompoknya (Najjah, 2009).

Karakterstik masyarakat perkotaan yang sangat dinamis menjadi salah satu faktor
tersisihkannya kelompok lansia. Kesibukan dan ketidakmampuan keluarga secara

Universitas Indonesia
6

maksimal dalam memberikan perawatan menyebabkan lansia memilih untuk


tinggal di panti (Najjah, 2009). Oleh karena itu, permasalahan terkait kesehatan
lansia, termasuk demensia, tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga tetapi
juga lingkungan tempat mereka tinggal. Kasus demensia yang terjadi pada salah
satu lansia di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti
diketahui dari gejala umum yang biasanya muncul, seperti penurunan ingatan
terkait informasi yang baru diberikan, adanya penurunan kognitif seperti kesulitan
untuk menyebutkan nama benda, kemampuan mengenali objek yang umum,
kemampuan berhitung, serta orientasi waktu, tempat dan orang yang ada di
sekelilingnya juga terlihat. Selain dari perubahan perilaku yang terjadi pada
werdha, hasil pemeriksaan menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE) dan Geriatric Depression Scale (GDS) lansia juga menunjukkan adanya
tingkat depresi dan gangguan kognitif.

Penurunan kondisi fisik dan kemampuan intelektual yang dialaminya


menyebabkan klien menjadi cenderung menarik diri untuk berkomunikasi dan
mengalami kesulitan untuk mengingat informasi baru. Selain itu, keterbatasan
tenaga perawat di sasana dan kurangnya pengetahuan dari caregiver terhadap
perawatan lansia dengan demensia menyebabkan belum maksimalnya upaya
untuk meningkatkan kemampuan intelektual klien. Peran perawat sebagai pemberi
asuhan keperawatan langsung bagi lansia demensia baik dalam lingkungan
komunitas, rumah sakit maupun fasilitas perawatan jangka panjang seperti panti
sangat dibutuhkan (Ebelsor, 2005; Potter & Perry, 2005). Perawat bekerja sama
dengan keluarga, caregiver, dan pihak medis lainya dalam menyediakan
perawatan dan dukungan bagi lansia demensia.

Peran serta perawat seharusnya akan semakin baik dalam pemberian intervensi
ketika dapat memberikan arahan terkait gejala umum demensia kepada caregiver
sehingga intervensi yang dilakukan dapat bersinergis dan lebih efektif (Ebelsor,
2005; Potter & Perry, 2005). Dengan demikian terlihat peran perawat sebagai
educator sekaligus pemberi pelayanan secara langsung yang dijalankan saat
melakukan asuhan keperawatan bagi lansia demensia dengan kerusakan memori.

Universitas Indonesia
7

Asuhan keperawatan yang diberikan bagi lansia yang mengalami kerusakan


memori bertujuan untuk memaksimalkan fungsi dan kemampuan lansia agar tetap
dapat melakukan aktivitas sehari-harinya dengan lebih mandiri. Pemberian
stimulasi kognitif menjadi salah satu pilihan intervensi yang dilakukan dalam
asuhan keperawatan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil fokus
penulisan karya akhir ini mengenai analisis praktik klinik keperawatan kesehatan
masyarakat perkotaan pada lansia demensia dengan kerusakan memori di Sasana
Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti.

1.2 Rumusan Masalah


Penurunan kondisi fisik secara biologis pada lansia merupakan bagian dari proses
penuaan. Hal ini menyebabkan lansia rentan mengalami masalah kesehatan baik
secara fisik maupun masalah kesehatan lain yang mempengaruhi perubahan
perilaku dan mental lansia. Demensia merupakan salah satu masalah kesehatan
yang mengindikasikan adanya kerusakan memori, penurunan kemampuan
melakukan aktivitas sehari-hari, penurunan kemampuan orientasi, dan adanya
perubahan perilaku sosial pada lansia. Kerusakan memori yang terjadi
mempengaruhi kemandirian lansia menjalankan aktivitasnya sehari -hari. Oleh
karena itu, perlu adanya dengan metode adaptif yang digunakan untuk
meningkatkan memori dan kemampuan kognitif lansia agar lansia tetap dapat
memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Stimulasi kognitif menjadi pilihan
intervensi yang dilakukan dalam asuhan keperawatan lansia dengan kerusakan
memori. Oleh karena itu, rumusan masalah penulisan karya akhir ini adalah
Bagaimanan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan
pada lansia demensia dengan kerusakan memori di Sasana Tresna Werdha
Yayasan Karya Bhakti.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penulisann karya ilmiah akhir ini yaitu terpaparnya asuhan
keperawatan pada lansia dengan kerusakan memori di Sasana Tresna
Werdha Yayasan Karya Bhakti.

Universitas Indonesia
8

1.3.2 Tujuan khusus


- Teridentifikasinya hasil pengkajian asuhan keperawatan lansia
demensia dengan kerusakan memori
- Teridentifikasinya permasalahan yang muncul dari lansia demensia
yang mengalami kerusakan memori
- Tergambarnya perencanaan tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kerusakan memori
- Tergambarnya implementasi yang dilakukan untuk mengatasi
kerusakan memori melalui penerapan asuhan keperawatan
- Tergambarnya evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan untuk
mengatasi kerusakan memori penerapan melalui asuhan keperawatan

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Untuk pelayanan
Penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pihak Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti sebagai masukan dalam
pemberi pelayanan kesehatan pada lansia khususnya pada lansia yang mengalami
demensia.
1.4.2 Untuk institusi pendidikan
Karya ilmiah ini diharapkan bermanfaat untuk institusi pendidikan sebagai
masukan untuk penelitian selanjutnya terkait dengan penatalaksanaan lansia
demensia dengan kerusakan memori

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lansia


2.1.1. Definisi Lansia
Lanjut usia merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan
perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang berbeda
untuk individu yang berbeda (Papalia, 2001 dalam Wijayanti, 2008). World
Health Organization (WHO) membagi kategori tahap perkembangan akhir
menjadi usia pertengahan 45-59 tahun, usia lanjut 60-74 tahun, usia tua 75-90
tahun, dan usia sangat tua lebih dari 90 tahun (WHO, 2010). Menurut Undang-
undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 1998 dalam Affandi,


2009) mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara
biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
secara terus menerus, ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin
rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Secara
ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban daripada sebagai
sumber daya. Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok
sosial sendiri, yang pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan serta luasnya
hubungan sosial semakin menurun.

2.1.2. Penuaan pada Sistem Neurologis


Proses penuaan merupakan proses normal ditandai dengan adanya perubahan fisik
dan tingkah laku yang dialami setiap orang pada tahap perkembangan akhir. Dari
kedua aspek perubahan yang terjadi maka teori penuaan dikelompokan menjadi
dua kelompok besar yaitu teori biologis dan teori psikososial. Salah satu teori
biologis yang berkaitan dengan sistem neurologis yaitu teori neuroendokrin yang
menggambarkan adanya keterkaitan antara perubahan struktur dan tingkat

43 Universitas Indonesia
10

molekul sel dari sistem saraf dan sistem endokrin (Stanley &Beare, 2007). Para
ahli menyatakan bahwa penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan
dalam sekresi hormon tertentu dan memiliki dampak pada reaksi yang diatur oleh
sistem saraf. Salah satu area neurologis yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima,
memproses, dan bereaksi pada perintah. Oleh karena itu, lansia sering diidentikan
dengan perilaku yang mulai lambat, tidak kooperatif, dan berespon lambat.

Status kesehatan, pengalaman hidup, nutrisi, aktivitas, dan faktor keturunan


mempengaruhi proses penuaan. Sistem neurologis terutama otak adalah suatu
faktor utama dalam penuaan yang adaptif. Semakin bertambahnya usia ke tingkat
perkembangan dewasa, neuron-neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh
namun neuron tidak dapat beregenerasi (Stanley &Beare, 2007). Berdasarkan
hasil penelitian yang berkaitan dengan otak diketahui bahwa saat neuron
mengalami kematian maka hubungan antara sel-sel neuron yang tersisa semakin
meningkat dan mengisi kekosongan tersebut. Hal demikian mendukung
kemampuan lansia agar dapat tetap melakukan tugas kognitifnya walaupun
berkurang secara perlahan. Saat proses penuaan, perubahan struktur paling terlihat
pada bagian otak itu sendiri walaupun bagian sistem saraf pusat juga terpengaruh.
Bagian korteks serebri adalah daerah otak terbesar yang dipengaruhi oleh
kehilangan neuron.

Kehilangan dan penyusutan neuron dengan potensial 10% biasanya terjadi pada
usia 80 tahun keatas (Stanley & Beare, 2007). Distribusi neuron kolinergik,
norepinefrin, dan dopamine yang tidak seimbang dikompensasi oleh hilangnya
sel-sel, mengakibatkan penurunan intelektual. Peningkatan kadar monoamine
oksidase dan serotonin disertai dengan menurunnya norepinefrin dihubungkan
dengan depresi yang dialami oleh lansia. Penurunan dopamine dan beberapa
enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis
fungsional. Secara fungsional, terjadi perlambatan pada aktivitas gerak motorik
lansia. Hal ini dipengaruhi pula oleh melemahnya reflek tendon yang

Universitas Indonesia
11

mengakibatkan kurang terkoordinasinya gerakan lansia. Peningkatan lipofusin


juga secara tidak langsung mempengaruhi sistem saraf simpatis dan otonom.

2.1.3. Kesehatan Lansia di Perkotaan


Penurunan kondisi fisik dan perilaku menyebabkan lansia menjadi rentan
mengalami masalah kesehatan. Kesehatan yang buruk pada lansia tidak hanya
memberikan beban bagi dirinya sendiri namun juga berdampak secara tidak
langsung pada keluarga atau masyarakat sekitarnya. Berdasarkan data dari WHO
pada tahun 2012 diketahui bahwa beban kesehatan terbesar pada lansia berasal
dari penyakit seperti jantung, stroke, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran dan dementia (Djaja, 2012). Ketika seseorang mengalami penuaan,
risiko terjadinya stroke meningkat sehubungan dengan perubahan sistem vaskuler
ditambah dengan faktor risiko lain seperti riwayat merokok, riwayat hipertensi,
adanya hiperlipidemia, gout, aterosklerosis berat dan kadar trigliserida yang tinggi
(Stanley &Beare, 2007). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dan penanganan
segera saat terjadi serangan stroke agar dapat meminimalkan kesulitan yang akan
dialami lansia sebagai dampak lebih lanjut dari stroke.

Hasil statistik penduduk 2010 menunjukkan bahwa kesulitan yang dialami lansia
mencakup 17,6% gangguan melihat, 12,8% mendengar, 12,5% berjalan, 9,3%
konsentrasi, dan 7,3% mengurus diri sendiri(BPS, 2011). Faktor lingkungan dan
gaya hidup selama masa muda sangat berpengaruh pada perkembangan kesehatan
lansia. Lansia yang memiliki kebiasaan merokok, tidak mengontrol pola makan,
memiliki tingkat stres yang tinggi tanpa diimbangin dengan koping yang
maladaptif dapat meningkatkan risiko munculnya masalah kesehatan. Faktor-
faktor tersebut tidak hanya beresiko pada lansia di pedesaan namun juga di
perkotaan. Lingkungan perkotaan yang sudah mulai banyak polusi, mobilitasnya
tinggi, dan ruang gerak terbatas untuk berolahraga menjadikan lansia memiliki
risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan.

Karakteristik kehidupan perkotaan yang cenderung dinamis dan individualis


semakin membuat kelompok lansia tersisihkan dari kelompok yang masih aktif.

Universitas Indonesia
12

Perubahan konsep struktur keluarga yang ada di masyarakat perkotaan dari yang
awalnya extended family menjadi nuclear family juga mempengaruhi
berkurangnya peran serta keluarga dalam merawat kelompok lansia (Peplau &
Perlman dalam Najjah, 2009). Selain itu, kurang maksimalnya perhatian dan
pelayanan yang dapat diberikan keluarga karena faktor kesibukan dan tingginya
tingkat aktivitas masyarakat perkotaan menjadi faktor pendukung semakin
banyaknya lansia yang memilih untuk tinggal di panti werdha. Oleh karena itu, di
daerah perkotaan mulai muncul pilihan tempat lain bagi lansia selain bersama
keluarganya yaitu panti werdha. Adanya panti werdha tidak terlepas dari adanya
peningkatan usia harapan hidup dan pelayanan kesehatan khususnya di daerah
perkotaan.

Panti werdha merupakan salah satu alternatif tempat tinggal bagi kelompok lansia
untuk menghabiskan masa tuanya khususnya di daerah perkotaan. Berdasarkan
teori mengenai alternatif tempat tinggal bagi lansia, panti werdha secara fisik
termasuk residential care. Residential care merupakan sebuah bangunan tempat
tinggal bersama, berupa asrama yang di dalamnya terdapat staf medis untuk
menjaga dan membantu lansia agar tetap dapat melakukan aktifitas sehari-hari
(Parker, 1988).

