Anda di halaman 1dari 64

BAB 34: TRAUMA CRANIOCEREBRAL

Di antara beragam penyakit neurologis, trauma otak menempati urutan atasdalamhal


frekuensi dan kegawatannya. Di Amerika Serikat, trauma adalah penyebab utama kematian
pada orang yang berusia kurang dari 45 tahun dan lebih dari setengah kematian ini adalah
akibat dari cedera kepala. Menurut American Trauma Society, sekitar 500.000 orang Amerika
dirawat di rumah sakit setiap tahun akibat trauma otak; dari jumlah tersebut, 75.000 hingga
90.000 meninggal dan bahkan dalam jumlah yang lebih besar, kebanyakan dari mereka
sebelumnya masih muda dan sehat, menjadi cacat permanen. Di antara orang dewasa di atas
usia 40, sekitar 20 persen menggaku pernah mengalami cedera kepala yang parah dalam
hidup mereka (NHANES-Schneider A).
Masalah dasar pada trauma craniocerebral sebenarnya sederhana dan kompleks:
sederhana karena biasanya tidak ada kesulitan dalam menentukan penyebabnya, yaitu,
benturan ke kepala atau dalam beberapa kasus hasil gelombang yang merambat dari ledakan,
dan kompleks karena adanya efek cepat atau lambat ke otak dan tempurung kepala yang
memperumit cedera. Adapun mengenai trauma itu sendiri, sedikit yang bisa dilakukan,
karena sudah selesai sebelum dokter atau orang lain tiba di tempat kejadian. Paling-paling
ada pemeriksaan menyeluruh untuk efek cedera serebral cepat, evaluasi faktor yang dapat
menyebabkan komplikasi dan lesi lebih lanjut, dan pengaturan tindakan untuk menghindari
masalah tambahan. Secara khusus, leher dapat distabilkan dan perfusi yang memadai dan
khususnya, mengamankan oksigenasi. Metode-metode baru biologi seluler mengungkap
fenomena yang diawali oleh cedera traumatis sel-sel saraf dan glia. Beberapa dari perubahan
ini mungkin dapat bersifat reversibel, tetapi pada saat ini, meskipun suda banyak eksperimen
dilakukan pada hewan, pengetahuan mengenai hal itu masih terbatas.
Sebuah kesalahpahaman umum bahwa cedera craniocerebral adalah sesuatu yang
hanya menyangkut ahli bedah saraf dan tidak melibatkan dokter umum atau ahli saraf.
Sebenarnya, 80 persen cedera kepala pertama kali dilihat oleh dokter di unit gawat darurat,
dan kurang dari 20 persen yang akhirrnya membutuhkan intervensi bedah saraf dalam bentuk
apa pun, dan bahkan jumlah ini semakin berkurang. Ahli saraf harus terbiasa dengan
manifestasi klinis dan perjalanan alami dari cedera otak primer dan komplikasinya serta
memahami mekanisme fisiologis yang mendasarinya. Pengetahuan seperti itu juga akan
berhubungan dengan interpretasi dari CT dan MRI, yang keduanya telah meningkatkan
kemampuan kita untuk bisa menangani cedera otak traumatis. Bab ini akan meninjau fakta-
fakta penting tentang cedera craniocerebral dan menguraikan pendekatan klinis yang menurut
penulis bermanfaat selama bertahun-tahun. Hal-hal yang berkaitan dengan cedera tulang
belakang, yang sering menyertai trauma kepala, dibahas dalam Bab. 42.

DEFINISI DAN MEKANISME


Istilah yang digunakan untuk menyebutkan jenis-jenis cedera kepala tertentu
menimbulkan sejumlah kesalahpahaman yang diwarisi dari dokter generasi sebelumnya.
Istilah-istilah tertentu telah masuk ke dalam kosakata medis dan telah dipertahankan dalam
waktu yang lama setelah pemikiran yang mereka pegang telah disangkal, membuktikan
kelemahan adopsi prematur dari istilah yang penjelas daripada yang deskriptif. Kata gegar
otak, misalnya, menyiratkan guncangan keras atau getaran pada otak dan mengakibatkan
gangguan fungsional sementara. Namun meskipun banyak postulat perubahan fisik pada sel-
sel saraf, akson, atau selubung mielin (efek getaran, pembentukan vakuola intraseluler) yang
diduga terjadi akibat gegar otak, konfirmasi kebenarannya telah terbukti sulit pada manusia
dan hewan percobaan.
Dalam semua upaya untuk menganalisis mekanisme cedera kepala tertutup, atau
tumpul (nonpenetrasi), satu hal yang pasti sudah jelas: harus ada aplikasi tiba-tiba dari
kekuatan fisik yang kekuatannya cukup besar ke kepala. Kecuali jika kepalanya dipukul, otak
tidak akan mengalami cedera, kecuali pada kasus fleksi-ekstensi (whiplash) leher yang jarang
terjadi dan mungkinbila ada cedera akibat ledakan dengan peningkatan tekanan atmosfer
yang ekstrem secara tiba-tiba. Dalam praktik medis militer, cedera ledakan dianggap sangat
penting, dan dalam teori, menantang banyak konsep hilangnya kesadaran pada cedera kepala
tertutup; artinya, tidak adanya kontak dengan, atau percepatan mendadak atau perlambatan
cranium. Faktor-faktor mekanis yang penting dalam cedera otak adalah perbedaan mobilitas
dari kepala pada leher, dan otak dalam cranium, penambatan batang otak bagian atas yang
memungkinkan pergerakan belahan otak di sekitar titik itu, dan terbenturnya bagian-bagian
otak pada septa dura dan penonjolan tulang. Sementara pada cedera concussive, penting
untuk menunjukkan bahwa gegar otak biasanya melibatkan kekuatan fisik yang menyebabkan
terjadinya gerakan pada kepala yang sedang diam, atau lebih umum, adanya permukaan keras
yang menghentikan pergerakan kepala yang sedang bergerak, dan hal itu menunjukkan, gegar
otak tidak terjadi jika kepala tetap berada dalam keadaan diam sepenuhnya. Perlambatan atau
akselerasi cranium yang tiba-tiba ini adalah mekanisme dari sebagian besar cedera kepala di
masyarakat, dan mereka dikenal dengan dua hal: mereka dapat menyebabkan setidaknya
hilangnya kesadaran sementara, dan otak dapat mengalami kerusakan parah meskipun
tengkorak tidak ditembus seperti, memar, laserasi, pendarahan, dan pembengkakan. Dalam
beberapa dekade terakhir, definisi gegar otak telah diperluas untuk mencakup fenomena
neurologis yang mengikuti benturan pada kepala, seperti yang akan dibahas lebih lanjut, dan
telah ada minat baru dalam perubahan otak degeneratif yang terjadi sebagai akibat gegar otak
berulang-ulang selama bertahun-tahun atau dekade. Sebuah teori yang membawa pemahaman
dari semua perubahan neuropatologis fisik dan kasar ini serta hubungannya dengan gegar
otak dan koma belum dirumuskan. Seperti yang akan disebutkan dalam bagian-bagian lain
dari bab ini, beberapa gangguan neurologis degeneratif telah dikaitkan dengan cedera otak
traumatis berulang, yang paling lazim di antaranya adalah "ensefalopati traumatis kronis"
karena deposisi tau pada korteks. Namun, studi epidemiologi telah membahas tentang apakah
kondisi lain tersebut terkait dengan riwayat cedera kepala, misalnya, laporan oleh Crane et al
pada 3 kohort prospektif besar, di mana hanya penyakit Lewy body dan perkembangan
penyakit Parkinson yang ditemukan terkait. Survei serupa lainnya sampai pada kesimpulan
yang berbeda.
Berbeda dengan cedera kepala tertutup, misil berkecepatan tinggi menembus
tengkorak dan rongga tengkorak, atau jarang, tengkorak dapat terkompresi di antara dua
kekuatan konvergen yang mengghimpit otak tanpa menyebabkan perpindahan signifikan
pada kepala atau otak. Dalam keadaan ini, pasien mungkin menderita cedera parah dan
bahkan fatal tanpa kehilangan kesadaran sebelumnya. Perdarahan, hancurnya jaringan otak,
dan, jika pasien bertahan untuk sementara waktu, meningitis atau abses adalah perubahan
patologis utama yang terjadi pada cedera jenis ini. Mereka menyebabkan sedikit kesulitan
bagi pemahaman kita. Gambar 34-1 menggambarkan berbagai jenis cedera kepala ini.
Hubungan fraktur tengkorak dengan cedera otak telah dilihat dengan perpektif yang
berubah-ubah sepanjang sejarah topik ini. Pada paruh pertama abad terakhir, fraktur menjadi
fokus pemikiran profesi medis, dan lesi pada otak dianggap hal sekunder. Kemudian, menjadi
jelas bahwa tengkorak, walaupun kaku, masih cukup fleksibel untuk menyebabkan benturan
yang melukai otak tanpa menyebabkan patah tulang. Oleh karena itu, adanya fraktur,
meskipun sebagai ukuran kasar dari besarnya kekuatan yang telah diterima otak, bukanlah
ukuran yang sempurna yang menandai adanya cedera otak (lihat lebih lanjut dalam diskusi
tentang fitur prediktif untuk pencitraan abnormalitas pada gegar otak). Bahkan pada cedera
kepala yang langsung fatal, otopsi menunjukkan tengkorak yang utuh dalam 20 hingga 30
persen kasus. Tentu saja, banyak pasien menderita fraktur tengkorak tanpa gangguan fungsi
otak yang serius atau berkepanjangan, sebagian karena energi benturan dihamburkan
olehfraktur. Memang, tersebarnya benturan ini bisa jadi diharapkan untuk mengurangi
kerusakan otak yang disebabkannya.
Namun demikian, patah tulang tidak dapat diabaikan lebih lanjut karena beberapa
alasan. Secara keseluruhan, cedera otak diperkirakan 5 sampai 10 kali lebih sering dengan
fraktur tengkorak daripada tanpa fraktur dan mungkin 20 kali lebih sering dengan fraktur
yang parah dan multipel. Adanya fraktur juga penting ke depannya dalam memberikan
penjelasan untuk kelumpuhan saraf kranial, dan dalam menciptakan jalur potensial untuk
masuknya bakteri dan udara atau jalan keluar bagi cairan serebrospinal (kebocoran CSF).
Dalam hal ini, patah tulang melalui basis cranii membutuhkan perhatian khusus, dan akan
dibahas berikut ini.

Fraktur Basis Cranii dan Cedera Saraf Craniales


Gambar 34-2 mengilustrasikan lokasi utama dan arah fraktur basis cranii. Seseorang
dapat dengan mudah memahami adanya kemungkinan cedera pada saraf kranial. Fraktur pada
basis sulit dideteksi dalam foto tengkorak polos dan mungkin terlewatkan oleh teknik
pencitraan lain, tetapi keberadaannya harus dicurigai dengan adanya salah satu dari sejumlah
tanda-tanda klinis yang khas. Fraktur piramida petrosa sering merusak bentuk kanal
pendengaran eksternal atau merobek membran timpani, dengan akibat kebocoran CSF
(otorrhea); atau, darah dapat terkumpul di balik membran timpani yang utuh dan
menyebabkan perubahan warna. Jika fraktur memanjang lebih ke posterior, merusak sinus
sigmoid, jaringan di belakang telinga dan di atas prosesus mastoid menjadi seperti rawa dan
berubah warna (Battle sign). Fraktur basis cranii anterior juga dapat menyebabkan darah
bocor ke jaringan periorbital, memberikan penampilan “raccoon” atau “panda bear” yang
khas. Kehadiran salah satu dari tanda-tanda ini menjadi tanda untuk dilakukan CT-scan basis
cranii menggunakan pengaturan bone-window untuk mendeteksi fraktur.

Adanya fraktur basis cranii juga ditunjukkan oleh tanda-tanda kerusakan saraf kranial.
Saraf penciuman, wajah, dan pendengaran adalah yang paling mungkin mengalami cedera,
tetapi yang manapun, termasuk yang ke-12, bisa mengalami kerusakan. Anosmia dan
hilangnya persepsi rasa yang jelas (sebenarnya hilangnya persepsi rasa aromatik, karena
modalitas rasa dasar tidak terganggu) sering merupakan gejala sisa dari cedera kepala,
terutama bilabenturan di bagian belakang kepala. Dalam sebagian besar kasus, anosmia
bersifat permanen. Jika unilateral, itu tidak akan diperhatikan oleh pasien. Namun,
mekanisme gangguan ini dianggap sebagai adanya pergeseran pada otak dan merobek
filamen saraf penciuman yang berada atau dekat lempeng cribriformis, di mana mereka
berjalan, bukannya disebabkan oleh patah tulang. Fraktur pada atau dekat sella dapat
merobek tangkai kelenjar hipofisis dengan akibat terjadi diabetes insipidus. Meski jarang
terjadi, fraktur seperti itu juga dapat menyebabkan perdarahan dari adenoma hipofisis yang
sudah ada sebelumnya dan menghasilkan sindrom pituitari popleitari (lihat Bab 30). Fraktur
tulang sphenoid dapat memotong saraf optik, dengan menyebabkan kebutaan langsung. Pupil
tidak reaktif terhadap rangsangan cahaya langsung tetapi masih bereaksi terhadap rangsangan
cahaya pada mata yang berlawanan (refleks konsensual). Diskus optikus menjadi pucat, lalu
kemudian atrofi setelah interval beberapa minggu. Cedera parsial saraf optik menyebabkan
skotoma dan penglihatan kabur yang menyusahkan.
Cedera saraf okulomotor lengkap ditandai oleh ptosis dan diplopia, perbedaan pada
bola mata yang terkena di mana saat posisi beristirahat akan berada pada posisi abduksi dan
sedikit depresi, kehilangan pergerakan medial dan sebagian besar gerakan vertikal mata, dan
pupil mata yang tetap melebar, seperti dijelaskan dalam Bab 12. Gejala yang paling umum
adalah diplopia yang memburuk saat melihat ke bawah dan memiringkan kepala yang
mengindikasikan adanya cedera saraf trochlear. Dalam penelitian 60 pasien dengan cedera
kepala, Lepore mengkonfirmasi bahwa kelumpuhan saraf keempat adalah penyebab paling
umum dari diplopia, terjadi secara unilateral dua kali lebih sering daripada bilateral, diikuti
berdasarkan frekuensi oleh kerusakan pada satu atau ketiga saraf, kemudian, paling jarang,
kelumpuhan saraf keenam unilateral atau bilateral. Lima pasiennya menderita kelumpuhan
yang mencerminkan kerusakan pada lebih dari satu saraf dan tujuh memiliki gangguan
konvergensi supranuklear. Perjalanan saraf keempat yang panjang dan melingkari
subarachnoid biasanya menjadi penjelasan untuk cedera yang sering terjadi, tetapi
mekanisme ini tidak pernah divalidasi. Gangguan saraf motorik optik dan okular ini harus
dibedakan dari yang disebabkan oleh perpindahan bola mata atau terjebaknya otot
ekstraokular akibat cedera langsung pada orbita.
Cedera pada cabang ophthalmic dan maxillary dari saraf trigeminal mungkin
merupakan akibat dari fraktur basal melintasi fossa kranial tengah atau cedera ekstrakranial
langsung ke cabang-cabang saraf. Mati rasa dan paresthesia pada kulit yang disuplai oleh
cabang saraf atau neuralgia kronis dapat menjadi gejala susulan yang menyusahkan dari
cedera ini.
Saraf facialis mungkin terlibat dalam satu dari dua cara. Pada tipe pertama dari
cedera, yang terkait dengan fraktur transversal melalui tulang petrous, ada kelumpuhan wajah
langsung, yang mungkin disebabkan oleh memar atau transeksi saraf. Anastomosis dengan
bedah kadang-kadang berhasil memulihkan fungsi pada keadaan ini. Tipe kedua, yang lebih
sering, dikaitkan dengan fraktur longitudinal tulang petrous, kelumpuhan wajah kemudian
sering tertunda selama beberapa hari, suatu hal yang dapat disalahartikan sebagai
perkembangan lesi traumatis intrakranial. Jenis yang terakhir ini biasanya bersifat sementara,
dan mekanismenya tidak diketahui.
Cedera pada saraf kranial kedelapan karena fraktur petrosa menyebabkan hilangnya
pendengaran atau vertigo postural dan nistagmus yang muncul segera setelah trauma.
Ketulian akibat cedera saraf harus dibedakan dari gangguan pendengaran nada tinggi karena
cedera koklea dan dari ketulian yang disebabkan oleh perdarahan ke telinga tengah dan
gangguan susunan tulang osikular (tuli konduksi). Juga, vertigo harus dibedakan dari gejala
yang sangat umum dari pusing pasca trauma yang dibahas pada bagian selanjutnya. Kondisi
fraktur yang jarang terjadi, yang melalui canalis hipoglosus menyebabkan kelemahan pada
satu sisi lidah. Perlu diingat bahwa benturan ke leher bagian atas juga dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf kranial bagian bawah, baik karena cedera langsung pada ekstensi perifer
mereka atau sebagai akibat dari diseksi arteri karotis pada segmen arteri servikal.

