Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

DASAR DASAR PENGENDALIAN


BANJIR

Disusun Oleh
Moh Hafiz Marindra
2016050029

PROGRAM STUDY TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GRESIK

2019
Pendahuluan
Pengelolaan sumber daya air terpadu (Integrated Water Resource Management,
IWRM) telah cukup lama didiskusikan dan juga diimplementasikan di Indonesia.
Meskipun banyak penafsiran yang berbeda, umumnya makna IWRM mengacu pada
definisi yang digunakan The Global Water Partnership (GWP, 2000), yaitu “proses
yang mendorong terciptanya pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, lahan,
dan sumber daya lainnya yang terkait secara terkoordinasi sehingga upaya
optimalisasi keuntungan ekonomi dan kesejahteraan sosial dapat dicapai secara
berkeadilan tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem”. Saat ini, dengan
mengemukanya isu ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah, maka selain
IWRM, perhatian juga diarahkan pada aspek konservasi sumber daya air terpadu
(Integrated Water Conservation Management, IWCM). Hal ini dilandasi oleh
pertimbangan bahwa ketersediaan air untuk konsumsi vegetasi (pertanian, pangan),
atau juga dikenal sebagai green water, berkurang cukup drastis akibat terganggunya
daerah resapan, utamanya di hulu daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, agar
ketahanan pangan dapat diwujudkan, maka prasyaratnya adalah mengupayakan
ketahanan air melalui peningkatan ketersediaan green water. Dalam hal ini,
prinsipnya adalah menampung sebanyak dan selama mungkin air hujan di daerah
tangkapan air (catchment area), melalui upaya-upaya konservasi sumber daya air.
Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan IWCM.

Dengan diberlakukannya UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, upaya
konservasi sumber daya air, sebagai satu kesatuan dari upaya konservasi tanah dan air,
memperoleh perhatian lebih besar. Selain itu, mempertimbangkan meningkatnya
jumlah DAS kritis, yaitu dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 39 DAS (1992),
kemudian meningkat berturut-turut menjadi 62 DAS (2005), 68 DAS (2012), dan 108
DAS kritis (2014), maka implementasi IWCM juga menjadi prioritas (Bappenas,
2015). Pentingnya implementasi IWCM juga sesuai dengan arah tekanan
pembangunan pemerintah pada lima tahun ke depan yang lebih mengedepankan
kebijakan ketahanan pangan yang mempersyaratkan terwujudnya ketahanan air
sebagai basis pembangunan pangan mandiri (self-sufficient in food security).
Tingginya laju erosi dan sedimentasi pada sungai-sungai utama juga perlu upaya
pengendalian karena apabila tidak dilakukan, akan mengancam investasi infrastruktur
sumber daya air, utamanya waduk, yang telah menghabiskan dana sangat besar. Itulah
alasan strategis mengapa diperlukan kebijakan nasional IWCM. Selama ini,
pengelolaan sumber daya air dilakukan secara sektoral, misalnya tidak sinkronnya
pengelolaan sumber daya air di hulu dan hilir DAS dan terjadinya tumpang-tindih
kebijakan konservasi air antar kementerian. Oleh karena itu, untuk menjembatani
kesenjangan kerja sektoral tersebut perlu dirumuskan kebijakan nasional konservasi
sumber daya air terpadu. Makalah berupaya merumuskan substansi kebijakan nasional
IWCM. Secara lebih spesifik, rumusan IWCM tersebut diharapkan menjadi substansi
peraturan pelaksanaan UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
Pendekatan Kajian
Ruang lingkup kajian penyusunan rekomendasi nasional IWCM adalah peraturan,
program dan kegiatan yang diimplementasikan di daerah tangkapan air (catchment
area) daerah aliran sungai (DAS). Sedangkan fokus kajiannya adalah program dan
kegiatan konservasi sumber daya air yang dilaksanakan di hulu DAS dengan
pertimbangan bahwa hulu DAS memiliki karakteristik curah hujan tinggi, kemiringan
lereng sebagian besar curam, dan kerapatan drainase juga tinggi. Dengan karakteristik
biofisik seperti ini, daerah hulu DAS umumnya memiliki potensi kerentanan terhadap
gangguan lingkungan hidup, misalnya tanah longsor, laju aliran limpasan permukaan
(run-off), dan erosi cukup tinggi. Namun demikian, daerah tersebut juga merupakan
daerah resapan air tanah. Proses penjaringan saran dan masukan perumusan kebijakan
nasional konservasi sumber daya air dilakukan melalui studi literatur, focused group
discussion (FGD) yang melibatkan para pemangku kepentingan di 5 wilayah regional,
yaitu Yogyakarta, Medan, Nusa Tenggara Barat, Makassar, dan Banjarmasin serta
FGD di Jakarta untuk pemangku kepentingan tingkat nasional. Keseluruhan kajian di
dilaksanakan dari bulan Oktober 2014 hingga Maret 2015.

Permasalahan dalam Pengelolaan DAS


Permasalahan pengelolaan DAS, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait
dengan isu-isu sumber daya air, utamanya gangguan terhadap kualitas dan pasokan air
bersih. Selain permasalahan yang terkait dengan sumber daya air, pengelolaan DAS
saat ini juga dihadapkan pada isu-isu meningkatnya kesenjangan ekonomi masyarakat
dan semakin seringnya konflik terkait dengan akses masyarakat terhadap sumber daya
alam. Persoalan-persoalan tersebut, pada banyak kasus, bersumber pada hal-hal non-
teknis sebagai berikut (Hardy dan Koontz, 2010; Asdak, 2009; Bressers dan Kuks,
2004):

1. Belum memadainya pelaksanaan pengelolaan DAS dalam konteks konservasi


sumber daya air karena setiap sektor atau instansi melakukan tupoksinya tidak
dalam kerangka kerja keterpaduan, sehingga proses partisipatif dalam
pengelolaan DAS belum sepenuhnya berjalan;
2. Belum tersedianya mekanisme penyelesaian konflik terhadap aktivitas
pemanfaatan sumber daya air yang menimbulkan dampak lintas sektor dan lintas
wilayah;
3. Tumpang tindih kepentingan dan benturan wewenang antara pemerintah pusat
dan provinsi, serta kabupaten/kota yang disebabkan oleh belum jelasnya
kewenangan pengelolaan sumber daya air dalam suatu DAS;
4. Kebijakan nasional yang berhubungan dengan konservasi sumber daya air belum
teritegrasi ke dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan di daerah
sehingga sulit untuk bersinergi dalam implementasinya; dan
5. Pendekatan terintegrasi belum sepenuhnya terwujud karena terkendala oleh
persoalan-persoalan: a) kepentingan pertumbuhan ekonomi (eksploitasi
sumberdaya) versus nilai konservasi sumber daya, b) kepentingan bersama para
pihak versus kepentingan pihak-pihak tertentu atau sektoral, dan c) belum ada
lembaga penyinergi untuk menjalankan program konservasi sumber daya air
terpadu lintas sektor dan lintas wilayah.

Selain persoalan-persoalan tersebut di atas, hal lain yang harus menjadi pertimbangan
dalam pengelolaan DAS adalah kesadaran bahwa setiap lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan DAS tidak pernah cukup apabila hanya bertumpu pada tugas pokok dan
fungsi yang diembannya. Hal ini mempertimbangkan bahwa pengelolaan DAS
bersifat lintas sektor dan lintas wilayah sehingga pola pengelolaan yang sebelumnya
cukup dengan pendekatan parsial dalam pengelolaan DAS tidak memadai lagi untuk
dilaksanakan. Oleh karenanya, kerja sinergis antar lembaga menjadi kunci
keberhasilan.