Residential care juga memiliki program yang dirancang untuk meningkatkan


aktivitas dan kegiatan lansia dengan tetap mendapat kontrol dari petugas. Saat
lansia memutuskan untuk tinggal terpisah dari keluarga dan menetap di panti
werdha berarti secara tidak langsung lansia siap untuk menghadapi lingkungan
asing yang belum pernah ditinggali sebelumnya. Proses penyesuaian diri dengan
lingkungan baru perlu dilakukan agar mampu menciptakan suasana bahagia di
hari tuanya walaupun tinggal di panti werdha.

Pilihan panti werdha sebagai tempat tinggal lansia di masa tuanya menimbulkan
pro dan kontra tersendiri bagi sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat yang
berpandangan bahwa diakhir usianya tempat yang paling ideal untuk lansia yaitu
berada di tengah keluarga dan panti werdha dinilai sebagai tempat mengisihkan

Universitas Indonesia
13

kelompok lansia. Pandangan lain menganggap panti werdha dapat memberikan


perhatian dan perawatan lebih maksimal dibandingkan tinggal sendiri dengan
keluarga serta sebagai wadah untuk bersosialisasi dan melakukan kegiatan
(Najjah, 2009). Adanya pro kontra ini seharusnya tidak menjadi penghambat
untuk tetap meningkatkan kesejahteraan lansia karena keputusan untuk tinggal di
panti werdha atau di keluarga sebaiknya tetap menjadi pilihan keputusan dari
lansia itu sendiri. Oleh karena itu, keputusan apapun yang dipilih oleh lansia harus
dapat dihargai oleh keluarga sehingga tidak merasa terbuang ataupun diacuhkan
saat memilih tinggal di panti werdha. Adanya kerjasama yang baik antara pihak
panti dan keluarga untuk merawat lansia dapat membantu meningkatkan
kesejahteraannya.

2.2 Demensia
2.2.1. Definisi Demensia
Demensia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan gejala
penyakit yang menyebabkan penurunan secara progresif dari kemampuan dan
fungsi kognitif seseorang (Commonwealth of Australia, 2006). Demensia juga
dapat didefinisikan sebagai kondisi yang menggambarkan adanya kerusakan
kognitif global ang biasanya bersifat progresif dan mempengaruh aktivitas
kehidupan sehari-hari (Stanley &Beare, 2007; Hoffman & Platt, 2001). Kondisi
ini digambarkan secara luas mulai dari kehilangan memori, kemampuan
intelejensi, orientasi, kemampuan berhubungan sosial, dan berpengaruh juga pada
reaksi emosional. Gejala tersebut juga mempengaruhi perubahan fisik, sosial, dan
emosional dari baik dari kehidupan penderita demensia sendiri maupun keluarga
dan kerabat sekitar. Demensia bukanlah bagian dari proses penuaan secara
normal. Munculnya gejala demensia dapat disebabkan oleh beberapa faktor
penyakit pemicu.

Universitas Indonesia
14

2.2.2. Penyebab Demensia


Demensia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit seperti masalah vaskuler
misalnya multi infark, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal,
alkoholisme kronik, ataupun HIV AIDS (Stanley &Beare, 2007; Hoffman & Platt,
2001). Hampir sebagian besar penyebab demensia yang paling sering terjadi
diakibatkan oleh masalah vaskuler, biasanya dikenal dengan demensia vaskuler.
Demensia vaskuler merupakan jenis demensia terbesar kedua yang paling banyak
terjadi setelah demensia Alzheimer. Hampir sebagian besar penderita demensia
vaskuler berawal dari penyakit serebrovaskular yang dideritanya dan berkembang
menjadi infark multiple di otak (Stanley &Beare, 2007). Hal ini berdampak pada
fungsi tubuh yang dikendalikan oleh bagian otak tersebut. Walaupun demensia
dapat muncul akibat penyakit serebrovaskular tersebut namun tidak semua
penderita infark multiple otak mengalami demensia.

2.2.3. Tahapan Demensia


Gejala demensia muncul secara bertahap dan menandai proses penurunan kondisi
akibat adanya kerusakan kognitif. Penderita mengalami kehilangan kemampuan
untuk mengingat memori jangka pendek sehingga menyebabkan sulitnya
menerima informasi yang baru didapatkannya. Pada tahap awal biasanya
penderita juga mengalami pola penilaian yang buruk. Penderita demensia akan
merasa kesulitan dalam hal angka-angka yang terlalu banyak, seperti aktivitas
sehari-hari mengatur uang, menelpon, ataupun menghitung jumlah uang (Stanley
&Beare, 2007). Penderita demensia pada tahap ini juga mulai mengalami perasaan
bingung setiap berada pada kondisi dan lingkungan baru. Keadaan tersebut dapat
menjadi stressor tersendiri bagi penderita demensia dan meningkatkan tingkat
depresinya (Hoffman & Platt, 2001). Dengan kondisi demikian, penderita
demensia lebih banyak memilih untuk menarik diri dari lingkungannya. Gejala
lain dari tahap awal demensia yaitu anomia juga mulai terjadi walaupun masih
dalam rentang ringan. Anomia merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesulitan dalam menyebutkan nama benda.

Universitas Indonesia
15

Penurunan memori semakin memburuk pada tahap pertengahan. Pada tahap


pertengahan, mulai muncul kesulitan untuk melakukan gerakan secara utuh atau
yang dikenal dengan istilah apraksia. Kemampuan untuk mengenali objek benda
yang umum atau dikenal dengan istilah agnosia, juga dialami oleh penderita
demensia (Stanley &Beare, 2007; Hoffman & Platt, 2001). Perubahan perilaku
seperti rasa cemas yang berlebihan, gelisah, berkeluyuran, emosi yang tidak stabil
dapat juga membahayakan diri penderitanya. Keadaan semakin parah jika mulai
muncul halusinasi, delusi, atau rasa kecurigaan yang berlebihan. Hal ini jika tidak
terditeksi awal dapat membahayakan diri penderita sendiri. Gangguan merawat
diri dan kesulitan tidur juga mulai ada dan semakin menambah masalah penderita
demensia.

Gejala yang khas muncul pada penderita demensia tahap akhir yaitu mulai
terjadinya hiperoral dan gerakan tangan lebih aktif (Stanley &Beare, 2007).
Gangguan kognitif juga bertambah parah serta mulai mempengaruhi kerusakan
komunikasi verbal. Selain itu, penderita mengalami ketidakmampuan untuk
mengenali keluarga dan teman-temannya, melakukan perawatan diri secara
mandiri, dan penurunan imunitas yang menyebabkan meningkatnya risiko infeksi.
Aktivitas penderita demensia pada tahap akhir semakin terbatas karena gangguan
mobilisasi akibat hilangnya kemampuan untuk berjalan dan kaku otot.

2.2.4. Kerusakan Memori


2.2.4.1 Definisi Memori
Memori adalah kemampuan mental dalam menyimpan dan mengingat kembali
sensasi, kesan,, ide-ide, ataupun kejadian yang pernah terjadi (Dorland, 1998).
Memori merupakan salah satu bagian terpenting dari fungsi kognitif manusia.
Memori melibatkan kemampuan menyimpan informasi dan pengetahuan, dasar
dari pengembangan bahasa, dan pengenalan terhadap objek baik benda maupun
orang (Chaves, de Barros, Marini, 2010). Pada proses penuaan, adanya defisit
neurologis dapat mempengaruhi memori pada seseorang. Memori untuk kejadian
masa lalu pada umumnya lebih banyak diretensi dan lebih banyak diingat daripada
informasi yang masih baru. Hal ini berkaitan pula dengan deprivasi sensori yang

Universitas Indonesia
16

diakibatkan oleh adanya kerusakan pada pusat serebral yang bertanggung jawab
untuk memproses stimulasi (Stanley & Beare, 2007). Adanya beban sensoris yang
berlebihan dapat diakibatkan oleh penurunan kemampuan klien untuk menanggapi
rangsangan dan merespon sesuatu. Oleh karena itu, lansia cenderung banyak yang
mengalami ketidakmampuan untuk menyimpan informasi baru.

2.2.4.2 Definisi Kerusakan Memori


Kerusakan memori merupakan ketidakmampuan untuk mengingat, mengulang
sebagian informasi atau keterampilan perilaku (Wilkinson & Ahern, 2011;
NANDA, 2012). Batasan karakteristik dari masalah kerusakan memori dapat
dilihat dari ketidakmampuan lansia untuk mengingat perilaku yang dilakukannya,
mempelajari atau meretensi keterampilan dan informasi baru yang didapatkannya,
serta mengingat kembali kejadian masa lampau. Selain itu, lansia dengan
kerusakan memori lebih cenderung lupa untuk melakukan sesuatu yang telah
terjadwal dan mengalami penurunan dalam hal mengingat kembali informasi yang
faktual.

2.2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Memori


Hasil dari penelitian Brazilian Experts’ Validation of Related Factor for the
Diagnosis Impaired Memory and the Proposed additional Factor of Aging
diketahui bahwa faktor terbesar yang berhubungan dengan kerusakan memori
yaitu penuaan dan gangguan neurologik (Chaves, de Barros, Marini, 2010). Selain
kedua faktor tersebut, kerusakan memori juga dapat berhubungan dengan masalah
keseimbangan cairan elektrolit, gangguan lingkungan yang berlebih, penurunan
cardiac output, hipoksia akut atau kronik, dan juga anemia (Wilkinson & Ahern,
2011).

2.2.4.4 Dampak Kerusakan Memori


Kerusakan memori secara tidak langsung juga berdampak pada penurunan
kemampuan kognitif pada lansia. Lansia dengan kerusakan memori akan
terganggu fungsi kognitif, orientasi, konsentrasi dan status neurologis lainnya
(Stanley & Beare, 2007). Selain itu, kondisi lansia yang semakin menurun

Universitas Indonesia
17

mengakibatkan dirinya kesulitan dalam melakukan perawatan diri dan pemenuhan


kebutuhan dasar lainnya secara mandiri. Oleh karena itu, masalah terkait
mobilisasi, nutrisi, dan eliminasi dari lansia dengan kerusakan memori juga perlu
menjadi perhatian. Kerusakan memori tidak hanya berdampak pada aktivitas
sehari-hari seperti kesulitan untuk mengingat nama, lupa dengan aktivitas yang
telah dikerjakan, kesulitan untuk mengulangi informasi yang baru diberikan,
namun juga memiliki dampak pada psikologis yang dapat memancing adanya
penurunan harga diri (Hoffman & Platt, 2001). Lansia dengan kerusakan memori
semakin meningkatkan perilaku yang mengarah pada masalah psikososial seperti
menarik diri, gelisah, merasa tidak berharga, dan kesepian.

2.3 Asuhan Keperawatan


Masalah kerusakan memori yang ditimbulkan dari gejala demensia dapat
memberikan dampak lain terhadap kelangsungan hidup lansia. Secara tidak
langsung, kerusakan memori yang dialami lansia dapat menggangu
kemandiriannya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tidak semua lansia
dengan penurunan memori mengalami demensia, tetapi kemungkinan hanya
mengalami perubahan memori terkait usia, depresi atau salah satu penyebab
revesibel kerusakan memori lainnya (Stanley & Beare, 2007). Gejala awal dari
penurunan memori sebelum kekerusakan memori antara lain semakin mudah lupa,
lebih sulit mempelajari informasi baru, menurunnya kemampuan mengingat
kembali, dan menurunnya kecepatan untuk mendapatkan kembali informasi yang
ada.

Pemerikasaan fisik, riwayat lengkap, diagnostik, dan tes neurofisiologis perlu


dilakukan untuk menetapkan diagnosa demensia irrevesibel dengan kerusakan
memori (Stanley & Beare, 2007; Ebelsor, 2005). Perawat dalam menentukan
diagnosa demensia harus tetap memantau gejala yang ada sepanjang waktu agar
dapat membedakan persisten atau revesibelnya gejala. Pengkajian terhadap fungsi
kognitif, perilaku dan status fungsional pada lansia juga perlu dilakukan oleh
perawat untuk mengetahui perjalanan gangguan yang terjadi dan menyesuaikan
intervensi terapeutik sesuai tingkat kemampuan. Beberapa alat ukur yang dapat

Universitas Indonesia
18

digunakan untuk mengkaji kemampuan kognitif, fungsional, dan tingkat depresi


pada lansia antara lain Mini Mental State Exam, Clinical Dementia Rating, Skala
KATZ, dan Geriatric Depression Scale (Stanley & Beare, 2007; Ebelsor, 2005).
Berdasarkan hasil pengkajian tersebut, perawat dapat mengidentifikasi tingkat
depresi dan gangguan kognitif yang dialami lansia sehingga diagnosa demensia
dengan kerusakan memori dapat ditegakkan dengan tepat.