Fistula Carotid-Cavernosus
Fraktur basal melalui tulang sphenoid dapat melaserasi arteri karotis interna atau salah
satu cabang intracavernosa di mana ia terletak di sinus kavernosa. Dalam beberapa jam atau
satu atau dua hari, exophthalmos berdenyut yang tidak diduga muncul ketika darah arteri
memasuki sinus dan memperbesar vena ophthalmic superior dan inferior yang bermuara ke
dalam sinus. Orbita terasa kencang dan sakit, dan mata mungkin menjadi sebagian atau
seluruhnya tidak bergerak karena penekanan pada saraf mata yang melintasi sinus (lihat
Gambar 13-5). Saraf keenam paling sering terkena, dan saraf ketiga dan keempat lebih
jarang. Juga, mungkin ada kehilangan penglihatan akibat iskemia saraf optik dan retina,
meskipun mekanismenya belum sepenuhnya jelas; kongesti vena retina dan glaukoma adalah
faktor potensial dalam kegagalan penglihatan. Biasanya ada bruit yang mudah didengar di
atas mata. Sekitar 5 hingga 10 persen fistula sembuh secara spontan, tetapi sisanya harus
dihilangkan dengan cara radiologis intervensional, biasanya dengan balon yang dapat dilepas,
atau dengan perbaikan fistula melalui pembedahan langsung (lihat Stern).
Tidak semua fistula karotis-kavernosa traumatis. Mereka kadang-kadang dapat terjadi
dengan pecahnya aneurisma sakular intracavernosa atau pada penyakit Ehlers-Danlos, di
mana jaringan ikat rusak; atau penyebabnya mungkin tidak dapat dijelaskan. Kadang-kadang,
fistula arteriovenosa berbasis dural terbuka di daerah sinus kavernosa setelah cedera dan
mereka menyebabkan lebih sedikit tanda-tanda seperti pembengkakan orbital daripada fistula
karotis-kavernosa.
Pneumocepalus, Aerocele dan Rhinorea (Kebocoran LCS)
Jika kulit di atas fraktur tengkorak terkoyak dan meninges di bawahnya robek, atau
jika fraktur melewati dinding bagian dalam sinus paranasal, bakteri dapat memasuki rongga
tengkorak, menyebabkan meningitis atau pembentukan abses. CSF yang bocor ke sinus
tampakdengan keluarnya cairan dari hidung (CSF rhinorrhea). Discharge hidung dapat
diidentifikasi sebagai CSF dengan mengujinya glukosanya dengan pita uji diabetes (mukus
tidak memiliki glukosa) atau dengan adanya fluorescein atau pewarna berlabel radionuklida
yang disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid lumbar dan kemudian diserap oleh alat yang
ditempatkan di dalam rongga hidung. Mukus, ketika diserap ke dalam sapu tangan dan
dibiarkan kering, akan meninggalkan bahan yang kaku, sedangkan CSF, tidak akan. Tes yang
lebih rumit adalah dengan mendeteksi protein tau pada discharge; yang hanya ada di CSF
dan tidak ada padamukus atau darah. Sebagian besar kasus rinore CSF akut sembuh sendiri.
Drainase lumbar yang menetap selama beberapa hari dapat membantu proses tersebut tetapi
pendekatan ini hanya diuji dalam uji coba kecil seperti yang dilakukan Albu dan rekan, di
mana kebocoran tersebut hanya bertahan selama 2 hari lebih sedikit tetapi meningitis tidak
dihindari. Jika kondisi ini persisten atau diperumit dengan episode meningitis, perbaikan
bedah pada dura yang robek diindikasikan dan ini kadang-kadang mungkin melalui metode
endoskopi. Penggunaan profilaksis antibiotik untuk mencegah meningitis dalam kasus
kebocoran CSF hidung masih kontroversial, tetapi banyak ahli bedah saraf melanjutkan
praktik ini, terutama pada anak-anak.
Kumpulan udara di rongga kranial (aerocele) adalah kejadian yang umum setelah
fraktur tengkorak atau prosedur bedah saraf yang luas. Kantong udara terlihat dengan CT-
scan di ruang epidural atau subdural di atas konveksitas serebral atau di antara kedua
hemisfer otak, dan berfungsi hanya untuk memperingatkan kemungkinan rute masuknya
bakteri ke dalam cranium. Kumpulan udara yang kecil biasanya diserap tanpa insiden, tetapi
volume yang besar dapat bertindak seperti massa dan menyebabkan deteriorasi klinis setelah
cedera (tension pneumocranium; Gbr. 34-3). Menghirup oksigen 100 persen memiliki sedikit
efek membaik, tetapi aspirasi udara diperlukan jika pengumpulan menyebabkan tanda-tanda
klinis.
Fraktur depresi tengkorak hanya penting jika dura yang mendasarinya terkoyak atau
otak dikompresi oleh lekukan tulang. Mereka kemudian diangkat secara operasi, lebih
disarankan dalam 24 sampai 48 jam pertama.
Gegar Otak
Sudah banyak yang membahas tentang mekanisme gegar otak pada cedera kepala tertutup
dan definisinya telah mengalami serangkaian revisi. Di masa lalu, hilangnya kesadaran dan
amnesia sementara setelah pukulan ke kepala dianggap sebagai syarat disebut gegar otak,
tetapi tingkat kebingungan yang ringan, ketidakkoordinasian, atau bahkan gejala lain seperti
sakit kepala dan kelelahan yang mengikuti cedera kepala ringan sekarang termasuk dalam
istilah tersebut. Apakah semua masalah ini berasal dari mekanisme yang sama tidak dapat
dinyatakan dengan pasti.
Riwayat Konsep Gegar Otak Mekanisme “kelumpuhan otak” konkusif telah ditafsirkan
dalam berbagai cara sepanjang sejarah medis sesuai kondisi ilmu pengetahuan pada periode
waktu tertentu. Hipotesis yang disukai untuk bagian abad yang lebih baik adalah
"vasoparalisis" (disarankan oleh Fischer pada tahun 1870) atau terperangkapnya sirkulasi
oleh peningkatan instan dalam tekanan intrakranial (ICP) (diusulkan oleh Strohmeyer pada
tahun 1864 dan dipopulerkan oleh Trotter pada tahun 1932). Jefferson, dalam esainya tentang
sifat gegar otak (1944), dengan meyakinkan menyangkal hipotesis vaskular ini. Kemudian,
Shatsky dan rekan-rekannya, dengan menggunakan cineangiography berkecepatan tinggi,
menunjukkan pergeseran pada pembuluh darah tetapi tidak ada penghentian sirkulasi yang
segera setelah benturan.
Dimulai dengan karya Denny-Brown dan Russell pada tahun 1941, faktor-faktor fisik
yang terlibat dalam cedera kepala dan otak menjadi sasaran analisis yang cermat. Peneliti ini
menunjukkan bahwa pada monyet dan kucing gegar otak terjadi ketika kepala yang bergerak
bebas dihantam oleh massa yang berat. Jika kepala dijaga tidak bergerak pada saat benturan,
dengan tingkat kekuatan yang sama selalu gagal menyebabkan gegar otak. Pentingnya
gerakan kepala diverifikasi oleh Gennarelli dan rekan-rekannya, yang mampu menyebabkan
gegar otak pada primata dengan akselerasi cepat dari kepala yang bergerak bebas tanpa
adnaya benturan, suatu kondisi yang jarang terjadi pada manusia.
Holbourn, seorang ahli fisika Cambridge, dari sebuah studi model gelatin dalam
kondisi simulasi trauma kepala, menyimpulkan bahwa ketika kepala dipukul, gerakan otak
yang sebagian tertambat tetapi tertunda selalu tertinggal (karena inersia), tetapi tanpa bisa
dihindari otak bergerak juga, dan ketika itu harus berputar dalam suatu lengkungan karena
adanya perlekatan ke leher. Ommaya dan Gennarelli (1974) membuktikan kebenaran asumsi
ini dengan memotret otak melalui calvarium transparan pada saat benturan. Oleh karena itu
otak mengalami penekanan yang diakibatkan oleh kekuatan rotasi terutama pada bidang
sagital, yang berpusat pada titik perlekatan di otak tengah yang tinggi. Putaran pada tingkat
formasio reticularis atas menjelaskan hilangnya kesadaran segera, seperti yang dijelaskan
nanti. Tinjauan yang luas dan ilmiah tentang patofisiologi gegar otak juga telah dilakukan
oleh Shaw (meskipun kami tidak yakin dengan validitas pandangannya tentang mekanisme
gegar otak kejang)
Mekanisme Gegar Otak Ciri-ciri inti dari kehilangan kesadaran atau kebingungan adalah
hal yang khas saat segera setelah trauma (tidak tertunda bahkan dalam hitungan detik) dan
sebagian besar bersifat reversibel. Ini dapat berarti bahwa gegar otak digunakan untuk
mengartikan kelumpuhan traumatis fungsi saraf yang bersifat reversibel dan penjelasan
fisiologis apa pun mengenai hal ini harus sesuai ketentuan ini. Namun, efek gegar otak pada
fungsi otak dapat berlangsung dalam waktu yang bervariasi (detik, menit, jam, atau lebih
lama) dan untuk menetapkan pembatasan dari durasi hilangnya gejala, yaitu, untuk
mempertimbangkan kehilangan dalam waktu singkat sebagai indikasi gegar otak. dan
kehilangan yang berkepanjangan sebagai indikasi kontusio atau lesi otak traumatis lainnya,
tidak terdengar fisiologis. Seperti yang ditunjukkan oleh Symonds, perbedaan seperti itu
adalah kuantitatif, bukan kualitatif. Memang benar bahwa dalam keadaan pingsan atau koma
yang berkepanjangan, ada peluang yang jauh lebih besar untuk menemukan pendarahan dan
kontusio otak, yang tidak diragukan lagi berkontribusi pada persistensi koma yang terus
menerus dan kemungkinan perubahan yang ireversibel. Akhirnya, kondisi optimal untuk
menyebabkan gegar otak, yang awalnya ditunjukkan oleh Denny-Brown dan Russell, adalah
perubahan mendadak dari momentum kepala; yaitu, salah satu gerakan diberikan ke kepala
stasioner oleh benturan atau gerakan kepala ditahan oleh permukaan yang keras dan tidak
bergerak.
Gerakan rotasional otak juga memberikan penjelasan yang masuk akal untuk
terjadinya cedera pada permukaan di lokasi tertentu, yaitu, di mana otak yang berputar-putar
bersentuhan dengan tonjolan tulang pada permukaan bagian dalam tengkorak (petrosus dan
rima orbita, ala sphenoidalis), dan cedera pada corpus callosum, yang terlempar berlawanan
dengan falx cerebri.
Belum dijelaskan dengan baik oleh salah satu mekanisme ini yaitu gegar otak setelah
cedera ledakan, sebuah masalah serius dalam kedokteran militer. Sindrom ini mungkin
membangkitkan kembali gagasan bahwa gelombang kejut berjalan melalui otak dan
mengganggu fungsi saraf di seluruh hemisfer otak atau dalam formasion reticularis otak
tengah.
Pandangan ini mengenai lokasi dan mekanisme gegar otak tidak sepenuhnya diterima
tetapi telah didukung oleh sejumlah pengamatan fisiologis tambahan. Foltz dan Schmidt,
pada tahun 1956, menyarankan bahwa formasio retikularis batang otak bagian atas adalah
lokasi anatomis cedera konkusif. Mereka menunjukkan bahwa pada monyet yang mengalami
gegar otak, transmisi sensorik lemniscal melalui batang otak tidak berubah, tetapi efeknya
dalam mengaktifkan formasio reticularis terhambat dan bahwa aktivitas listrik dari formasio
reticularis medial ditekan untuk waktu yang lebih lama dan lebih parah daripada yang terjadi
pada korteks serebral otak.
Apa yang lebih penting dalam sebagian besar kasus ini, dan dalam yang dilaporkan
oleh Jellinger dan Seitelberger, adalah adanya lesi tambahan di daerah sistem pengaktifan
retikularis dan pelunakan hemoragik kecil di corpus callosum, tangkai serebelar superior, dan
tegmentum dorsolateral otak tengah. Seperti yang dibahas lebih lanjut, Strich (1956)
menafsirkan lesi white matter yang luas, baik di hemisfer otak dan di batang otak bagian atas,
untuk mewakili degenerasi serabut saraf yang telah diregangkan atau terkoyak oleh tekanan
geser yang terjadi sebagai akibat akselerasi rotasi dari kepala, seperti yang telah didalilkan
sebelumnya oleh Holbourn. Dia menyarankan bahwa jika serabut saraf teregang daripada
robek, lesi mungkin reversibel dan mungkin berperan dalam mekanisme gegar otak. Symonds
menguraikan pandangan ini dan melihat dalam tekanan geser, yang maksimal pada titik di
mana hemisfer cerebri berputar pada batang otak bagian atas yang relatif tetap, sebagai
penjelasan gegar otak.
Bagaimana faktor-faktor mekanik ini berhubungan langsung dengan kebingungan
sementara, ataksia, atau gangguan visual gegar otak atau sakit kepala kemudian dan kesulitan
dengan konsentrasi yang mengikuti beberapa gegar otak tidak jelas. Juga tidak diketahui
bagaimana gegar otak berulang pada beberapa individu sebagai akibat pengendapan tau dan
perubahan degeneratif yang digolongkan sebagai istilah “ensefalopati traumatis kronis” (lihat
di bawah).
Manifestasi Klinis Gegar Otak
Dalam bentuknya yang paling lengkap, tanda-tanda klinis khas dari cedera otak
concussive adalah hilangnya langsung kesadaran, supresi refleks suportif (jatuh ke tanah jika
berdiri), henti pernapasan sementara, bradikardia singkat, dan penurunan tekanan darah
setelah kenaikan sesaat pada saat benturan. Jarang terjadi, jika kelainan ini cukup kuat,
kematian dapat terjadi pada saat benturan, mungkin karena henti napas. Dalam bentuknya
yang paling ringan, tidak ada kehilangan kesadaran atau pingsan, hanya periode singkat
disorientasi tertegun, terkejut, dan amnesia di mana individu tampak normal dari luar. Tanda-
tanda vital biasanya kembali normal dan stabil dalam beberapa detik bahkan jika pasien tetap
tidak sadar.
Peningkatan tonus tungkai, gerakan kejang klonik berlangsung hingga sekitar 20
detik, dan gerakan aneh lainnya dapat terjadi segera setelah kehilangan kesadaran. "Kejang-
concussive" ini mungkin memiliki signifikansi prognostik yang kecil dan belum terbukti
memberikan peningkatan risiko kejang kemudian. McCrory dan Berkovic mencatat hubungan
antara gerakan motorik dan kejang dan benturan pada wajah, dan kami telah melihat fitur ini
beberapa kali pada remaja yang bertabrakan saat mengejar bola.
Pada periode di mana pasien tidak sadar dan untuk beberapa saat sesudahnya, refleks
plantar bersifat ekstensor. Setelah periode waktu yang bervariasi, pasien mulai bergerak dan
membuka matanya. Refleks kornea, faring, dan kulit, awalnya menurun, kemudian kembali,
dan anggota tubuh menarik diri dari rangsangan yang menyakitkan. Perlahan-lahan, kontak
dilakukan dengan lingkungan dan pasien mulai mematuhi perintah sederhana dan
menanggapi pertanyaan dengan lambat. Memori tidak terbentuk selama periode ini; pasien
bahkan dapat melakukan percakapan, yang kemudian tidak bisa dia ingat. Aspek sindrom ini
mensimulasikan secara dekat transient global amnesia, suatu kelainan penyebab yang tidak
jelas, yang dibahas dalam Bab. 20. Akhirnya, ada pemulihan neurologis yang tampaknya
penuh seiring dengan waktu ketika pasien dapat menyusun memori dari pengalaman saat ini.
Waktu yang dibutuhkan pasien untuk melewati tahap pemulihan ini mungkin hanya
beberapa detik atau menit, beberapa jam, atau mungkin beberapa hari saja; tetapi sekali lagi,
di antara kedua keadaan yang ekstrem ini, tampaknya hanya ada perbedaan kuantitatif. Bagi
pengamat, pasien seperti itu tidak responsif hanya dari saat cedera sampai mereka membuka
mata dan mulai berbicara; Namun, untuk pasien, periode ketidaksadaran dalam satu
perspektif terbatas meluas dari titik sebelum cedera terjadi (amnesia retrograde) hingga saat
ia mampu membentuk ingatan berurutan pada akhir periode anterograde amnesia. Durasi
periode amnesia, terutama anterograde amnesia, hanyalah salah satu indeks keparahan cedera
konkusif. Meskipun "terkejut" sesaat tanpa kehilangan kesadaran mewakili tingkat gegar otak
paling ringan, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak diketahui apakah ia memiliki
mekanisme yang sama dengan hilangnya kesadaran secara berlebih. Efek lanjutan dari gegar
otak dalam menyebabkan kecemasan, gangguan tidur, gangguan mental dan kesulitan
kognitif, dan pusing adalah hal yang biasa bagi keduanya dan dibahas lebih lanjut.
Gegar Otak Atletik
Ini adalah topik yang menarik saat ini dan berbagai pedoman mengenai pengembalian
untuk dapat bermain kembali telah diterbitkan. Ringkasan dari Akademi Neurologi Amerika
dapat dikonsultasikan (ditulis oleh Giza dan kolega) dan seperti yang sering dikutip
pernyataan konsensus dari Konferensi Internasional tentang Gegar otak (McCrory et al,
2009). Perkembangan demensia di kemudian hari dan kondisi neurodegeneratif lainnya pada
atlet profesional juga dibahas lebih lanjut. Banyak pengamatan bermanfaat telah muncul dari
studi atlet setelah cedera kepala. Yang paling menonjol di antara pengamatan ini adalah
bahwa atlet yang pernah mengalami gegar otak lebih mungkin mengalami lagi dibandingkan
pemain lain di musim bermain yang sama (Guskiewicz et al); apakah ini merupakan
cerminan dari ketidakkoordinasian atau gaya permainan seseorang, atau faktor lain, tidak
diketahui. Kedua, sebagian besar studi prospektif menunjukkan penurunan waktu reaksi dan
dalam tes neuropsikologis lainnya setelah gegar otak, yang kembali normaldalam beberapa
hari atau minggu. Ketiga, ada indikasi dari beberapa rangkaian gegar otak di National
Collegiate Athletic Association dan National Football League Players bahwa jumlah gegar
otak yang diingat kembali sebanding dengan tingkat gangguan pada tes neuropsikologis
(McCrea et al, 2003). Hasil serupa telah ditemukan dalam kegiatan lain seperti jockeying
(Wall et al), tetapi ada beberapa studi prospektif yang memadai.
Durasi yang tepat untuk mengeluarkan dari permainan telah menjadi subjek dari
banyak dan sebagian besar sistem arbitrasi. Lamanya kehilangan gejala awal gegar otak dan
amnesia telahmenjadi komponen utama dari keputusan untuk kembali bermain. Pedoman saat
ini berfokus pada kelambatan dalam menjawab pertanyaan, ketidakpastian tentang permainan
atau tugas dalam permainan, keterampilan motorik yang lambat, dan kecanggungan, dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran atau amnesia. Semua pemain tersebut dihapus dari
permainan. Dasar dari sebagian besar aturan adalah konservatisme yang tepat yang
membutuhkan tidak adanya gejala serebral baik saat istirahat maupun di bawah peningkatan
uji stres fisik seperti berlari atau squat berulang-ulang. Setelah evaluasi medis, yang mungkin
termasuk foto dan pengujian neuropsikologis, program "istirahat" fisik dan kognitif diikuti
oleh aktivitas fisik dan mental yang lulus di bawah pengamatan dan kembali ke tingkat yang
lebih rendah jika gejala terjadi (McCrory et al, 2003). Secara khusus, latihan aerobik ringan
diikuti oleh pelatihan khusus olahraga dan latihan nonkontak, lalu kontak.

