Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH HADIS MASA PRA KODIFIKASI


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ulumul Hadis yang di ampu
oleh :

Suharna, S.Hi., M.H

Oleh : Kelompok V

Nur Afni Awaliyah 18.2200.011

Hasniati 18.2200.020

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan menyelesaikan penyusunan tugas Ulumul
Hadis tentang “sejarah hadis masa pra kodifikasi”.

Tugas mata kuliah Ulumul Hadis tentang sejarah hadis masa pra kodifikasi
dalam karya ilmiah ini kami buat agar dapat memenuhi salah satu tugas pada
matakuliah Ulumul Hadis pada semester dua. Tujuan lain dari penyusunan tugas ini
adalah agar pembaca dapat memahami dan mengetahui tentang Ulumul Hadis dalam
karya ilmiah sebagaimana yang tertulis dalam makalah ini.

Materi ini kami sajikan dengan bahasa yang sederhana dan menggunakan
bahasa pada umumnya agar dapat dipahami oleh pembaca. Kami menyadari bahwa
makalah ini mungkin terdapat banyak kekurangam. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Akhir kata kami mengucapkan teria kasih, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Parepare, 30 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 3
A. Latar Belakang ................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 4
A. Perkembangan Hadis pada Masa Nabi ............................................................... 4
1. Cara Rasul SAW menyampaikan hadis .......................................................... 4
2. Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis ............................................ 6
3. Menghafal dan menulis hadis ......................................................................... 7
B. Hadis pada Masa Sahabat ................................................................................ 10
1. Menjaga pesan Rasul SAW .......................................................................... 11
2. Berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadis ............................... 11
3. Periwayatan hadis dengan lafaz dan makna ................................................. 12
C. Hadis pada Masa Tabi’in ................................................................................. 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 16
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 16
B. Kritik dan Saran ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

ii
3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan
hadis disini adalah sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-quran.
Didalam ilmu hadis inipun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadis pada masa
pra kodifikasi, keberadaan hadis sebgai salah satu sumber hukum dalam islam
memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks.
Dalam sejarahnya hadis mengalami perkembangan yang agak lambat dan
bertahap di bandingkan dengan al-quran. Hal ini terjadi karena pada masa itu
penulisan hadis secara umum sangat dilarang. Larangan tersebut berdasarkan
kekhawatiran Nabi akan tercampurnya Nash al-Quran dengan Hadis. Larangan
tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi’in besar. Bahkan, khalifah Umar bin
khattab sangat menentang penulisan hadis, begitu juga dengan khalifah yang lain.
Periodesasi penulisan dan pembukuan hadis secara resmi dimulai pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin abdul azis (abad II hijriyah).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hadis pada masa Nabi SAW.?
2. Bagaimana perkembangan hadis pada masa sahabat?
3. Jelaskan perkembangan hadis pada masa Tabi’in?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui perkembangan sejarah hadis pada masa Nabi SAW.
2. Untuk mengetahui perkembangan sejarah hadis pada masa sahabat
3. Untuk mengetahui perkembangan sejarah hadis pada masa tabi’in
4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hadis pada Masa Nabi
Membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis
pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait langsung kepada Rasulullah SAW
sebagai sumber hadis. Rasulullah SAW membina umat Islam selama 23 tahun. Masa
ini merupakan kurung waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadis.1Pada
periode ini sejarah hadis disebut Ashr al-Wahyi wa at-Takwin (masa turunnya wahyu
dan pembentukan masyarakat Islam.2 pada masa inilah, hadis kemudian lahir yang
berupa sabda Nabi, perbuatan Nabi, dan ketetapan Nabi yang fungsinya adalah untuk
menerangkan al-Quran serta menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat.
1. Cara Rasul SAW menyampaikan hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa
lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari
Rasul SAW sebagai sumber hadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada
jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.3
Allah menurunkan al-quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai
utusannya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan, dan apa yang
disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan
kondisi utusannya tersebut.

ٌ ْ‫ ا ِْن ُه َو ا اَِّل َوح‬،‫ع ِن ْال َه َو ى‬


‫ي ي ُّْو َحى‬ َ ‫َو َما يَ ْن ِط ُق‬

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.


Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
(Q.S.AL-Najm(53):3-4)

1
Muhammad Ali AL-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an (MadinaH: Daru Al-Shobuni, 2003),
h. 29.
2
M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka setia, 2011), h. 34.
3
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet.VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 71.
5

Kedudukan nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan,


perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat
tidak menyia-nyiakan keberadaan rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru
dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya
baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang
dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri di maksudkan agar
keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak
sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang digunakan rasulullah
saw cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, di pasar ketika dalam
perjalanan(safar) dan ketika muqim (berada dirumah).
Melalui tempat-tempat tersebut rasul SAW menyampaikan hadis, yang
terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat
(melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang
disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Ada beberapa cara rasul SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat,
yaitu:4
a. Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-
‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadis , sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang
diberikan oleh Nabi SAW.
b. Melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepda orang
lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul
SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa

4
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet. VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 72.
6

orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang ditulis oleh
Abdullah ibn Amr ibn Al’Ash.
Untuk hal-hal yang sensitive, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga
dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri),
ia sampaikan melalui istri-istriya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada
hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada
Rasulu SAW, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’
dan futuh Makkah.

2. Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis


Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis.
Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini
tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal
kesempatan bersama Rasulu SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal
kesempatan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena
perbedaan waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak
menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebab.5 Mereka itu antara
lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-
mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman Ibn
Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis
dari Rasul SAW, karena lebih awal masuk islam dari sahabat-sahabat
lainnya.
b. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), sperti Siti Aisyah dan
Ummu Salmah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW

5
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet. VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 74.
7

daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak


yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga
menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, seprti Abdullah Amr ibn Al-
‘Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti, Abu
Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup
lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn
Malik dan Abdullah ibn Abbas.

3. Menghafal dan menulis hadis


a. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Quran dan
Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang
berbeda. Terhadap al-Quran ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat
supaya ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh
menghafalnya dan melarang menulisnya secra resmi.6 Dalam hal ini ia bersabda:

‫ب‬ َ ‫غي َْر ْالقُ ْر ا َ ِن فَ ْليَ ْم ُحهُ َو َح ِد ث ُ ْوا‬


َ َ‫عنِي َو ََّل َح َر َج َو َم ْن َكذ‬ َ ‫عنِي‬ َ ‫َب‬ َ ‫عنِي َو َم ْن َكت‬ َ ‫ََّل ت َ ْكت ُب ُْوا‬
)‫ار (رواه مسلم‬ ِ ‫ي ُمتَعَ ِمدًا فَ ْليَتَبَ اوا َم ْق‘َدَهُ ِمنَ النا‬ ‫علَ ا‬
َ

“janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah
menulis dariku selain al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang

6
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet. VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 75.
8

diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siap berdusta atas namaku dengan
sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Muslim)
Maka segala hadis yang diterima dari Rasulullah SAW oleh para sahabat
diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khwatir dengan
ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
b. Menulis hadis
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis
sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah dengan
menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan
kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka
dapat meriwayatkan al-Quran, hadis, dan syair dengan baik. Seakan mereka
membaca dari sebuah buku.7
DI balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri
di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan
melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan-catatannya,8 ialah:
1) Abdullah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga diberinya nama al-
sahifah al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-
orang Quraiys mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang
selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW. Mereka berkata:
“Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul padahal Rasul itu
manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini
disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan
mengatakan:
)‫ا ُ ْكتُبْ فَ َوالا ِذ ى نَ ْفسِى بِ َي ِد ِه َما َي ْخ ُر ُج ِم ْنهُ ا َ اَّل ْال َح ُّق (رواه البخارى‬
“Tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang
keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)
7
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), h. 35.
8
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet. VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 76.
9

Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatatnnya ini sekitar seribu hadis,


yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika
mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
2) Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78H). Ia memiliki catatan
hadis dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadis-hadisnya
kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan
Sahifah Jabir.
3) Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal
dengan Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada
anaknya bernama Hammam.
4) Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia
meminta kepada Rasul SAW dicatatatkan hadis yang disampaikannya
ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah
terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian
bersabda:
)‫ا ُ ْكتُب ُْو اِأل َ بِي شَاهَ (رواه البخارى‬

“Kalian tuliskan untuk Abu Syah”


Disamping nama-nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat
lainnya, yang juga mengakui memiliki catatan hadis dan dibenarkan
Rasul SAW. Seperti Rafi’ ibn Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi
Thalib, dan Ibn Mas’ud.
c. Mempertemukan dua hadis yang bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi kontradiksi,
seperti pada hadis dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadis dari
Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash, di pihak lain, yang masing-masing didukung oleh
hadis-hadis lainnya, mengundang perhatian para ulama untuk menemukan
10

penyelesaiannya. Di antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan


salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh, dan ada yang berusaha
mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).9

B. Hadis pada Masa Sahabat


Masa ini merupakan masa setelah Nabi wafat, pada masa ini para sahabat tidak
lagi dapat mendengar sabda Nabi Muhammad SAW, serta menyaksikan perbuatan-
perbuatan Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi,
sehingga informasi hadis hanya bisa diketahui melalui informasi sahabat.10
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa
membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya beliau meninggalkan dua pegangan dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-
Qur’an dan Hadits (sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan
umat.11
Setelah Nabi saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan
sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu
Bakar as-Shiddiq (wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab
(wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib
(wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-
khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar.12
Memasuki periode sahabat ini, yang dihadapi oleh umat islam persoalan orang
orang murtad dan pertikaian politik. Para sahabat, utamanya Khulafaur Rasyidin tidak
menyukai banyak periwayatan dari Rasul, takut terjadi kebohongan atas nama Rasul
dan pembelokan perhatian orang islam dari Al-Qur’an kepada al-hadist. Oleh karena