Blue and Green Water


Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air untuk
ketahanan air (dan ketahanan pangan), ditentukan oleh empat faktor, yaitu a)
kerjasama secara terkoordinir antar sektor dan antar wilayah, b) sumber pendanaan, c)
stabilitas dan komitmen politik, dan d) tata kelola pemerintahan yang baik. Pertama,
kerjasama sinergis antar pemerintah daerah dan antar sektor adalah untuk
mendiskusikan dan berkoordinasi terkait dengan program-program yang
diprioritaskan oleh masing-masing pemerintah daerah/sektor. Urgensi diskusi adalah
berkoordinasi dan membuat kesepakatan terkait trade-off berbagai kepentingan yang
menjadi prioritas masing-masing pemerintah daerah/sektor. Hal ini seringkali menjadi
bagian penting ketika banyak pihak dengan kepentingan berbeda membahas suatu isu
pengelolaan sumber daya yang sama, sehingga kepentingan yang berbeda dapat
dicarikan jalan keluarnya. Kedua, hal penting yang seringkali menjadi kendala
keberhasilan program konservasi adalah pendanaan karena selama ini program
konservasi, termasuk konservasi sumber daya air, masih dipandang sebagai cost
center. Oleh karena itu, penggalangan sumber pendanaan program konservasi sumber
daya air harus dilakukan secara kreatif dan inovatif, utamanya yang berasal dari dana
publik, termasuk investasi dari sektor swasta serta sistem pendanaan mikro (micro-
finance).

Faktor ketiga yang harus memperoleh perhatian dalam upaya mewujudkan ketahanan
air adalah stabilitas politik. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di negara
berkembang, stabilitas politik belum sepenuhnya mantab, kemungkinan karena sedang
dalam proses menuju kematangan menjadi negara demokratis. Oleh karena itu, agar
program ketahanan air untuk mewujudkan ketahanan pangan dapat berjalan sesuai
harapan, maka sedapat mungkin efek/dampak negatif akibat konflik kepentingan,
termasuk merosotnya kualitas dan kuantitas air dapat diminimalkan. Untuk
menghindari konflik kepentingan, diperlukan kompromi antar pemangku kepentingan,
misalnya dalam hal pembangunan infrastruktur air, tata kelola sumber daya air, dan
sistem sosial-ekonomi dan politik. Sementara faktor penentu ketahanan air keempat
adalah tata kelola (governance) pengelolaan sumber daya air yang memadai,
kelembagaan dan infrastruktur serta tersedianya kapasitas sumber daya manusia yang
memadai. Tata kelola yang baik merefleksikan kerjasama sinergis antara masyarakat,
swasta, dan pemerintah. Kerjasama sinergis ini, utamanya diarahkan untuk mencapai
kepentingan bersama meskipun berangkat dari masing-masing kepentingan yang
berbeda. Kepentingan bersama dalam hal ini adalah terwujudnya ketahanan air. Tidak
ada satu pemangku kepentinganpun yang tidak memiliki kepedulian terhadap
ketahanan air karena air adalah kebutuhan dasar. Dengan asumsi ini, maka seharusnya
menjadi lebih mudah untuk menjustifikasi bahwa konservasi sumber daya air adalah
upaya untuk menyediakan kebutuhan dasar tersebut. Dengan kata lain, ia merupakan
kepentingan bersama, sehingga memerlukan tata kelola yang baik. Untuk itu,
syaratnya adalah masing-masing pemangku kepentingan harus menyadari tentang hak
dan kuajiban dalam kerjasama tersebut di atas. Hal ini akan mendukung dan
memudahkan tercapainya penyelesaian konflik bila terjadi, karena partisipasi yang
terbangun adalah berbasis pada perwakilan yang representatif.

Ketahanan air juga dapat ditinjau dari perspektif green water dan blue water. Konsep
green and blue water diartikulasikan oleh Malin Falkenmark (2008) pada seminar
organisasi pangan dunia (FAO) tahun 1993. Konsep ini menekankan pentingnya
pendekatan terintegrasi lahan dan air dalam upaya mewujudkan kecukupan/ketahanan
pangan dunia. Konsep green water mengacu pada bagian curah hujan yang
dikonsumsi oleh vegetasi dalam proses produksinya melalui proses evapotranspirasi.
Artinya, green water adalah air yang diperlukan vegetasi untuk menghasilkan produk
(pertanian, hutan, perkebunan) termasuk alokasi air irigasi untuk pertanian (sawah),
meskipun tidak seluruh air irigasi tersebut terevaporasikan oleh tanaman pertanian
tersebut. Sisa air yang tidak digunakan oleh tanaman pertanian dan kembali menjadi
air permukaan dan/atau air tanah masuk dalam kategori blue water. Blue water adalah
bagian air hujan yang tidak dimanfaatkan dalam proses produksi vegetasi dan tersedia
dalam bentuk air sungai, waduk/danau, dan air tanah (yang tidak dimanfaatkan oleh
vegetasi). Blue water umumnya dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik, industri,
dan kebutuhan non-vegetatif lainnya.