Perubahan Patologis yang berhubungan dengan Cedera Kepala Berat


Berbeda dengan gegar otak, dalam kasus cedera otak traumatis yang berakibat fatal
atau sangat serius, otak itu memar, bengkak, atau terkoyak, dan ada pendarahan, baik
meningeal dan intraserebral, serta lesi hipoksik-iskemik. Mayoritas pasien yang tetap koma
selama lebih dari 24 jam setelah cedera kepala ditemukan memiliki hematoma dan kontusio
intraserebral. Dari lesi-lesi ini, yang paling sering adalah luka memar pada permukaan otak di
bawah titik benturan (lesi coup) dan laserasi dan luka memar yang kadang-kadang lebih luas
pada sisi yang berlawanan dengan tempat benturan (lesi contrecoup), seperti ditunjukkan
pada Gambar. 34-4. Pukulan ke bagian depan kepala dapat menghasilkan terutama lesicoup,
sedangkan pukulan ke bagian belakang kepala dapat menyebabkan lesi terutama contrecoup.
Pukulan ke sisi kepala menghasilkan lesi coup atau contrecoup, atau keduanya. Terlepas dari
lokasi benturan, lokasi umum kontusio serebral berada di lobus frontal dan temporal, seperti
diilustrasikan dalam Gambar. 34-4 dan 34-5. Inersia otak — yang membuatnya terlempar ke
sisi tengkorak yang dipukul, ditarik menjauh dari sisi kontralateral, dan didorong ke arah
penonjolan tulang di dalam rongga tengkorak, menjelaskan pola coup-contrecoup ini.
Penjagaan relatif dari lobus oksipital dalam cedera coup dijelaskan melalui permukaan bagian
dalam yang halus dari tulang oksipital dan tentorium di sekitarnya, seperti yang ditunjukkan
oleh Courville.
Korteks yang memar bengkak dan berdarah difus, sebagian besar darah ditemukan di
sekitar pembuluh darah parenkim. Pada CT, lesi muncul sebagai daerah edematous dari
korteks dan white matter subkortikal bercampur dengan daerah peningkatan kepadatan yang
mewakili darah yang bocor (Gambar 34-6). Titik-titik perdarahan dapat menyatu dan
memberikan tampilan kesatuan gumpalan di korteks dan white matter yang berdekatan.
Kecenderungan lesi ini untuk menjaga konvolusi membuktikan asal traumatisnya
(dilemparkan terhadap bagian tengkorak di atasnya) dan membedakannya dari lesi
serebrovaskular dan jenis lesi serebral lainnya. Mungkin ada gumpalan pendarahan di dalam
hemisfer yang independen terhadap kontusio seperti yang dibahas di bawah ini. Tidak
mengherankan, area perdarahan yang dalam seperti itu sering terjadi pada pasien yang
menerima obat antikoagulan atau antiplatelet.
Yang sama pentingnya adalah lesi aksonal yang terjadi pada saat benturan atau
berkembang segera sesudahnya. Strich (1961) menggambarkan temuan neuropatologis pada
pasien yang meninggal beberapa bulan setelah cedera kepala tertutup parah yang
menyebabkan koma segera dan berkepanjangan. Dalam semua kasusnya, di mana tidak ada
tanda-tanda fraktur tengkorak, peningkatan ICP, atau perdarahan subaraknoid kasar, ia
mengamati degenerasi white matter otak yang tidak merata tetapi difus yang menjadi dasar
dari semua proses selanjutnya pada pergeseran axonal difus (diffuse axonal injury, DAI).
Dalam kasus bertahan hidup yang lebih singkat (hingga 6 minggu), ia mengamati
pembalonan dan gangguan sumbu silinder. Temuan ini kemudian dikonfirmasi dan
dikembangkan oleh Nevin, oleh Adams dan rekan (1982), dan oleh Gennarelli dan rekan
kerja, yang terakhir dari kelompok ini juga menggunakan monyet.
Pengembangan konsep Strich, yang mendalilkan cedera aksonal difus di seluruh white
matter otak sebagai penyebab utama ketidaksadaran terus-menerus, telah diadopsi secara
luas. Sehubungan dengan gegar otak, lesi geser juga terlihat di otak tengah dan thalamus
bawah pada cedera parah, memberikan beberapa bukti untuk disfungsi neuron di daerah ini
sebagai penyebab gegar otak daripada cedera white matter difus seperti yang dijelaskan di
bawah ini. Masalah belum diselesaikan dan dua jenis cedera dapat terjadi bersamaan.
Pada sebagian besar kasus cedera kepala berat, ada kerusakan pada corpus callosum
akibat benturan dengan falx; nekrosis dan perdarahan kadang-kadang terlihat oleh CT dan
dapat terlihat menyebar secara bilateral ke white matter yang berdekatan (Gambar 34-7).
Mungkin juga ada pendarahan yang tersebar di white matter di sepanjang arah kekuatan dari
titik benturan ke sisi kontralateral. Degradasi white matter dari cedera aksonal difus dapat
sangat difus, tanpa hubungan yang jelas dengan lesi destruktif fokal, meskipun
membedakannya dari perubahan wallerian sekunder yang berasal dari permukaan atau
kontusio kalus bisa sulit. Investigasi menggunakan MRI, seperti penelitian serial oleh Kampfl
dan rekannya, menunjukkan bahwa cedera aksonal difus mungkin merupakan dasar dari
kondisi vegetatif persisten. Namun, pada sebagian besar kasus cedera kranial yang parah dan
koma yang berkepanjangan, ada lokasi cedera utama di otak tengah dan subthalamus, yaitu,
di zona yang mengalami torsi terbesar, dan lesi yang terakhir ini mungkin merupakan yang
kritis pada koma persisten. dan keadaan vegetatif (Adams et al, 2000; Ropper dan Miller). Ini
berlaku untuk kasus koma persisten yang dijelaskan oleh Jellinger dan Seitelberger. Yang
perlu dicatat, sekali lagi, adalah bahwa lesi-lesi yang dalam ini bertepatan dengan lokus
kelumpuhan konusif reversibel yang didalilkan.

Pendarahan batang otak primer karena torsi dan robeknya jaringan pada saat benturan
dibedakan dari perdarahan sekunder yang merupakan akibat dari efek pergeseran batang otak
ke bawah. Duret awalnya menekankan lokasi meduler dari perdarahan sekunder ini, tetapi
istilah "Pendarahan Duret" telah digunakan untuk menandakan semua pendarahan batang
otak ketika ada efek massa yang mendistorsi batang otak.
Selain memar dan perdarahan ekstradural, subdural, subarachnoid, dan intraserebral,
cedera kepala tertutup menginduksi derajat variabel edema vasogenik yang meningkat selama
24 hingga 48 jam pertama dan kadang-kadang, zona infark kecil yang dikaitkan dengan
spasme pembuluh darah yang disebabkan oleh darah subarachnoid di sekitar pembuluh darah
basal. Frekuensi dan pentingnya jenis infark cerebri sekunder ini telah diperdebatkan. Sebuah
studi pencitraan retrospektif oleh Marino dan rekan menemukan bahwa 17 dari 89 pasien
memiliki daerah stroke setelah cedera kepala sedang atau parah, sebuah fitur yang telah
ditunjukkan oleh Adams dan rekannya. Sebagian besar berada pada distribusi cabang utama
atau menembus pembuluh darah otak atau di sepanjang tepi pembuluh darah.
Kehadiran hipertensi intrakranial juga telah dikaitkan dengan insiden infark yang
lebih tinggi. Marmarou dan rekannya menunjukkan bahwa pembengkakan otak setelah
cedera kepala pada dasarnya adalah hasil dari edema dan bukan peningkatan volume darah
otak, seperti yang telah lama didalilkan. Pada anak-anak, dan dalam beberapa kasus pada
orang dewasa, edema serebral mungkin masif dan menyebabkan kompresi batang otak
sekunder.
Emboli Lemak Serebral
Fraktur pada tulang besar, terutama tulang paha, dengan atau tanpa cedera kepala,
setelah 24 hingga 72 jam dapat timbul gejala akut paru (dispnea dan hiperpnea) diikuti oleh
koma dengan atau tanpa tanda focal atau kejang. Rangkaian ini adalah hasil dari emboli
lemak sistemik, pertama dari paru-paru dan kemudian dari otak. Trauma kranial tidak
diperlukan. Dalam beberapa kasus timbulnya gejala paru dikaitkan dengan ruam petekie di
dada, terutama di aksila dan juga di konjungtiva dan 1 dari 3 kasus dikatakan menunjukkan
adanya gumpalan lemak dalam urin. Spesifisitas temuan terakhir telah dipertanyakan.
Gangguan pernapasan adalah yang paling penting dan sering merupakan satu-satunya ciri
dari sindrom emboli lemak, yang terlihat dalam foto dada sebagai infiltrat halus di kedua
paru-paru; Namun, banyak kasus telah dilaporkan tanpa keterlibatan pernapasan.
Di otak, beberapa emboli lemak kecil menyebabkan penyebaran perdarahan petekie
dan infark kecil, yang melibatkan white matter dan gray matter dan beberapa infark yang
lebih besar. Sebagian besar pasien dengan emboli lemak pulih secara spontan dalam 3 atau 4
hari, meskipun angka kematian hingga 10 persen ditemukan, biasanya terkait dengan cedera
sistemik dan tulang yang mendasarinya. Perawatan, selain dari bantuan pernapasan, adalah
terapi suportif. Heparin, yang telah digunakan di masa lalu, tidak dianggap efektif.

PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA


Dokter yang pertama kali dipanggil untuk memeriksa pasien yang memiliki cedera
kepala tertutup umumnya akan menemukan satu dari tiga kondisi klinis yang ditunjukkan
oleh bagian di bawah ini, yang masing-masing harus ditangani secara berbeda. Biasanya
untuk mengkategorikan pasien dengan menilai status mental dan neurologis ketika pertama
kali dilihat dan pada interval setelah kecelakaan. Glasgow Coma Scale telah digunakan
selama hampir 50 tahun sebagai referensi cepat untuk mencapai tujuan ini (Tabel 34-1) tetapi
tidak menggantikan pemeriksaan neurologis yang lebih lengkap. Skala tersebut mencatat tiga
aspek fungsi neurologis: pembukaan mata, respons verbal, dan respons motorik terhadap
berbagai rangsangan. Skala tersebut menggunakan skor penjumlahan dari 3 hingga 15; skor 7
atau kurang dianggap mencerminkan trauma berat dan keadaan klinis yang buruk, 8 hingga
12, cedera sedang, dan skor lebih tinggi, cedera ringan. Skor yang diberikan oleh skala ini
secara kasar sesuai dengan klinis dari cedera kepala sebagaimana yang akan dibahas lebih
lanjut, tetapi fungsi utamanya adalah untuk mencatat perubahan berkala pada keadaan klinis
pasien dengan cara yang mudah dipelajari dan dapat diajarkan.

Pasien yang Sadar atau Kesadarannya Pulih dengan Cepat (Gegar dan Cedera Kepala
Ringan)
Ini adalah kondisi klinis yang paling sering ditemui. Secara kasar, dua derajat fungsi
yang terganggu dapat dikenali pada kategori ini. Yang pertama, pasien hanya tampak tertegun
sejenak, "melihat bintang," atau mengalami disorientasi singkat. Cedera ini tidak signifikan
ketika dinilai dalam hal hidup atau mati dan kerusakan otak, meskipun, seperti yang akan
kami tunjukkan lebih lanjut, masih ada kemungkinan kecil fraktur tengkorak atau
perkembangan kemudian dari hematoma epidural atau subdural. Selain itu, beberapa pasien
dapat mengalami sindrom post-traumatik yang terdiri dari berbagai variasi kombinasi sakit
kepala, pusing, kurangnya kejernihan mental, kelelahan, insomnia, dan kegugupan yang
dapat muncul segera setelah atau dalam beberapa hari setelah cedera. Masalah ini dibahas di
bagian selanjutnya. Dalam contoh kesadaran yang hilang sesaatdalam beberapa detik atau
menit, pemulihan mungkin sudah terjadi dengan lengkap atau pasien mungkin dalam salah
satu tahap pemulihan parsial yang sudah dijelaskan sebelumnya ketika pertama kali ditemui
oleh dokter. Meskipun secara mental tampak sehat, ada amnesia untuk kejadian sesaat
sebelum dan setelah cedera. Yang terakhir menghasilkan keadaan kebingungan yang
biasanya terbatas pada kurangnya perhatian dan bisa jadi sedang berlangsung ketika pasien
pertama kali diperiksa. Ini ditandai dengan adanya pandangan bingung dan pertanyaan
berulang dari pasien tentang keadaan yang menyebabkan dia ditemukan.
Dalam kebanyakan kasus ringan seperti itu, penilaian singkat untuk kejernihan
mental, kelemahan, kelainan okular, dan tanda-tanda Babinski memang diperlukan, tetapi
kebutuhan untuk konsultasi neurologis yang luas dan rawat inap tidak diperlukan, asalkan
anggota keluarga yang bertanggung jawab tersedia untuk melaporkan setiap ada perubahan
dalam kondisi klinis pasien. Hanya pada kelompok kecil pasien ini, terutama pada mereka
yang lambat dalam memulihkan kembali kesadaran atau yang memiliki sakit kepala berat,
muntah, atau patah tulang tengkorak, adakah risiko yang signifikan terhadap perdarahan
intraserebral atau komplikasi tertunda lainnya. Harus juga berhati-hati jika ada kemungkinan
cedera leher.
Keputusan untuk melakukan foto kepala secara rutin pada pasien seperti itu adalah
masalah yang belum terselesaikan. Dalam masyarakat hukum kita, dokter diharuskan
melakukan CT scan. Jika pencitraan tidak menunjukkan adanya darah pada subarachnoid
(temuan umum) atau gumpalan atau kontusio intraparenkimal, dan pasien tampak sehat
secara mental,hanya sedikit kemungkinan untuk berkembang menjadi perdarahan ekstradural.
Adanya fraktur dapat meningkatkan kemungkinan ini, tetapi sebagian besar penelitian, seperti
yang dilakukan oleh Lloyd dan rekannya, telah menemukan bahwa adanya fraktur tengkorak
pada anak-anak terbukti hanya menjadi indikator yang relatif buruk terhadap adanya cedera
intrakranial. Pengecualian adalah fraktur melalui tulang skuamosa dan alur arteri meningeal
media, yang menunjukkan adanya risiko perdarahan arteri dan perdarahan epidural.
Dengan fokus saat ini pada penggunaan studi tambahan yang hemat biaya, kriteria
yang membenarkan kebutuhan akan CT-scan kepala setelah trauma kepala ringan telah
berkembang sebagaimana yang akan dibahas pada paragraf berikutnya. Kami umumnya
menyarankan CT-can dilakukan pada kasus cedera kepala yang berhubungan dengan
kehilangan kesadaran (lebih dari 1 menit), sakit kepala yang parah dan terus-menerus, mual
dan muntah, keadaan kebingungan, dan temuan tanda-tanda neurologis obyektif baru, tetapi
ini juga merupakan kriteria yang belum ada pedoman resminya. CT scan mungkin sangat
penting pada pasien usia lanjut dengan trauma kepala ringan, di mana keberadaan lesi
intrakranial (terutama hematoma subdural) mungkin tidak dapat diprediksi oleh tanda-tanda
klinis dan, tentu saja, pencitraan dapat disarankan jika pasien mengonsumsiagen antikoagulan
atau antiplatelet jenis apa pun di luar dosis kecil aspirin. Pada anak-anak, keputusan untuk
melakukan CT-scan lebih bebas. Ini digarisbawahi oleh hasil penelitian terhadap 215 anak-
anak dengan trauma kepala ringan yang dilakukan oleh Simon dan rekannya: 34 anak-anak
yang diketahui tidak mengalami kehilangan kesadaran dan skor Glasgow Coma Scale
mencapai 15, menunjukkan adanya lesi intracranial pada foto, di mana 3 di antaranya
memerlukan pembedahan.
Beberapa penelitian pada orang dewasa telah memberikan panduan yang luas dalam
memilih pasien mana yang akan dicitrakan (dengan "Kriteria New Orleans" dan "Canadian
CT Head Rule"; Tabel 34-2). Mereka melibatkan kriteria yang sensitif tetapi tidak spesifik
untuk cedera intrakranial, seperti usia di atas 60 tahun, keracunan, amnesia retrograde lebih
dari 30 menit, kecurigaan fraktur tengkorak, kejang, antikoagulasi, dan mekanisme cedera
berbahaya (lihat Smits et al dan Stiell et al). Dua skema tervalidasi untuk membantu dalam
penentuan kebutuhan untuk CT-scan di unit gawat darurat inidapat menjadi referensi
pembaca, tetapi mereka juga harus dilihat sebagai pedoman dengan sensitivitas yang cukup
tinggi untuk lesi penting pada CT, tetapi memiliki spesifisitas rendah sehingga sebagian besar
CT scan yang dilakukan di bawah rekomendasi ini dapat menunjukkan gambaran normal.
Masalah ini dibahas dalam ulasan oleh Ropper dan Gorson,
Cedera kepala yang ringan dan tampaknya sepele kadang-kadang dapat diikuti oleh
sejumlah fenomena klinis yang membingungkan dan mengkhawatirkan, beberapa tidak
signifikan, yang lain serius dan menunjukkan proses patologis selain gegar otak. Hal-hal
tersebut akan dijelaskan di bawah ini. Ketika mereka terjadi, disarankan untuk dilakukan
evaluasi neurologis atau bedah saraf.
Mengantuk, sakit kepala, dan kebingungan Gejala-gejala ini paling sering terjadi
pada anak-anak, yang, dalam beberapa menit atau jam setelah cedera kepala concussive,
tampak seperti bukan diri mereka sendiri. Mereka berbaring, mengantuk, mengeluh sakit
kepala, dan mungkin muntah — gejala yang menunjukkan adanya perdarahan intrakranial.
Fokus edema ringan dekat titik benturan dapat dilihat pada MRI. Biasanya tanpa disertai
fraktur tengkorak tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh Nee dan rekannya, muntah
berhubungan dengan peningkatan kejadian fraktur tengkorak dan aturan New Orleans dan
Canadian CTmenunjukkan bahwa muntah adalah faktor yang berhubungan dengan
perdarahan intrakranial (lihat Tabel 34- 2). Gejala-gejala mereda setelah beberapa jam,
mengarahkan pada sifat benignakondisi ini pada kebanyakan kasus, tetapi beberapa bentuk
pencitraan otak diperlukan.
Transient paraplegia, kebutaan, dan fenomena migraine Dengan kondisi jatuh
atau benturan di bagian atas kepala, kedua kaki dapat menjadi lemah sementara dan mati rasa,
dengan tanda-tanda Babinski bilateral yang lemah dan kadang-kadang dengan inkontinensia
sphincteric. Benturanpada oksipital dapat menyebabkan kebutaan sementara. Gejalanya
hilang setelah beberapa jam. Tampaknya gejala-gejala sementara ini menujukkan adanya efek
gegar otak yang terlokalisir secara langsung, yang disebabkan oleh lekukan tengkorak atau
oleh benturan bagian-bagian otak ini terhadap sisi bagian dalam tengkorak, tetapi mekanisme
vaskular juga tidak dapat diabaikan. Kebutaan dan paraplegia biasanya diikuti oleh sakit
kepala tipe vaskuler yang berdenyut. Fenomena migraine visualsementara, afasia, atau
hemiparesis, yang diikuti oleh sakit kepala, kadang-kadang ditemukan setelah gegar otak
minimal pada atlet yang berpartisipasi dalam olahraga yang memerlukan kontak. Bisa jadi
semua fenomena ini adalah hasil dari serangan migrain yang disebabkan oleh benturan pada
kepala. Sindrom fokal ini bisa membingungkan dan sangat mengkhawatirkan selama
beberapa jam, terutama jika itu merupakan serangan migrain pertama pada anak. Hal yang
perlu untuk diingat, terutama pada kasus quadriplegia akut, adalah kompresi tali pusat
traumatis atau, lebih jarang, emboli kartilaginosa pada korda servikal (lihat “Embolisme
Fibrocartilaginous” di Bab 42). Benturan pada bagian serviks sumsum tulang belakang adalah
mekanisme potensial lainnya yang menyebabkan paraplegia sementara.
Episode transient global amnesia (TGA) setelah cedera kepala ringan telah dijelaskan
oleh Haas dan Ross, sebagaimana disebutkan dalam Bab. 20, tetapi kesulitan membedakan
amnesia concussivedengan TGA juga telah disebutkan. Mereka sama-sama ditandai dengan
pertanyaan stereotip berulang tentang orientasi, yang umum ditemukan pada kedua proses
tersebut. Durasi 2 hingga 24 jam untuk TGA dan adanyapertanyaanyang terus berulang,
disarankan oleh Haas dan Ross sebagai pembeda antara dua kondisi tersebut, tetapi
pemisahan atas dasar ini tidak memuaskan.
Hemiplegia tertunda Penyebab utama hemiplegia tertunda adalah hematoma
epidural atau subdural yang berkembang lambat, dan pada cedera yang lebih parah,
perdarahan intraserebral. Sebagian besar dikaitkan dengan penurunan tingkat kesadaran sejak
awal tetapi juga ada beberapa pengecualian.
Diseksi arteri karotis interna juga harus dipertimbangkan dalam kasus hemiplegia
yang tertunda. Diseksi dapat terjadi di bagian ekstrakranial atau intrakranial arteri karotis dan
harus dicari dengan teknik pencitraan vaskuler jika tidak ditemukan penjelasan lain akan
penyebab hemiparesis. Dalam kasus lain, hemiplegia yang tidak memiliki penjelasan yang
jelas selain pukulan ke kepala, mungkin terkait dengan fenomena migrain yang dijelaskan
sebelumnya.
Kerusakan Cerebral Serius setelah Lucid Interval
Kelompok ini lebih kecil dari dua kelompok lainnya tetapi sangat penting karena
melibatkan jumlah pasien yang tidak proporsional yang membutuhkan perawatan bedah
segera. Hilangnya kesadaran awal karena gegar otak mungkin hanya berlangsung beberapa
menit atau, secara khusus, mungkin tidak ada periode tidak respons sama sekali, di mana
contohnya orang mungkin salah menyimpulkan bahwa tidak ada gegar otak dan
kemungkinan kecil ada pendarahan traumatis atau cedera otak jenis lainnya. Pasien dengan
urutan kejadian seperti ini, yang di masa lalu disebut dengan jelas sebagai "talk and die" oleh
Marshall dan rekan (1983), mengalami deteriorasi yang terlambat karena perluasan
hematoma subdural, memburuknya edema otak di sekitar memar, atau keterlambatan
munculnya clot epidural. Di antara 34 pasien seperti itu di Traumatic Coma Data Bank yang
memiliki jenis lucid interveal ini, mayoritas menunjukkan derajat midline shift yang
substansial pada CT scan awal, yang menunjukkan adanya edema dan kontusi otak dini
(Marshall et al, 1983). Kondisi yang agak terkait dengan hematoma intracerebral tertunda
(spät apoplexie), yang akan dibahas lebih lanjut, adalah bagian dari cedera kepala awal yang
berat yang biasanya menyebabkan koma sejak awal. Masalah emboli lemak serebral, yang
telah disebutkan sebelumnya, harus dipertimbangkan dalam kasus-kasus deteriorasi yang
tertunda, terutama jika ada gangguan pernapasan.

Pasien yang Tetap dalam Keadaan Koma sejak terjadinya Cedera Kepala
Di sini, masalah utama, yang dikemukakan oleh Symonds, adalah hubungan antara
gegar otak dan memar dan bentuk-bentuk lain dari kerusakan otak struktural yang menetap.
Karena kesadaran hilang pada saat cedera, tidak perlu meragukan adanya gegar otak dalam
kasus-kasus seperti itu; tetapi ketika beberapa jam sudah berlalu tanpa pulihnya kesadaran,
bagian kedua dari definisi umum gegar otak - bahwa gangguan fungsi otak bersifat sementara
- tidak dapat diaplikasikan. Pemeriksaan patologis dari kasus-kasus tersebut biasanya
mengungkapkan bukti adanya peningkatan ICP dan kontusio serebral, perdarahan
subaraknoid, adanya zona infark, dan pendarahan intracerebral yang tersebar baik pada titik
benturan (coup) dan di sisi yang berlawanan (contrecoup), dalam corpus callosum, dan di
antara titik-titik ini, di sepanjang garis searah arah benturan. Pada beberapa pasien, tipe
cedera aksonal difus menonjol atau, seperti telah disebutkan, terdapat lesi iskemik dan
hemoragik yang terpisah namun berada secara strategis di otak tengah bagian atas dan daerah
thalamik bawah. Terdapat jumlah darah yang bervariasi di ruang subaraknoid dan subdural.
Pergeseran talamus dan otak tengah dapat terjadi, dengan kompresi batang otak yang
berlawanan terhadap margin bebas dari tentorium serta perdarahan otak tengah sekunder dan
zona nekrosis; dalam beberapa kasus, ada herniasi transtentorial.
Cedera kepala yang parah sering dikaitkan dengan henti napas segera dan kadang-
kadang dengan bradiaritmia dan henti jantung. Efek langsung pada otak dari perubahan
sistemik ini sudah cukup untuk menyebabkan koma. Tekanan intrakranial hampir selalu
meningkat dan pencitraan otak menunjukkan berbagai tingkat pembengkakan otak, kompresi
ventrikel, dan midline shifting. Juga, cedera kepala sering memperberat kondisi konsumsi
alkohol dan obat-obatan, sehingga kemungkinan ensefalopati toksik atau metabolik sebagai
penyebab (atau penyebab yang terlibat) pada keadaan pingsan harus selalu dipertimbangkan.
Pada semua pasien ini, setelah periode stabilisasi awal, yang menjadi perhatian adalah
penilaian klinis dan imaging, dengan tujuan untuk mengetahui lesi yang dapat diatasi dengan
pembedahan, yaitu hematoma subdural atau epidural atau hematoma intraparenkimal yang
dapat diobati,yang bukan berupa memar. Dalam kebanyakan kasus, penemuan massa lesi
seperti itu mengarah pada perlunya evakuasi dengan pembedahan. Tetapi kecuali itu adalah
satu-satunya lesi, prosedur bedah ini sering terbukti tidak cukup dan koma cenderung
bertahan karena kerusakan otak yang terkait. Identifikasi dan pengelolaan hematoma ini akan
dijelaskan lebih lanjut.
Dalam Traumatic Coma Data Bank, yang mencakup 1.030 pasien yang terluka parah
dengan Glasgow Coma Score 8 atau kurang, 21 persen memiliki hematoma subdural, 11
persen memiliki clot intraserebral, dan 5 persen memiliki hematoma epidural. Namun, perlu
dicatat bahwa separuh pasien tidak menunjukkan adanya massa lesi pada hasil CT scan. Atas
dasar ini, pasien ini dianggap memiliki cedera aksonal difus. Namun, dalam 50 otopsi
berturut-turut dari pasien yang terluka parah, dirangkum di era sebelumnya oleh Rowbotham,
semuanya, kecuali 2, menunjukkan perubahan makroskopis, menunjukkan relatif tidak dapat
diandalkannya analisis dengan CT-scan. Lesi dalam kasus ini terdiri dari kontusio pada
permukaan (48 persen), laserasi korteks serebral (28 persen), perdarahan subaraknoid (72
persen), hematoma subdural (15 persen), perdarahan ekstradural (20 persen), dan patah tulang
tengkorak (72 persen). Seperti yang ditunjukkan oleh angka-angka ini, beberapa entitas
patologis ditemukan pada pasien yang sama.
Ada kelompok relatif kecil pasien yang mengalami cedera otak berat di mana tanda-
tanda vital menjadi normal tetapi tidak pernah sadar penuh kembali. Seiring berlalunya
waktu, prospek menjadi lebih suram. Pasien seperti itu, terutama jika seorang anak, mungkin
masih bias bangun dari koma setelah 6 sampai 12 minggu atau lebih dan membuat pemulihan
yang relatif baik, meskipun biasanya tidak sempurna. Beberapa dari mereka yang bertahan
hidup dalam waktu yang lama membuka mata mereka dan menggerakkan kepala dan mata
mereka dari sisi ke sisi tetapi tidak menunjukkan bukti bahwa dia melihat atau mengenali
bahkan anggota keluarga terdekat mereka. Mereka tidak dapat berbicara dan hanya mampu
melakukan gerakan penarikan postural atau refleks primitif. Jennett dan Plum menyebut ini
sebagai "kondisi vegetatif persisten" (lihat Bab 16 untuk pembahasan penuh tentang hal ini).
Empat belas persen pasien di Traumatic Coma Data Bank tetap dalam kondisi ini.
Hemiplegia atau quadriplegia dengan berbagai tingkat decerebrata atau posisi dekortika
biasanya ditemukan. Hidup pasien initerkadang diterminasi setelah beberapa bulan atau tahun
oleh karena beberapa komplikasi medis tetapi mungkin pasien telah bertahan selama
beberapa dekade. Rekan kami, R.D. Adams memeriksa otak 14 pasien yang tetap koma dan
dalam kondisi vegetatif dari 1 hingga 14 tahun. Semua menunjukkan adanya zona luas
nekrosis dan perdarahan di batang otak bagian atas. Di antara pasien yang bertahan dan tetap
vegetatif sampai mati, J.H. Adams dan rekan (2000) menemukan bahwa 80 persen memiliki
kerusakan talamik dan 71 persen ditemukan adanya cedera aksonal difus. Selain itu, trauma
pada organ dan jaringan ekstrakranial sering dan jelas menyebabkan hasil yang fatal. Studi
fungsional terbaru menunjukkan bahwa proporsi terbatas pasien yang berada dalam kondisi
vegetatif atau sadar minimal dapat dilatih untuk secara sengaja memicukerja bagian otak
besar.
Untuk generalisasi kategori cedera kepala ini, efek kontusio, pendarahan, dan
pembengkakan otak sering menjadi jelas dalam 18 hingga 36 jam setelah cedera dan
kemudian dapat berkembang selama beberapa hari. Jika seorang pasien selamat dari periode
ini, kemungkinan kematiannya akibat efek komplikasi ini sangat berkurang. Tingkat
mortalitas mereka yang saat mencapai rumah sakit dalam keadaan koma adalah sekitar 20
persen, dan sebagian besar kematian terjadi dalam 12 hingga 24 jam pertama sebagai akibat
dari cedera langsung pada otak yang disertai kombinasi dengan cedera nonneurologis lainnya.
Dari mereka yang hidup dalam 24 jam, angka kematian keseluruhan turun menjadi 7 hingga 8
persen; setelah 48 jam, hanya 1 sampai 2 persen pasien meninggal. Ada beberapa bukti
bahwa pemindahan pasien tersebut ke unit perawatan intensif, di mana personel yang
berpengalaman dalam penanganan cedera kepala dapat memantau mereka, meningkatkan
peluang untuk bertahan hidup (lihat lebih lanjut)
Salah satu kemajuan sederhana dalam perawatan medis untuk ketidakresponsifan
akibat trauma berasal dari uji coba secara acak oleh Giacino dan rekannya yang menunjukkan
bahwa amantadine sedikit mempercepat perbaikan dari keadaan vegetatif atau keadaan sadar
minimal; amantadine diberikan selama 4 minggu antara minggu keempat dan kedua belas
setelah cedera, 100 mg dua kali sehari dan meningkat menjadi 200 mg dua kali sehari.
Efeknya kurang jelas dalam 6 minggu, tetapi ini dan agen aktivasi lainnya tampak seperti
pendekatan yang menjanjikan yang telah mencoba masuk dan keluar selama bertahun-tahun.
Dalam kasus uji yang lebih lama, stimulasi otak dalam pada inti thalamic telah dieksplorasi
dalam beberapa dekade terakhir dan telah menunjukkan beberapa keberhasilan. Klaim untuk
jenis program aktivasi perilaku lain belum divalidasi.

LESI TRAUMA KEPALA SPESIFIK


Lesi-lesi berikut adalah yang perlu dipertimbangkan dalam semua kasus cedera
kranial berat. Masing-masing memiliki fitur klinis dan pencitraan yang khas tetapi juga dapat
berupa campuran dan kontribusi masing-masing terhadapa keadaan klinis harus dinilai
sebelum memutuskan tindakan.

Perdarahan Epidural Akut


Seperti namanya, hematoma epidural timbul pada fraktur temporal atau parietal dan
laserasi arteri atau vena meningeal media. Yang jarang terjadi, ada robekan pada sinus vena
dural. Cedera, bahkan bila sampai menyebabkan fraktur tengkorak, mungkin tidak
menyebabkan koma pada awalnya, atau bisa jadi merupakan bagian dari cedera
craniocerebral yang menghancurkan. Contoh khasnya adalah seorang anak yang jatuh dari
sepeda atau ayunan atau menderita benturan keras lainnya ke kepala dan hanya sesaat saja
tidak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian (kecuali, bila ada perdarahan pada vena,
intervalnya mungkin beberapa hari atau seminggu), sakit kepala bertambah parah, dengan
disertai muntah, kantuk, kebingungan, afasia, kejang (yang mungkin satu sisi), hemiparesis
dengan reflekstendon sedikit meningkat, dan tanda Babinski. Ketika koma muncul,
hemiparesis dapat menyebabkan terjadinya spastisitas bilateral tungkai dan tanda Babinski.
Denyut jantung meningkat sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah sistolik (efek
Cushing). Pupil dapat ditemukan pada sisi yang mengalami hematoma. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan cepat dengan ditemukangambaran berbentuk lensa dengan margin dalam
yang halus pada CT dan MRI (Gbr. 34-8). Kematian, yang sering terjadi saat clot yang
membesar tidak diangkat melalui pembedahan, terjadi pada periode akhir koma dan
diakibatkan oleh henti napas. Visualisasi garis fraktur melintasi lekukan arteri meningeal
media dan informasi mengenai sisi kepala mana yang terbentur (clot berada pada sisi itu)
sangat membantu dalam penegakan diagnosis dan lateralisasi lesi. Namun, pembuluh darah
meningeal juga kadang-kadang bisa robek tanpa adanya fraktur.

Tatalaksana hematoma epidural Prosedur bedah terdiri dari pembuatan burr hole
dalam situasi yang benar-benar darurat di UGD atau di tempat tidur pasien atau, yang lebih
disarankan kraniotomi, drainase hematoma, dan identifikasi dan ligasi pembuluh darah yang
bermasalah. Hasil operasi sangat baik kecuali pada kasus dengan fraktur yang memanjang
dan terdapat laserasi sinus vena dural, di mana hematoma epidural ditemukan bilateral
daripada unilateral seperti yang biasa ditemukan. Jika koma, tanda-tanda Babinski bilateral,
spastisitas, atau decerebrate rigidity supervenes ebelum operasi, biasanya menunjukkan
adanyapergeseran struktur sentral dan kompresi otak tengah telah terjadi; prognosisnya
buruk, tetapi beberapa pasien baik-baik saja jika pembedahan tidak tertunda terlalu lama.
Perdarahan epidural kecil dapat diobservasi dengan CT-scan serial dan akan terlihat
membesar secara bertahap selama satu atau dua minggu, dan kemudian akan diserap. Ada
kontroversi tentang manfaat menghilangkan bekuan yang lebih kecil ini pada pasien yang
tidak menunjukkan gejala atau tanda; dengan pengawasan klinis dan pencitraan serial, hal ini
dapat dibiarkan sendiri.

Perdarahan Subdurat Akut dan Kronis


Masalah yang ditimbulkan oleh hematoma subdural akut dan kronis sangat berbeda
sehingga mereka harus dibahas secara terpisah. Pada hematoma subdural akut, yang bisa
unilateral atau bilateral, mungkin ada lucid interval singkat antara benturan kepala dan
munculnya keadaan koma. Lebih sering ditemukan, pasien sudah dalam keadaan koma sejak
saat cedera dan koma progresif semakin dalam. Hematoma subdural akut dapat ditemukan
bersamaan dengan perdarahan epidural, memar otak, atau laserasi. Efek klinis dari beberapa
lesi ini sulit dibedakan dan ada beberapa pasien yang tidak dapat ditentukan sebelum
dilakukan operasi apakah clotting tersebut berada di lokasi epidural atau subdural. Clot
subduraldengan ketebalan lebih dari beberapa milimeter dapat divisualisasikan secara akurat
dengan CT scan pada lebih dari 90 persen kasus, tetap pengaturan window pada CT-scan
harus sesuai untuk menghindari ditemukannya gambaran seperti clot oleh tulang yang
berdekatan (Gbr. 34-9). Gumpalan akut yang besar menyebabkan midline shifting serta
kompresi padasalah satu ventrikel lateralis; tetapi jika ada clot bilateral, bisa jadi tidak ada
ditemukanshifting dan ventrikel akan tampak tertekan secara simetris.
Hematoma subdural yang berkembang cepat biasanya merupakan akibat robeknya
bridging vein, dan gejalanya disebabkan oleh kompresi pada struktur otak yang berdekatan
dan struktur yang lebih dalam. Tidak seperti perdarahan arteri epidural, yang semakin
progresif, adanya peningkatan ICP biasanya menahan perdarahan vena.\
Pengecualian, pada hematoma subdural terbentuk di fossa posterior dan menimbulkan
sakit kepala, muntah, ketidaksimetrisan pupil, disfagia, kelumpuhan saraf kranial, dan, jarang
terjadi, leher kaku, dan ataksia trunk dan gaya berjalan jika pasien cukup sehat untuk diuji
dengan tes fungsi-fungsi ini. Karena aposisi mereka terhadap tulang atau orientasi aksial
sepanjang dura tentorial, clot pada fossa posterior cenderung diabaikan pada CT scan.
Pada hematoma subdural kronis, etiologi traumatik sering kurang jelas. Cedera
kepala, terutama pada orang lanjut usia dan pada mereka yang menggunakan obat
antikoagulan, mungkin dianggap sepele dan kemudian dilupakan. Beberapa minggu
kemudian terjadi sakit kepala (yang menetap), pusing, lambat dalam berpikir, apatis dan
mengantuk, gaya berjalan tidak stabil, dan kadang-kadang kejang, merupakan gejala
utamanya. Kesan awal mungkin bahwa pasien memiliki lesi vaskular atau tumor otak atau
menderita keracunan obat, penyakit depresi, atau penyakit Alzheimer. Ekspansi hematoma
secara bertahap melalui salah satu dari beberapa mekanisme yang akan dibahas lebih lanjut
diyakini menyebabkan progresivitas gejala. Seperti hematoma subdural akut, gangguan
mental dan kesadaran (mengantuk, kurang perhatian, dan kebingungan) lebih menonjol
daripada tanda-tanda fokal atau lateral, dan bersifat fluktutatif. Tanda-tanda fokal, saat ini,
terdiri dari hemiparesis ringan dan, jarang terjadi, gangguan afasia. Hemianopia homonim
jarang ditemukan, mungkin karena jalur geniculocalcarineberada dalam dan tidak mudah
dikompresi; sama halnya dengan itu, hemiplegia, yaitu kelumpuhan total pada satu lengan
dan tungkai, biasanya menunjukkan adanya lesi di sisi dalam hemisfer otak daripada adanya
lesi tekan pada bagian permukaannya. Hemiparesis dari hematoma subdural kadang-kadang
bisa ipsilateral dengan clot, sebagai hasil kompresi dari peduncle serebral kontralateral
terhadap tepi bebas dari tentorium (tanda Kernohan-Woltman; lihat "Patoanatomi Pergeseran
Otak dan Herniasi" pada Bab 16). Jika kondisi ini berkembang, pasien menjadi pingsan atau
koma. Tetapi hal ini sering kali disertai oleh fluktuasi kesadaran yang mencolok.
Baik pada hematoma akut dan kronis yang besar, dilatasi pupil ipsilateral adalah
indikator yang cukup dapat diandalkan pada sisi hematoma, meskipun tanda ini bisa jadi
menyesatkan, ditemukan pada sisi yang berlawanan pada 10 persen kasus, menurut
Pevehouse dan rekan kerja. Konvulsi kadang-kadang ditemukan, paling sering pada pecandu
alkohol atau pada pasien dengan kontusio serebral, tetapi ini tidak bisa dianggap sebagai
tanda kardinal hematoma subdural. Kasus-kasus yang jarang dari ophthalmoplegia
internuklear dan chorea telah dilaporkan tetapi belum dibahas dalam materi kami. Mungkin
hal itu adalah hasil dari distorsi struktur yang dalam. Juga, gangguan fungsi neurologis yang
singkat dan terbatas yang menyerupaitransient ischemic attack (TIAs) dapat terjadi pada
temuan hematoma kronis; mekanismenya tidak pasti, tetapi itu tampaknya tidak menujukkan
kejang. Pada bayi dan anak-anak, pembesaran kepala, muntah, dan kejang adalah manifestasi
yang menonjol dari hematoma subdural.
CT-scan dan MRI adalah prosedur diagnostik yang paling dapat diandalkan. Pada CT-
scan, gumpalan akut awalnya hiperdens tetapi menjadi isodense perlahan setelah periode 1
minggu atau lebih (Gbr. 34-10). Pada tahap itu mungkin menyebabkan sulit untuk dideteksi
kecuali oleh shifting jaringan yang disebabkannya. Cairan yang terkumpul kemudian menjadi
hipodens progresif (sehubungan dengan korteks serebral yang berdekatan) selama 2 sampai 6
minggu. Evolusi perubahan sinyal dalam MRI mirip dengan perubahan imaging serial yang
ditemukan dengan hematoma parenkim. Gumpalan akut adalah hipointens pada gambar T2-
weighted, mencerminkan adanya deoxyhemoglobin. Selama minggu-minggu berikutnya,
semua gambaran menunjukkan gambaran hiperintens sebagai hasil dari pembentukan
methemoglobin. Akhirnya gumpalan kronis kembali menjadi hipointense pada gambar T1-
weighted. Dengan penggunaan kontras, kedua prosedur pencitraan biasanya menunjukkan
batas vaskular dan reaktif di sekitar gumpalan. Biasanya, pada minggu keempat, kadang-
kadang, hematoma menjadi sangat hipodens, sehingga menimbulkan hygroma subdural
kronis yang tidak dapat dibedakan dengan gambaran yang idiopatik, yang mungkin
disebabkan oleh koyakan di arachnoid yang memungkinkan CSF untuk bocor ke
kompartemen subdural, seperti yang akan dibahas lebih lanjut.

Hematoma subdural kronik menjadi berangsur-angsur dilapisi oleh membran fibrosa


(pseudomembran) yang tumbuh dari dura. Beberapa hematoma, bisa jadi yang perdarahan
awalnya sedikit (lihat di bawah), terserap secara spontan. Yang lain mengembang dengan
lambat dan tampak menjadi massa yang memenuhi ruang (Gbr. 34-11). Gardner, pada tahun
1932, pertama kali mendalilkan bahwa pembesaran hematoma secara bertahap adalah akibat
dari aksesi cairan, khususnya CSF, yang ditarik ke dalam kista hemoragik seiring
meningkatnya ketegangan osmotik ketika sel-sel darah merah (RBCs) dihemolisis dan protein
dibebaskan. Hipotesis ini, yang kemudian diterima secara luas, tidak didukung oleh data yang
valid. Telah ditunjukkan bahwa pemecahan sel darah merah hanya berkontribusi sedikit, jika
tidak sama sekali, terhadap akumulasi cairan di ruang subdural. Menurut penulis yang disebut
terakhir, faktor yang paling penting dalam ekspansi cairan subdural adalah permeabilitas
patologis dari kapiler yang berkembang di pseudomembran luar dari hematoma. CSF tidak
memainkan peran yang penting dalam proses ini, bertentangan dengan pandangan asli Munro
dan Merritt. Pengamatan eksperimental Labadie dan Glover menunjukkan bahwa volume
awal clot merupakan faktor kritis: Semakin besar ukuran awal, semakin besar kemungkinan
akan membesar. Reaksi inflamasi, yang dipicu oleh pemecahan produk unsur-unsur darah
pada gumpalan, tampaknya menjadi stimulus tambahan untuk pertumbuhan serta untuk
pembentukan neomembran dan vaskularisasi. Bagaimanapun, ketika hematoma membesar,
efek penekanan akan meningkat secara bertahap.

Tatalaksana hematoma subdural Dalam kebanyakan kasus hematoma akut, cukup


membuat burr hole dan mengevakuasi bekuan darah sebelum muncul keadaan koma.
Pengobatan hematoma yang lebih besar, terutama saat setelah beberapa jam berlalu dan darah
sudah membeku, terdiri dari kraniotomi untuk memungkinkan kontrol perdarahan dan
pengangkatan gumpalan. Seperti yang sudah diduga, interval antara hilangnya kesadaran dan
prosedur bedahdrainase bekuan darah mungkin merupakan faktor penentu hasil yang paling
penting dalam kasus-kasus serius. Gumpalan yang tipis, crescenti, dapat diamati dan
diobservasi selama beberapa minggu dan operasi dilakukan hanya jika tanda-tanda fokal atau
ada indikasi berupa peningkatan ICP yang muncul (sakit kepala, muntah, dan bradikardia).
Hematoma subdural kecil yang tidak menimbulkan gejala dan telah diobservasi dengan CT
scan serial akan terserap sendiri, hanya menyisakan selaput kuning tua yang terkadang
terkalsifikasi yang melekat pada permukaan dural bagian dalam. Jika gumpalan akut terlalu
kecil untuk menjelaskan mengenai keadaan pasien yang koma atau gejala lainnya, mungkin
ada memar otak yang luas atau lesi lain.
Untuk menghilangkan hematoma kronis yang lebih besar, kraniotomi harus dilakukan
dan upaya dilakukan untuk menghilangkan selaput yang mengelilingi gumpalan. Ini
disebutkan dapat mengurangi kemungkinan reakumulasi cairan tetapi ini tidak selalu berhasil.
Penyebab lain kegagalan operasi adalah adanya pembengkakan hemisfer yang terkompresi
pasca operasi atau kegagalan ekspansi kembali hemisfer setelah pengangkatan yang
gumpalan besar. Kesulitan saat mengelola pasien ini dalam operasi tidak boleh diremehkan.
Pasien usia lanjut mungkin lambat pulih setelah pengangkatan hematoma kronis atau
mungkin mengalami periode kebingungan yang berkepanjangan. Ekspansi otak pasca operasi
dapat diamati dengan pemindaian CT serial dan dapat memerlukan waktu berminggu-
minggu. Adanya gumpalan kronis kecil tanpa gejala biasanya dibiarkan sendiri dan
diobservasi secara serial dengan pemeriksaan klinis dan CT-scan, saat awal dikontrol dalam
beberapa minggu dan kemudian dengan interval yang lebih lama.
Meskipun bukan lagi praktik yang umum, pemberian glukokortikoid merupakan
alternatif lain dari operasi pengangkatan hematoma subdural subakut dan kronis pada pasien
dengan gejala minor atau dengan kontraindikasi terhadap pembedahan. Pendekatan ini,
ditinjau oleh Bender dan Christoff beberapa dekade yang lalu, belum dipelajari secara
sistematis tetapi telah berhasil pada beberapa pasien kami (walau tentu saja, bisa jadi mereka
juga telah membaik tanpa pemberian steroid).

Higroma Subdural
Ini adalah pengumpulan yang encer dari cairan bening atau sedikit xanthochromic di
ruang subdural; pengumpulan tersebut terbentuk setelah cedera, serta setelah meningitis
(pada bayi atau anak kecil). Seperti yang sering terjadi, higroma subdural muncul tanpa
presipitan, mungkin karena efek ball-valvepada robekan arachnoidal yang memungkinkan
cairan serebrospinal terkumpul di ruang antara arachnoid dan dura; atrofi otak dapat
disebabkan oleh proses ini. Kadang-kadang higroma berasal dari sobekan kista arachnoidal.
Mungkin sulit untuk membedakan hematoma subdural kronis dengan higroma, dan beberapa
hematoma subdural kronis juga bisa jadi merupakan hasil dari perdarahan kecil berulang
yang timbul dari membran hygroma. Penyusutan otak hidrosefalus setelah
ventrikuloperitoneal shunting (VP-shunt) juga mendukung untuk pembentukan hematoma
subdural atau higroma, di mana gejala kantuk, kebingungan, mudah tersinggung, dan demam
ringan akan berkurang ketika cairan subdural disedot atau dikeringkan. Hipotensi intrakranial
adalah penyebab lain dari hygroma subdural. Pada orang dewasa, hygromas biasanya tanpa
gejala dan tidak memerlukan pengobatan; namunwalau jarang bisa menjadi penyebab kejang.

Kontusio Cerebri dan Perdarahan Intracerebral Traumatik


Cedera kepala tertutup yang parah hampir selalu disertai oleh kontusio kortikal dan
edema di sekitarnya. Efek massa dari pembengkakan kontusional, jika cukup besar, menjadi
faktor utama dalam terjadinya shifting jaringan dan meningkatkan ICP. Gambaran CT-scan
pada kontusio juga sudah dijelaskan (lihat Gambar 34-4 dan 34-5). Dalam beberapa jam
pertama setelah cedera, titik-titik perdarahan di daerah yang terbentur mungkin tampak kecil
dan tidak berbahaya. Perhatian utama, bagaimanapun, adalah kecenderungan pembengkakan
pada daerah yang terbentur dan berkembang menjadi hematoma dalam beberapa hari pertama
setelah cedera. Hal ini dapat menyebabkan deteriorasi klinis yang tertunda, kadang-kadang
timbul secara tiba-tiba dan bersamaan dengan munculnya pembengkakan pada daerah yang
rusak pada CT scan. Telah dipercaya, walau dengan alasan yang tidak pasti, bahwa
pembengkakan di daerah kontusio akut dipicu oleh pemberian cairan intravena yang
berlebihan (manajemen cairan dibahas lebih lanjut pada bab ini). Kraniotomi dan dekompresi
otak yang mengalami pembengkakanbisa jadi bermanfaat pada kasus-kasus tertentu yang
disertai dengan peningkatan ICP tetapi tidak memiliki efek pada defisit neurologis fokal.
Satu atau beberapa perdarahan intraserebral mungkin dapat terlihat segera setelah
terjadinya cedera kepala, atau walau jarang perdarahan bisa jadi tertunda seiring
perkembangannya selama beberapa hari (spät apoplexie yang disebutkan sebelumnya).
Pendarahan terjadi pada white matter subkortikal dari satu lobus otak atau pada struktur yang
lebih dalam seperti ganglia basalis atau thalamus. Cedera itu hampir selalu parah; disertai
robekan pada pembuluh darah serta jaringan kortikal.
Gambaran klinis perdarahan intraserebral traumatis mirip dengan perdarahan otak
pada hipertensi dengan koma yang lebih dalam dan dengan hemiplegia, pupil yang melebar,
tanda Babinski bilateral, dan pernapasan yang tidak teratur. Massa tambahan dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah dan ICP secara tiba-tiba.
Kraniotomi untuk evakuasi bekuan akut atau tertunda tela dinyatakan sukses dalam
beberapa kasus, tetapi kelayakan untuk dilakukan operasi dengan memperhatikan beberapa
faktor termasuk tingkat kesadaran, waktu dari saat awal cedera, dan kerusakan terkait
(memar, perdarahan subdural dan epidural) yang ditunjukkan melalui studi pencitraan.
Penerapan pemantauan ICP dan dilakukannya CT-scan pada saat setelah cedera memudahkan
penegakan diagnosis. Boto dan rekan menemukan bahwa perdarahan ganglia basalis
cenderung membesar dalam satu atau dua hari setelah cedera kepala tertutup dan bahwa
volume yang lebih besar dari 25 mL berakibat fatal pada 9 dari 10 kasus.
Perlu disebutkan lagi bahwa adanya darah pada subaraknoid dengan derajat tertentu
sangat umum terjadi setelah terjadinya cedera kepala pada berbagai kondisi. Masalah yang
kadang-kadang muncul dalam kasus yang menampilkan kontusio dan adanya darah
subaraknoid adalah kemungkinan diawali dengan aneurisma yang pecah dan adanya proses
jatuh yang terjadi menyebabkan kontusio. Pada kasus di mana darah subarachnoid terkumpul
di sekitar salah satu pembuluh utama circulus Willis, disarankan untuk dilakukan angiogram
untuk menyingkirkan kemungkinan tersebut. Juga pada pasien usia lanjut, sulit untuk
menentukan apakah jatuh adalah yang menjadi penyebab atau hanya akibat adanya
perdarahan subarachnoid atau intraserebral. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab. 33.

Pembengkakan Otak akibat Trauma Akut pada Anak


Kondisi ini terlihat pada jam-jam pertama setelah cedera dan dapat menjadi fatal
dengan cepat. CT scan menunjukkan pembesaran pada hemisfer dan kompresi pada sisterna
basal dan ventrikel. Biasanya tidak ada papilledema pada tahap awal, di mana anak akan
mengalami hiperventilasi, muntah, dan menunjukkan postur ekstensi. Asumsinya adalah
bahwa ini menunjukkan hilangnya regulasi aliran darah pada otak dan peningkatan besar-
besaran volume darah di otak. Pemberian air yang berlebihan melalui cairan intravena dapat
menjadi masalah dan harus dihindari. Sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai juga
menyebabkan pembengkakan berlebian pada beberapa kasus. Kami belum menemukan
mengenai komplikasi ini pada orang dewasa. Ketakutan akan pembengkakan otak yang
semakin membesar sebagai dampak lanjutan setelah gegar otak telah dijadikan sebagai alasan
untuk mencegah anak-anak kembali ke aktivitas atletik, tetapi hanya ada bukti terbatas
mengenai keberadaan kelompok ini pada orang dewasa seperti dicatat oleh McCrory dan
Berkovic.

“Shaken Baby” Syndrome


Jenis trauma craniocerebral pada bayi ini dikenal dalam praktik kedaruratan yang luas
dan saat ini sudah lebih jarang terlewatkan daripada di masa lalu karena saat ini praktisi telah
lebih peka untuk menganggapnya sebagai bentuk kekerasan pada anak ketika seorang bayi
atau anak terluka. Seperti namanya, trauma yang menyebabkan biasanya berupa guncangan
pada tubuh atau kepala bayi dengan keras, yang mengakibatkan akselerasi dan deselerasi
kranium yang cepat. Adanya jenis cedera ini disimpulkan dari distribusi dan jenis lesi pada
studi imaging atau pada pemeriksaan otopsi, tetapi ketepatan dalam pemeriksaan ini sangat
penting karena implikasi pada bidang forensik dan hukumnya. Diagnosis ditegakkan dari
kombinasi hematoma subdural dan adanya perdarahan pada retina, sebagaimana dirangkum
oleh Bonnier dan rekannya. Kadang-kadang terdapat fraktur tengkorak okultisme, tetapi lebih
sering tanpa disertai adanya trauma tengkorak langsung atau hanya berupa trauma kecil. Lesi
tambahan dapat terlihat pada diffusion-weighted MRI, khususnya pada white matter di corpus
callosum dan daerah temporo-occipito-parietal. Sindrom ini menyebabkan risiko tinggi
keterlambatan perkembangan kognitif; dalam kasus-kasus ekstrem dapat diperoleh
mikrosefali yang menunjukkan adanya atrofi otak akibat kontusio dan infark. Skor Glasgow
Coma Scale awal yang rendah, adanya perdarahan retina, dan fraktur tengkorak berhubungan
dengan prognosis yang buruk. Adanya fraktur lama dan baru di bagian lain tubuh harus
menimbulkan kecurigaan terhadap diagnosa sindrom ini.

Luka Penetrasi dan Cedera akibat Ledakan


Peluru dan Fragmennya
Penjelasan di halaman sebelumnya adalah mengenai cedera tumpul tengkorak, tidak
menembus dan dampaknya pada otak. Di masa lalu, perawatan untuk cedera yang menembus
craniocerebral terutama berkaitan dengan bedah pada militer, tetapi - dengan masih
banyaknya tindak kejahatan dan kekerasan di masyarakat - kasus-kasus seperti itu juga
menjadi hal biasa ditemui di UGD rumah sakit umum.
Dalam kehidupan sipil, missile injuries pada dasarnya disebabkan oleh peluru yang
ditembakkan dari senapan atau pistol dengan kecepatan tinggi. Udara dikompres di bagian
depan peluru sehingga memiliki efek eksplosif saat memasuki jaringan dan menyebabkan
kerusakan yang cukup luas di sekitar daerah yang terkena peluru. Pecahan rudal, atau
pecahan peluru, dari peluru yang meledak, ranjau, granat, atau bom adalah penyebab umum
dari cedera penetrasi tengkorak di masa perang. Luka pada kepala akibat rudal dan pecahan
peluru telah diklasifikasikan oleh Purvis sebagai luka tangensial, dengan laserasi kulit kepala,
fraktur depresi pada tengkorak, dan laserasi meningeal dan serebral; luka penetrasi, dengan
fragmen partikel logam, rambut, kulit, dan fragmen yang dapat digerakkan; dan luka yang
menembus seutuhnya.
Pada kebanyakan luka tembus dari peluru berkecepatan tinggi, objek (seperti peluru)
menyebabkan lesi koagulatif suhu tinggi yang steril dan tidak memerlukan operasi jika
proyektil tersebut sampai keluar dari tengkorak. Dalam hal ini, pertimbangan utama adalah
mengenai perkembangan infeksi atau kebocoran CSF atau, dalam jangka panjang, terjadinya
epilepsi atau aneurisma pada pembuluh darah distal. Hal yang terakhir dianggap sebagai hasil
dari kerusakan pada dinding pembulu darah yang disebabkan oleh gelombang kejut energi
tinggi.
Jika otak ditembus pada posisi yang lebih rendah dari batang otak, kematian dapat
terjadi seketika karena henti napas dan henti jantung. Namun luka yang menembus seutuhnya
pada posisi yang lebih tinggi, sebagai akibat dari hilangnya energi pada jaringan otak, dapat
merusak pusat-pusat vital yang bisa menyebabkan kematian segera atau dalam interval
beberapa menit.
Setelah komplikasi awal dapat ditangani, masalah mengenai pembedahan,
sebagaimana diuraikan oleh Meirowsky, dapat dikurangi menjadi tiga: pencegahan infeksi
dengan debridemen disertai dengan pemberian antibiotik spektrum luas; kontrol dalam
peningkatan ICP dan midline shiftin dengan mengevakuasi bekuan darah dan pemberian
manitol atau agen dehidrasi lainnya, dan pencegahan komplikasi sistemik yang mengancam
jiwa.
Ketika pertama kali diamati, kondisi sebagian besar pasien dengan lesi tembus
serebral adalah koma. Sebuah fragmen logam kecil bisa saja menembus tengkorak tanpa
menyebabkan gegar otak, tetapi ini biasanya tidak terjadi pada misil berkecepatan tinggi.
Dalam kelompok 132 pasien yang dianalisis oleh Frazier dan Ingham, yang mengalami
kehilanan kesadaran ditemukan pada 120 pasien. Kedalaman dan durasi koma tampaknya
tergantung pada tingkat nekrosis serebral, edema, dan perdarahan. Dalam penelitian
Traumatic Coma Data Bank, angka kematian pada 163 pasien yang awalnya mengalami
koma akibat luka tembak kranial adalah 88 persen — lebih dari dua kali lipat dibandingkan
cedera kepala tumpul yang berat. Saat bangun dari koma, pasien akan melewati keadaan
stupor, kebingungan, dan amnesia, tidak seperti yang terjadi pada cedera kepala tertutup
parah. Kejang fokal atau kombinasi fokal dan umum terjadi pada fase awal cedera pada
sekitar 15 hingga 20 persen kasus.
Pemulihan dapat memakan waktu berbulan-bulan. Frazier dan Ingham menyebutkan
“kehilangan ingatan, serebrasi yang lambat, ketidakpedulian, depresi ringan,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, rasa lelah, lekas marah, ketidakstabilan vasomotor
dan jantung, sering kejang, sakit kepala, dan pusing, semuanya seperti yang tampak pada
gejala sisa dari cedera kepala tertutup yang parah dengan disertai kontusio”. Setiap kombinasi
yang bisa terjadi pada gejala otak fokal dapat disebabkan oleh lesi tersebut. Artikel-artikel
lama yang sangat baik oleh Feiring dan Davidoff, oleh Russell, dan oleh Teuber masih
merupakan referensi yang sangat berguna mengenai hal ini.
Epilepsi adalah gejala sisa jangka panjang yang paling sulit dan akan dijelaskan lebih
lanjut. Ascroft dan juga Caviness, saat meninjau kasus-kasus pada Perang Dunia II,
menemukan bahwa sekitar setengah dari semua pasien dengan luka tembus peluru atau
pecahan peluru yang menembus dura akhirnya mengalami kejang, yang kebanyakan
merupakan tipe fokal; angka-angka yang dilaporkan oleh Caveness pada kasus veteran
Perang Korea hampir sama.
Rhinorrhea CSF, yang sudah dibahas sebelumnya dan di Bab. 29, dapat terjadi
sebagai manifestasi akut dari cedera penetrasi yang menyebabkan fraktur melalui tulang
frontal, ethmoid, atau sphenoid. Cairns menggolongkan kasus-kasus akut ini sebagai
kelompok yang terpisah dalam klasifikasinya mengenai CSF rhinorrheas, yang lain adalah (1)
tipe tertunda setelah cedera kraniocerebral, (2) tipe setelah operasi sinus dan kranial, dan (3)
tipe spontan. Pneumoencephalocele (aerocele) —yaitu, adanya udara yang memasuki ruang
subarachnoid serebral atau ventrikel secara spontan atau sebagai akibat bersin atau tiupan
hidung — adalah bukti adanya celah dari sinus paranasal melalui dura, seperti yang
disebutkan sebelumnya sehubungan dengan fraktur tengkorak (lihat Gbr. 34-3).
Cedera akibat Ledakan
Gelombang kejut dari bahan peledak seperti bom dapat melontarkan benda-benda
menembus tempurung kepala, tetapi ada juga yang berupa bentuk langsung kerusakan organ
akibat disipasi energi yang terjadi pada permukaan jaringan yang memiliki kepadatan yang
berbeda. Bentuk barotrauma ini selalu menyebabkan pecahnya membran timpani, sebuah
tanda yang merupakan kekhasan yang ditemui pada cedera akibat ledakan (Xydakis et al).
Ketulian, tinnitus, dan vertigo adalah penyerta yang umum dari gegar otak koklea. Paru-paru
merupakan organ berikutnya yang paling sering terkena.
Kehilangan kesadaran dapat terjadi tetapi hanya ada sedikit pemahaman tentang
mekanisme ini selain dari konfigurasi konvensional terlemparnya tengkorak akibat tekanan
dari gelombang. Seperti yang dirangkum dalam editorial oleh salah satu penulis, gelombang
kejut pada awalnya diikuti oleh angin ledakan supersonik dan merupakan tekanan balik yang
berkepanjangan. Jaringan rusak ketika energi dilepaskan pada antarmuka antara udara dan
cairan yang menyebabkan perubahan impedansi akustik. Angin ledakan selanjutnya
menyebabkan cedera yang berbeda, melemparkan individu ke objek-objek yang diam dan
menyebarkan proyektil yang dapat menembus tubuh. Bentuk potensial gaya konduksi
ledakan ke dalam tengkorak meliputi percepatan dan perlambatan kepala saat gelombang
kejut lewat, yang pada dasarnya menyebabkan terjadinya gegar otak; deformasi tengkorak
yang menekan otak; gelombang kejut juga secara tidak langsung dapat melalui paru-paru; dan
juga dapat masuk melalui perantaraan lubang-lubang di ruang tengkorak, khususnya kanalis
akustikus dan kananlis optikus dan foramen magnum.
Adanya emboli gas akut pada pembuluh darah otak juga telah dilaporkan dalam
literatur medis militer. DePalma dan rekan-rekannya dan juga Ropper telah meninjau
mengenai cedera akibat ledakan tetapi literatur di bidang neurologis masih kurang dan belum
bisa menjelaskan apakah gelombang perkusi dapat menyebabkan kondisi tidak sadar sebagai
akibat dari "gegar otak", sebagaimana arti asli dari istilah tersebut, yaitu adanya kekacauan
pada jaringan otak atau bisa juga berupa penghentian aliran darah otak sesaat.