Kunci perawatan lansia demensia dengan kerusakan memori adalah


merencanakan dan mengelola aktivitas yang dapat dilakukan untuk menghindari
frustasi, penurunan harga diri dan stres berkaitan dengan respon perilaku (Stanley
& Beare, 2007). Banyak kegiatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan memori lansia. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan adalah stimulasi kognitif. Stimulasi kognitif merupakan intervensi yang
dilakukan kepada lansia dengan demensia melalui kegiatan yang menyenangkan
dan menstimulasi kemampuan berpikir, berkonsentrasi dan juga melatih memori
(Thomason, 2012). Intervensi stimulasi kognitif ini terdiri dari reality orientation
dan reminiscence therapy (Frieri, 2010). Melalui intervensi keperawatan ini,
perawat mencoba untuk mengatasi kerusakan memori dengan cara memberikan
stimulasi kognitif pada otak sehingga terjadi peningkatan kemampuan kognitif,
orientasi, konsentrasi, memori dan status neurologis

Kemampuan orientasi kognitif dapat dilihat dari indikator kemampuan lansia


dalam mengenali diri sendiri, orang terdekat, tempat dirinya berada, dan waktu
yang sesuai termasuk hari, tanggal, tahun, dan musimnya. Peningkatan status
neurologis dapat dibuktikan dengan kemampuan lansia dalam berkomunikasi dan
menerima pesan secara tepat, memberikan respon yang sesuai, dan kemampuan
pengendalian gerak motoriknya. Peningkatan memori juga secara tidak langsung
terlihat dari kemampuan lansia mengulang kembali objek yang pernah disebutkan
sebelumnya ataupun kemampuan bercerita mengenai pengalaman masa lalunya
Wilkinson & Ahern, 2011). Aktivitas sehari-hari dapat dijadikan sarana untuk
menstimulasi kemampuan kognitif lansia misalnya kegiatan membaca, menonton

Universitas Indonesia
19

televisi, atau bercerita mengenai satu tema. Kegiatan ini sebaiknya dijadikan
sebuah kebiasaan dengan tujuan agar otak tidak beristirahat secara terus menerus.

Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

Bagian ini akan menjelaskan mengenai hasil asuhan keperawatan lansia dengan
kerusakan memori yang terjadi pada salah satu Nenek NA di Wisma Bungur
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti. Pemaparan mengenai hasil
pengkajian diperoleh secara objektif dari data primer berupa keterangan werdha
yang bersangkutan, caregiver yang merawat, dan petugas kesehatan di sasana.
Selain itu, penulis juga mendapatkan data sekunder dari dokumentasi status
kesehatan werdha yang ada di klinik Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya
Bhakti. Laporan yang dipaparkan pada bab ini merujuk pada hasil proses
keperawatan mulai dari analisa data, rencana intervensi, implementasi dan
evaluasi yang didapatkan selama 7 minggu praktik.

3.1 Pengkajian Residen


3.1.1. Identitas
Nenek NA berusia 83 tahun, kelahiran Solok, Sumatra Barat pada tanggal 20
Oktober 1929 dan saat ini tinggal di kamar B23. Pada tahun 1960 Nenek NA
pernah mengajar sebagi guru bantu di Padang namun sejak pindah ke Jakarta
tahun 1967 dirinya mengajar di sekolah percobaan daerah Menteng hingga
pensiun tahun 1968. Nenek NA menikah pada tahun 1956 dan memiliki seorang
putra pada tahun 1966 namun pada tahun 1989 suaminya meninggal karena
menderita stroke. Sejak tahun 2000 dirinya tinggal bersama adik keduanya di
deerah Jatiwaringin. Menurut keterangan Nenek NA, dirinya memiliki anak
angkat laki-laki yang sebenarnya merupakan keponakannya sendiri dan saat ini
tinggal di Belanda. Anak kandung Nenek NA masih tinggal di Jakarta namun
dirinya memilih untuk tinggal terpisah di sasana bersama adik perempuannya
karena merasa kesepian dan tidak ada yang mengurus.

3.1.2. Riwayat Kesehatan


Nenek NA memiliki riwayat penyakit stroke 2x, yang terakhir adalah tahun lalu.
Menurut keterangan status di awal masuk disebutkan dirinya juga memiliki

43 Universitas Indonesia
21

riwayat hipertensi sejak tahun 1990 dan pernah berobat jalan penyakit liver pada
tahun 1950 di RS Persahabatan. Saat ini sejak mengalami stroke yang kedua
Nenek NA mengalami kesulitan mengingat memori jangka panjang dan pendek
serta kesulitan berkomunikasi. Ektremitas kanan baik atas maupun bawah pada
awal stroke yang kedua mengalami kelemahan namun 4 bulan terakhir sejak di
terapi menurut keterangan caregiver sudah banyak perubahan terutama dalam
mobilisasi dan berkomunikasi. Berdasarkan data pada status awal masuk diketahui
bahwa orang tuanya meninggal karena sakit, namun dirinya tidak mengetahui
penyakitnya apa lebih pada karena usianya sudah tua. Adik bungsu dan suaminya
juga memiliki riwayat dan meninggal karena stroke. Selama ini Nenek NA tidak
menganut keyakinan tentang kesehatan tertentu dan memilih untuk berobat ke
dokter dan pergi ke RS atau pelayanan kesehatan lain.

3.1.3. Aktifitas
Pola makan sehari-hari biasanya 3x dengan porsi ½ - ¾ yang disediakan oleh
orang dapur untuk werdha. Nenek NA biasanya tidak makan nasi terlalu banyak
dan hanya menghabiskan lauk, sayur, dan buahnya saja jika sesuai selera.
Biasanya untuk sarapan pagi dirinya jarang makan nasi hanya minum susu atau
makan kue. Nenek NA mampu makan sendiri namun masih dalam pengawasan
caregiver dan biasanya di kamar tidak ikut bergabung di ruang makan. Nenek NA
biasanya minum 1 gelas susu tiap pagi ± 250 cc. Air putih kurang lebih 6 gelas
ukuran ± 250 cc selama satu hari. Namun itu juga tidak rutin tergantung selera,
kadang minumnya sedikit.

Nenek NA biasanya sudah tidur dari pukul 20.00 WIB namun tidak langsung
terlelap biasanya masih sambil nonton TV dan bangun sekitar pukul 04.30. Pada
siang hari biasanya dirinya tidur sekitar pukul 12.30 setelah makan siang atau jika
sedang lelah setelah ikut kegiatan sekitar pukul 11.00 namun itu tidak rutin. Lama
tidur siang kurang lebih 1-2 jam. Nenek NA mengaku tidak ada keluhan untuk
tidurnya dan merasa tidur malamnya cukup. Pola BAB Nenek NA teratur setiap
pagi saat mandi dan tidak ada keluhan, konstipasi (-), diare(-). BAK >7x dalam
sehari, lebih banyak BAK pada malam hari.

Universitas Indonesia
22

Aktifitas harian Nenek NA selama di sasana antara lain senam, pengajian jika
sedang merasa tidak lelah dan kegiatan yang biasanya diadakan oleh mahasiswa
praktik. Kegiatan tersebut menjadi hiburan tersendiri bagi dirinya. Jika tidak
keluar kamar Nenek NA biasanya lebih banyak berbaring di tempat tidur,
menonton TV atau membaca buku novel bahasa Belanda yang beliau miliki.
Nenek NA beragama Islam namun sejak sakit dirinya mengaku jarang shalat
karena lupa cara shalat seperti berwudhu dan melakukan gerakan shalat.
Sebelumnya Nenek NA masih suka shalat di mushala namun jika sudah tidak kuat
dirinya memilih shalat di kamar.

3.1.4. Keadaan Psikososial


Selama berinteraksi keadaan emosi Nenek NA tampak cukup stabil, bersikap
terbuka dan menerima kunjungan dari mahasiswa yang praktik. Selain itu, dirinya
juga berusaha menjawab setiap pertanyaan walaupun masih terbata-bata atau
kesulitan mengingat dan mengutarakannya. Hubungan Nenek NA dengan
keluarga sangat baik dan keputusan untuk tinggal di sasana juga didukung oleh
pihak keluarga. Pembiayaan selama di sasana juga mendapat bantuan dari anak-
anaknya. Keluarga mendukung keputusan Nenek NA untuk tinggal di sasana
karena jika di rumah dirinya akan merasa kesepian dan menjadi bosan dengan
aktivitas yang tidak banyak.

Anak Nenek NA yang di Belanda walaupun jauh masih sering menghubunginya


minimal 2 minggu sekali melalui telepon. Anaknya yang ada di Jakarta sering
mengunjungi dirinya pada hari libur, begitu pula dengan anaknya yang di Belanda
jika sedang pulang ke Indonesia. Hubungan dirinya dengan werdha dan pengurus
sasana juga baik. Nenek NA tersenyum saat ketemu dengan orang lain dan masih
mau mengikuti kegiatan perkumpulan yang diadakan di sasana. Namun, sejak
sakit dan mengalami kesulitan berkomunikasi serta mengingat Nenek NA menjadi
lebih banyak diam dan jarang keluar untuk mengobrol dengan penghuni lainnya.

Universitas Indonesia
23

3.1.5. Keadaan Fisik


Keadaan umum Nenek NA selama tujuh minggu terlihat baik, dengan kesadaran
compos mentis. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah
rata-rata sistolik 100-160 mmHg dan diastolik 70-100 mmHg, nadi 68-88x/menit,
suhu afebris, pernapafasan 18-22x/menit. Nenek NA memiliki berat badan 60 kg
dengan tinggi badan 156cm dan panjang LILA 30,5cm. Penampilan fisik Nenek
NA tampak bersih, tidak tercium aroma yang kurang sedap, menggunakan
pakaian yang sesuai dan rapi, serta rambut selalu disisir apalagi jika ingin pergi
keluar kamar. Rambut hampir 90% bewarna putih menyebar rata, dilatasi pupil
(+/+) 3cm, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, lubang hidung tidak ada
sumbatan jalan nafas, mukosa bibir lembab, gigi yang tersisa tinggal 8, dan pada
bagian telingga tidak ada sumbatan serta serumen.

Kondisi fisik bagian leher juga tidak ada pembesaran kelenjar, reflek menelan
masih baik, tidak tampak lesi. Pemeriksaan bagian thorax juga mendapatkan hasil
pengembangan dada baik, simetris, suara nafas normal, tidak ada suara ronchi,
wheezing, crackles, dan suara jantung terdengar normal bunyi jantung I-II. Pada
bagian perut telihat buncit, lemas, dan tidak tampak lesi. Keadaan ekstremitas
pada bagian kanan agak terganggu pasca serangan stroke kedua. Kelemahan
terlihat saat Nenek NA berusaha memegang sesuatu atau mengepalkan tangan
namun telapak tangan kanan agak kaku dan sakit jika dipaksakan menggenggam.
Selain itu dirinya juga mengatakan lemah dan tidak kuat jika bertumpu pada kaki
kanan. Hasil pengkajian kekuatan otot didapatkan 4443 4444
4443 4444

Nenek NA berjalan dengan langkah lambat, berpegangan pada benda atau dinding
saat berada di kamar dan sekitarnya namun jika pergi keluar wisma biasanya
dibantu caregiver menggunakan kursi roda. Hasil pengkajian Fall Morse Scale
didapatkan jumlah total 55 dengan interpretasi risiko jatuh tinggi. Selain itu,
berdasarkan hasil pemeriksaan Berg Balance Test didapatkan hasil bahwa Nenek
NA memiliki risiko jatuh sedang dan membutuhkan alat bantu jalan seperti
walker, tongkat, dan kruk. Selama tinggal di wisma dirinya mengatakan pernah

Universitas Indonesia
24

dua kali jatuh yaitu ketika ingin ke kamar mandi dan di depan pintu masuk
kamarnya namun itu sudah lama terjadinya.

Saat berinteraksi Nenek NA sering mengatakan dirinya banyak lupa dan merasa
bodoh karena tidak mampu mengingat nama ataupun mengenali benda-benda
yang ada disekitar. Nenek NA tampak sulit berkonsentrasi, berusaha mengingat
keras objek atau pengalaman masa lalu, kadang sulit menyebutkan kalimat dengan
teratur dan tampak terbata-bata. Selain itu, Nenek NA tidak mampu mengingat
nama diri sendiri, orang terdekat, hari, tanggal, bulan dan tahun serta kesulitan
untuk mengulang kembali informasi yang telah diberikan. Perlu adanya
pengulangan 4-5x untuk menyebutkan satu objek dan mengalami kesulitan untuk
menyebutkan susunan lebih dari dua angka. Hasil dari pemeriksaan kemampuan
kognitif melalui Mini Mental State Examination memiliki total skor 4 dengan
interpretasi mengalami gangguan kognitif. Pemeriksaan tingkat depresi melalui
Geriatric Depresion Scale juga dilakukan dan memiliki total skor 10 dengan
interpretasi depresi ringan.

