PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu upaya membina dan membangun generasi muda yang tangguh diantaranya adalah melalui
pendidikan, baik yang diberikan dalam lingkungan keluarga, melalui pendidikan formal di sekolah, maupun
pendidikan dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus
ditentukan oleh adanya pelaksanaan kurikulum sekolah itu. Keberhasilan sumber daya manusia dalam segi
pendidikan sangat dipengaruhi oleh adanya pemahaman seluruh personal di sekolah itu dalam melaksanakan
kurikulum.
Kurikulum pendidikan yang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang
mana seluruh komponen bangsa ikut memberikan dorongan bagi penyelenggara pendidikan untuk selalu
melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang digunakan.
Di dalam proses pengendalian mutu pendidikan, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting
karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan. Kurikulum harus selalu
diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.
B. Rumusan Masalah
. BAB II
PEMBAHASAN
Kurikulum merupakan suatu alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan
memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan
jenjang masing masing satuan pendidikan. Sejalan dengan ketentuan tersebut, perlu ditambahkan bahwa
pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional dan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan
undang Undang Dasar 1945.[1]
Kurikulum informal terdiri atas kegiatan yang direncanakan, namun tidak langsung berhubungan
dengan kelas atau mata pelajaran tertentu dan kurikulum itu dipertimbangkan sebagai pelengkap bagi kurikulum
formal. Kurikulum formal mengikuti rencana kurikulum itu sendiri dan rencana pengajaran yang keduanya ini
akan menjadi fokus pembicaraan kita, yaitu apakah pengembangan kurikulum itu? Pengembangan kurikulum
adalah proses yang mengaitkan satu komponen kurikulum lainnya untuk menghasilkan kurikulum yang lebih
baik.[2]
Pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti
langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik. [3]
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap suatu proses
tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum. Dengan demikian, pendekatan pengembangan kurikulum menunjuk pada titik tolak atau sudut
pandang secara umum tentang proses pengembangan kurikulum. [4]
Ditinjau dari tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam sebagaimana uraian sebelumnya, maka tipologi
perennial-esensialis salafi dan perennial-esensialis mazhabi lebih cenderung kepada pendekatan subjek
akademis dan dalam beberapa hal juga pendekatan teknologis. Demikian pula, tipologi perennial-esensialis
kontektual falsitikatif juga cenderung menggunakan pendekaran subjek akademis dan dalam beberapa hal lebih
berorientasi pada pendekatan teknologis dan pendekatan humanistis. Tipologi modernis lebih berorientasi pada
pendekatan humanistis. Sedangkan tipologi rekonstruksi sosial lebih berorientasi pada pendekatan rekonstruksi
sosial.[5]
1. Pendekatan Berdasarkan Teori Kurikulum
Di dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan dalam
Kurikulum disajikan dalam bagian-bagian ilmu pengetahuan, mata pelajaran yang di intregasikan. Ciri-
ciri ini berhubungan dengan maksud, metode, organisasi dan evaluasi. Pendekatan subjek akademis dalam
menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. Para
ahli akademis terus mencoba mengembangkan sebuah kurikulum yang akan melengkapi peserta didik untuk
masuk ke dunia pengetahuan, dengan konsep dasar dan metode untuk mengamati, hubungan antara sesama,
analisis data, dan penarikan kesimpulan. Pengembangan kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara
menetapkan lebih dahulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan
untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu.[7]
Pendidikan agama Islam di sekolah meliputi aspek Al-quran/Hadist, keimanan, akhlak, ibadah
muamalah, dan tarih sejarah umat Islam. Di madrasah, aspek-aspek tersebut dijadikan sub-sub mata pelajaran
PAI meliputi : Al-quran Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan sejarah. Kelemahan pendekatan ini adalah kegagalan
dalam memberikan perhatian kepada yang lainnya, dan melihat bagaimana isi dan disiplin dapat membawa
mereka pada permasalahan kehidupan modern yang kompleks, yang tidak dapat dijawab oleh hanya satu ilmu
saja.
Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau keperibadian hidup manusia, dalam arti bagaimna system
norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia
dengan manusia (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan keperibadian hidup manusia dalam menjalani
kehidupan (politik, ekonomi, social, pendidikan, kekeluargaan, kebudayaan/seni, iptek, olahraga/kesehatan dan
lain-lain) yang dilandasi oleh akidah yang kokoh. Sedangkan tarikh (sejarah-kebudayaan) Islam merupakan
perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa kemasa dalam usaha bersyari’ah, beribadah dan
bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan system kehidupan yang dilandasi oleh akidah
Pendekatan subjek akademis dalam menyusun kurikulum PAI dilakukan dengan berdasarkan sistematis
disiplin ilmu misalnya, untuk aspek keimanan atau mata pelajaran akidah menggunakan sistematisasi ilmu
tauhid, aspek/mata pelajaran Alquran menggunakan sistematis ilmu Alquran atau ilmu tafsir, akhlak
menggunakan sistematis ilmu akhlak, ibadah/syariah/muamalah menggunakan sistematis ilmu fiqih, dan
tarikh/sejarah menggunakan sistematis ilmu sejarah (kebudayaan) Islam. Masing-masing aspek/mata pelajaran
memiliki karakteristik tersendiri yang dapat membangun disiplin ilmu lebih lanjut bagi para peserta didik yang
memiliki minat dibidangnya. Namun demikian, dalam pembinaannya harus memperhatikan dalam aspek/mata
Pendekatan Humanistis dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide "memanusiakan manusia".
Penciptaan konteks yang akan memberi peluang manusia untuk menjadi lebih human, untuk memprtinggi harkat
manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program pendidikan[8]
Kurikulum Humanistis dikembangkan oleh para ahli pendidikan Humanistis. Kurikulum ini
berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi yaitu John Dewey. Aliran ini lebih memberikan tempat utama
kepada siswa. Kurikulum Humanistis ini, guru diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik
dengan peserta didiknya. Oleh karena itu, peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut:
Dalam pendekatan Humanistis ini, peserta didik diajar untuk membedakan hasil berdasarkan
maknanya. Kurikulum ini melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta dimasa depan. Sesuai dengan
prinsip yang dianut, kurikulum ini menekankan integritas, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat
intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Beberapa acuan dalam kurikulum ini antara lain :
1. Integrasi semua domain afeksi peserta didik, yaitu emosi, sikap, nilai-nilai, dan domain kognisi, yaitu
1. Keterlibatan emosional tidak selamanya berdampak positif bagi perkembangan individual peserta didik.
2. Meskipun kurikulum ini sangat menekankan individu tapi kenyataannya terdapat keseragaman peserta didik.
Pendekatan teknologi dalam menyusun kurikulum agama islam bertolak dari analisis kompetensi yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan
strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut. Kurikulum berbasis
kompetensi yang sedang digalakkan disekolah/ madrasah termasuk dalam kategori pendekatan teknologis
Dalam pengembangan kurikulum PAI, pendekatan tersebut hanya bisa digunakan untuk pembelajaran
PAI yang menekankan pada know how cara menjalankan tugas-tugas tertentu. Misalnya cara menjalankan
shalat, haji, puasa, zakat, mengkafani mayat, shalat jenazah dan seterusnya. Pembelajaran dikatakan
menggunakan pendekatan teknologis, bilamana ia menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah
belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan dan menilainya, Di samping itu, pendekatan teknologis ingin
mengejar kemanfaatan tertentu, sehingga proses dan rencana produknya (hasilnya) diprogram sedemikian rupa,
agar pencapaian hasil pembelajaranya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan terkontrol. Dari
rencana proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
Pendekatan teknologis ini sudah barang tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain: ia
terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun
produknya. Karena adanya keterbatasan tersebut, maka dalam pembelajaran pendidikan agama islam tidak
selamanya dapat menggunakan pendekatan teknologis. Jika dalam sebuah pembelajaran PAI menyangkut
perencanaan dan proses bisa dengan pendekatan teknologis akan tetapi ketika harus mengevaluasi tentang
keimanan peserta didik atas materi rukun iman misalnya, maka pendekatan teknologis tidak bisa digunakan,
Berikut contoh pendekatan teknologis dalam pengembangan kurikulum PAI. Sebagaiman tertuang
3. Hasil belajar:
Kurikulum ini sangat memperhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik
perkembangan ekonomi. Kurikulum ini bertujuan untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai
permasalahan manusia dan kemanusian. Permasalahan yang muncul tidak harus pengetahuan sosial saja, tetapi
di setiap disiplin ilmu termasuk ekonomi, kimia, matematika dan lain-lain. Kurikulum ini bersumber pada aliran
pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama.