Dengan pemahaman tentang konsep green dan blue water tersebut di atas, perubahan
lanskap karena perubahan penggunaan lahan atau sebab lainnya akan membawa
konsekuensi pada keseimbangan green dan blue water. Gangguan keseimbangan air
ini dapat menjadi kendala serius terhadap ketahanan air, dan dengan demikain, juga
gangguan terhadap pencapaian target ketahanan pangan. Saat ini, untuk kebanyakan
negara tropis Asia, besarnya angka green water sekitar 65%, sedangkan sisanya 35%
masuk dalam kategori blue water (Falkenmark, 2008). Untuk ketahanan pangan
jangka panjang, seharusnya persediaan blue water ditingkatkan sehingga mampu
menyediakan air untuk pengembangan pertanian (cadangan air irigasi). Namun
demikian, peningkatan jumlah blue water harus dapat dikendalikan karena apabila
tidak terkendali berpotensi meningkatkan daya rusak air (banjir dan tanah longsor).
Angka keseimbangan 55% untuk green water dan 45% untuk blue water diharapkan
menjadi angka keseimbangan yang cukup memadai untuk ketahanan pangan dan
pengendalian daya rusak air. Oleh karena itu, kebijakan konservasi sumber daya air
diharapkan mampu mewujudkan keseimbangan air tersebut di atas. Untuk itu,
implementasi IWCM di tingkat DAS perlu meningkatkan koordinasi dan integrasi
antar wilayah dan antar sektor yang lebih baik. Selain itu, diperlukan identifikasi
kondisi dan permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat dijadikan
landasan dalam menentukan indikator kunci terkait ketahanan air. Sebaliknya, status
kondisi ketahanan air yang telah diukur dapat dijadikan pertimbangan pemilihan
strategi dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan berkelanjutan.

Dengan menggunakan pendekatan keseimbangan antara green dan blue water tersebut
di atas, agar tumpang-tindih program-program konservasi sumber daya air dapat
dikendalikan, maka implementasi IWCM seharusnya didasarkan pada pembagian
kategori green dan blue water. Untuk kategori green water, kebijakan nasional IWCM
yang menjadi tanggung-jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(LHK), termasuk jajarannya di daerah, adalah kegiatan penghijauan dan reboisasi,
pengembangan hutan rakyat/adat, agroforestry, dan pembuatan dam penahan (check
dam). Sedangkan Kementerian Pertanian dan jajarannya di daerah diharapkan
mengembangkan kebijakan nasional IWCM yang relevan dengan pengelolaan sistem
pertanian yang telah mempertimbangkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
termasuk pengembangan perkebunan yang lebih efisien dalam pemanfaatan air. Untuk
kategori blue water, kebijakan nasional IWCM yang menjadi tanggung-jawab
Kementerian Pekerjaan Umum utamanya adalah pembangunan waduk, embung, dan
perbaikan sungai dan saluran-saluran irigasi. Untuk peningkatan cadangan air tanah,
khususnya melalui injeksi air tanah, tanggung-jawabnya dibebankan pada
Kementerian Pekerjaan Umum dan/atau Kementerian ESDM.

Kearifan lokal (local best practices)


Hasil FGD menunjukkan adanya kearifan lokal dalam hal konservasi sumber daya air
yang masih dipraktekkan hingga saat ini. Kearifan lokal ini agar dilakukan revitalisasi
dan diupayakan menjadi bagian dari kebijakan dan program konservasi sumber daya
air di daerah. Berikut ini adalah beberapa kearifan lokal relevan dengan upaya
konservasi sumber daya air.