Keadaan lingkungan kamar Nenek NA tampak agak sempit pada jalan menuju
tempat tidur dari pintu masuk. Hal ini karena terdapat sofa panjang yang letaknya
sebaris dengan meja sudut dan meja televisi di depan pintu masuk. Peletakan
barang disekitar meja rias juga menambah kesan penuhnya barang di kamar.
Kondisi demikian meningkatkan resiko jatuh pada Nenek NA apalagi dengan cara
berjalan yang berpegangan ke dinding atau barang sekitar kamar cukup
menyulitkan dirinya saat ke kamar mandi. Posisi tempat tidur tidak terlalu tinggi
dari lantai, terdapat banyak lampu yang berfungsi dengan baik, lantai keramik dan
cahaya matahari juga masuk ke dalam kamar sejak pagi sampai sore. Terdapat
jendela yang dapat dibuka sehingga sirkulasi udara di kamar baik.

3.2 Rencana Asuhan Keperawatan


3.2.1. Analisa Data
Hasil data pengkajian menemukan masalah keperawatan yang terdapat pada
Nenek NA antara lain masalah kerusakan memori, risiko jatuh, dan hambatan

Universitas Indonesia
25

mobilitas fisik. Dari masalah-masalah tersebut prioritas yang ditentukan antara


lain kerusakan memori sebagai prioritas pertama, risiko jatuh sebagai prioritas
kedua, dan hambatan mobilitas fisik sebagai prioritas masalah ketiga. Prioritas
utama masalah kerusakan memori ditetapkan berdasarkan data objektif dan
subjektif yang mengarah pada penurunan kemampuan orientasi, memori, dan
konsentrasi Nenek NA. Penetapan masalah risiko jatuh sebagai prioritas kedua
dikarenakan adanya peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat
menyebabkan bahaya fisik yang lebih lanjut pada Nenek NA. Masalah hambatan
mobilitas fisik yang menjadi prioritas ketiga dilihat dari data keterbatasan gerak
yang dialami Nenek NA dalam melakukan aktivitas. Analisa data penetapan
masalah keperawatan pada Nenek NA secara lebih rinci dapat dilihat pada
lampiran 3.1.

3.2.2. Rencana Intervensi


Rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada masalah kerusakan
memori memiliki tujuan umum yaitu teratasinya masalah kerusakan memori
meliputi kemampuan orientasi, daya ingat, kognitif, dan konsentrasi yang dialami
oleh Nenek NA. Adapun tujuan khusus yang ditetapkan dalam rencana tindakan
keperawatannya antara lain adanya peningkatan orientasi terhadap waktu, orang,
dan tempat, kemampuan mengingat meningkat baik informasi terkini, saat ini,
maupun lampau, serta peningkatan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
secara optimal. Fokus rencana intervensi yang akan dilakukan untuk masalah
kerusakan memori mengarah pada tindakan stimulasi kognitif termasuk latihan
orientasi. Adapun rencana tindakan keperawatan terkait diagnosa keperawatan
kerusakan memori lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 3.2.

Rencana tindakan keperawatan untuk diagnosa risiko jatuh memiliki tujuan umum
yaitu tidak terjadinya kasus jatuh pada Nenek NA. Adapun tujuan khusus yang
ditetapkan dalam rencana tindakan ini antara lain dapat dipertahankan
kemampuan mobilitas fisik dan kekuatan otot secara optimal, terealisasinya
tindakan pencegahan jatuh standar, dan tidak ada frekuensi jatuh ketika berpindah
tempat ataupun dari tempat tidur. Fokus intervensi keperawatan yang dilakukan

Universitas Indonesia
26

meliputi latihan peningkatan keseimbangan dan modifikasi lingkungan. Adapun


rencana tindakan keperawatan terkait diagnosa keperawatan risiko jatuh secara
lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 3.3.

Perencanaan tindakan keperawatan pada masalah hambatan mobilitas fisik


memiliki tujuan umum yaitu tercapainya kemampuan maksimal mobilisasi Nenek
NA. Adapun tujuan khusus dari rencana tindakan keperawatan ini antara lain
terobservasinya kemampuan mobilisasi dan kekuatan otot, terdemonstrasikannya
tindakan yang mengurangi kekakuan sendi, dan terpantaunya cara penggunaan
alat bantu mobilisasi Nenek NA. Fokus rencana intervensi lebih pada latihan
ROM dan peningkatan aktivitas mobilisasi sesuai kemampuan. Rencana tindakan
keperawatan terkait diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik secara lebih
rinci dapat dilihat pada lampiran 3.4.

3.3 Implementasi
Implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan memori
mengacu pada rencana keperawatan yang telah disusun. Selama tujuh minggu
berinteraksi, mahasiswa selalu mencoba menciptakan suasana tenang dengan
meminimalkan suara dan hal-hal yang dapat mendistraksi seperti televisi. Hal ini
bertujuan untuk memfokuskan dan meningkatkan konsentrasi Nenek NA. Saat
berkomunikasi, mahasiswa tetap mempertahankan sikap komunikasi terapeutik
seperti saling berhadapan dan berbicara dengan menatap wajah secara kontinu
1x45 menit, 6 hari dalam satu minggu. Komunikasi terapeutik selalu dijaga
selama berinteraksi agar Nenek NA merasa mendapatkan perhatian dan merasa
dihargai. Selain itu selama tujuh minggu setiap berinteraksi, pemberikan umpan
balik positif selalu dilakukan agar memotivasi Nenek NA untuk mengeksplorasi
kemampuannya.

Latihan orientasi dilakukan 1x30 menit 3-6 hari dalam seminggu selama enam
minggu mulai dari orientasi orang sekitar, waktu, maupun tempat. Mahasiswa
selalu memperkenalkan nama setiap memulai interaksi dan memanggil Nenek NA
dengan namanya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan orientasi Nenek NA

Universitas Indonesia
27

tentang dirinya dan orang yang ada disekitarnya. Mahasiswa mengingatkan hari,
tanggal, bulan dan tahun setiap berinteraksi menggunakan media kalender lembar
balik untuk meningkatkan orientasi waktu. Mahasiswa selalu mengulang
informasi mengenai hari tanggal bulan dan tahun 4-5 kali setiap informasi baru.
Kalender dituliskan dengan huruf yang cukup besar dan menggunakan tinta yang
lebih terang agar dapat dibaca. Kalender diletakkan pada meja sebelah tempat
tidur Nenek NA agar mudah dijangkau dan dilihat.

Tindakan stimulasi kognitif untuk meningkatkan memori Nenek NA dilakukan


selama enam minggu dengan intensitas pertemuan 3-6 kali dalam seminggu.
Mahasiswa 4 kali pada tiga minggu di awal memotivasi Nenek NA untuk
menceritakan kenang-kenang masa lalu yang berkaitan dengan kehidupannya.
Mahasiswa 4 kali menggunakan media seperti beberapa foto keluarga dan foto
kegiatan yang pernah diikuti oleh Nenek NA selama disasana. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan memori dan orientasinya terhadap orang yang ada di foto,
waktu maupun tempat. Pada minggu ketiga, Nenek NA juga pernah menunjukkan
hasil karya lukisannya yang dsimpan dikamarnya, saat itu mahasiswa mencoba
memotivasi nenek untuk bercerita tentang apa yang dilukis. Selain lukisan, Nenek
NA juga menunjukkan sulaman dinding hasil karyanya yang ada di kamar.
Dengan demikian, mahasiswa telah 2 kali mencoba melakukan implementasi
untuk meningkatkan kemampuan memori klien dengan menggunakan benda-
benda yang berkaitan dengan masa lalu dan hobinya. Hal tersebut juga dapat
menstimulasi kemampuan kognitif Nenek NA secara perlahan.

Pada minggu keempat dan kelima, mahasiswa mencoba memberikan latihan


pengenalan kembali terhadap objek-objek benda yang umum bisanya dengan
lansia. Tindakan ini dilakukan selama 6 kali pertemuan 1x30 menit mahasiswa
menggunakan media buku bergambar dan benda yang ada di sekitar kamar Nenek
NA. Mahasiswa juga 2 kali menggunakan permainan puzzle untuk melatih
kemampuan berkonsentrasi dan kognitif Nenek NA. Pada minggu keenam,
mahasiswa dua kali mendampingi klien menonton film dan satu kali memotivasi
Nenek untuk menggambar apa yang disukainya. Kedua aktivitas ini dilakukan

Universitas Indonesia
28

untuk meningkatkan konsentrasi dan kemampuan kognitif klien. Setelah kegiatan


menonton atau menggambar Nenek NA dimotivasi untuk menceritakan apa yang
ditonton atau digambarnya.

Keseluruhan implementasi yang telah dilakukan mengarah pada tujuan umum dari
rencana keperawatan yaitu mengatasi kerusakan memori. Tujuan umum tersebut
memiliki indikator khusus yang ingin dicapai antara lain mampu mengenal diri
sendiri, orang disekitarnya, hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat saat ini berada.
Selain itu, juga diharapkan mampu dapat meningkatkan ingatan terhadap
informasi dan peristiwa yang baru terjadi serta dapat menceritakan kembali
memori masa lalu. Peningkatan kemampuan untuk mengenal dan menyebutkan
kembali objek yang ada disekitarnya serta melakukan aktivitasnya secara optimal
sesuai kemampuan juga menjadi tujuan khusus yang ingin dicapai.

3.4 Evaluasi
Hasil implementasi terkait masalah kerusakan memori didapatkan dari
perkembangan respon klien selama enam minggu pertemuan. Latihan orientasi
telah dilakukan sebanyak 3-6 kali dalam seminggu selama enam minggu mulai
dari orientasi orang sekitar, waktu, maupun tempat. Diketahui hasil perkembangan
kemampuan orientasi Nenek NA untuk mengenal dan menyebutkan nama dirinya
sendiri mulai terlihat pada minggu ketiga dan keempat. Pada pertemuan diawal
Nenek NA selalu mengatakan lupa siapa namanya namun di minggu ketiga
setelah diulang beberapa kali mulai bisa mengingat dan menyebutkan secara
spontan walaupun masih butuh waktu untuk konsentrasi mengingat di awal. Pada
minggu keempat dan seterusnya Nenek NAampu menyebutkan namanya setiap
berkenalan saat interaksi.

Evaluasi kemampuan orientasi terhadap orang terdekatnya masih sulit hingga


minggu kelima. Setelah minggu kelima, Nenek NA mampu menyebutkan nama
mahasiswa, caregiver, dan adik perempuannya dengan dibantu walaupun tidak
secara spontan dan perlu waktu untuk konsentrasi mengingat. Orientasi waktu
masih belum baik hingga akhir minggu ketujuh. Nenek NA masih belum bisa

Universitas Indonesia
29

mengingat hari, tanggal, bulan dan tahun secara spontan dan masih perlu dibantu
untuk membaca kalender lembar balik yang dibuat oleh mahasiswa. Penyebutan
nama hari yang terbalik-balik dan kesulitan untuk membaca susunan lebih dari
dua angka seperti pada tahun masih terjadi. Orientasi tempat dirinya saat ini
berada juga sudah baik sejak minggu ketiga. klien mampu menyebutkan kamar
dan wisma tempat dirinya tinggal.

Perkembangan kemampuan kognitif Nenek NA juga dapat dilihat dari respon


setelah bercerita, bermain puzzle, dan menonton film. Setelah mahasiswa 4 kali
mencoba memotivasi untuk bercerita mengenai kenangan masa lalunya, di
minggu keempat klien mampu mulai banyak bercerita tentang hobi dan
pengalaman masa lalunya walaupun kadang masih ada ragu-ragu dan lupa pada
beberapa kejadian. Nenek NA juga mampu menyebutkan nama-nama orang dan
kejadian yang ada di beberapa foto di kamarnya walaupun butuh waktu untuk
konsentrasi dan mengingat kembali. Saat menunjukakan hasil karya lukisan dan
sulaman yang menjadi hiasan dinding didekat tempat tidurnya, klien mampu
menceritakan tema apa yang dilukis dan di sulamnya. Kemampuan mengingat
kembali informasi yang baru diberikan hingga minggu ke enam terutama
informasi masih terjadi terutama jika dengan kalimat yang panjang. Pada minggu
kelima Nenek NA selalu mengikuti senam dari awal sampai akhir namun jika
ditanyakan kembali gerakan yang diajarkan dirinya lupa lagi.

Setelah 2 kali kegiatan bermain puzzle dilakukan, hampir 70% puzzle dapat
tersusun dengan benar walaupun masih perlu dibimbing mahasiswa dan namun
saat kedua kalinya klien dapat 100% menyusun sendiri. Kesulitan untuk
mengenali nama-nama benda yang ada di buku cerita bergambar masih terjadi
setelah dilakukannya intervensi selama 6 kali pertemuan. Nenek NA mampu
menyebutkan 60% gambar dari 3 halaman buku bergambar dengan benar dan
selebihnya dapat menyebutkan dengan bimbingan mahasiswa. Nenek NA mulai
mengatakan kegiatan yang telah dilakukannya hari ini. Nenek NA dapat
menceritakan satu kesimpulan film yang ditonton dengan tepat dari 2 kegitaan
menonton yang dilakukan pada minggu keenam. Mulai minggu ke enam dan

Universitas Indonesia
30

seterusnya klien mulai tampak mau keluar dan duduk di teras menikmati tanaman
yanga ada di taman depan kamarnya. Nenek NA juga mengatakan mau mulai
mencoba untuk bicara dengan orang lain untuk membantu mengingat dan berlatih
bicara.

Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI

4.1 Profil Lahan Praktik


Sasana tresna werdha merupakan sebuah sarana tempat tinggal bagi sekelompok
orang usia lanjut yang banyak lebih dikenal dengan sebutan panti werdha. Sasana
Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti secara fisik terlihat sebagai sarana tinggal
bersama seperti layaknya asrama yang didalamnya terdapat staf medik yang
bertugas untuk menjaga dan membantu lansia melakukan aktivitas sehari-harinya
sesuai kemampuannya secara maksimal. Awal didirikannya Sasana Tresna
Werdha Yayasan Karya Bhakti dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri para lansia sekaligus untuk menghapus paradigma
masyarakat dahulu yang menganggap bahwa wisma atau panti werdha merupakan
tempat pengucilan orang tua yang menjadi beban bagi keluarganya. Mereka pun
menyadari bahwa lansia juga membutuhkan teman sebaya sebagai tempat saling
mengadu dan berbagi cerita, merajut semangat agar tetap saling merasa bermakna
dan bermanfaat bagi kehidupan. Berkurangnya peran sosial kemasyarakatan dan
menurunnya tuntutan tanggung jawab rutin dalam keluarga, kadang membuat
kehidupan lansia menjadi kurang bermakna apabila hanya duduk berdiam diri di
rumah.

Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti dimiliki dan dikelola oleh Yayasan
RIA Pembangunan yang diprakarsai oleh Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto dan
diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984. Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya
Bhakti merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan
khusus kepada generasi lanjut usia. Pelayanan yang ada di Sasana Tresna Werdha
Yayasan Karya Bhakti bagi para lansia untuk menjaga kualitas hidup meliputi
pelayanan kesehatan berupa konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi,
farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan; pelayanan
sosial berupa pembinaan mental spiritual sesuai keyakinan, senam, seni tradisional
(angklung), bernyanyi, kegiatan keterampilan membuat anyaman atau menyulam,
berkebun, dan kegitan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau instansi.
43 Universitas Indonesia
32

Selain itu, di sasana tresna werdha ini lansia dapat memanfaatkan hobi yang dapat
dilakukan dan ada rekreasi bersama; pelayanan harian lanjut usia melalui
pemeriksaan kesehatan harian berupa pemeriksaan tanda-tanda vital; pelayanan
individu dan pelayanan kelompok sesuai kebutuhan lansia

Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti memiliki slogan sebagai hunian
pilihan lanjut usia masa kini. Dengan slogan tersebut, Sasana Tresna Werdha
Yayasan Karya Bhakti berharap para lansia yang ada di sana menyadari bahwa
menjadi tua patut disyukuri dan bahagia di hari tua merupakan pilihan hati.
Dengan demikian, tidak ada kesan menyesal, keterpaksaan, ataupun merasa
terkucilkan untuk lansia yang berada di sana. Oleh karena itu, terdapat beberapa
persyaratan bagi lansia yang ingin menetap di Sasana Tresna Werdha Yayasan
Karya Bhakti. Adapun syaratnya antara lain: berusia di atas 60 tahun, sehat
jasmani maupun rohani, mandiri, ingin tinggal di sasana atas keinginan sendiri,
memiliki penanggung jawab keluarga, dan yang terpenting adalah tidak ada
paksaan.

Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti dilengkapi oleh sarana dan
prasarana, antara lain fasilitas hunian, klinik werdha, fasilitas penunjang
kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas hunian meliputi
wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25 kamar, Wisma
Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas 8 kamar. Fasilitas
klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3 kamar VIP, bangsal
rawat inap 15 tempat tidur, pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan
lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma
Kenanga. Fasilitas lain pendukung bagi kehidupan lansia antara lain dapur, ruang
cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, ruang pemeriksaan kesehatan.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan


4.2.1 Analisis Masalah Terkait Kehidupan Lansia di Perkotaan
Ketika seseorang memasuki tahap akhir dari periode kehidupan banyak perubahan
dan penurunan fungsi tubuh yang akan dialami. Lansia secara biologis mengalami

Universitas Indonesia
33

penurunan daya tahan fisik sehingga menyebabkan dirinya rentan terhadap


penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Faktor lingkungan dan gaya hidup masa
muda juga mempengaruhi kondisi kesehatan lansia di masa tuanya. Peningkatan
jumlah kendaraan ditambah dengan kurangnya lahan hijau meningkatkan polusi
udara di daerah perkotaan. Selain itu, rutinitas kesibukan di perkotaan yang tinggi
dan keterbatasan ruang gerak menyebabkan kurangnya waktu masyarakat untuk
berolahraga.

Kebiasaan merokok, pola makan yang tidak sehat dan stres yang tinggi juga
meningkatkan risiko masalah kesehatan bagi lansia. Hal tersebut diperkuat dengan
hasil penelitian bahwa gaya hidup yang tidak sehat menjadi faktor risiko utama
dari berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit stroke. Final Report dari
pemerintah Australia pada tahun 2005 (Hartati & Widayanti, 2010) mengatakan
bahwa penyakit stroke merupakan salah satu faktor risiko besar terjadinya
demensia dengan kerusakan memori. Penurunan fisik pada lansia yang mengalami
penyakit stroke dapat mengakibatkan defisit fungsional pada sistem neurologis
yang berhubungan dengan kerusakan memori, kemampuan bahasa, kognitif, dan
motoriknya.

Kondisi ini sama dengan yang dialami oleh salah satu werdha di Wisma Bungur
STW Yayasan Karya Bakhti yaitu Nenek NA. Sejak mengalami serangan stroke
yang kedua pada tahun lalu, Nenek NA mengalami gangguan fungsi kognitif dan
memori yang mengakibatkan kesulitan untuk bersosialisasi dan berkomunikasi
dengan orang lain. Walaupun tidak semua lansia yang mengalami stroke akan
mengalami demensia namun risiko munculnya gejala demensia meningkat pada
penderita post stroke (Stanley & Beare, 2007).

Penurunan fisik yang dialami oleh Nenek NA mengakibatkan dirinya menjadi


kurang produktif dan membutuhkan bantuan orang lain untuk beraktivitas serta
memenuhi kebutuhan dasarnya. Keterbatasannya kemampuan keluarga dalam
memberikan perawatan meningkatkan kebutuhan adanya caregiver untuk
membantu merawat Nenek NA di wisma. Selama ini untuk aktivitas di pagi

Universitas Indonesia
34

sampai sore hari Nenek NA dibantu oleh seorang caregiver yang bertugas mulai
pukul 07.00 – 17.00. Saat ini, Nenek NA sudah dapat melakukan aktivitas
pemenuhan kebutuhan dasarnya sendiri seperti makan, mandi, eliminasi ataupun
berpakaian walaupun masih tetap dalam pengawasan caregiver selama pagi
sampai sore.

Aktivitas sehari-hari yang dilakukan Nenek NA di panti mengikuti kegiatan yang


terjadwal seperti senam, terapi menonton, atau pengajian. Biasanya selesai
mengikuti kegiatan Nenek NA lebih banyak di kamar menonton TV. Caregiver
selama ini juga membantu Nenek NA untuk mobilisasi jika ingin keluar dari
wisma menggunakan kursi roda. Rutinitas yang dilakukan oleh caregiver jika pagi
atau sore membawa Nenek NA ke ruang perawatan di Wijaya Kusuma untuk
mengecek tekanan darah nenek jika tidak ada mahasiswa praktik. Lansia dengan
kerusakan memori seperti Nenek NA idealnya mendapatkan perhatian lebih dari
tenaga kesehatan maupun keluarga untuk membaru perawatannya. Namun,
adanya keterbatasan petugas kesehatan di panti menyebabkan kurang optimalnya
pemberian pelayanan langsung pada Nenek NA.

Hasil evaluasi yang dilihat selama tujuh minggu, adanya peningkatan komunikasi
Nenek NA seperti kemauan untuk duduk di teras kamar dan berbicara dengan
orang yang ada di wisma, semakin aktif berbicara setiap mahasiswa mengunjungi
kamarnya, namun untuk komunikasi dengan caregiver masih jarang. Perubahan
konsep struktur keluarga yang ada di masyarakat perkotaan dari yang awalnya
extended family menjadi nuclear family juga mempengaruhi berkurangnya peran
serta keluarga dalam merawat kelompok lansia (Peplau & Perlman dalam Najjah,
2009). Beberapa minggu terakhir, nenek juga sering mengeluhkan rindu dengan
keluarga namun karena dirinya tidak bisa berbuat apa-apa dirinya diam saja.
Kebutuhan akan support system yang memadai baik dari keluarga maupun dari
lingkungan tempat tinggalnya saat ini untuk dapat meningkatkan kemampuan
kognitif dan memorinya dirasakan masih kurang. Adanya peran caregiver selama
ini dirasakan hanya sebagai pemberi layanan kebutuhan dasar sehingga lansia
masih merasa kurang diperhatikan. Pada beberapa minggu implementasi,

Universitas Indonesia
35

mahasiswa sudah mencoba memotivasi nenek untuk mengutarakan keinginannya


untuk ditemani caregiver jika sedang sendiri di kamar atau menonton televisi. Hal
ini perlu dilakukan karena dapat sekaligus melatih kognitif nenek, namun sampai
akhir minggu tidak optimal. Kurangnya perhatian keluarga dapat meningkatkan
stressor bagi lansia sehingga meningkatkan kerusakan memori yang ada. Selain
itu, gejala penurunan kognitif yang dialaminya juga dapat bertambah parah jika
tidak ada kegiatan yang dilakukan untuk melatih memori termasuk kemampuan
kognitifnya.

4.2.2 Analisis Masalah Terkait Kerusakan Memori


Memori merupakan salah satu bagian terpenting dari fungsi kognitif manusia.
Memori melibatkan kemampuan menyimpan informasi dan pengetahuan, dasar
dari pengembangan bahasa, dan pengenalan terhadap objek baik benda maupun
orang (Chaves, de Barros, Marini, 2010). Pada proses penuaan, adanya defisit
neurologis dapat mempengaruhi memori pada seseorang. Gangguan aliran darah
ke otak akibat kerusakan pada area otak meningkatkan gangguan neurologis pada
penderita post stroke. Hal ini akan mempengaruhi fungsi neurologis yang berpusat
di otak, mulai dari kognitif, memori, bahasa, bahkan motorik dapat terganggu
tergantung area mana yang banyak mengalami kerusakan (Stanley & Beare,
2007). Kerusakan memori yang terjadi pada Nenek NA mulai terlihat setelah
dirinya mengalami serangan stroke kedua pada tahun lalu. Selain mengalami
kelemahan dalam mobilisasi, penurunan kognitif dan memori juga terjadi pada
Nenek NA.

Kerusakan memori merupakan ketidakmampuan untuk mengingat, mengulang


sebagian informasi atau keterampilan perilaku (Wilkinson & Ahern, 2011;
NANDA, 2012). Kerusakan memori ini juga sebagai salah satu dampak dari
penyakit demensia yang kadang menyerang lansia dengan post stroke. Gejala awal
kerusakan memori mulai terlihat dari Nenek NA seperti adanya penurunan daya
ingat terhadap informasi terbaru, adanya agnosia, anomia, apraksia, ataupun
kesulitan dalam hal angka-angka. Nenek NA tidak mampu mengingat hari,
tanggal, bulan dan tahun. Selain itu, saat membaca kalimat dirinya sering terbata-

Universitas Indonesia
36

bata dan terbalik-balik sehingga tidak mampu membaca dengan kalimat yang
tepat.

Pengenalan Nenek NA terhadap beberapa benda pun mulai terganggu.


Kemampuan untuk mengenali objek benda yang umum atau dikenal dengan
istilah agnosia, juga dialami oleh penderita demensia (Stanley &Beare, 2007;
Hoffman & Platt, 2001). Nenek NA kurang dapat menangkap instruksi yang
panjang dan cepat. Hal ini sesuai dengan konsep penuaan pada sistem neurologis
yang menyatakan bahwa penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan
dalam sekresi hormon tertentu dan memiliki dampak pada reaksi yang diatur oleh
sistem saraf. Salah satu area neurologis yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima,
memproses, dan bereaksi pada perintah (Stanley &Beare, 2007). Oleh karena itu,
lansia sering diidentikan dengan perilaku yang mulai lambat, tidak kooperatif, dan
berespon lambat.

Penderita demensia pada tahap awal juga mulai mengalami perasaan bingung
setiap berada pada kondisi dan lingkungan baru. Keadaan tersebut dapat menjadi
stressor tersendiri bagi penderita demensia dan meningkatkan tingkat depresinya.
Dengan kondisi demikian, penderita demensia lebih banyak memilih untuk
menarik diri dari lingkungannya (Hoffman & Platt, 2001). Sejak mengalami
kesulitan untuk mengingat, Nenek NA jarang berkomunikasi dengan orang lain.
Pada awal-awal interaksi, Nenek NA selalu mengatakan dirinya bodoh dan tidak
bisa bicara. Oleh karena itu, dirinya sering merasa takut untuk memulai
komunikasi karena khawatir orang lain tidak mengerti apa yang dia maksud.

