Anda di halaman 1dari 9

Problematika Pendidikan Islam Kontemporer

BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki Era global seperti saat ini, saat dimana segala aspek kehidupan telah
merangkak menuju era industri, maka era seperti ini sangat menjanjikan kemajuan pesat di
segala bidang. Pernyataan tersebut akan terkabul apabila masyarakatnya sebagai makhluk
dinamis mampu memegang kendali sehingga kemajuan iptek dan industri terarah pada hal-hal
positif. Bukan justru menjadikannya boomerang yang dapat meruntuhkan keutuhan bangsa.
Intinya, menjadi masyarakat maju atau terbelakang adalah sebuah pilihan komunal. Pilihan yang
menuntut komitmen kuat untuk melaksanakan praktik pendidikan sesuai garis-garis hukum yang
benar.

Pendidikan sering didengung-dengungkan sebagai aset penting suatu bangsa yang setiap
tanggal 02 Mei bangsa Indonesia merayakannya sebagai hari Pendidikan Nasional. Dan pada
kenyataannya pendidikan memanglah salah satu alat ukur kualitas suatu bangsa sehingga sangat
penting menempatkan pendidikan di baris terdepan dalam hal peningkatan mutu. Negara-negara
maju di luar sana adalah mereka yang terdepan secara pendidikan. Washington DC Amerika
Serikat merupakan salah satu negara yang yang telah berhasil mempraktikkan pola pendidikan
yang baik dan terarah, sehingga di AS target pendidikan sangat mungkin dicapai optimal.
Sekarang tengoklah bumi pertiwi Indonesia, sudahkah bangsa ini bergerak maksimal untuk
mencapai cita-cita mulia pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa?

Sebenarnya menjawab pertanyaan di atas bukanlah perkara sulit, akan tetapi tulisan ini
akan mengurai secara terperinci mengenai problematika pendidikan Islam di era global. Ada
banyak hal yang menjadi permasalahan, diantaranya mal praktik pendidikan yang telah
merambah ke berbagai lini pendidikan ; problema kualitas dan kuantitas pedidikan, pembiayaan,
tenaga pendidik dan beberapa hal lain yang menghalangi target pencapaian ideal pendidikan
Nasional. Semua permasalahan dalam dunia pendidikan bukan merupakan permasalahan
sederhana yang cukup ditangani oleh sebagian kalangan. Akan tetapi, untuk menanggulangi
problem-problem kompleks pendidikan diperlukan adanya peran aktif dari semua elemen
pendidikan. Jika problem-problem itu telah tertangani maka bukan tidak mungkin Indonesiapun
akan menjadi negara bermutu tinggi sesuai cita-cita para pahlawan negeri ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Problema Kuantitas Pendidikan

Sebelum berbicara problem pendidikan lebih jauh, penting untuk terlebih dahulu dipaparkan
tujuan pendidikan Islam secara umum. Para tokoh pendidikan saling mengemukakan pendapat
mengenai tujuan pendidikan Islam, akan tetapi ada kesamaan yang mengarah pada satu definisi
yang dapat mewakili pendapat semua tokoh. Yakni, pendidikan Islam memiliki tujuan untuk
mecetak insan yang paripurna sehingga dapat senantiasa taqarrubbillah dan pada akhirnya akan
meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat1[1]. Dengan mengetahui tujuan pendidikan Islam
akan mempermudah menganalisis problema yang sering menghantam wajah pendidikan.

Problema kuantitas pendidikan adalah ketidakmampuan lembaga-lembaga pendidkian formal


menampung seluruh calon peserta didik.2[2] Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang
ingin diselesaikan dari problem ini adalah adanya pendidikan secara merata kepada seluruh
lapisan masyarakat. Sehingga mereka yang berada di daerah terpencil tidak tumbuh dewasa
dengan kondisi buta huruf secara total. Permasalahan ini telah ditangani sekalipun masih ada
prosentase rendah dari total masyarakat yang belum megenyam bangku pendidikan.

Adanya demokrasi pendidikan dan wajib belajar 9 tahun yang dinilai sukses membawa
perubahan menuntut konsekuensi logis yang harus dipenuhi oleh bangsa Indonesia. Seluruh
penduduk Indonesia harus menerima pendidikan secara merata yang berarti penyediaan lembaga-
lembaga pendidikan formal atau non formal harus pula merata ke dalam setiap lapisan
masyarakat.