 Sulawesi Tenggara: kearifan lokal Mondau (Kabupaten Konawe) dalam


bentuk pertanian multi-kultur, efektif dalam mengendalikan run-off dan erosi.
Kearifan lokal lainnya di Kabupaten Wakatobi adalah Kaindea, yaitu upaya
lokal perlindungan mata air (pemanfaatan hasil hutan non-kayu). Bentuk
kearifan lokal lainnya Motika, yaitu hutan diperuntukkan terbatas untuk
bangunan rumah dan tidak dijual secara komersial.
 Yogyakarta: kearifan lokal Wono Deso (hutan desa), dan Telogo Deso
(embung/kolam retensi). Keduanya merupakan upaya konservasi air.
Kebutuhan lahan untuk dua model konservasi sumber daya air tersebut,
berasal dari dana corporate social responsibility (CSR), tanah desa/bengkok,
dan tanah lain yang dikuasai Pemda/Pemdes.
 Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara: Kearifan lokal Lubuk Larangan
menempatkan sungai sebagai sumber daya yang dimiliki secara komunal.
Warga desa bersepakat menjaga keutuhan catchment area sehingga laju erosi
dan sedimentasi air sungai dapat diminimalkan. Pelanggaran terhadap aturan
yang disepakati dikenakan sanksi.
 Kab. Lombok Tengah (NTB): Kearifan lokal Bekerase dalam bentuk
pembuatan embung untuk budidaya ikan, pertanian, dan peternakan. Untuk
menjaga kuantitas dan kualitas embung, warga desa (suku Sasak) menjaga
keutuhan daerah tangkapan air embung dan memanfaatkan embung sebagai
kolam retensi air.
 Sulawesi Selatan: Kearifan lokal di Tana Toraja dikenal Ma’pesung: setiap
sumber mata air menjadi tempat peribadatan sehingga areal dan lanskap di
sekitar sumber mata air harus dijaga keberadaannya. Kearifan lokal lainnya
Romang Karamaka: mata air, hutan/saukang tidak boleh dieksploitasi karena
mengganggu sumber/mata air.
 Kalimantan Selatan: Kearifan ekologi Dayak Meratus dalam bentuk
pelarangan peladangan berpindah dan penebangan pohon di pegunungan,
misalnya di desa Angkipih dan desa Peramasan Kabupaten Banjar. Aturan
lokal tersebut dilandasi pemahaman bahwa kerusakan yang terjadi di gunung
tersebut akan mengganggu sumber daya air.

Kelembagaan
Upaya konservasi sumber daya air memiliki posisi strategis dalam mewujudkan
ketahanan air. Mengingat konservasi sumber daya air berdimensi kompleks dan lintas
wilayah administrasi pemerintahan, maka kebersamaan merupakan suatu keniscayaan.
Penanganan secara bersama dan konsisten serta komprehensif terhadap permasalahan
konservasi sumber daya air harus diupayakan menjadi tekad bersama. Mengisi “ruang
kosong” yang menjadi hambatan besar dalam melakukan pengelolaan konservasi
sumber daya air berkelanjutan, merupakan tugas bersama yang menuntut kebersamaan
langkah. Untuk upaya bersama tersebut, kebijakan konservasi sumber daya air harus
mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut:

1. Implementasi kebijakan dan program konservasi sumber daya air harus fokus
pada lokus, dengan target capaian yang dipantau bersama-sama (pemerintah dan
non-pemerintah) untuk meyakinkan efektivitas pelaksanaan program di
lapangan.
2. Membangun sistem pengambilan keputusan yang lebih baik agar konservasi
sumber daya air dapat dikelola secara terpadu, komprehensif dan terintegrasi
dengan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan daerah.
3. Mengembangkan mekanisme keterpaduan yang kuat, mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pemantauan dan evaluasi secara terpadu dan
komprehensif.
4. Peningkatan peran pemerintah daerah dan non-pemerintah dalam memadukan
konservasi sumber daya air ke dalam proses pembangunan di daerah untuk
mencapai tujuan secara efektif.
5. Mengembangkan kelembagaan untuk mengadopsi kebijakan IWCM dengan
mekanisme keterpaduan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat.
6. Melakukan koordinasi dan mensinergikan kebijakan dan program IWCM serta
meyakinkan efektivitas implementasinya di semua tingkatan pemerintah (pusat
dan daerah).
7. Untuk efektivitas keseluruhan upaya kebijakan dan program IWCM tersebut di
atas, perlu dibentuk sekretariat bersama IWCM pada tingkat pusat dan daerah.