4.3 Analisis Stimulasi Kognitif dengan Konsep dan Penelitian Terkait


Stimulasi kognitif merupakan intervensi yang dilakukan untuk lansia dengan
demensia melalui kegiatan yang menyenangkan dan meningkatkan kemampuan
berpikir, berkonsentrasi dan juga melatih memori (Thomason, 2012). The World
Alzheimer Report juga merekomendasikan penggunaan latihan kognitif sebaiknya
dilakukan pada tahap awal demensia dengan kerusakan memori (Alzheimer’s

Universitas Indonesia
37

Disease International, 2011). Melalui intervensi keperawatan ini, mahasiswa


mencoba untuk mengatasi kerusakan memori pada Nenek NA dengan cara
memberikan aktivitas yang meningkatkan kemampuan berpikir, berkonsentrasi
dan peningkatan memori.

Intervensi stimulasi kognitif terdiri dari reality orientation dan reminiscence


therapy (Frieri, 2010). Aktivitas sehari-hari yang ada di panti dapat dijadikan
sarana untuk meningkatkan orientasi Nenek NA dan mengulas kembali kenangan-
kenangan masa lalunya. Kegiatan membaca, menonton televisi, bermain puzzle
atau bercerita mengenai satu tema dapat meningkatkan kemampuan kognitif
Nenek NA. Selain itu, media seperti kalender, foto-foto keluarga atau kejadian
masa lalu yang pernah diikuti oleh Nenek NA juga dapat dijadikan sarana untuk
mengulas kembali kenangan-kenangan yang meningkatkan kemampuan
memorinya. Kegiatan tersebut sebaiknya dijadikan sebuah kebiasaan yang rutin
dilakukan agar otak tidak beristirahat secara terus menerus.

Peningkatan intensitas komunikasi dengan lansia yang mengalami kerusakan


memori juga penting. Selama tujuh minggu berinteraksi dengan Nenek NA,
mahasiswa selalu mencoba menciptakan suasana tenang dengan meminimalkan
suara dan hal-hal yang dapat mendistraksi agar fokus dan meningkatkan
konsentrasi Nenek NA. Mahasiswa juga selalu mencoba memperkenalkan nama
dan menyebut nama Nenek NA ketika berkomunikasi. Hal ini merupakan bagian
dari intervensi reality orientation yang bertujuan agar Nenek NA dapat mengenali
siapa dirinya ataupun orang yang ada disekitarnya.

Mahasiswa berusaha untuk saling berhadapan dan berbicara dengan menatap


wajah Nenek NA. Komunikasi terapeutik selalu dijaga selama berinteraksi agar
Nenek NA merasa mendapatkan perhatian dan merasa dihargai sehingga
meningkatkan harga diri lansia. Hal ini dikarenakan, penderita kerusakan memori
lebih banyak memilih untuk menarik diri dari lingkungannya karena merasa tidak
nyaman dan merasa dirinya sudah bodoh tidak bisa berkomunikasi (Stanley
&Beare, 2007). Oleh karena itu, pemberiaan umpan balik positif selalu dilakukan

Universitas Indonesia
38

agar memotivasi Nenek NA untuk mengeksplorasi kemampuannya. Selain itu,


sikap berhadapan dan memperhatikan lawan bicara ketika berinteraksi dapat
meningkatkan konsentrasi Nenek NA sehingga fokus terhadap pembicaraan. Hasil
evaluasi penerapan sikap komunikasi terapeutik terlihat dari peningkatan
kepercayaan diri Nenek NA untuk bercerita lebih banyak tentang pengalaman dan
masa lalunya.

Bagian lain dari reality orientation yang dilakukan oleh mahasiswa yaitu
penggunaan media kalender lembar balik untuk meningkatkan orientasi waktu.
Selama tujuh minggu melakukan intervensi ini, kemampuan Nenek NA dalam
orientasi waktu memang masih mengalami kesulitan terutama untuk mengingat
tanggal dan tahun. Kesulitan yang dialami oleh Nenek NA selain berkaitan
dengan faktor usia dan proses penuaan yang terjadi pada sistem neurologis lansia
secara normal. Kehilangan dan penyusutan neuron dengan potensial 10% biasanya
terjadi pada usia 80 tahun keatas. Distribusi neuron kolinergik, norepinefrin, dan
dopamine yang tidak seimbang dikompensasi oleh hilangnya sel-sel,
mengakibatkan penurunan intelektual (Stanley & Beare, 2007). Selain itu,
gangguan kognitif yang terjadi akibat demensia menyebabkan lambatnya proses
berpikir dan respon lansia untuk membaca angka yang banyak, termasuk
kemampuan berhitung. Oleh karena itu, penderita demensia akan merasa kesulitan
dalam hal angka-angka yang terlalu banyak.

Penggunaan media seperti foto-foto keluarga dan kegiatan yang pernah Nenek NA
ikuti menjadi salah satu penatalaksanaan reminiscence therapy untuk
meningkatkan memorinya. Dengan cara tersebut, mahasiswa mencoba memotivasi
Nenek NA untuk bercerita mengenai orang ataupun kejadian apa yang pernah
dialaiminya berdasarkan foto yang ada. Memori untuk kejadian masa lalu pada
umumnya lebih banyak diretensi dan lebih banyak diingat daripada informasi
yang masih baru. Hal ini berkaitan pula dengan deprivasi sensori yang diakibatkan
oleh adanya kerusakan pada pusat serebral yang bertanggung jawab untuk
memproses stimulasi (Stanley & Beare, 2007). Hal ini sesuai dengan
perkembangan kemampuan daya ingat Nenek NA selama tujuh minggu terlihat

Universitas Indonesia
39

masih kurang baik seperti ketidakmampuan untuk menye butkan kegiatan apa saja
yang dilakukan hari ini atau mengulang gerakan senam yang baru saja diikutin.

4.4 Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Dilakukan


Effektifitas latihan kognitif yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan memori
pada lansia memang membutuhkan waktu yang lebih lama dari masa praktik tujuh
minggu. Apalagi akibat proses penuaan dengan adanya penurunan sistem
neurologis ditambah dengan post stroke yang dialami oleh Nenek NA
menyebabkan respon terhadap terapi cukup lambat dan sulit untuk meningkatkan
memorinya. Keterbatasan waktu interaksi mengakibatkan penerapan asuhan
keperawatan kerusakan memori ini kurang optimal karena mahasiswa berdinas 8
jam dan tidak setiap hari berada di panti.

Keterbatasannya tenaga kesehatan yang ada di panti dan peran serta keluarga
menjadi salah satu faktor kurang maksimalnya support system yang mendukung
peningkatan memori pada Nenek NA. Adanya caregiver sering dirasakan oleh
Nenek NA hanya sebatas pemberi pelayanan kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu,
Nenek NA merasa kurang memiliki teman yang bisa diajak bercerita ataupun
melakukan kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kemampuan berpikirnya.

Pemecahan masalah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan


memori selain reality orientation dan reminiscence therapy adalah behavioural
therapy. Behavioural therapy merupakan salah satu bentuk intervensi non-
farmakologi bagi penderita demensia dengan kerusakan memori yang bertujuan
untuk memperbaiki dampak dari perubahan perilaku, pola pikir dan kemampuan
koping positif dalam menngurangi gejala dari kerusakan kognitif. Melalui terapi
perilaku, lansia dengan demensia dapat lebih di motivasi untuk banyak terlibat
dalam kegiatan kelompok selain untuk melatih kemampuan kognitif juga dapat
meningkatkan aktualisasi diri sehingga lansia dengan demensia tidak menarik diri
dari lingkungannya.

Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hasil dari proses pengkajian pada salah satu lansia di wisma Bungur STW
Yayasan Karya Bhakti yaitu teridentifikasinya gejala kerusakan memori pada
tahap awal. Gejala kerusakan memori yang terjadi ditandai antara lain dengan
penurunan daya ingat masa lampau, mudah lupa dengan informasi baru, kesulitan
dengan aktivitas berkaitan dengan angka yang berlebihan, disorientasi orang dan
waktu, anomia, agnosia, mudah gelisah dan membatasi komunikasi dengan orang
lain karena merasa malu dan bodoh akibat banyak lupa. Penurunan kondisi tubuh
akibat penuaan disertai dengan masalah kognitif yang dialami lansia demensia
menyebabkan masalah kerusakan memori, risiko jatuh dan hambatan mobilitas
fisik. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan perawat mencoba menyusun
rencana tindakan keperawatan yang memiliki tujuan umum untuk mengatasi
masalah kerusakan memori meliputi kemampuan orientasi, daya ingat, kognitif,
dan konsentrasi yang dialami lansia.

Fokus rencana intervensi yang akan dilakukan untuk masalah kerusakan memori
mengarah pada tindakan stimulasi kognitif termasuk latihan orientasi. Latihan
orientasi diberikan sebanyak 3-6 kali dalam seminggu selama enam minggu mulai
dari orientasi orang sekitar, waktu, maupun tempat. Diketahui hasil evaluasi
orientasi yaitu lansia mampu mengenal dan menyebutkan nama dirinya sendiri
pada minggu ketiga dan keempat. Pada minggu kelima, lansia mampu
menyebutkan nama perawat, caregiver, dan adik perempuannya dengan dibantu
walaupun tidak secara spontan dan perlu waktu untuk konsentrasi mengingat.
Untuk orientasi waktu, perawat menggunakan media kalender lembar balik dan
hasil evaluasi yang didapat adalah orientasi waktu masih belum baik hingga akhir
minggu ketujuh. Penyebutan nama hari yang terbalik-balik dan kesulitan untuk
membaca susunan lebih dari dua angka seperti pada tahun masih terjadi. Orientasi
tempat dirinya saat ini berada juga sudah baik sejak minggu ketiga.

43 Universitas Indonesia
41

Evaluasi kemampuan kognitif lansia setelah diberikan stimulasi kognitif dengan


aktivitas bercerita, bermain puzzle, dan menonton film antara lain lansia mampu
mulai banyak bercerita tentang hobi, pengalaman masa dan menyebutkan nama-
nama orang yang ada pada kejadian di beberapa foto walaupun butuh waktu untuk
konsentrasi dan mengingat kembali. Kesulitan untuk mengenali nama benda
masih terjadi setelah dilakukannya intervensi selama 6 kali pertemuan,
konsentrasi lansia saat menyusun puzzle juga ada peningkatan setelah dilakukan
dua kali dan lansia mampu menceritakan satu kesimpulan film yang ditonton
dengan tepat.

5.2 Saran
Support system petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan kerusakan memori
sebaiknya ditingkatkan melalui pemberian perhatian dengan adanya waktu rutin
kunjungan dari petugas kesehatan di sasana misalnya 2 kali dalam seminggu.
Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mengobservasi kemampuan kognitif
lansia seperti mendampingi lansia bercerita ataupun melatih pengenalan benda
dan objek lainnya sehingga dapat menstimulasi kemampuan konsentasi dan
berpikir. Peran serta caregiver juga dapat dimaksimalkan selain memberikan
pelayanan kebutuhan dasar juga dapat memberikan semangat kepada lansia untuk
tetap aktif berpartisipasi dan bersosialisasi dengan melibatkan lansia di setiap
kegiatan.

Pemberian informasi mengenai gejala, dampak, serta penanganan bagi lansia


dengan kerusakan memori juga penting untuk caregiver yang setiap hari merawat
lansia dengan kerusakan memori. Hal ini dilakukan agar caregiver yang
merupakan orang terdekat dengan lansianya dapat memberikan perawatan secara
tidak langsung untuk meningkatkan memori dan kemampuan kognitifnya tidak
hanya dari segi perawatan diri dan kebutuhan dasar. Dengan demikian, lansia
diharapkan dapat lebih mandiri jika masalah memori dan kognitifnya mulai
berkurang.

Universitas Indonesia
42

Petugas panti, keluarga, maupun caregiver sebaiknya selalu membiasakan


memanggil lansia dengan nama dirinya sendiri, mengorientasikan orang
disekitarnya, mengingatkan waktu baik hari tanggal, bulan dan tahun perlu
dilakukan. Hal ini dilakukan agar orientasi lansia semakin baik. Kegiatan senam
koordinasi GLO yang telah rutin dilakukan oleh sasana dapat tetap dilanjutkan
dan sebaiknya ada jadwal khusus bagi lansia yang mengalami penurunan
koordinasi dan konsentrasi. Hal ini dilakukan agar lansia dapat berpartisipasi
maksimal sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, latihan konsentrasi dan
koordinasi juga dapat meningkatkan memori dan kognitif lansia. Perlu adanya sesi
penyampaian intisari film oleh setiap lansia dalam kegiatan menonton bersama
juga dapat meningkatkan memori dan konsentrasi lansia. Ada baiknya jadwal
kegiatan menonton film dibedakan antara lansia yang masih baik kemampuan
memorinya dan lansia yang mengalami gangguan.

Universitas Indonesia
Daftar Pustaka

Affandi, M. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk Lanjut Usia


Memilih untuk Bekerja. Journal of Indonesian Applied Economics, Vol 3,
No.2, 99-110.
Alzheimer's Disease International. (2006). Dementia in the Asia Pacific Region:
the Epidemic is Here. http://www.alz.co.uk/demetia-in-the-asia-pacific.
diperoleh tanggal 28 Mei 2013
Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lansia Indonesia 2010 (Hasil SP 2010).
Desember 2011. ISSN: 2086-1036. Katalog BPS 4104001, p. 20–23.
Diunduh dari http://www.bps.go.id/publication/publikasi tanggal 2 Juni
2013.
Chaves, E. H. B., de Barros, A. L. B., Marini, M. (2010). Aging as a Related
Factor of the Nursing Diagnosis Impaired Memory: Content Validation.
International Journal of Nursing Terminologies and Classification, Volume
21, No. 1, 14-20.
Commonwealth of Australia. (2006). Dementia-The Caring Experience.
Department of Health and Aging: Australia Government.
Dorland. (1998). Dorland’s pocket medical dictionary, ed. 25. Philadelphia: W.B
Saunders Company.
Djaja, S. (2012). Analisa Penyebab Kematian dan Tantangan yang Dihadapi
Penduduk Lanjut Usia di Indonesia Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol 15 No.4. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan , Kementerian Kesehatan RI.
Ebersole, P. (2005). Gerontological Nursing & Health Aging. 2nd edition. USA:
Elsevier Mosby.
Frieri, L. (2010). Critical Review: Effectiveness of cognitive stimulation therapy
groups for individuals with dementia. University of Western Ontario:
School of Communication Sciences and Disorders.
http://www.uwo.ca/fhs/csd/ebp/.../frieri.pdf. Diunduh tanggal 28 Mei 2013.
Happy P, R.E. (2009). Perbedaan karakteristik lansia dan dukungan keluarga
terhadap tipe demensia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Gatak
Sukoharjo tahun 2009. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Hartati & Widayanti. (2010). CLOCK DRAWING: ASESMEN UNTUK
DEMENSIA (Studi Deskriptif pada Orang Lanjut Usia Di Kota Semarang).
Jurnal Psikologi Undip, Volume 7, No.1.
Hoffman, Stephanie B., Platt, Constance A. (2001). Comforting the Confused:
strategi for managing dementia. Second edition. Springer Publishing
Company: New York.
Menkokesra. (2013). Jumlah lansia Indonesia lima besar terbanyak di dunia.
http://www.menkokesra.go.id/content/ jumlah-lansia-indonesia-lima-besar-
terbanyak-di-dunia. Diunduh tanggal 28 Mei 2013.
Najjah, D.P. (2009). KONSEP HOME PADA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA
(Studi Kasus: PSTW Budi Mulia 01 Cipayung dan PSTW Karya Ria
Pembangunan Cibubur). Skripsi Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur
Universitas Indonesia.
NANDA International. (2012). NursingDiagnoses: Definition & Clasification
2012-2014.
Parker, Rosetta E. (1988). Housing for the Elderly-The Handbook for Manager.
Illinois : Institute of Real Estate Management of the National Association of
Realtors.
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta: EGC.

Stanley &Beare, (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC.
Suryadi. (2004). Hubungan antara Tingkat Gangguan Kognitif dengan Stadium
Retinopati Diabetikum pada Diabetes Mellitus Tipe 2. Tesis Magister Ilmu
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Thomason, C. (2012). Benefit of cognitive stimulation for people with dementia.
Nursing Time, National Institute for Health andClinical Excellence, Volume
108, No.45, Journal ProQuest.
Tuppen, J. (2012). Benefit stimulation group of dementia. Journal Mental Health
Nursing, Vol.24, 10.
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/45/438.bpkp&sa=U&ei=VBnJUcnoLe6
GigKIy4C4Bw&ved=0CAcQFjAA&sig2=t_Fhw7kkrA8CAEAEp5YftQ&u
sg=AFQjCNGAhr6ir24pqG9U93FTgvr0NIHaYQ. Diunduh tanggal 28 Mei
2013
U.S. Census Bureau, International Data Base. (2009). Population of older person.
http://census.gov/2009census/. Diunduh tanggal 28 Mei 2013.
WHO. (2013). Definition of an older or elderly person.
http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/. Diunduh tanggal
28 Mei 2013
Wijayanti. ( 2008). Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia terhadap Kondisi Sosial
Lansia di RW 03 Rt 05 Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Candisari. Jurnal
Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, Volume 7 No. 1.
Wilkinson, J. M & Ahern, N. R. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan:
diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC ; alih bahasa, Esti
Wahyuningsih. Edisi 9. Jakarta: EGC.
Lampiran 1

ANALISA DATA KASUS NENEK M

WISMA BUNGUR STW KARYA BHAKTI RIA PEMBANGUNAN

Data Diagnosa Keperawatan

Subyektif: Kerusakan Memori

- Klien mengatakan sudah banyak lupa


- Klien mengatakan sudah bodoh dan tidak bisa bicara lancar sejak sakit
Obyektif

- Klien riwayat stroke


- Hasil GDS = 10 (depresi ringan)
- Hasil pemeriksaan MMSE = 4  gangguan kognitif
- Klien tampak kurang dapat berkonsentrasi
- Klien tampak berusaha mengingat keras dan berbicara terbata-bata
- Klien banyak lupa untuk pengalaman jangka panjang dan pendek
- Klien terlihat sulit mengingat orang, waktu dan benda-benda yang ada di sekitarnya

Universitas Indonesia
Data Diagnosa Keperawatan

Subyektif: Risiko Jatuh

- Klien mengatakan pernah jatuh saat ingin ke kamar mandi namun sudah lama
- Klien mengatakan kadang karena kaki kanan sudah tidak kuat terlalu lama bertumpu sehingga teras oleng
saat terlalu lama berdiri
- Klien mengatakan saat ingin ke kamar mandi atau pindah tempat dari tempat tidur klien tidak di bantu alat
bantu jalan
Obyektif

- Hasil pengkajian tingkat kemandirian klien nilainya 6  kemandirian penuh


- Klien berjalan lambat dan berpegangan pada beberapa benda di dalam kamarnya saat ingin ke kamar
mandi
- Hasil dari pengkajian MFS  55 ( Risiko jatuh tinggi)
Hasil dari pengkajian BBT klien resiko jatuh dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk,
dan walker

Subyektif: Hambatan mobilitas fisik

- Klien mengatakan agak lemah dan tidak kuat bertumpu pada ektremitas kanan bawah
- Klien mengatakan telapak tangannya yang kanan agak kaku dan tidak dapat mengepal secara maksimal

Universitas Indonesia
Data Diagnosa Keperawatan

Obyektif

- Kekuatan otot
4333 4444

4333 4444

- Klien berjalan lambat dengan langkah kecil


- Klien lebih banyak berbaring di tempat tidur
- Jika ikut kegiatan klien dibantu dengan kursi roda untuk mobilisasi
Hasil dari pengkajian BBT klien resiko jatuh dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan
walker

Universitas Indonesia
PRIORITAS MASALAH

No Diagnosa

1 Kerusakan Memori

2 Risiko Jatuh

3 Hambatan mobilitas fisik

Universitas Indonesia
Lampiran 2

Rencana Tindakan Keperawatan Kerusakan Memori

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi Rasional


Umum Khusus
Kerusakan memori Setelah dilakukan Klien mampu:  Bantu klien untuk  Meningkatkan
tindakan asuhan  Mengenal/berorientasi rileks kosentrasi
keperawatan selama terhadap waktu,  Tatap wajah klien  Meningkatkan
tujuh minggu klien tidak orang, dan tempat ketika sedang perhatian klien
memperlihatkan  Menyatakan dapat berbicara dengan
kerusakan memori mengingat lebih baik klien
 Menggunakan teknik  Berikan pelatihan  Meningkatkan
untuk membantu orientasi, seperti kemampuan orientasi
memperbaiki memori menanyakan kembali klien
 Secara akurat data pribadi klien
mengingat informasi  Beri kesempatan pada  Meningkatkan
terkini, saat ini, dan klien untuk mengenal kemampuan orientasi
lampau waktu dengan klien
 Melakukan aktivitas menggunakan jam

Universitas Indonesia
sehari-hari secara besar, kalender yang
optimal sesuai mempunyai lembar
kemampuan perhari dengan tulisan
besar
 Kenang kembali masa  Memberikan stimulasi
lalu klien kognitif
 Implementasikan  Memberikan stimulasi
teknik memori yang kognitif
tepat, seperti
imajinasi visual,
peralatan yang
membantu ingatan,
membuat daftar,
menggunaka label,
atau melatih ulang
informasi
 Berikan gambar  Memberikan stimulasi
pengingat memori kognitif

Universitas Indonesia
(misal: foto)
 Berikan pujian jika  Meningkatkan
klien dapat menjawab perilaku positif dan
dengan benar mendorong
keterlibatan terapi

 Dorong klien untuk  Mendorong


bekerjasama dalam keterlibatan terapi
memperbaiki dalam kegiatan
memorinya stimulasi kognitif
menggunakan strategi
menstimulasi otak

Universitas Indonesia
Lampiran 3

Rencana Tindakan Keperawatan Risiko Jatuh

Diagnosa Tujuan
Intervensi Rasional
Keperawatan Umum Khusus
Risiko jatuh Setelah dilakukan  Mempertahankan  Pantau keadaan umum dan TTV  Mengetahui keadaan klien
tindakan mobilitas fisik pada  Observasi kekuatan otot lansia  Mengetahui rentang kekuatan otot
keperawatan tingkat yang optimal. lansia
selama 7 minggu,  Mempertahankan atau  Pantau kemampuan lansia untuk  Mengobservasi faktor yang dapat
tidak terjadi jatuh meningkatkan berpartisipasi dalam kegiatan/latihan. meningkatkan risiko jatuh.
kekuatan otot secara  Memberikan semangat kepada
optimal  Motivasi lansia untuk berpartisipasi pada lansia untuk melakukan kegiatan
 Melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan  Untuk mencegah kelelahan dan
pencegahan jatuh lansia. mempertahankan kekuatan otot
standar  Anjurkan lansia untuk melakukan periode dan sendi.
 Tidak ada frekuensi istirahat diantara aktivitas atau kegiatan  Mempertahankan/meningkatkan
jatuh ketika berpindah  Latih lansia untuk ROM aktif asistif fungsi sendi, kekuatan otot dan
tempat stamina umum

Universitas Indonesia
 Tidak ada frekuensi  Meningkatkan kekuatan otot dan
jatuh dari tempat tidur  Motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan mobilitas fisik.
senam panti sesuai dengan kemampuan  Untuk mempertahankan
lansia. lingkungan yang aman
 Orientasikan lingkungan dan beri
peringatan pada tempat-tempat berbahaya
 Atur tata letak barang yang mudah  Memudahkan klien untuk
dijangkau oleh klien menjangkau benda yang
dibutuhkan
 Anjurkan klien menggunakan alas kaki  Menurunkan risiko jatuh
yang tidak licin
 Bantu klien saat ambulasi  Keterbatasan fisik yang dimiliki
terkadang menghambat klien
dalam melakukan aktivitas sehari-
hari
 Kolaborasi dengan pihak panti dalam  Memfasilitasi lingkungan yang
memodifikasi lingkungan klien aman bagi klien
 Kolaborasi pemberian medikasi untuk  Menjaga kekuatan tulang
menunjang kekuatan tulang

Universitas Indonesia
Lampiran 4

Rencana Tindakan Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik

Diagnosis Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional


Keperawatan Umum Khusus
Hambatan Setelah diberikan  Teridentifikasinya tingkat  Pantau kemampuan mobilitas  Menentukan pilihan intervensi yang
mobilitas fisik tindakan kekuatan otot dan secara fungsional setiap pagi tepat pada residen
keperawatan kemampuan mobilitas fisik  Evaluasi dan validasi keadaan  Intervensi yang dilakukan sesuai
selama tujuh residen residen saat ini dengan keadaan residen saat ini
minggu mobilitas  Terdemostrasikan tindakan  Pantau tingkat motivasi pasien  Motivasi yang kuat untuk
fisik meningkat untuk meningkatkan mobili untuk mempertahankan atau mempertahankan atau
tas fisik dan mencegah mengembalikan mobilitas sendi mengembalikan mobilitas sendi dan
kekakuan sendi dan otot otot mempercepat proses
 Terlaksanakannya latihan penyembuhan dan meningkatkan
oleh klien untuk partisipasi residen dalam melakukan
meningkatkan kekuatan aktivitas
otot dan sendi secara  Diskusikan dengan residen
mandiri tentang masalah kekakuan sendi  Untuk mengetahui secara jelas