Melalui interaksi ini siswa berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat
Kegiatan yang dilakukan dalam kurikulum rekonstruksi sosial antara lain melibatkan:
2. Studi yang melihat hubungan antara ekonomi lokal dengan ekonomi nasional atau internasional.
Pembelajaran yang dilakukan dalam kurikulum rekonstruksi sosial harus memenuhi 3 kriteria berikut,
yaitu: nyata, membutuhkan tindakan dan harus mengajarkan nilai. Evaluasi dalam kurikulum rekontruksi sosial
mencakup spektrum luas, yaitu kemampuan peserta didik dalam menyampaikan permasalahan, kemungkinan
pemecahan masalah, pendefinisian kembali pandangan mereka dan kemauan mengambil tindakan. [10]
Para Pengembang telah menemukan beberapa pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Berikut ini
adalah pendekatan-pendekatan yang dikembangkan para pengembang. Dr. Abdullah Idi, M.Ed dalam
bukunya Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, menambahkan 3 (tiga) pendekatan pengembangan
kurikulum, yaitu :
a. Pendekatan Berorientasi pada Tujuan
Pendekatan ini menempatkan rumusan atau penempatan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi
sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
2. Tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula dalam menetapkan materi pelajaran, metode, jenis
3. Tujuan-tujuan yang jelas itu juga akan memberikan arah dalam mengadakan penilaian terhadap hasil yang
dicapai.
4. Hasil penelitian yang terarah itu akan membantu penyusun kurikulum di dalam mengadakan perbaikan-
perbaikan yang diperlukan. [11]
Pendekatan ini penekanannya pada berbagai matapelajaran secara terpisah-pisah, misalnya: sejarah,
ilmu bumi, biologi, matematika dan sebagainya. Matapelajaran ini tidak berhubungan satu sama lain).
Pendekatan ini adalah pendekatan dengan pola mengelompokkan beberapa matapelajaran (bahan) yang
sering dan bisa secara dekat berhubungan. Misalnya, bidang studi IPA, IPS dan sebagainya.
b. Pendekatan Fungsional: Pendekatan ini berdasarkan pada masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pendekatan tempat atau daerah: Atas dasar pembicaraan suatu tempat tertentu sebagai pokok pembicaraan.
Pendekatan ini berdasarkan kepada keseluruhan hal yang mempunyai arti tertentu, Misalnya: pohon;
sebatang pohon ini bukan merupakan sejumlah bagian-bagian pohon yang terkumpul, akan tetapi merupakan
masyarakat akhir-akhir ini menjadi hal yang penting dalam dunia pendidikan. Akuntabilitas yang sistematis
pertama kali diperkenalkan Frederick Tylor dalam bidang industri pada permulaan abad ini. Pendekatannya
yang dikenal sebagai scientific management atau manajemen ilmiah, menetapkan tugas-tugas spesifik yang
harus diselesaikan pekerja dalam waktu tertentu. Tiap pekerja bertanggung jawab atas penyelesaian tugas
itu.[12]
Dilihat dari cakupan Pengembangannya Menurut Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd., ada dua
Dikatakan pendekatan top down atau pendekatan administratif, yaitu pendekatan dengan sistem
komando dari atas ke bawah. Oleh karena dimulai dari atas itulah, pendekatan ini juga dinamakan line staff
mode. Dilihat dari cakupan pengembangannya, pendekatan top down bisa dilakukan baik untuk menyusun
kurikulum yang benar-benar baru (curriculum construction) ataupun untuk penyempurnaan kurikulum yang
sudah ada (curriculum improvement). Prosedur kerja atau proses pengembangan kurikulum model ini dilakukan
Langkah pertama, dimulai dengan pembentukan tim pengarah oleh pejabat pendidikan. Langkah
kedua, adalah menyusun tim atau kelompok kerja untuk menjabarkan kebujakan atau rumusan-rumusan yang
telah disusun oleh tim pengarah. Langkah Ketiga, apabila kurikulum sudah selesai disusun oleh tim atau
kelompok kerja, selanjutnya hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan-catatan
atau direvisi. Langkah Keempat, para administrator selanjutnya memerintahkan kepada setiap sekolah untuk
mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu. [13]
Dalam model grass roots atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu
disebartluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan
kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak
digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement), walaupun dalam skala yang terbatas
Ada beberapa langkah penyempurnaan kurikulum yang dapat dilakukan manakala menggunakan
Pertama, menyadari adanya masalah. Berawal dari keresahan guru tentang kurikulum yang
berlaku. Kedua, mengadakan refleksi. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literature yang relevan misalnya
dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan masalah yang kita hadapi atau mengkaji
sumber informasi lain. Ketiga, mengajukan hipotesis atau jawaban sementara. Guru memetakan berbagai
kemungkinan munculnya masalah dan cara penanggulangannya. Keempat, menentukan hipotesis yang sangat
mungkin dekat dan dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Kelima, mengimplementasikan
perencanaan dan mengevaluasinya secara terus-menerus hingga terpecahkan masalah yang dihadapi. Dalam
pelaksanaannya kita bisa berkolaborasi atau meminta pendapat teman sejawat. Keenam, membuat dan
menyusun laporan hasil pelaksanaan pengembangan melalui grass roots. Langkah ini sangat penting untuk
dilakukan sebagai bahan publikasi dan diseminasi, sehingga memungkinkan dapat dimanfaatkan dan diterapkan
oleh orang lain yang pada gilirannya hasil pengembangan dapat tersebar.