Penutup
Keberhasilan implementasi IWCM di daerah ditentukan, salah satunya, oleh
kesepakatan-kesepakatan lokal. Untuk mempertahankan dan memperluas
kesepakatan-kesepakatan lokal tersebut, maka pemerintah perlu menciptakan insentif
yang atraktif bagi petani yang masih melaksanakan kesepakatan lokal, misalnya
menciptakan pasar bagi produk hasil pertanian/hutan yang diperoleh sesuai dengan
kesepakatan komunitas/adat setempat. Inisiatif-inisiatif lokal sebagai upaya
konservasi sumber daya air tersebut di atas dapat diusulkan menjadi Perda, termasuk
Perda tentang Pengelolaan DAS, tentang siapa melakukan apa termasuk insentif dan
kompensasi yang dibutuhkan. Keberhasilan konservasi sumber daya air juga
ditentukan oleh kearifan lokal. Oleh karena itu, kearifan lokal konservasi sumber daya
air tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan program konservasi
air. Dalam hal ini, pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat (yang memiliki
kearifan lokal) harus jelas dan sungguh-sungguh (misalnya dikukuhkan melalui
Perda), utamanya terkait dengan pengelolaan hutan lindung. Selain itu, keberhasilan
konservasi sumber daya air juga ditentukan seberapa jauh insentif atraktif bagi petani.
Oleh karenanya, perlu dirumuskan sistem dan mekanisme insentif untuk mendorong
petani mau untuk mengembangkannya. Dalam banyak hal, peran kepemimpinan
petani dan kepala daerah penting sehingga inovasi seharusnya melalui pemimpin lokal
tersebut. Dalam konteks ini peran Forum DAS dan lembaga lain yang relevan
seharusnya menjadi fasilitator dan mekanisme kerja untuk berinteraksi langsung
dengan kepemimpinan petani lokal dapat diwujudkan.

Sebagai masyarakat dengan kedudukan kaum laki-laki dominan, seringkali kaum


perempuan dan ibu rumah tangga kurang memperoleh peran dalam kegiatan
konservasi air. Padahal, kaum perempuan sangat terkait dengan air karena mengurusi
kebutuhan rumah tangga yang erat kaitannya dengan air. Oleh karenanya, upaya
konservasi air seharusnya juga melibatkan kaum perempuan. Pelibatan perempuan
dalam konservasi sumber daya air ini menjadi salah satu prinsip dalam Konferensi
Dublin tentang Air dan Pertemuan Tingkat Tinggi Rio de Janeiro tentang
Pembangunan Berkelanjutan (1992). Keberhasilan IWCM juga ditentukan oleh aspek
kelembagaan. Oleh karena itu, strategi kelembagaan diupayakan mampu mendorong
sistem penganggaran konservasi sumber daya air masuk ke dalam sistem perencanaan
pembangunan di daerah. Selain itu, diperlukan sekretariat kelembagaan konservasi
sumber daya air yang memadai, termasuk sumber daya manusia yang berkualitas,
sistem data base, dan pendanaan yang berkelanjutan. Tidak kalah pentingnya adalah
membangun nota kesepahaman antar lembaga terkait dalam konservasi sumber daya
air melalui suatu mekanisme yang mengikat para pihak terkait.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bappenas yang memungkinkan penulis
terlibat dalam penyusunan White Paper on Integrated Water Conservation
Management yang substansinya digunakan dalam makalah ini.

Rujukan
Asdak, C. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Berbasis Ekosistem. Makalah
pada pertemuan Forum DAS Tingkat Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta, 10-11
Desember 2009.
Bappenas. 2015. White Paper on Integrated Water Conservation Management. Direktorat
Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Jakarta.
Bressers, H. and S. Kuks. 2004. Integrated Governance and Water Basin Management:
conditions for regime change and sustainability. Kluwer Academic Publ., Dordrecht, The
Netherlands.
Falkenmark, M. 2008. Water and Sustainability: A Reappraisal. Environment. Science and
Policy for Sustainable Development. March/April 2008 Edition.
GWP. 2000. Integrated Water Resources Management. Global Water Partnership. TAC
Background Papers Number 4. Stockholm, Sweden.
Hardy, D.D. and T.M. Koontz. 2010. Collaborative watershed partnerships in urban and rural
areas: Different pathways to success? Landscape and Urban Planning (95): 79-90.

Anda mungkin juga menyukai