Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PELANGGARAN HAM TRAGEDI TANJUNG PRIOK

DISUSUN OLEH :
KELAS XII MIPA 2 / KELOMPOK 3

 AfIf Irfandi
 Allysa Muthia
 Angelia Septiani
 Friescha
 Intan Putri Zahra
 Jefri Dwi Putra Tanjung
 Putri Pertiwi
 Ryo Apriansyah
 Syarifah Diyanah
 Yogi Ikhvansatriyo

SMA NEGERI 2 PRABUMULIH

TAHUN AJARAN 2019/2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila. Pemerintah orde baru pada era
tahun 1980-an menginginkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di indonesia sehingga
pemerintah saat itu mensosialisasikan rancangan Undang-Undang (RUU) no 5/1985 tentang
pemberlakuan asas tunggal pancasila. Selain itu indonesia juga dikenal sebagai negara hukum.

Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong adanya asas tunggal,
yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga
politik indonesia. Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar tokoh
islam di indonesia. Soeharto, dengan gaya anti komunisnya, menyatakan tidak perlu khawatir
karena Pancasila itu sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, jadi soal-soal spiritual
tidak akan terbengkalai walau digantikan dengan Pancasila.

Namun kenyataanya, penegakan hukum di indonesia masih lemah. Hal ini dapat dilihat
dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mampu ditangani oleh pemerintah khususnya
kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mampu ditangani oleh pemerintah khususnya kasus-
kasus pada masa Orde Baru. Salah satu kasus tersebut adalah peristiwa Tanjung Priok 1984.

B. Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan kronologi Tragedi Tanjung Priok 1984.
BAB II

PEMBAHASAN

Seperti semua tragedi lain yang tetap menyisakan air mata, Peristiwa Tanjung Priok
adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok,
Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah
gedung rusak terbakar. Sekelompok masa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung
dan akhirnya bentrok dengan para aparat yang kemudian menembaki mereka. Setidaknya 9
orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.
Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemeritah di
salah satu mesjid di kawasan tanjung priok dan penyerangan oleh masa kepada aparat.

Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984

Dua orang petugas Koramil (Babinsa) yang salah satunya dikenal beragama Katholik,
Sersan Satu Hermanu, tanpa membuka sepatu, memasuki mushola As-Sa’adah di gang IV Koja,
Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok
mushala dengan air got/comberan bahkan ada yang menyebutkan Sersan Satu Hermanu juga
menginjak Al-Qur’an . Tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam.
Padahal pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan
Sindang.

Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984

Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaraan


masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaian kepada
jamaah kaum muslimin.

Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984

Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas
Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai
oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat
Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984

Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat
orang jama’ah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini
tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang
dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara
penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984

Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang
Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushola as-Sa’adah, terus
berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan
memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian
di hari-hari sebelumnya, jema’ah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi
petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah.
Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak
membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka
kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata “ Kita tidak boleh merusak apa pun!
Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang
dimaksud bukan dan jama’ah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua:
sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kira 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh
pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Sesampainya jama’ah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-
mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar!
Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis
dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga
puluh menit. Jama’ah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat
Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya
habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-
tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam
kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-
peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas
jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau
yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil
truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar
jelas oleh para jama’ah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil
mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar
karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang
terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak
lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas
menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung
oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jama’ah pengajian dihadang oleh
militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari
kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar
dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh
tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di
belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut
oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi
syahid. Kemudian, mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10, kira-kira
30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto.
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi
apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha
untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media
massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B.


Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun
dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung
Priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sampai
dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun
yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan
berurusan dengan aparat.

Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa
panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa
oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat
yang menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang
Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap Islam. Suasana rekayasa ini terutama
sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta
sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing
ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari
pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah.
Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama
untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya
tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan
mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan
tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk
memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.
Analisis kasus pelanggaran HAM dalam peristiwa Tanjung Priok 1984

Kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi:

 Pembunuhan secara kilat (Summary Killing)

Terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00
akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompook
masa oleh satu regu pasukan dari kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno
Mascung dengan senjata semi otomatis.

 Penangkapan dan Penahanan sewenang-wenang


(unlawful arrest and detention)
Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggledahan dan penangkapan terhadap orang-
orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa tanjung priok. Korban
diambil dari rumah atau ditangkap tanpa prosedur, keluarga korban pun tidak
diberitahukan masalah ini.

 Penyiksaan (Torture)

Semua korban yang ditahan di Laksuda Jaya, Kodim Guntur dan RTM cimanggis
mengalami penyiksaaan anatara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan
lain-lain.

4. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or infoluntary dissapearance)

Penghilangan ini terjadi dalam 3 tahap, Pertama: menyembunyikan identitas dan jumlah
korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Kedua: menyembunyikan korban dengan
cara melarang keluarga korban untuk meliat kondisi dan keberadaan korban selama dalam
perawatan dan penahanan aparat. Ketiga: merusak dan memusnahkan barang bukti dan
keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti
tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara
pasti.
Bukti-Bukti yang Berkaitan dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Peristiwa
Tanjung Priok

Terjadinya kasus tersebut merupakan Pelanggaran HAM berat karena dalam pelanggaran-
pelanggaran Hak Asasi Manusia Tanjung Priok 1984 ini terdapat bukti, antara lain:

1. Proses dan hasil penggalian

Penggalian pada TPU mengkok Sukapura langsung dilakukan pada makam-makam yang
sudah terindetifikasi melalui nama yang tertera di batu nisan dan keterangan keluarga
korban. Makam kembar Abdul Kohar akhirnya ditemukan, namun makam kastori dan M.
Sidik tidak ditemukan. Di pemakaman Wakaf Kramat Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta
Timur, terdapat 8 makam yang masing berisi satu kerangka, berbeda dengan keterangan
awal dari Rohisdam dan Try Soetrisno bahwa yang dikuburkan adalah tujuh orang korban.
Penggalian di TPU Gedong, Condet, Jakarta Timur tidak dapat dilaksanakan, karena tidak
ada bukti dan saksi pendukung yang dapat menunjukkan titik letak kuburan dengan pasti.

2. Temuan forensik mengenai tanda kekerasan dan sebab kematian

Penilaian keadaan tulang belulang, termasuk penilaian garis-patah lama dan baru, serta
pengujian laboratorium atas bercak pewarnaan kehitaman pada tulang-tulang tersebut.
Pada jenis patah tulang yang spesifik dan didukung oleh hasil pemeriksaan kandungan
elemen-elemen yang berasal dari senjata api pada garis patah tulang atau kerokan tulang
pada daerah cedera tersebut, telah dapat mengindikasikan adanya cedera tulang yang
diakibatkan oleh senjata api. Terdapat 6 korban (4 dari Mengkok dan 2 dari Kramat
Ganceng) dapat dipastikan telah memperoleh kekerasan dalam bentuk tembakan senjata
api, dengan ciri yang sesuai dengan tembakan senjata api berkecepatan tinggi. Terdapat
pula 5 kerangka yang memiliki jejak bukan patah tulang yang diduga akibat kekerasan,
sehingga tidak ada satu kerangka pun yang menunjukan kemungkinan adanya kekerasan.
Pemeriksaan dan analisis yang di teliti dapat disimpulkan bahwa empat kerangka
dipastikan mati akibat tembakan senjata api, tiga kerangka mati akibat kekerasan tumpul
atau tembakan senjata api, satu kerangka mati akibat kekerasan tumpul, dan enam lainnya
tidak dapat dipastikan penyebab kematiannya.
3. Kematian keluarga korban Tan Keu Lim

Delapan orang keluarga Tan Keu Lim beserta satu orang pembantunya tewas terbakar
dirumah. Mengenai hal tersebut telah diperoleh kesaksian dan bukti-bukti baru berupa satu
buah kartu Keluarga milik keluarga Tan Keu Lim (terlampir) serta kesaksian ketua RT
001/007 kelurahan koja Selatan Jakarta Utara dan kesaksian dari keluarga Tan Keu Lim
yang masih hidup.

4. Pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto

Rekaman medik korban Tanjung Priok dinyatakan telah dimusnahkan oleh pihak RSPAD
Gatot Subroto karena telah memenuhi batas waktu lima tahun. Namun berita acara
pemusnahan dokumen dimaksud tidak dapat diberikan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto
dengan alasan tidak dapat ditemukan lagi.

Analisis kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 berdasarkan Kewajiban dasar
manusia dalam undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM

Selain berdasarkan analisis kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi dalam kasus
Tanjung Priok 1985 dan bukti-bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia
tersebut, kasus pelanggaran Hak Asasi manusia Tanjung Priok 1984 ini dapat juga dianalisis
menggunakan kewajiban dasar manusia yang diatur dalam undang-undang nomor 39 tahun1999
tentang HAM.

Dalam pasal 69 ayat 1 Undang-undang No 39 tahun1999 tentang HAM menyebutkan, “setiap


orang wajib menghormati Hak Asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, maksudnya ialah adanya kewajiban untuk
menghormati dan menjaga Hak Asasi Manusia orang lain tidak melanggar atau melakukan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia orang lain. Dalam kasus Tanjung Priok 1984 tersebut
jelas melanggar ketentuan pasal 69 ayat 1, karena berdasarkan Bukti-bukti tersebut jelaslah
bahwa terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam kerusuhan Tanjung Priok 1984 ini. Bahkan
pelanggaran hak asasi manusia dalam tanjung Priok 1984 tersebut tergolong pelanggaran Hak
asasi manusia berat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seperti semua tragedi lain yang tetap menyisakan air mata. Tanggal 12 September 1984
akan dikenang sebagai hari yang kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Tragedi Tanjung
Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B.


Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun
dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung
prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Tokoh-
tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-
oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam.

B. Saran

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus menjunjung tinggi dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara murni, karena dalam Pancasila
terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri. Salah satunya adalah saling
menghormati dan menghargai satu sama lain. Hal ini penting, agar tidak timbul konflik-konflik
yang dapat berujung pada kejadian yang menelan korban jiwa, apalagi kalau korban adalah orang
yang tidak bersalah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku:
- Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data,
Yogyakarta: Gema Insani Press via.
- Mulya lubis, Todung 200. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. Gramedia.

2. Undang-undang:

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Artikel atau Tulisan:

Tulisan persoalan penting Hak Asasi Manusia oleh Monitoring Kontras (komisi untuk
orang hilang dan korban tindak kekerasan)

Laporan Komnas HAM tentang Kasus Tanjung Priok.

Anda mungkin juga menyukai