Anda di halaman 1dari 2

Abdul Haris Nasution

Nasution atau biasa dipanggil pak nas dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten
Mandailing Natal, Sumatera Utara dari keluarga Batak Muslim. Ia adalah anak kedua dan juga
merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual
tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang
sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar
kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima
beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.

Tanggal 5 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Tentara Nasional
Indonesia (TNI). TNI lahir dari “cita-cita merdeka” yang menggelora di hati sanubari rakyat
Indonesia tahun 1945. Setelah Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jenderal Besar TNI (Purn) Dr.
H. Abdul Haris Nasution atau akrab disapa Pak Nas adalah salah satu putra terbaik yang pernah
dimiliki TNI dan bangsa Indonesia. Pak Nas termasuk salah seorang pendiri TNI dan besar
jasanya dalam membina TNI sejak kelahirannya tahun 1945 sampai meletusnya pemberontakan
G-30-S/PKI serta mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Orde Baru yang waktu itu
bertekad untuk melakukan koreksi total terhadap segala penyelewenangan di zaman Orde Lama.

Pribadi Jujur dan Sederhana

Pemimpin, penyelenggara negara dan generasi muda patut belajar dari kejujuran dan
kesederhanaan hidup Jenderal Dr. A.H. Nasution. Ny. Johanna Sunarti Nasution (istri Pak Nas)
sebagaimana diungkapkan dalam buku Bakri A.G. Tianlean mengatakan, suatu kali Pak Nas ada
acara sehingga ia menggunakan kendaraan yang tidak biasanya. Kemudian, Pak Nas bertanya
kepada sopir, Sersan Sutrisno, “Ini bukan mobil saya. Ini mobil siapa?” Sopir menjawab, “Ini
mobil dari Pak Hasjim Ning untuk Bapak”. Hasjim Ning adalah seorang pengusaha pribumi-
muslim terkemuka. Kata Pak Nas, “Saya tidak pantas dibantu. Masih banyak orang lain yang
perlu dibantu. Bisa saja mobil ini dijadikan uang dan disumbangkan kepada anak yatim piatu.
Saya minta mobil ini dikembalikan” ujar beliau. Dengan disertai permintaan maaf, mobil hadiah
Hasjim Ning untuk Pak Nas dikembalikan. Salah satu pesan Pak Nas yang berkesan pada Bu Nas
semasa hidupnya, “Bila sedang berada di atas, tengoklah ke bawah. Yang di bawah masih
banyak orang yang mengharapkan uluran tanganmu. Jauhkan diri dari serakah karena perbuatan
itu tidak disukai Allah SWT.

Jenderal “Tukang Sembahyang”

Pak Nas dikenal sebagai muslim yang patuh menjalankan ajaran agama dan menjauhi larangan
Tuhan. Beliau selalu shalat istikharah sebelum mengambil suatu keputusan. Dalam salah satu
wawancara yang dimuat dalam buku Islam Di Mata Para Jenderal (Bandung: Mizan, 1997)
beliau mengemukakan, “Sebagai seorang Muslim kita diperintahkan untuk melaksanakan ajaran
Islam di mana pun kita berada. Kita harus merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah
jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dunia maupun akhirat. Dalam menghadapi
masalah, misalnya, kalau agama kita kuat maka semuanya bisa dibereskan.”

Jenderal Besar TNI (Purn) Dr. A.H. Nasution wafat Rabu, 6 September 2000, pukul 07.35 di
Paviliun Kartika RSPAD Gatot Subroto Jakarta dalam usia 82 tahun. Jenazahnya dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta. Pemerintah menganugerahi Pak Nas gelar
Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dan keteladanan yang secara terus menerus telah diberikannya
kepada Tanah Air, negara dan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai