Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH JURNAL READING

“PRESUMED CASES OF MUMPS IN PREGNANCY: CLINICAL AND


INFECTION CONTROL IMPLICATIONS”
TOPIK INFEKSI DAN PENYAKIT TROPIS DALAM KEHAMILAN

Dosen Pembimbing: Miftahul Jannah, SST, M.Keb

Disusun Oleh:
Latifa Irma Damayanti 175070600111005
Nurul Sabillah Prihartini Amin 175070600111030

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang mana
telah senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyusun makalah jurnal reading ini dengan lancar. Adapun judul dari
makalah jurnal reading ini ialah “Presumed Cases of Mumps in Pregnancy:
Clinical and Infection Control Implications”
Tujuan kami menyusun makalah jurnal reading ini untuk menambah
pengetahuan kami dan membagikannya kepada teman-teman kami mengenai
Mumps dalam kehamilan. Sebagai bidan pada masa depan nanti diharapkan
mampu memahami penyakit mumps dalam kehamilan ini sendiri dan bagaimana
penjelasan mengenai cara mendiagnosis.
Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah
jurnal reading ini. Diharapkan peran para pembaca untuk memberi kritik dan
saran sehingga kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi di lain waktu. Tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kami
dalam penyusunan makalah jurnal reading ini termasuk dosen pembimbing kami.

Malang, 08 februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I RESENSI JURNAL UTAMA ..................................................................... 1
1.1. Pendahuluan ................................................................................................... 1
1.2. Kasus .............................................................................................................. 3
1.3.Diskusi ............................................................................................................. 5
BAB II RESENSI JURNAL PEMBANDING ..................................................... 10
2.1. Pendahuluan ................................................................................................. 10
2.2. Riwayat Kasus .............................................................................................. 10
2.3. Diskusi .......................................................................................................... 13
2.4. Kesimpulan ................................................................................................... 14
BAB III DISKUSI .................................................................................................. 15
3.1. Persamaan Kedua Jurnal ............................................................................. 15
3.2. Perbedaan Kedua Jurnal ............................................................................... 15
3.3. Kesimpulan ................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 17

iii
BAB I
RESENSI JURNAL UTAMA

Judul : Presumed Cases of Mumps in Pregnancy: Clinical and


Infection Control Implications
Author : Svjetlana Lozo, Ahmed Ahmed, Edward Chapnick, Mary
O’Keefe, 3.n Howard Minkoff
Tahun : 2011

1.1. Pendahuluan
Mumps atau gondong adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
paramyxovirus RNA. Manusia adalah satu-satunya host alami virus ini.
Penyebarannya melalui kontak dengan droplet pernapasan. Mumps biasanya dapat
menular selama dua hari sebelum terjadinya pembengkakan kelenjar hingga lima
hari setelah munculnya pembengkakan. Penyakit ini cenderung dimulai dengan
gejala yang non-spesifik, seperti:

 Myalgia (nyeri otot)


 Sakit kepala
 Anoreksia (kehilangan nafsu makan)
 Malaise
 Demam tinggi

Pembesaran atau pembengkakan kelenjar parotis unilateral atau bilateral


cenderung muncul 24 jam setelah gejala awal. Pembengkakan unilateral artinya
pembengkakan hanya terjadi pada salah satu kelenjar parotis, sementara
pembengkakan bilateral artinya pembengkakan terjadi pada kedua kelenjar
parotis. Parotitis akut hanya terjadi pada sekitar 30 – 40% kasus, 15 – 20% infeksi
yang terjadi tanpa disertai gejala, dan 50% infeksi dikaitkan dengan gejala
pernapasan primer atau tidak spesifik. Infeksi mumps tanpa gejala lebih umum
terjadi pada orang dewasa daripada pada anak-anak.

1
Meskipun penyakit ini umumnya ringan dan dapat sembuh sendiri,
komplikasi dapat terjadi. Vaksinasi telah menjadi kunci pencegahan komplikasi
tersebut. Komplikasi yang dapat terjadi, seperti:

 Meningitis aseptik. 10% berkembang menjadi meningitis aseptik.


Meningitis aseptik sering disebabkan oleh virus. Meningitis virus
dapat terjadi jika virus mumps menyebar ke lapisan pelindung luar
otak (meninges). Hal ini terjadi pada sekitar 1 dari 7 kasus
mumps.Tidak seperti meningitis bakteri yang dianggap sebagai
kedaruratan medis yang berpotensi mengancam jiwa, meningitis virus
menyebabkan gejala yang lebih ringan, seperti flu, dan risiko
komplikasi yang serius lebih rendah. Sensitivitas terhadap cahaya,
kekakuan leher, dan sakit kepala adalah gejala umum meningitis virus.
Gejala ini biasanya berlalu dalam 14 hari (NHS, 2018).
 Ensefalitis. Ensefalitis merupakan komplikasi mumps berupa infeksi
otak. Meskipun jarang terjadi, namun ensefalitis memiliki potensi
yang serius. Ensefalitis diperkirakan terjadi pada sekitar 1 dari 1.000
orang yang mengalami meningitis virus akibat mumps. Ensefalitis
merupakan kondisi yang berpotensi fatal yang memerlukan perawatan
intensif rumah sakit (NHS, 2018).
 Tuli permanen. Sekitar 1 dari 20 orang dengan mumps mengalami
beberapa gangguan pendengaran sementara, tetapi kehilangan
pendengaran secara permanen jarang terjadi. Diperkirakan hal ini
terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 kasus mumps (NHS, 2018).
 Orkitis. Orkitis adalah komplikasi mumps yang umum terjadi pada
pria pasca-pubertas, mempengaruhi sekitar 20% -30% kasus. Orkitis
biasanya terjadi 1-2 minggu setelah parotitis. Testis yang mengalami
orkitis, menunjukkan atrofi testis. Dalam beberapa hari pertama
infeksi virus menyerang kelenjar testis, menyebabkan peradangan
parenkim. Selain itu, orkitis dapat menyebabakan kadar testosteron
rendah. Orkitis mumps jarang menyebabkan sterilitas, tetapi dapat
berkontribusi pada subfertilitas. Hal ini juga dapat menyebabkan

2
oligospermia, azoospermia, dan asthenospermia (cacat pada
pergerakan sperma) (Masarani, et al. 2006).
 Pankreatitis. Sekitar 10% dari kasus pankreatitis disebabkan oleh
faktor lain-lain, seperti infeksi oleh parasit, bakteri, dan virus. Salah
satunya virus mumps.

Beberapa dekade terakhir, terjadi wabah mumps di New York dan New
Jersey, Amerika Serikat. Pasien yang menjadi penunjuk dalam kasus tersebut
adalah anak laki-laki berusia 11 tahun yang melakukan perjalanan ke Inggris, di
mana terjadi lebih dari 7.000 kasus mumps sejak 2004. Sekembalinya ke Amerika
Serikat, pasien tersebut mengikuti kamping musim panas di New York. Mulai 28
Juni 2009 – 29 Januari 2010, sebanyak 1.521 kasus mumps dilaporkan di New
York dan New Jersey. Tujuh kasus terjadi pada wanita hamil.

1.2 Kasus
Terdapat 40 kasus mumps dikonfirmasi di Pusat Medis Maimonides. Tujuh
di antaranya adalah wanita periode antepartum, intrapartum, atau postpartum.
Seseorang termasuk menderita mumps jika mengalami permulaan akut dengan
timbulnya pembengkakan yang terasa lembut baik itu unilateral maupun bilateral,
sembuh sendiri, dan pembengkakan kelenjar parotid atau kelenjar ludah lainnya
yang berlangsung dua hari atau lebih tanpa sebab yang jelas. Selain itu, semua
wanita yang berkunjung ke pelayanan obstetri selama wabah juga ditanyakan
seputar paparan mumps baru-baru ini. Kegagalan serostatus untuk mencerminkan
status kekebalan tubuh, dan tingkat kegagalan vaksin (vide infra) menjadi dasar
dilakukannya strategi ini. Semua pasien diberi tindakan pencegahan penularan
droplet. Dua pasien di antara ketujuh pasien hamil berasal dari ruang gawat
darurat (UGD). Profil ketujuh pasien disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 1.1 Profil Pasien


No. Usia UK Alasan Waktu Sumber Tindak- Uji
Pasi- Pasien (ming- Kunjung- diagnosis Infeksi an Sero-
en (tahun) gu) an mumps logi
1 31 35 Persalinan Beberapa Putra Induksi Tidak

3
dengan minggu pasien Cervi- dila-
Ketuban sebelum- dil kukan
Pecah nya
Spontan
2 45 39 Persalinan 3 hari Tidak SC IgG
pasca ada (2,37)
persali- kontak IgM (-
nan dengan )
pende-
rita
mumps
3 38 41 Persalinan 3 hari - - Tidak
aktif sebelum dila-
persali- kukan
nan
4 37 - Persalinan 2 hari Putra - IgG
aktif pasca pasien (2,27)
persali- IgM (-
nan )
5 29 37 + 5 Persalinan - - Diberi IgG
hari dengan Mg dan (2,43)
pre- Induksi IgM (-
eklampsia Cervi- )
dil
6 24 32 ISPA - - - IgG
(1,13)
IgM (-
)
7 22 10 Mual 1 Ming- - Hidrasi Tidak
muntah gu IV dan dila-
sebelum- ondan- kukan
nya setron

4
Sementara itu, tenaga kesehatan penyedia layanan yang telah melakukan
kontak dengan pasien, status imunisasi mereka dipertanyakan. Jika mereka belum
mendapatkan dua imunisasi MMR sebelumnya, dilakukan pendokumentasian
riwayat mumps atau bukti serologis imunitas mereka (pengujian IgG mumps
dilakukan). Jika pada pemeriksaan serologi hasilnya negatif, mereka pun
memasuki masa inkubasi, dari hari ke 12 hingga 25 setelah terpapar.

1.3 Diskusi
Selama periode wabah, New York City Department of Health and Mental
Hygiene merekomendasikan agar pasien diskrining untuk gejala mumps dan untuk
riwayat paparan baru-baru ini. Hal ini penting untuk mencegah penularan mumps
ke pasien dan staff di rumah sakit. Semua kasus didiagnosis berdasarkan pada
presentasi klinis, terlepas dari kadar IgG atau IgM. Ibu nifas yang diduga
menderita mumps disarankan untuk memakai masker dalam jarak 3 – 6 kaki dari
bayi mereka.
Bagian dari kesulitan dalam mengelola kasus-kasus ini adalah kesadaran
bahwa penilaian status vaksinasi dan serostatus adalah prediktor yang tidak tepat
untuk status kekebalan tubuh seseorang. Rekomendasi imunisasi mumps saat ini
adalah untuk dosis pertama vaksin Mumps, Measles, Rubella (MMR) pada usia
12 – 15 bulan dan dosis kedua antara usia empat dan enam tahun. Seorang anak
dianggap memiliki kekebalan yang memadai ketika telah didokumentasikan
administrasi dua dosis vaksin virus hidup atau bukti laboratorium kekebalan
terhadap penyakit. Efektivitas vaksin mumps diperkirakan 73-91% setelah dosis
pertama vaksin, dan 76-95% setelah dua dosis vaksin. Namun, Dengan adanya
wabah mumps baru-baru ini pada seseorang yang memiliki vaksin lengkap
menunjukkan potensi kegagalan vaksin untuk memberi perlindungan dari
penyakit. Data juga menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan penggunaan tes
serologis untuk mendiagnosis mumps. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana cara menafsirkan tes tersebut pada pengaturan presentasi klinis
yang cocok dengan mumps.

5
Ornoy melaporkan bahwa infeksi mumps pada kehamilan meningkatkan
risiko embrionik dan kematian janin serta aborsi spontan, tetapi tampaknya tidak
memiliki hubungan dengan anomali kongenital janin. Namun, populasi pasien
yang ditinjau sangat luar biasa kecil. Dalam penelitian lain dari lima wanita
sukarelawan yang dijadwalkan untuk melakukan aborsi terapi trimester kedua,
dan yang diimunisasi oleh strain Jeryl-Lynn dari virus mumps yang dilemahkan 7
– 10 hari sebelum aborsi yang dijadwalkan, virus mumps terdeteksi di 2/5
plasenta tetapi tidak ada di janin. Namun, ada kemungkinan interval antara
imunisasi dan aborsi terlalu pendek untuk memungkinkan terjadinya replikasi
virus pada organ janin. Jones et al. membahas masalah infeksi mumps pada
periode perinatal pada 1980. Tiga wanita dengan gejala mumps selama persalinan,
dengan tiga outcome janin yang berbeda, dilaporkan:

 Satu bayi mengalami pembengkakan di daerah parotis dan tes positif


mumps pada usia 42 hari.
 Bayi kedua berkembang pneumonia pada hari ke 7 dan harus dirawat
di rumah sakit dan diintubasi. Bayi itu kemudian mengalami
komplikasi saluran pernapasan atas pada tahun pertama kehidupannya.
 Bayi ketiga tidak memiliki bukti mumps dan gejala tidak pernah
berkembang. Dalam ketiga kasus ini, bayi mencapai perkembangan
normal dan tidak memiliki komplikasi lebih lanjut.

Komplikasi infeksi mumps yang lebih serius termasuk meningitis aseptik


(terjadi tanpa gejala pada 50 – 60% kasus), meningitis simtomatik (hingga 15%),
ensefalitis (kurang dari 2 per 100.000), miokarditis (3 – 15%), pankreatitis (2 –
5%), tuli (1 dalam 20.000), dan radang ovarium (hingga 5%), radang sendi, dan
nefritis, yang kurang umum, dan rata-rata satu kematian per tahun dari mumps
dari tahun 1980 – 1999. Terdapat kasus primigravida dengan rupture membran
dan gagal ginjal akut dengan diagnosis klinis mumps. Pasien dikelola dengan
persalinan segera secara SC dan diberikan steroid intra vena juga diuretik untuk
penatalaksanaan dugaan mumps nefritis. Pasien sembuh, tetapi neonatus
meninggal setelah dilahirkan, dan tidak ada investigasi yang dilakukan untuk
menentukan apakah neonatus memiliki mumps.

6
Haas et al. pada tahun 2005 menemukan bahwa program vaksin dan
skrining saat ini membuat wanita hamil rentan terhadap campak, mumps, dan
rubella dan dapat disimpulkan bahwa diperlukan program skrining viral yang
lebih komprehensif untuk memastikan kekebalan dan vaksinasi yang memadai,
serta untuk membangun perawatan yang lebih baik pada periode prenatal. Dalam
studi mereka, 16,3% dari perempuan rentan terhadap infeksi mumps, dan
sepertiga perempuan ditemukan kurang kekebalan terhadap rubella, rubeola, atau
mumps. Coonrod et al. telah menyarankan bahwa imunisasi menjadi bagian dari
perawatan prakonsepsi. Vaksin hepatitis B dan MMR sudah direkomendasikan
sebagai bagian dari perawatan prakonsepsi, karena efektif dalam mencegah
penyakit pada ibu dan penularan secara vertikal.
Infeksi mumps dapat didiagnosis dengan isolasi virus mumps atau asam
nukleat dari spesimen klinis, dengan mengamati peningkatan titer imunoglobulin
spesifik mumps antara sampel serum akut dan konvalesen atau dengan tes
serologis positif untuk IgM mumps dalam serum atau saliva. IgM spesifik mumps
dapat dideteksi pada hari ke-11 setelah paparan dan biasanya ditemukan pada saat
berkembangnya penyakit klinis. Level IgG memberikan bukti paparan
sebelumnya tetapi tidak berkorelasi baik dengan kekebalan. Saat ini, gold standar
untuk diagnosis mumps adalah kultur virus. Namun, tes itu tidak tersedia untuk
penggunaan klinis.
Selain kesulitan dalam melakukan diagnosis mumps, masalah lain yang
timbul dalam kasus ini adalah kebutuhan untuk mengatasi sifat menular penyakit
dan kerentanan pasien serta staf lainnya terhadap paparan dari pasien mumps yang
berpotensi menular. Berdasarkan pedoman CDC, disarankan untuk menempatkan
pasien yang dicurigai terinfeksi mumps pada tindakan pencegahan droplet.
Pencegahan droplet mengelola pasien yang memiliki gejala infeksi mumps dan
yang memiliki antibodi IgG. Seperti disebutkan di atas, vaksinnya tidak sempurna
(76 – 95% efektif), dan level IgG yang bersirkulasi bukanlah penanda kekebalan
yang memadai. IgM juga tidak dapat diandalkan. Hal itu karena mungkin saja
menjadi puncak IgM sementara pada adanya IgG, sehingga tidak adanya IgM
tidak menghalangi adanya infeksi akut. Karena ketidakpastian ini, pasien yang
terduga mumps dapat mengganggu para staf kesehatan. Pekerja kesehatan dengan

7
riwayat vaksinasi atau bukti antibodi IgG terhadap mumps dianggap sudah kebal.
Namun, beberapa orang dapat memiliki IgG negatif bahkan setelah vaksinasi, dan
karena bukti status vaksinasi mumps bukan merupakan kondisi kerja, banyak
dokter dan perawat tidak mengetahui status mereka. Di antara staf tanpa bukti
imunitas/kekebalan serologis, bukti sudah menerima dua vaksin MMR, atau
rekam medis infeksi mumps sebelumnya ditetapkan sebagai bukti imunitas.
Petugas kesehatan tanpa riwayat atau dokumen tersebut dipindahkan dari tempat
kerjanya menjalani periode inkubasi selama 12 – 25 hari setelah paparan. Selama
periode singkat, IgG positif tidak dipertimbangkan sebagai bukti kekebalan.
Ketika mumps menjadi endemik dalam suatu komunitas, pasien hamil yang
mengunjungi rumah sakit atau klinik harus secara rutin dianamnesis mengenai
paparan dan gejala mumps. Jika dicurigai terinfeksi, maka pasien harus segera di
isolasi dan dilakukan tindakan pencegahan droplet. Disarankan agar diagnosis
mumps didasarkan pada manifestasi klinis, terutama parotitis. Disebutkan pula
bahwa pasien yang telah diimunisasi dengan vaksin mumps masih dapat terinfeksi
mumps, dan diagnosis tidak boleh dikesampingkan berdasarkan IgM negatif.
Rekomendasi yang dibuat New York City Department of Health and Mental
Hygiene, dan yang mana sekarang dilaksanakan akan berguna pada layanan
obstetrik yang menghadapi keadaan serupa adalah sebagai berikut:
 Pasien yang datang dengan parotitis, nyeri rahang, demam, atau orkitis
harus diisolasi selama lima hari, dan serologi mumps harus dikirim
kecuali terdapat penyebab pasti lain dari parotitis.
 Pasien yang mungkin kontak dengan virus mumps harus diisolasi dari
pekerjaan atau sekolah selama 25 hari setelah paparan atau sampai
mereka divaksinasi.
 Petugas layanan kesehatan harus diberi masker saat bekerja dengan
pasien yang terduga mumps. Petugas kesehatan yang terpapar tidak
pernah divaksinasi atau yang tidak memiliki bukti kekebalan mumps
harus tetap di rumah dari hari ke 12 – 25 setelah terpapar, bahkan jika
mereka menerima vaksin dosis pertama setelah terpapar. Pekerja yang
memiliki riwayat penerimaan satu dosis vaksin dapat terus bekerja,
tetapi harus mendapatkan dosis kedua dari vaksin MMR, 28 hari

8
setelah yang pertama. Petugas kesehatan dengan bukti
imunitas/kekebalan serologis dapat melanjutkan pekerjaan sehari-hari
meskipun mereka terpapar virus.

Rekomendasi ini menyerukan agar tes diagnostik digunakan secara rutin


pada situasi non-epidemi. Namun, pada situasi epidemi, seperti pada kasus, tes
tersebut memiliki keterbatasan, termasuk waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil tes. Jadi, keputusan mengenai pengendalian infeksi di rumah
sakit mungkin harus sering dilakukan sebelum hasil tes tersedia.