3. Pendekatan Kurikulum Berdasarkan Aspek Perencanaan
Dilihat dari aspek perencanaannya, menurut Zainal Arifin ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan dalam pengembangan kurikulum. Menurut penulis, pendekatan yang dikemukakan oleh Zainal Arifin
Kompetensi adalah jalinan terpadu yang unik antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai
yang direfleksikan dalam pola berpikir dan pola bertindak. Pendekatan kompetensi menitikberatkan pada semua
ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ciri-ciri pendekatan kompetensi adalah berpikir teratur dan
sistematik, sasaran penilaian lebiih difokuskan pada tingkat penguasaan, dan kemampuan memperbarui diri
(regenerative capability)
Prosedur menggunakan pendekatan ini adalah (a) menetapkan standar kompetensi lulusan yang harus
dikuasai oleh para lulusan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, (b) memerinci perangkat kompetensi yang
harap dimiliki oleh para lulusan, (c) menetapkan bentuk dan kuantitas pengalaman belajar melalui bidang studi
atau suatu pelajaran (jika perlu menciptakan mata pelajaran baru) dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya
yang relevan, (d) mengembangkan silabus, (e) mengembangkan skenario pembelajaran, (f) mengembangkan
Bukti penguasaan kompetensi tidak cukup dengan kemampuan lisan saja, melainkan harus diperagakan
dalam bentuk pelaksanaan perbuatan yang nyata dan konkret. Dalam penilaian penguasaan kompetensi, ada tiga
Pertama, sasaran penilaian tidak hanya terfokus pada kemampuan tertulis dan lisan saja, tetapi juga
tingkat untuk kerjapelaksanaan tugas yang telah ditetapkan. Kedua, kriteria penilaian adalah persyaratan
minimal pelaksanaan tugas-tugas. kriteria ini dijabarkan langsung dari hakikat dan tuntutan tugas yang dapat
dikerjakan peserta didik, bukan dari prestasi rata-rata kelompok atau dari patokan mutlak yang tidak
jelas rujukannya. Ketiga, sasaran utama adalah penguasaan kemampuan dan bukan pada cara atau waktu
pencapaiannya.
Pada pengembangan kurikulum harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menilai
penguasaan kemampuannya atas bahan yang dapat disajikan bahkan sebelum bahan tersebut dikerjakan. Ciri
pendekatan kompetensi yang tidak kalah pentingnya adalah penjaringan dan pengolahan informasi balikan
secara teratur untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan sehingga kurikulum memiliki mekanisme
dengan memberikan kesempatan dan mengikutsertakan mereka untuk turut ambil bagian dalam proses
pembelajaran.[14]
2. Pendekatan Sistem (System Approach)
Sistem adalah totalitas atau keseluruhan komponen yang saling berfungsi, berinteraksi, berinterelasi
dan interdependensi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sistem ada yang sederhana
sehingga dapat ditetapkan terlebih dahulu, tetapi ada juga yang kompleks sehingga belum dapat ditetapkan.
Pendekatan sistem digunakan juga sebagai suatu sistem berfikir, bahkan sistem pendekatan ini
dikembangkan dalam upaya pembaharuan pendidikan. [15] Inti pendekatan sistem yang berupa proses adalah
model Instructional Development Institute (IDI) yang dikembangkan oleh University Consortium on
Instructional Development and Technology (UCIDT) memiliki langkah-langkah sebagai berikut.[16]
1) Uji coba prototype: melakukan uji coba, mengumpulkan data dan evaluasi
2) Analisis hasil uji coba: tujuan pembelajaran, metode, dan teknik evaluasi.
3) Penyempurnaan langkah-langkah terdahulu: review, menetapkan, melaksanakan.
Klarifikasi nilai adalah langkah pengambilan keputusan tentang prioritas atas keyakinan sendiri
berdasarkan pertimbangan yang rasional, logis, sesuai dengan perasaannya dan perasaan orang lain serta aturan
yang berlaku.
Ciri-ciri pengembangan kurikulum berdasarkan pendekatan klarifikasi nilai, antara lain: (a) peran guru
kurang dominan dalam pembelajaran, (b) guru sedikit memberikan informasi dan lebih banyak mendengarkan
penjelasan dari peserta didik, (c) guru lebih sering menggunakan metode tanya jawab, (d) tidak banyak kritik
dan destruktif, (e) kurang menekankan faktor kegagalan dan lebih menerima kesalahan-kesalahan, (f)
menanggapi dan menghayati pekerjaan peserta didik, (g) merumuskan tujuan dengan jelas, sehingga struktur
kegiatan dapat dipahami oleh peserta didik, (h) dalam batas tertentu peserta didik diberi kebebasan untuk
bekerja dan bertanggung jawab, (i) peserta didik bebas mengungkapkan apa yang mereka rasakan, (j) adanya
keseimbangan antara tugas kelompok dengan tugas perseorangan, (k) belajar bersifat individual, (l) evaluasi
bukan berfokus pada prestasi akademik, tetapi juga proses pertukaran pengalaman, dan (m) peserta didik
Secara umum, tujuan klarifikasi nilai adalah untuk (a) mengembangkan hubungan pribadi di antara
peserta didik secara lebih baik yang mungkin di antara mereka terjadi konflik nilai atau untuk mengambil
keputusan pada masa mendatang, dan (b) melengkapi kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan jasmani maupun
kebutuhan rohani. Secara khusus, tujuan dan kegunaan pendekatan klarifikasi nilai adalah (a) mengukur dan
mengetahui tingkat kesadaran peserta didik tentang suatu nilai, (b) menyadarkan peserta didik tentang nilai-nilai
yang dimiliki, baik tingkat maupun sifat. Jika nilai yang dimiliki peserta didik sifatnya negative, maka tugas
guru adalah meluruskan atau mengarahkannya menjadi sifat yang positif, (c) menanamkan nilai kepada peserta
didik melalui contoh nyata atau keteladanan dan cara-cara yang rasional, yang dapat diterima peserta didik
sebagai milik pribadinya, (d) melatih dan membina peserta didik tentang bagaimana cara menilai, menerima,
dan mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum.[17]
Pengembangan kurikulum dengan pendekatan ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai
masalah kurikulum secara khusus. Para guru diminta berbagai informasi tentang masalah-masalah, keinginan
atau harapan, dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam mata pelajaran, seperti perbaikan cara
penampilan, penggunaan multimetode dan media dalam pembelajaran, serta sistem penilaian. Untuk
memperlajari masalah dan keinginan dari guru tersebut, pengembang kurikulum perlu melakukan penelitian
yang tidak bersifat evaluatif melainkan bersifat stimulatif dan mendorong guru untuk memberikan informasi
yang objektif semata-mata demi kepentingan pengembangan kurikulum yang lebih baik. Melalui pendekatan ini,
guru merasa sangat dihargai karena pendapat atau saran mereka didengar bahkan dijadikan pertimbangan dalam
pengembangan kurikulum. Pengembang kurikulum harus duduk bersama guru untuk membahas silabus yang
Pendekatan ini bertitik tolak dari suatu keseluruhan atau satu kesatuan yang bermakna dan berstruktur.
Keseluruhan bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian, melinkan suatu totalitas yang berada dan berfungsi
dalam suatu struktur tertentu. Dalam organisasi kurikulum dikenal dengan kurikulum terpadu dengan sistem
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Idi, Abdullah, 2007 Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
Sanjaya, Wina, 2010, Kurikulum dan Pembelajaran (Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Jakarta, Kencana.
Noeng, Muhadjir, 2000, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku
Sosial Kreatif, Yogyakarta, Rake Sarasin.
Depdikbud.Kurikulum 1978.1979.
Muhaimin, 2010, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Arifin Zainal, 2011, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya.
E mulyasa, 2009, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta, PT Bumi aksara