Universitas Indonesia
dan otot yang dialami klien penyebab kekakuan pada sendi dan
 Diskusikan bersama residen otot yang dialami
mengenai perawatan yang
dilakukan untuk mengurangi  Mengetahui sejauh mana usaha
nyeri sendi residen menyelesaikan masalah
 Ajarkan pasien dan pantau
penggunaan alat bantu mobilitas
misalnya tongkat, walker, kruk  Mendukung alat mobilitas yang tepat
atau kursi roda
 Ajarkan dan bantu pasien dalam
proses berpindah misalnya dari  Mengajarkan pasien menggunakan
tempat tidur ke kursi postur tubuh dan mekanika tubuh
 Ubah pasien yang imobilisa si yang benar
minimal setiap dua jam
 Mencegah terjadinya penekanan
 Berikan penguatan positif pada kulit dan mencegah terjadinya
dekubitus
 Bantu pasien menggunakan alas  Meningkatkan motivasi dan harga
kaki anti selip yang mendukung diri pasien

Universitas Indonesia
untuk berjalan  Mencegah terjadinya cedera jatuh
 Ajarkan dan latih dalam latihan saat ambulasi
ROM aktif atau pasif
 Meningkatkan pengetahuan residen
dalam mmpertahankan dan
meningkatkan kekuatan dan
 Motivasi residen memprak ketahanan otot serta meningkatkan
tekkan latihan ROM yang telah sirkulasi
diajarkan bersama-sama  Meningkatkan dan mempertahankan
kekuatan otot dan sendi serta
meningkatkan sirkulasi secara
 Motivasi residen melakukan berkelompok
latihan ROM tiap pagi setelah
bangun tidur dan sore hari  Meningkatkan dan mempertahankan
sebelu mandi kekuatan otot dan sendi serta
meningkatkan sirkulasi secara
 Dokumentasikan tingkat mandiri
kekuatan otot residen
 Melihat perkembangan sebelum dan

Universitas Indonesia
 Konsultasikan ke ahli terapi sesudah dilakukan intervensi
fisik dan okupasi
 Berikan analgesik sebelum  Sumber untuk mengembangkan
memulai latihan fisik perencanaan aktivitas pasien
 Membantu mengurangi nyeri
sebelum melakukan mobilitas

Universitas Indonesia
Lampiran 5

PENGKAJIAN PADA LANSIA

A. Geriatric Depression Scale (Skala Depresi Lansia)


 Petunjuk penilaian:
- Ajukan pertanyaan 1- 30 kepada lansia
- Berikan tanda silang di kolom ya/tidak sesuai jawaban lansia pada setiap pertanyaan
- Jumlahkan total nila dari seluruh jawaban lansia 1- 30
Jika total skor 0-9 : maka klien tidak mengalami depresi (normal)
Jika total skor 10-19 : maka klien mengalami depresi ringan
Jika total skor 20-30 : maka klien mengalami depresi berat

Beri tanda silang ( √ ) di kolom yang telah diberikan Ya Tidak


1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda? v
2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda? v
3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa? v
4. Apakah anda senantiasa bosan? v
5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan? v
6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat dilupakan? v
7. Apakah anda bersemangat setiap waktu? v
8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan menimpa anda? v
9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu? v
10. Apakah anda merasa tidak berdaya? v
11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup? v
12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada berjalan-jalan ke luar dan v
melakukan sesuatu yang baru?
13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda? v
14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? v
15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan kehidupan sampai sekarang? v
16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih? v
17. Apakah anda merasa tidak berguna? v
18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda? v
19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? v
20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang baru? v
21. Apakah anda memiliki energi maksimal? v
22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong? v
23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari anda? v
24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil? v
25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis? v
26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi? v
27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari? v
28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari perkumpulan sosial? v
29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan? v
30. Apakah pikiran anda jernih? v
TOTAL SKOR 10
Panduan penilaian

Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan Ya Tidak


1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda? 0 1
2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda? 1 0
3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa? 1 0
4. Apakah anda senantiasa bosan? 1 0
5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan? 0 1
6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat dilupakan? 1 0
7. Apakah anda bersemangat setiap waktu? 0 1
8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan menimpa anda? 1 0
9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu? 0 1
10. Apakah anda merasa tidak berdaya? 1 0
11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup? 1 0
12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada berjalan-jalan ke luar 1 0
dan melakukan sesuatu yang baru?
13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda? 1 0
14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? 1 0
15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan kehidupan sampai 0 1
sekarang?
16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih? 1 0
17. Apakah anda merasa tidak berguna? 1 0
18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda? 1 0
19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? 0 1
20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang baru? 1 0
21. Apakah anda memiliki energi maksimal? 0 1
22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong? 1 0
23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari anda? 1 0
24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil? 1 0
25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis? 1 0
26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi? 1 0
27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari? 0 1
28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari perkumpulan sosial? 1 0
29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan? 0 1
30. Apakah pikiran anda jernih? 0 1
B. Mini Mental State Examination (MMSE)
Pengkajian Status Mental Pada Lansia

Nilai Skor Instruksikan lansia untuk:


Maksimal
Orientasi
5 0 Sebutkan (tahun) (bulan) (tanggal) (hari) (musim/ jam)?
5 0 Dimanakah kita sekarang (kamar) (wisma) (kota) (provinsi)
(negara)?
Registrasi
3 1 Sebutkan 3 ojek benda.: 1 detik utuk menyebutkan masing-
masing.
Kemudian tanyakan kepada lansia setelah kita menyebutkan 3
benda tersebut. Beri nilai 1 untuk masing-masing jawaban yang
benar. Ulangi sampai lansia dapat menyebutkan semuanya.
Hitung berapa kali lansia mencoba menyebutkan.
Perhatian and Perhitungan
5 0 Menghitung kelipatan 7 sampai 5 kali, atau jika tidak mampu
dengan hitungan uang. Atau jika tidak bisa memakai angka minta
nenek menyebutkan bacaan kebalik dari satu kata
Menyebuatkan kembali
3 0 Sebutkan kembali 3 benda yang disebutkan di awal. Beri 1 poin
untuk jawaban yg benar
Bahasa
2 0 Menyebutkan 2 benda yang ada di meja/sekitar
1 0 Buat/Ulangi satu kalimat tidak boleh ada penghubung (jangan
lebih
dari 5 kata).Contoh matahari terbit dari timur
3 1 Ikuti 3 Perintah “ Ambil kertas di tangan mu, lipat menjadi dua
dan letakan diatas lantai”

1 1 Baca dan ikuti perintah: Tutup matamu


1 0 Tulis kalimat
1 1 Gambarkan kembali gambar berikut. (yang dinilai jumlah sisi dan
ada yang beririsan)

 Petunjuk penilaian:
Setelah semua poin mulai dari orientasi – bahasa dilakukan sesuai kemampuan lansia,
jumlahkan semua nilai yang ada di kotak skor.
Jika skor total < 23, maka lansia di katagorikan memiliki gangguan kognitif
Jika skor total 23-30, maka lansia di katagorikan normal
C. Pengkajian Tingkat Kemandirian (Indeks Katz)

Aktivitas Mandiri Tergantung


Skor (1 atau 0) (Skor 1) Tanpa pengawasan, (Skor 0) Dengan
pengarahan, atau bantuan orang lain. Pengawasan, pengarahan,
dan bantuan orang lain.
MANDI (Skor 1) Melakukan mandi secara mandiri (Skor 0) Perlu bantuan
Skor: atau memerlukan bantuan hanya untuk lebih dari satu bagian
_____1_____ bagian tertentu saja misalnya punggung tubuh, perlu bantuan total.
atau bagian yang mengalami gangguan.

BERPAKAIAN (Skor 1) Bisa memakai pakaian sendiri, (Skor 0) Perlu bantuan


Skor: kadang perlu bantuan untuk menalikan lebih dalam berpakaian
1__________ sepatu. atau bahkan perlu bantuan
total.
KE TOILET (Skor 1) Bisa pergi ke toilet sendiri , (Skor 0) Perlu bantuan
Skor: membuka melakukan BAB BAK sendiri. dalam eliminasi
_1_________
BERPINDAH (Skor 1) Bisa berpindak tempat sendiri (Skor 0) Perlu bantuan
Skor: tanpa bantuan, alat bantu gerak dalam berpindah dari bed
__1________ diperkenankan ke kursi roda, bantuan
dalam berjalan.
KONTINEN (Skor 1) Bisa mengontrol eliminasi (Skor 0) inkontinensia
Skor: sebagian atau total baik
___1_______ bladder maupun bowel.

MAKAN (Skor 1) bisa melakukan makan sendiri. (Skor 0) Perlu bantuan


Skor: Makanan dipersiapkan oleh orang lain dalam makan, nutrisi
____1______ diperbolehkan. parenteral

Total Skor: __6____

 Petunjuk penilaian:
Jumlahkan seluruh skor yang didapat dari penilaian masing-masing aktivitas:
Jika skor total 6, maka lansia dikatagorikan memiliki kemandirian penuh
Jika skor total 4: maka lansia dikatagorikan memiliki gangguan fungsional sebagian
(kemandirian sebagian)
Jika skor total 0-2: maka lansia dikatagorikan memiliki gangguan fungsional berat
(ketergantungan tinggi)
D. Fall Morse Scale (FMS)
Pengkajian Resiko Jatuh

Pengkajian Skala Nilai


1. Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam Tidak 0 0
3 bulan terakhir Ya 25 ______
2. Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih Tidak 0 0
dari satu penyakit Ya 15 ______
3. Alat bantu jalan;
- Bed rest/ dibantu perawat 0
- Kruk/ tongkat/ walker 15 30
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar 30 ______
(kursi, lemari, meja)
4. Terapi intravena; apakah saat ini lansia terpasang Tidak 0
infus? Ya 20 __0__
5. Gaya berjalan/ cara berpindah
- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat 0
bergerak sendiri) 10
- Lemah (tidak bertenaga) 20 __10___
- Gangguan/ tidak normal (pincang/ diseret)
6. Status Mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri 0 __15__
- Lansia mengalami keterbatasan daya ingat 15

Total Nilai 55

 Petunjuk Penilaian:
Jumlahkan seluruh nilai dari pertanyaan 1- 6
Jika total nilai 0-24, maka lansia tidak memiliki risiko jatuh
Jika total nilai 25-50, maka lansia memiliki risiko jatuh rendah
Jika total nilai ≥51, maka lansia memiliki risiko jatuh tinggi
E. BERG BALANCE TEST (BBT)
Tes Keseimbangan BERG bagi lansia

 Petunjuk penilaian:
- Berikan perintah kepada lansia untuk mengikuti instruksi yang ada mulai dari gerakan 1-14
- Perhatikan kemampuan lansia, lakukan instruksi sesuai kemampuan lansia.
- Berikan tanda (v) pada salah satu nilai 0 – 4 sesuai hasil observasi kemampuan lansia
mengikuti instruksi
- Jumlahkan keseluruhan total nilai dari tiap gerakan
 Jika hasil total nilai 0-20, maka lansia memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu
menggunakan alat antu jalan berupa kursi roda
 Jika hasil total nilai 21-40, maka lansia memiliki risiko jatuh sedang dan perlu
menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker
 Jika hasil total nilai 41-56, maka lansia memiliki risiko jatuh rendah dan tidak
memerlukan alat bantu

Perintah dalam Berg Balance Test


1. Duduk ke berdiri
Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan
( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( v ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan
( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba
( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri

2. Berdiri tanpa bantuan


Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan
( ) 4 mampu berdiri selama dua menit
( v ) 3 mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
( ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan

3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai


Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit
( ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit
( v ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
( ) 2 mampu duduk selama 30 detik
( ) 1 mampu duduk selama 10 detik
( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik

4. Berdiri ke duduk
Instruksi: silahkan duduk
( ) 4 duduk dengan aman dengan pengguanaan minimal tangan
( v ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun
( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk

5. Berpindah
Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang memiliki
penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga tangan
( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( v ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan
( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
( ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi

6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup


Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik
( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( v ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik
( ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan aman
( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh

7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat


Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan
( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
( v ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi mampu berdiri
selama 15 detik
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama 15 detik

8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri


Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu Anda (penguji
meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)
( ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
( v ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan
( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan

9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri


Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda
( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
( v ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan
( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga
keseimbangan
( ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba
( ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya keseimbangan
atau terjatuh

10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri
Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan
( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi
( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
( v ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan
( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh

11. Berputar 360 derajat


Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang berlawanan
( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau kurang
( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang
( v ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat
( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa
bantuan
Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan sampai setiap
kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.
( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
( v ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
( ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan

13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya


Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa, cobalah
melangkah sejauh yang Anda bisa
( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik
( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
( v ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik
( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri

14. Berdiri dengan satu kaki


Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan
( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
( v ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik
( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi dapat berdiri
mandiri
( ) 0 tidak mampu mencoba

Total Skor:_____39_____

Anda mungkin juga menyukai