B. Problema Kualitas Pendidikan

1[1] Aly Abdullah & Djamaluddin,Kapita Selekta pendidikan Islam. Hlm 15

2[2] Ali Rohmad, Kapita Selekta pendidikan. Hlm 15


Disebutkan dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional bab IV pasal 5 (1) : “ Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu “ ; pasal 11 (1) “ Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi “

Telah lama menjadi perbincangan mengenai prioritas penanganan problem pendidikan untuk
fokus memperbaiki kualitas dan mengabaikan kuantitas pendidikan atau sebaliknya menambah
kuantitas dan mengabaikan kualitas. Idealnya negara harus memiliki sekolah yang memadai
untuk mencapai lulusan-lulusan yang berkualitas tinggi. Jika memungkinkan kedua problem
tersebut dapat ditangani secara simultan, akan tetapi di negara Indonesia memilih satu fokus
dengan tidak meninggalkan fokus yang lain sama sekali. Bukti nyata dari adanya pemilihan
fokus tersebut tampak dari banyaknya sekolah-sekolah yang mengalami grouping dengan
lembaga lain karena jumlah murid yang tersedia tidak memenuhi standar minimal
penyelenggaraan pendidikan.

Sistem pendidikan Nasional kiranya masih terkungkung dalam pola pikir otoritas pendidikan
(educational authority) yang dikenal dengan birokrasi pendidikan. Orientasi pendidikan
nasional masih dibayangi intervensi-intervensi birokrasi yang mengebiri laju berkembangnya
mutu pendidikan. Sekalipun sudah dikeluarkan kebijakan desentralisasi pendidikan dan
pengalokasian dana APBN dan APBD untuk bidang pendidikan, diakui atau tidak kebijakan
pemerintah selama ini masih parsial,penuh korupsi dan nepoisme3[3]

Fenomena naik turunnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga
keragaman kualitas pendidikan di Indonesia menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hal ini
dikarenakan tolak ukur yang berbeda-beda di setiap lembaga pendidikan. Ali Rohmad dalam
bukunya “ Kapita Selekta Pendidikan” mengutip pendapat Robert H. Lauer yang menyatakan
bahwa perubahan pendidikan secara kualitatif, disebakan karena pembagian kerja yang semakin
rumpil dalam masyarakat yang memodernisir diri memerlukan sistem pendidikan formal untuk
menyiapkan orang memegang jabatan, pendidikan digiring untuk mempersiapkan individu

3[3] Ahmad Barizi Muhammad Idris. Menjadi Guru Unggul. Hlm 43


melaksanakan fungsinya dalam struktur sosial yang baru4[4]. Jadi untuk mencapai kualitas
pendidikan yang bermutu menuntut adanya praktik pendidikan yang sesuai dengan arah undang-
undang yang berlaku.

C. Problema Manajemen Pendidikan Islam

Manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau serangkaian aktifitas yang berupa proses
pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang tergabung dalam organisasi pendidikan,
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien
5[5]. Melalui pengertian ini dapat dipahami bahwa manajemen pendidikan adalah cara yang
ditempuh dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Suatu pekerjaan dikatakan efektif apabila
pekerjaan itu memberi hasil yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya

Dalam hal ini yang sangat penting adalah sang manager itu sendiri, yakni kepala sekolah.
Seorang kepala sekolah hendaknya menjadi leader sekaligus manager yang profesional sehingga
fungsinya yang berada di pucuk pimpinan dapat benar-benar dirasakan manfaatnya. Fenomena
yang sering terjadi di lapangan adalah adanya kepala sekolah yang kurang profesional dalam
mengelola sebuah lembaga pendidikan yang kemudian berimbas terhadap pencapaian hasil yang
tidak maksimal pula.

Seorang kepala sekolah yang profesional akan selalu memikirkan dan mengambil
tindakan-tindakan nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum. Dan yang
paling penting harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah adalah corak pemikiran yang lentur
terhadap perubahan-perubahan yang mengarah pada hal-hal positif.

D. Problema Relevansi Pendidikan

Problema relevansi pendidikan tercakup dalam dua masalah pokok. Pertama,


ketidakharmonisan hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat. Masalah ini muncul dari
adanya sikap acuh tak acuh dari para orang tua pelajar dan bahkan ada kecenderngan percaya

4[4] Ibid. hlm 26

5[5] Sulistyorini. Manajemen Pendidikan Islam. Hlm 13


secara berlebihan terhadap kemampuan sekolah. Sebagian orang tua berpikir bahwa urusan
sekolah merupakan tugas mutlak guru dan para pengelola pendidikan. Padahal seharusnya tugas
tersebut menjadi tugas bersama antara lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan sekolah.

Antara pihak pengelola sekolah dan tokoh masyarakat seharusnya bersatu dan bekerja sama
secara harmonis sebagaimana termaktub dalam undang-undang RI “ Masyarakat berhak berperan
serta dalam perencanaan,pelaksanaan,pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”6[6]. Dari
hal itu maka sudah sepatutnya para tokoh masyarakat atau orang tua pelajar bersikap apresiatif
dan responsif terhadap penyelenggaraan proses pendidikan. Sementara itu pihak sekolah
hendaknya meningkatkan kerja sama dengan para tokoh masyarakat atau orang tua peserta didik.

R.J Havighurst dan B.L Neugarten yang dikutip oleh Ali Rohmad berpendapat bahwa
sekolah memiliki dua fungsi ; fungsi reseptif dan fungsi direktif. Yang dimaksud dengan fungsi
reseptif adalah sekolah menerima, mempertahankan, dan memelihara nilai-nilai dan tata sosial
yang berlaku dalam masyarakat. Sedangakan fungsi direktif adalah sekolah mendorong, memberi
arah, dan memimpin perkembangan masyarakat7[7]

Kedua, ketidaksesuaian antara lulusan sekolah dengan tuntutan ketenagakerjaan. Berkenaan


dengan masalah ini, hingga sekarang desas desus tentang adanya lulusan yang tidak sesuai
dengan ragam lapangan pekerjaan yang tersedia masih sering didengar. Hal ini memicu
menipisnya kepercayaan diri pada sebagian besar lulusan sehingga mereka tidak berani untuk
melamar suatu pekerjaan tertentu. Kejadian serupa bisa disebabkan jenis pekerjaan yang tersedia
tidak cocok dengan ijazah yang disandang.

Missing Link, sebagaimana problema di atas yakni ketidaksesuaian antara persediaan sumber
daya manusia yang merupakan lulusan sekolah sebagai tenaga kerja dengan lowongan kerja.
Masalah inilah yang kemudian memunculkan banyaknya pengangguran, padahal mereka tidak
buta pendidikan. Beberapa penyebab timbulnya relevansi pendidikan:

a. Dalam setiap tahunnya, jumlah lapangan kerja tidak seimbang dengan jumlah tenaga kerja

6[6] UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab IV pasal 8

7[7] Ibid hlm 35


b. Adanya praktik suap menyuap antar pihak yang membutuhkan tenaga kerja dengan pihak
pencari pekerjaan
c. Adanya kesenjangan hubungan antara kurikulum sekolah dengan perkembangan masyarakat
d. Lulusan sekolah tidak menyiapkan dirinya dengan keterampilan tambahan yang dapat membantu
mencerahkan masa depannya
Untuk mengatasi masalah di atas ada beberapa upaya yang dapat dilakukan :

a. Hendaknya sekolah mengetahui dan merespon dengan baik akan perkembangan tuntutan
masyarakat
b. Pelaksanaan pembangunan Nasional yang membutuhkan banyak tenaga kerja terdidik dapat
dipenuhi dengan pengelolaan kurikulum sekolah secara terus menerus dengan memasukkan
bidang studi yang berkaitan dengan pembelajaran
c. Lapangan kerja yang tersedia dapat segera diisi oleh tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi
yang disyaratkan, sebaiknya terus dijalin kerja sama yang baik antara pengelola sekolah yang
menyiapkan tenaga kerja terdidik dengan pihak perencana pen gembangan lapangan kerja
d. Meningkatkan sistem penerimaan calon tenaga kerja yang bersih dari sistem suap menyuap
E. Problema Kurikulum

Dalam hal pendidikan, kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan
pendidikan. Di samping itu, kurikulum juga merupakan pedoman bagi pengajar dalam
melaksanakan proses pendidikan di semua jenjang. Merencanakan suatu kurikulum pendidikan
bukan merupakan pekerjaan ringan. Dalam menyusun kurikulum harus mencakup tiga aspek
penting yang saling terkait ; mencerminkan fasafah bangsa (sesuai dengan tuntunan sosial),
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan harus sesuai dengan
kebutuhan tenaga kerja.

Yang seringkali menjadi permasalahan dalam kurikulum adalah perubahan kurikulum, di


Indoesia bahkan ada kesan setiap pergantian mentri pendidikan hampir dapat dipastikan terjadi
perubahan kurikulum. Akan tetapi perlu disadari bahwa perubahan kurikulum adalah hal yang
lazim apabila lebih berdampak positif dan dapat menekan aspek negatifnya. Karena
bagaimanapun perubahan kurikulum itu diperlukan agar arah pendidikan sesuai dengan laju
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sudah sepatutnya kurikulum besifat dinamis
dan menyesuaikan diri dengan keadaan supaya dapat memantapkan pembelajaran dan hasil
belajar.