9
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet. VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 77-78.
10
Luthfi Maulana. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadis (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga
berbasis Digital)”. (Esensia. Vol. 17 No. 1, Pekalongan, 2016). h. 113.
11
M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka setia, 2011), h. 34.
12
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-kaedah Keshahehan Sanad Hadits (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h. 41.
11

itu dengan pertimbangan yang matang Abu Bakar as- Shiddiq memilih
mengurungkan niatnya untuk membukukan Hadits.

1. Menjaga pesan Rasul SAW


Pada masa menjelang akhir kerasulannya Rasul Saw berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada al-Quran dan Hadis serta mengajarkannya
kepada orang orang lain, sebagaimana sabdanya:
)‫سناةَ نَ ِب ِي ِه (رواه ما لك‬ ‫َاب ا‬
ُ ‫َّللاِ َو‬ َ ‫س ْكت ُ ْم ِب ِه َما ِكت‬ ُّ
‫َضشُّل َما ت َ َم ا‬ ‫ت ََر ْكتً فِ ْي ُك ْم ا َ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah
berpegang kepada keduanya,yaitu kitab Allah (al-Quran) dan Sunnahku (al-
Hadis)”. (HR. Malik)
Pesan-pesan Rasul SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para
sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semta-mata untuk melaksanakan
dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW
dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.13

2. Berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadis


Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha
memelihara dan menyebarkan al-Quran. Ini terlihat bagaimana al-Quran
dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan
ini diulangi juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf
Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamakan mushaf al-Imam, dan yang
empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap
memusatkan perhatian terhadap al-Quran tidak berarti mereka lalai dan tidak
menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang
diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam
meriwayatkannya mereka sangat berhai-hati dan membatasi diri.

13
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet-VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 79-80.
12

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para


sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal
mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-Quran, yang harus
terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Quran. Oleh karenanya, para sahabat
khususnya khulafa’ al-rasyidin dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas
dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
Perlu pula dijelaskan di sini, bahwa pada masa ini belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-Quran. Hal ini
disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhusuan mereka (umat
Islam) dalam mempelajari al-Quran. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasul SAW sudah tersebar-sebar ke berbagai daerah
kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina
masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan
mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadis,
dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya.14

3. Periwayatan hadis dengan lafaz dan makna


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh
para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis Rasul tidak
diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya
yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam
permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah
diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW,15
yaitu:

14
Munzier Suparta, Ulumul Hadis (Cet. VII, Jakarta: Rajawali pers, 2011), h. 80-81.
15
Ibid., h. 83-85.
13

a. Periwayatan lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau
matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa
dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini.
Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi Rasul
SAW bukan menurut redaksi mereka. Di antara para sahabat yang paling
keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu
Umar.
b. Periwayatan maknawi
Di anatara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam
keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul
SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi
artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang
didenganya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga
secara utuh, sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul SAW tanpa ada
perubahan sedikitpun. Meskipun demikian, para sahabat melakukannya
dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan
hadis istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan
penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul SAW hakadza (Rasul
SAW telah bersabda begini), atau nahwan atau qala Rasul SAW qariban
min hadza.
Tercatat pada masa sahabat ini ada 6 (enam) orang diantara para sahabat
yang tergolong banyak meriwayatkan Hadits diantaranya:16
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 hadits.
2. Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635.
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits.

16
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), h. 49.
14

4. Aisyah Ummi al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadits.


5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.560 buah hadits.
6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits.

C. Hadis pada Masa Tabi’in


Pada periode ini dikenal dengan Masa Pengkodifikasian Hadits (al-Jam’u wa
at-tadwin).17 Pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf oleh
para sahabat Khulafaur Rasyidin sehingga para Tabi’in berbondong-bondong belajar
Al-Qur’an dan Hadits pada mereka..
Pada masa ini, terdapat banyak perbedaan bila dibanding masa sebelumnya.
Ilmu hadis pada abad ini sudah mulai digunakan dengan maksimal, sekalipun dalam
batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna.
Selain itu, kondisi masyarakat juga mengalami perubahan, khususnya yang terkait
dengan periwayatan hadis. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal berikut:18
1. Bila zaman sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan
sudah mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya para perawi hadis
dari kalangan sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap di
luar hingga kawin dan berketurunan disana. Masyarakat di luae jazirah
arabiyah tidak memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab. Lambat
laun generasi yang muncul tidak mampu memaksimalkan daya hafalnya.
Selain itu kemampuan menulis sudah mereka miliki, sehingga oleh sebagian
masyarakat menulis dirasa lebih praktis daripada menghafal.
2. Sanad hadis sudah mulai memanjang dan bercabang. Hal itu disebabkan juga
oleh berpencarnya para perawi hadis ke daerah-daerah yang berjauhan,
sehingga untuk mendapatkan sebuah hadis harus melalui periwayatan
beberapa perawi yang sekali lagi hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang
yang pada gilirannya berdampak pada kualitas hadis.