9
BAB II
RESENSI JURNAL PEMBANDING

Judul : Maternal and Perinatal outcome in Mumps complicating


pregnancy
Author : Papa Dasari
Tahun : 2009

2.1. Pendahuluan
Mumps adalah salah satu penyakit virus akut menular dan biasanya dicegah
terutama dengan vaksinasi pada anak-anak, remaja, dan wanita dari kelompok
usia reproduksi menggunakan live attenuated virus. Insiden infeksi mumps selama
kehamilan dilaporkan antara 0,8 – 10 kasus per 10.000 kehamilan. Infeksi mumps
selama kehamilan dilaporkan menghasilkan peningkatan insiden aborsi trimester
pertama. Literatur tentang outcome mumps yang diperoleh selama periode
perinatal tidak cukup. Namun, artikel ulasan terbaru oleh Ornoy dan Tenenbaum
mengungkapkan kematian janin dan mumps neonatal. Outcome dari kasus mumps
yang jarang terjadi, seperti gagal ginjal akut dengan ketuban pecah dini aterm
dilaporkan di sini.

2.2. Riwayat Kasus


Seorang wanita primigravida berusia 21 tahun dengan usia kehamilan 38
minggu dirujuk dengan diagnosis sementara berupa ketuban pecah dini (PROM)
dengan sepsis dan gagal ginjal akut. Data pasien yang diperoleh diuraikan sebagai
berikut:

2.2.1. Anamnesis
 Riwayat demam 5 hari yang lalu dan berlangsung selama 4 hari
 Timbul pembengkakan pada bagian bawah wajah dan bagian
atas leher satu hari pasca demam. Pembengkakan dimulai pada
sisi kanan.
 Riwayat batuk berdahak selama 4 hari dan adanya leaking
(kebocoran amnion) per vaginum durasi 18 jam.

10
 Output urin menurun selama 4 hari terakhir.
 Telah menerima injeksi Hidrokortison 100 mg secara intravena
pada saat rujukan di beberapa rumah sakit lain.

2.2.2. Pemeriksaan Penunjang


 Hemogram dilakukan sehari sebelum perujukan dengan hasil
yang menunjukkan kadar hemoglobin sebanyak 10 gram% dan
leukosit sebanyak 11.800/mm3 dengan 64% neutrofil.
 Gula darah dan Elektrolit serum dalam batas normal.
 Nitrogen urea darah berjumlah 106 mg% dan kreatinin serum
berjumlah 3,2 mg%.
 Hasil pemeriksaan evaluasi fetal:
o Janin hidup tunggal
o Tidak ada anomali kongenital
o Biometri sesuai usia 37 minggu kehamilan
o Indeks cairan ketuban 8 cm
o Perkiraan berat janin 2.800 gram
o Plasenta menunjukkan grade iii dengan posisi fundal
anterior
o Tes non-stres reaktif pada hari yang sama.

2.2.3. Pemeriksaan Umum


 Wanita tersebut menderita tachypnoeic afebris dengan laju
pernapasan 40/menit.
 Denyut nadinya 120 bpm regular
 Tekanan darah 110/70 mmHg
 Tiroid normal
 Terdapat pembengkakan lunak yang teraba lembut pada kelenjar
parotid bilateral yang memanjang di bagian submental.
 Pada pemeriksaan sistem pernapasan, didapatkan suara krepitasi
yang kasar di atas infraskapular kanan.
 Hasil pemeriksaan obstetrik:
o Janin tunggal presentasi cephalic

11
o Denyut jantung janin 132/menit
o Terdapat cairan meconium yang kental keluar secara per
vaginam
o Serviks lunak, central, serta mengalami partially effaced
dengan dilatasi sepanjang 2 cm, serta tidak terdapat
membran.
o Panggul bertipe gynaecoid.