F. Problema Guru

Hal yang tak kalah penting dalam sebuah perjalanan pendidikan adalah peran guru dalam
mentransformasikan nilai dan mentransfer ilmu pengetahuan. Melalui peran guru kesinambungan
ilmu pengetahuan tetap dapat dipertahankan. Menjadi seorang guru seharusnya merupakan
panggilan jiwa yang dapat menggerakkan dirinya tanpa adanya sebuah tuntutan atau
keterpaksaan. Jika seseorang menjadi guru tidak berdasarkan kemauan dan tekad tulus dari
dalam dirinya, maka akan sulit dijumpai terjadinya sistem belajar mengajar efektif yang bisa
mengakibatkan hasil optimal. Jika hal itu terjadi maka merupakan masalah besar dalam
pendidikan yang harus ditangani.

Di samping itu, yang juga menjadi permasalahan adalah adanya guru yang kurang
profesional dalam memegang materi pembelajarn tertentu. Dalam banyak kasus di lapangan
banyak sekali ditemukan guru yang “ salah kamar “ (missmatch ), banyak guru di suatu sekolah
memegang materi yang bukan vaks-nya, yakni seorang guru non keguruan yang minus
metodologi pembelajaran8[8].

Ada banyak kritik yang dialamatkan pada problematka guru yang salah ruang :

a. Pembelajaran lebih berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif.


Pembelajaran kurang concern terhadap persoalan bagaimana megubah pengetahuan menjadi
makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan kepada siswa
b. Meodologi pembelajaran tidak kunjung berubah, ia berjalan secara konvensional,tradisional, dan
monoton
c. Kegiatan pembelajaran kebanyakan bersifat menyendiri, kurang berinteraksi dengan yang lain.
Kegiatan pembelajaran bersifat margina dan periferal
d. Pendekatan pembelajaran cenderung normatif , tanpa ilustrasi konteks sosial budaya yang
melatarinya
G. Problema Sarana Prasarana

8[8] Ahmad Barizi Muhammad Idris. Menjadi Guru Unggul. Hlm 138
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama
pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien. Adapun tujuan
daripada pengelolaan sarana prasarana sekolah adalah untuk memberikan layanan secara
profesional berkaitan dengan sarana prasarana pendidikan agar proses pembelajaran bisa
berlangsung secara efektif dan efisien (Sulistyorini, 2009 : 116)9[9].

Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana pendidikan di sekolah merupakan aktivitas


yang harus dijalankan untuk menjaga agar perlengkapan yang dibutuhkan oleh personel sekolah
selalu dalam keadaan siap pakai. Kondisi siap pakai terhadap semua inventaris sekolah akan
sangat membantu terhadap keberlangsungan proses pendidikan di sekolah. Oleh karena itu
semua perlengkapan yang ada di sekolah membutuhkan perawatan, pemeliharaan, dan
pengawasan agar dapat diberdayakan sebaik mungkin.

BAB III

PENUTUP

Meningkatnya mutu atau kualitas pendidikan merupakan cita-cita ideal seluruh bangsa.
Namun kemudian usaha dari masing-masing bangsa untuk menciptakan pendidikan yang
berkualitas menjadi penentu tercapainya cita-cita luhur tersebut. Sederhananya apa yang akan
didapat oleh suatu bangsa akan searah dengan usaha yang dilakukan.

Maka apabila suatu negara telah mampu membaca gejala permasalahan yang mengitari
wilayah pendidikan, hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah mengadakan pembenahan dan
perbaikan-perbaikan di segala aspek yang disinyalir dapat menimbulkan permasalahan. Jika
tidak, permasalahan-permasalahan tersebut akan semakin runyam dan tidak menemukan solusi
perbaikan yang terarah. Sebagaima dalam pembahasan tulisan ini, ada banyak problema yang

9[9] Sulistyorini. Manajemen Pendidikan Islam. Hlm 1116


harus ditanggulangi dan analisis ringan ini perlu mendapat tinadak lanjut agar tidak hanya
berakhir di tahap diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA

Barizi,Ahmad.2010.Menjadi Guru Unggul. Djogjakarta : AR-RUZZMEDIA

Djamaluddin, Aly Abdullah.1998. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia

Rohmad,Ali.2009. Kapita Selekta pendidikan. Yogyakarta: Teras

Sulistyorini. 2009. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta : Teras

Anda mungkin juga menyukai