17
Ibid., h. 25
18
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis (Cet. I, Malang: UIN Malang, 2008), h. 25.
15

3. Banyak sekte yang bermunculan. Bermunculannya banyak sekte dan aliran


yang menyimpang dari jalur yang dianut oleh para sahabat berdampak pada
keotentikan hadis. Munculnya hadis-hadis palsu sebagiannya juga disebabkan
oleh faktor ini. Ada sekte khawarij, mu’tazilah, jabariyah dan lain sebagainya.
kondisi yang memprihatinkan ini, berdampak positif pada bangkitnya para
ulama hadis untuk membentengi al-sunnah. Beberapa inisiatif yang dilakukan oleh
para ulama pada saat itu diantaranya:19
1. kodifikasi hadis secara resmi. Agar hadis tetap terjaga dari berbagai bentuk
pemalsuaan dan agar tidak hilang, maka dilakukan usaha pembukuan. Inisiatif
ini muncul dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang saat itu merasa prihatin
dengan wafatnya para penghafal hadis sedangkan hadis belum semuanya
tertulis.
2. Al-jarh wa ta’dil diberlakukan untuk menyeleksi hadis. Kualitas hafalan yang
mulai melemah ditambah lagi dengan legitimasi paham mereka
membangkitkan para ulama untuk lebih waspada dalam menerima hadis. Dari
situlah krmudian diberlakukan al-jarh wa ta’dil sebagai alat untuk mendeteksi
kualitas perawi dan sekaligus untuk memfilter hadis-hadis yang bermasalah.
3. Merumuskan kaidah-kaidah dan kriteria penerimaan hadis. Para perawi yang
tidak dikenal kepribadiannya dan tidak tergolong dalam kategori perawi yang
berkompeten dalam masalah hadis maka hadis mereka tidak diterima.

19
Ibid.,h. 26-27.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah hadis pra kodifikasi ini terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih
mudah memahaminya, kami akan meringkasnya menjadi uraian berikut ini:
1. Dalam periode Nabi Muhammad SAW, beliau dalam menyampaikan hadis
diberbagai tempat diantaranya di berbagai majlis-majlis, masjid, rumah beliau,
pasar (ketika dalam perjalanan), ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka.
Pada waktu itu penulisan hadis masih sangat terbatas disamping Rasul SAW
sendiri juga melarangnya. Ketika itu para sahabat masih mengandalkan
hafalan, namun ada juga yang menulisnya akan tetapi diperuntukan untuk
dirinya sendiri dan tidak untuk disebarkan kepada orang lain.
2. Dalam priode sahabat, belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun
hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-Quran. Hal ini disebabkan agar
tidak memalingkan perhatian atau kekhusuan mereka (umat Islam) dalam
mempelajari al-Quran. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak
menerima hadis dari Rasul SAW sudah tersebar-sebar ke berbagai daerah
kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina
masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan
mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal
membukukan hadis, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan
pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya.
3. Pada periode tabi’in juga belum dilakukan pembukuan dan penulisan secara
resmi. Penulisan hadis secara resmi baru dilakukan pada generasi tabi ‘-tabi’in
(abad ke-2 H) walaupun pada akhir abad ke-1 H instruksi penghimpunan
hadis sudah di instruksikan oleh Khalifah Umar bi Abdul Aziz.

16
17

B. Kritik dan Saran


Kami sebagai penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di
dalam makalah ini. Oleh sebab itu harapan kami dari teman-teman sekalian serta
bapak ibu dosen pembimbing dapat memberikan masukan-masukan kepada kami
selaku penyusun untuk perbaikan makalah ini kearah yang lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ali AL-Shobuni, Muhammad. 2003. Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an. Madinah: Daru


Al-Shobuni.

Idri. 2013. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.

Ismail, M. Syuhudi. 1995. Kaedah-kaedah Keshahehan Sanad Hadit. 1995. Jakarta:


Bulan Bintang.

Khon, Abdul Majid Khon. 2011. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Maulana, Luthfi.2016. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadis (Dari Tradisi


Lisan/Tulisan Hingga berbasis Digital)”. dalam Esensia pusat Jurnal IAIN
Pekalongan Volume 17 (hlm. 111-123)

Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadis. Malang: UIN Malang.

Suparta , Munzier. 2011. Ulumul Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.

Solahudin , M.Agus dan Agus Suyadi. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia.

Vbnn un
u

18

Anda mungkin juga menyukai