Diagnosis dokter, yaitu parotitis bilateral dan pneumonia. Wanita tersebut


diberi injeksi antibiotic Ceftriaxone dan Metronidazole serta diberikan fluid
challenge. Fluid challenge merupakan salah satu manajemen cairan pada pasien.
Prinsipnya yakni dengan memberikan sejumlah kecil cairan dalam waktu singkat,
kemudian dinilai apakah pasien memiliki cadangan preload yang dapat digunakan
untuk meningkatkan stroke volume dengan cairan lebih lanjut (Cecconi et al,
2011). Outputnya hanya 10 ml selama 4 jam. NST (Non-Stress Test) saat ini tidak
reaktif yang menandakan janin kekurangan oksigen atau ada masalah pada
plasentanya. Nitrogen urea darah berjumlah 120 mg% dan Creatinine berjumlah
4,2 mg%. ABG (Acid Base Disorder) menunjukkan terjadinya asidosis metabolik
yang kemudian ditangani dengan pemberian injeksi obat diuretik Furosemide 40
mg intravena bersamaan dengan monitoring CVP (Central Venous Pressure).
Wanita tersebut melahirkan dengan cara LSCS (Lower Segment Caesarean
Section) dengan anestesi spinal setelah hampir 12 jam, karena tidak tersedianya
kamar operasi yang siap menangani kasus yang berpotensi menular. Neonatus
dalam keadaan asphyxia berat dengan skor Apgar 2/10, namun 5 menit kemudian
keadaan berakhir dengan sindrom aspirasi meconium.
Output urin pasien meningkat setelah pemberian obat diuretik dan 100 –
150 ml/jam pada periode pasca operasi. Pasien dirawat dengan obat diuretik dan
tablet prednisolon 0,5 mg/kg berat badan selama 2 minggu. Profil ginjal pasien
ditampilkan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1.1 Parameter Ginjal

12
USG yang dilakukan pada hari ke-4 pasca operasi menunjukkan
peningkatan ringan Renal Cortical Echoes yang menunjukkan bahwa penyakit
yang paling mungkin terjadi adalah parenchymal bilateral yang diakibatkan dari
nefritis post-mumps. Semua organ perut lainnya termasuk pankreas tampak
normal. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 pasca kelahiran dengan saran untuk
melanjutkan konsumsi obat diuretik selama 2 minggu kedepan.

2.3. Diskusi
Komplikasi mumps yang serius lebih sering terjadi pada orang dewasa
daripada anak-anak. Penyakit ini biasanya disertai dengan demam, mialgia, dan
pembengkakan yang teraba lembut, serta nyeri pada satu atau lebih dari kelenjar
ludah, biasanya kelenjar parotis. Pada kasus ini, pasien mengalami demam dan
pembengkakan kelenjar parotis sisi kanan pada awalnya. Sekitar seperlima hingga
sepertiga orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala. Pada wanita, mumps dapat
menyebabkan aseptik meningitis, mastitis, tiroiditis, glomerulonefritis,
miokarditis, pankreatitis, dan radang sendi. Pada kasus ini, pasien mengalami
nefritis yang menyebabkan gagal ginjal akut. Nefritis mumps bisa berakibat fatal
seperti yang dilaporkan dalam kasus seorang gadis berusia 14 tahun di mana

13
ginjal insufisiensi berkembang dalam satu minggu setelah parotitis dan biopsi
ginjal postmorteum mengungkapkan nefritis interstitia. Nefritis akut biasanya
dipersulit oleh oliguria kegagalan ginjal dan reversibel dengan perawatan
kortikosteroid tepat waktu. Pasien ini menerima injeksi hidrokortison pada saat
rujukan dari luar dan sudah diuresis setelah pemberian diuretik. Kemudian kami
memberikan tablet Prednisolone. Nefritis mumps bisa karena glomerulonefritis
karena perkembangan kompleks imun dan mungkin juga karena nefritis
interstitial.
Kasus infeksi mumps bawaan yang mengakibatkan hipertensi paru persisten
dan perdarahan paru pada bayi baru lahir dilaporkan oleh Takahashi dan
koleganya. Mereka dapat menunjukkan antibodi IgM terhadap mumps dan RNA
mumps dalam darah tali pusat neonatus. Ibu itu tertular penyakit pada 4 minggu 5
hari sebelum persalinan dan neonatus selamat dengan pengobatan yang cepat.
Namun, pada kasus mumps lainnya, dilaporkan bahwa ibu mengalami parotitis
bilateral pada hari persalinan, neonatusnya menderita demam dan splenomegali
trombositopenia. Dalam kasus ini, neonatus meninggal segera setelah dilahirkan
dan tidak ada investigasi yang dilakukan untuk mendiagnosis gondok neonatal.
Pencegahan adalah yang paling penting dalam penyakit menular. Vaksin
mumps secara teoritis dikontraindikasikan selama kehamilan meskipun jika
vaksin tersebut diberikan, tidak ada indikasi untuk mengakhiri kehamilan.
Kematian 3 per 10.000 kasus dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir dan
karena itu masalah tersebut seharusnya bisa dicegah.

2.4 Kesimpulan
Kasus kami ini menggambarkan menularnya mumps selama periode
perinatal dapat menyebabkan kerugian bagi ibu dan outcome perinatal.
Penatalaksanaan cepat terhadap gagal ginjal akut selama periode peripartum dapat
menyelamatkan nyawa pasien dan kortikosteroid serta diuretik dapat membantu
dalam aspek ini.

14
BAB III
DISKUSI

3.1. Persamaan Kedua Jurnal


Persamaan dari kedua jurnal yang telah dibahas dapat dilihat dari beberapa
aspek yang dijelaskan sebagai berikut:
 Aspek Jenis. Jenis dari kedua jurnal tersebut sama, yakni clinical
study.
 Upaya Preventif. Kedua jurnal membahas mengenai upaya preventif
terhadap mumps, terutama mengenai vaksin.

3.2. Perbedaan Kedua Jurnal


Perbedaan dari kedua jurnal yang telah dibahas dapat dilihat dari beberapa
aspek yang dijelaskan sebagai berikut:
 Tempat. Penelitian pada jurnal utama dilakukan di New York dan
New Jersey, Amerika Serikat, sedangkan pada jurnal pembanding,
penelitian dilakukan di Puducherry, India.
 Jumlah Subjek. Pada jurnal utama, terdapat tujuh pasien sebagai
subjek, sedangkan jumlah subjek pada jurnal pembanding hanya satu
orang pasien. Pada jurnal utama, kasus yang terjadi bersifat
wabah/epidemik, sedangkan jurnal pembanding bersifat non-
epidemik.
 Uraian Kasus. Pada jurnal utama, beberapa hasil anamnesis,
pemeriksaan, dan penanganan disebutkan, namun tidak dijabarkan
secara terperinci, sedangkan pada jurnal pembanding, hal-hal tersebut
dijabarkan secara terperinci.
 Pedoman Manajemen. Pada jurnal utama, manajemen dalam
menangani kasus menggunakan pedoman dari New York City
Department of Health and Mental Hygiene, sedangkan pada jurnal
pembanding, hal tersebut tidak dicantumkan.

15
 Upaya Preventif. Pada jurnal utama, ditekankan pula upaya preventif
pada staff tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, sedangkan pada
jurnal pembanding, hal tersebut tidak dicantumkan.
 Diskusi. Pada jurnal utama, terdapat penekanan pada beberapa
tatalaksana, seperti perlunya skrining viral dan pengendalian infeksi,
sedangkan pada jurnal pembanding, tatalaksana yang cepat dalam
menghadapi kasus yang lebih ditekankan.

3.3. Kesimpulan
Infeksi mumps pada kehamilan dapat menyebabkan dampak buruk bagi
outcome ibu maupun janinnya. Oleh karena itu, upaya pencegahan terhadap
infeksi tersebut perlu digencarkan. Selain itu, diperlukan penanganan yang tepat
dan cepat terhadap ibu antepartum, intrapartum, maupun postpartum dengan kasus
mumps, sehingga berbagai komplikasi dapat dicegah. Pengetahuan dan
Keterampilan yang mumpuni dibutuhkan tenaga medis maupun tenaga kesehatan
agar tanggap dalam memberi penyuluhan maupun dalam menghadapi kasus
tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Cecconi, M., Parsons, AK., Rhodes, A. 2011. What is a Fluid Challenge?.


PubMed 17 (3): 290-5.
NHS. 2018. Complication Mumps. NHS (online)
(https://www.nhs.uk/conditions/mumps/complications/, diakses 3 Februari 2019
pukul 17.40)
Masarani, M., Wazait, H., dan Dinneen, M. 2006. Mumps Orchitis. Journal of the
Royal Society og Medicine (online)
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1633545/, diakses pada 7
Februari 2019 pukul 11.45)

17

Anda mungkin juga menyukai