KELANJUTAN DARI CEDERA KEPALA


Epilepsi Post-trauma
Kejang adalah gejala lanjutan tertunda yang paling umum dari trauma craniocerebral,
dengan insidensi keseluruhan sekitar 5 persen pada pasien dengan cedera kepala tertutup dan
50 persen pada mereka yang menderita fraktur tulang tengkorak dan terkena luka langsung
pada otak. Dasarnya hampir selalu berupa luka memar atau laserasi korteks. Seperti yang bisa
diduga, risiko berkembangnya epilepsi pasca-trauma juga terkait dengan tingkat keparahan
dari cedera kepala tertutup. Dalam penelitian kohort dari 2.747 pasien yang mengalami
cedera kepala yang dijelaskan oleh Annegers dan rekan (1980), risiko kejang setelah cedera
kepala parah (yang didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran atau amnesia selama lebih dari
24 jam, termasuk hematoma subdural dan kontusio otak) adalah 7 persen dalam 1 tahun dan
11,5 persen dalam 5 tahun. Jika hanya cedera sedang (tidak sadar atau amnesia selama 30
menit hingga 24 jam atau hanya menyebabkan fraktur tengkorak), risikonya masing-masing
turun menjadi 0,7 dan 1,6 persen. Dan setelah cedera ringan (kehilangan kesadaran atau
amnesia kurang dari 30 menit), tingkat kejadian kejang tidak lebih besar daripada populasi
umum (kontrol). Dalam studi berikutnya, Annegers dan rekan (1998) memperluas penelitian
kohort dengan memasukkan 4.541 anak-anak dan orang dewasa dengan trauma otak.
Hasilnya hampir sama dengan penelitian pertama kecuali bahwa pada pasien dengan cedera
kepala tertutup ringan, hanya ada sedikit peningkatan risiko kejang — risiko tetap meningkat
hanya sampai tahun kelima setelah cedera. Kemungkinan terjadinya epilepsi lebih besar pada
lesi frontal parietal dan posterior, tetapi bisa juga timbul dari lesi di area korteks serebral.
Selain itu, frekuensi kejang jauh lebih tinggi bila cedera penetrasi kranisa, seperti yang
dijelaskan sebelumnya.
Interval antara cedera kepala dan periode kejang pertama sangat bervariasi. Pada
sejumlah kecil pasien ditemukan gerakan kejang pada saat-saat cedera (immediate epilepsy).
Biasanya ini merupakan berkaitan dengan tonus ektensi tungkai, dengan sedikit gerakan
gemetar segera setelah benturan, diikuti dengan bangun dalam keadaan kebingungan ringan.
Apakah ini merupakan fenomena epilepsi sejati atau, yang tampaknya lebih mungkin, adalah
hasil dari pemberhentian aliran darah otak atau disfungsi batang otak sementara masih tidak
jelas. Sekitar 4 hingga 5 persen individu yang cedera kepala dan dirawat di rumah sakit
dikatakan mengalami satu atau lebih kejang pada minggu pertama setelah cedera (early
epilepsy). Kejang yang langsung terjadi post-trauma memiliki prognosis yang baik dan
cenderung tidak dianggap sebagai tanda yang mengarah pada epilepsi; di sisi lain, kejang
lanjutan secara signifikan lebih sering terjadi pada pasien yang pernah mengalami epilepsi
pada minggu pertama setelah cedera (tidak termasuk kejang yang langsung saat cedera;
Jennett). Kejang yang terjadi beberapa menit atau beberapa jam setelah cedera pada pasien
yang benar-benar sadar kadang-kadang hanya berupa tiruan saja.
Istilah "posttraumatic epilepsy" biasanya mengacu pada epilepsi lambat, yaitu kejang
yang terjadi beberapa minggu atau bulan setelah cedera kepala tertutup (1 sampai 3 bulan
dalam kebanyakan kasus). Sekitar 6 bulan setelah cedera, setengah dari pasien yang
mengalami perkembangan epilepsi telah mengalami episode pertama mereka; pada akhir
tahun kedua, angkanya naik menjadi 80 persen (Walker). Data yang diperoleh dari penelitian
selama 15 tahun terhadap personel militer dengan luka otak yang berat (luka tembus)
menunjukkan bahwa pasien yang bebas dari kejang selama 1 tahun setelah cedera dapat
dipastikan 75 persen bebas dari kejang; pasien tanpa kejang selama 2 tahun bisa menjadi 90
persen pasti; dan setelah 3 tahun, menjadi 95 persen pasti bebas kejang. Untuk cedera yang
tidak terlalu parah (terutama cedera kepala tertutup), kriteria waktu yang dipakai adalah 2
hingga 6 bulan, 12 hingga 17 bulan, dan 21 hingga 25 bulan (Weiss et al). Meskipun
demikian, tidak diragukan bahwa kejang di masa dewasa bisa juga terjadi tanpa ada
penjelasan lain selain luka memar kortikal kecil yang disebabkan trauma pada beberapa
dekade sebelumnya. Interval antara cedera kepala dan perkembangan kejang dikatakan lebih
lama pada anak-anak.
Kejang pasca trauma (baik fokal maupun umum) cenderung menurun frekuensinya
seiring berlalunya waktu, dan sejumlah besar pasien (10 hingga 30 persen, menurut Caviness)
akhirnya berhenti mengalaminya. Status epileptikus jarang terjadi. Individu yang mengalami
serangan dini (dalam seminggu cedera) lebih cenderung mengalami remisi lengkap dari
kejang daripada mereka yang awal serangannya dimulai setahun atau lebih setelah cedera.
Frekuensi serangan yang rendah adalah tanda prognostik lain yang menguntungkan.
Alkoholisme dianggap memiliki efek buruk pada keadaan kejang ini, tetapi belum ada studi
sistematis tentang hal ini. Rekan kami, M. Victor, mengamati sekitar 25 pasien dengan
epilepsi posttraumatik di mana kejang telah berhenti sama sekali selama beberapa tahun,
hanya muncul kembali saat berhubungan dengan kondisi mabuk/minum alkohol. Pada
pasien-pasien ini, fase kejang terjadi setelah satu minggu atau bahkan satu malam di mana
pasien sampai mabuk, dan biasanya kejang terjadi bukan saat pasien berada dalam keadaan
mabuk tersebut, melainkan saat fase withdrawal dari alkohol tersebut.
Penyebab lesi epileptogenik pada dasarnya adala adanya bekas luka kortikal pada
kebanyakan kasus, tetapi dalam beberapa kasus, khususnya pada pecandu alkohol, lesi ini
sulit dipahami. Dari pemeriksaan kontusio kortikal lama (plaque jaunes), tidak dapat
ditentukan, berdasarkan morfologis, apakah lesi tersebut telah atau belum bersifat
epileptogenik. Elektrokortikogram otak di daerah yang berdekatan dengan fokus traumatis
lama mengungkapkan adanya sejumlah zona aktif listrik spontan yang berdekatan dengan
bekas luka.
Tatalaksana dan Profilaksis
Ada beberapa data yang mendukung penggunaan obat antiepilepsi untuk mencegah
kejang posttraumatic dan epilepsi lanjutan setelah cedera kranial tertutup atau tembus. Dalam
satu penelitian, pasien yang menerima fenitoin mengalami lebih sedikit kejang pada akhir
tahun pertama dibandingkan dengan kelompok plasebo, tetapi setahun setelah pengobatan
dihentikan, insidensinya menjadi sama (dan cukup rendah) pada kedua kelompok. Sebuah
studi acak yang luas oleh Temkin dan rekan menunjukkan bahwa ketika diberikan dalam satu
hari setelah cedera dan dilanjutkan selama 2 tahun, fenitoin dapat mengurangi kejadian
kejang pada minggu pertama, tetapi tidak setelahnya. Juga, dalam sebuah penelitian pada
sejumlah besar pasien dengan cedera kepala tembus, penggunaan obat antiepilepsi profilaksis
tidak efektif dalam mencegah kejang dini (Rish dan Caveness), dan ini tercermin dalam
pedoman saat ini (Chang dan Lowenstein). Penelitian selanjutnya menghasilkan kesimpulan
yang hampir sama.
Biasanya, kejang persisten dapat dikontrol dengan obat antiepilepsi tunggal, dan ada
beberapa gangguan kejang yang tidak dapat dikontrol dengan obat sampai membutuhkan
eksisi pada fokus epilepsi. Pada kelompok kecil ini, hasil pembedahan bervariasi sesuai
dengan metode penentuan pasien dan teknik operasi. Pada kondisi bedah saraf empat dekade
lalu, dengan pemilihan kasus yang cermat, Rasmussen (juga Penfield dan Jasper) mampu
memberantas kejang pada 50 hingga 75 persen kasus dengan menghilangkan fokus
epilepsinya; dan hasilnya saat ini agak lebih baik.
Autonomic Dysfunction (“Storm”) Syndrome
Konsekuensi yang mengkhawatirkan dari cedera kepala beberapa, yang berhasil
diamati pada beberapa pasien koma dan khususnya dalam keadaan vegetatif, adalah sindrom
postur ekstensor yang kuat, diaforesis berat, hipertensi, dan takikardia yang berlangsung
beberapa menit hingga satu jam. Sedikit demam bisa menjadi gejala penyerta. Keluarga dan
staff sangat terganggu oleh tampilan dari kondisi ini, terutama ketika pasien meringis
menunjukkan keadaan yang menderita. Kondisi aktivitas simpatik yang berlebihan dan postur
tubuh ini dipicu oleh adanya rangsangan yang menyakitkan atau oleh distensi viskus, tetapi
sering kali timbul secara spontan. Sindrom ini masih sering keliru diidentifikasi sebagai
kejang dan dalam banyak literatur masih disebut sebagai "diencephalic epilepsy", tetapi ini
lebih mungkin merupakan hasil dari hilangnya pengaruh supresif kortikal pada struktur
otonom, yang menyebabkan hipotalamus berfungsi secara independen pada mekanisme
penghambatan normal. . Sebuah survei terhadap 35 pasien dengan kondisi seperti itu oleh
Baugley dan rekan menemukan adanya cedera aksonal difus dan periode hipoksia sebagai
cedera terkait utama dan ini telah menjadi pengalaman kami juga.
Narkotika seperti morfin dan benzodiazepin memiliki efek yang sedikit membantu
kecuali bromokriptin, yang dapat digunakan dalam kombinasi dengan obat penenang atau
dengan dosis kecil morfin, merupakan yang paling efektif menurut Rossitch dan Bullard.

Gangguan Ekstrapiramidal dan Cerebellar setelah Trauma Cranial


Pertanyaan tentang hubungan kausatif antara trauma otak dan perkembangan penyakit
Parkinson telah menjadi masalah yang kontroversial selama bertahun-tahun - biasanya
disimpulkan bahwa kondisi tersebut tidak ada hubungan yang jelas dan bahwa bila terjadi
demikian, terutama setelah cedera otak tunggal, adalah suatu kebetulan. Beberapa pasien
tersebut mungkin memiliki gejala awal penyakit Parkinson yang baru diketahui setelah
terjadi cedera kepala. Namun, ada kasus-kasus seperti yang dilaporkan oleh Doder dan rekan,
di mana nekrosis traumatis dari lenticular dan nukleus caudatus yang diobservasi setelah
periode 6 minggu dengan timbulnya tanda-tanda parkinsonian predominan kontralateral,
termasuk tremor, yang berkembang perlahan dan tidak responsif terhadap L-dopa. Ada juga
contoh parkinsonisme pasti yang terjadi setelah cedera kepala tertutup yang berat dan dalam
keadaan vegetatif (Matsuda et al). Pengecualian untuk pernyataan-pernyataan ini mungkin
adalah sindrom parkinsonian pada mantan petinju dan pada orang yang sering mengalami
cedera kepala ringan, sebagai manifestasi dari sindrom "punch-drunk", sekarang dimasukkan
dalam istilah "ensefalopati traumatis kronis”. Terrdapat kemungkinan bahwa trauma kranial
memicu serangkaian peristiwa seluler yang mengarah pada pengendapan protein struktural
abnormal seperti synuclein (lihat di bawah).
Ataksia serebelar merupakan konsekuensi lain yang jarang terjadi pada trauma
kranial, sering kali tidak dapat dijelaskan, tetapi dalam banyak kasus diperberat oleh anoksia
serebral (menyebabkan ataksia dengan mioklonus) atau oleh perdarahan yang terjadi secara
strategis di otak tengah dalam atau otak kecil. Ketika ataksia serebelar disebabkan oleh
trauma itu sendiri, sering terjadi berupa unilateral dan akibat cedera pada tangkai serebelar
superior. Kami memiliki pengalaman dengan pasien ataksia berat yang hanya memiliki lesi
kecil di otak kecil setelah hematoma subdural akut bilateral akibat trauma kepala. "Apraxia"
gaya berjalan juga dapat mencerminkan adanya hidrosefalus komunikans (lihat di bawah dan
Bab 29).

Ensefalopasti Traumatik Akut dan Kronis


Ensefalopati traumatis akut Pada hampir semua pasien dengan cedera otak
concussive, masih ada kesenjangan dalam memori (amnesia traumatis) yang mencakup
periode sebelum kecelakaan sampai beberapa saat setelahnya seperti yang dibahas
sebelumnya. Kesenjangan ini permanen dan hanya dapat diisi hanya oleh apa yang dikatakan
pasien. Selain itu, seperti yang sudah dinyatakan dalam pengantar bagian ini, beberapa
derajat penurunan fungsi kortikal yang lebih tinggi dapat bertahan selama berminggu-minggu
(atau permanen) setelah cedera kepala sedang sampai berat, bahkan saat pasien telah
mencapai tahap pembentukan memori yang berkelanjutan. Selama periode berkurangnya
kualitas mental, gangguan memori adalah fitur yang paling menonjol; dalam hal itu,
kondisinya menyerupai bentuk keadaan amnesia akibat alkohol pada penggolongan
Korsakoff dan memiliki beberapa kemiripan dengan keadaan transient global amnesia (lihat
Bab 20).
Dengan pengujian yang lebih hati-hati, adanya kelainan kognitif lainnya biasanya
diketahui. Pasien yang gegar otak, selama periode amnesia posttraumatic, jarang
berkomunikasi. Selain disorientasi pada tempat dan waktu, pasien yang mengalami cedera
kepala juga menunjukkan keterbatasan dalam perhatian, serta menunjukkan distraktibilitas,
pengurangan ketekunan, dan ketidakmampuan untuk mensintesis data persepsi. Fungsi
penilaian dan eksekutif dapat sedikit terganggu, jarang menjadi parah, selama masa amnesia.
Kecenderungan yang bertahan mengganggu tindakan dan pemikiran. Leininger dan rekan,
misalnya, menemukan bahwa sebagian besar dari 53 pasien mereka yang menderita cedera
kepala ringan dalam kecelakaan lalu lintas berkinerja kurang baik daripada kontrol pada tes
psikologi (tes kategori, pembelajaran verbal auditori, penyalinan angka kompleks). Fakta
bahwa mereka yang hanya tampak bingung menghasilkan hal yang sama buruknya dengan
mereka yang mengalami gegar otak dan bahwa litigasi terlibat dalam beberapa kasus akan
membuat orang mempertanyakan hasil ini. Mungkin yang paling terpengaruh, dan paling
jelas tampak pada individu-individu dengan fungsional tinggi, adalah masalah pada
perencanaan dan koherensi yang disebabkan oleh cacat pada fungsi eksekutif lobus frontal.
Seperti pada umumnya, semakin rendah skor pada Glasgow Coma Scale segera
setelah cedera (lihat Tabel 34-1) dan semakin lama jeda pasca trauma dengan terbentuknya
ingatan baru (adanya anterograde amnesia), semakin besar kemungkinan pasien menderita
beberapa perubahan kognitif dan kepribadian yang permanen. Menurut Jennett dan Bond,
pasien dengan pemulihan yang baik mencapai hasil maksimum hanya dalam 6 bulan. Yang
lain telah menemukan bahwa pengujian psikologik yang terperinci dan berulang selama
periode yang lama, bahkan pada pasien dengan cedera otak yang relatif kecil, menunjukkan
adanya peningkatan yang terukur selama 12 hingga 18 bulan.
Ada gangguan mental dan perilaku lain dengan tipe yang lebih halus yang tetap
menjadi gejala sisa dari cedera otak berat. Seiring tahap demensia posttraumatic surut, pasien
dapat merasa tidak mungkin untuk kembali bekerja atau menyesuaikan diri dengan situasi
keluarganya. Pasien seperti itu seringkali tiba-tiba bertingkah abnormal, argumentatif, dan
curiga. Berbeda dengan sindrom postconcussion yang dijelaskan di atas, di mana ada
keseragaman tertentu, sifat-sifat pada gangguan ini bervariasi sesuai dengan usia pasien,
pengalaman masa lalu, dan tekanan lingkungan. Khususnya usia menjadi hal yang sangat
penting berdasarkan pengalaman kami. Kelainan perilaku yang paling menonjol pada anak-
anak, dijelaskan oleh Bowman dan rekannya, adalah perubahan kepribadian. Mereka menjadi
impulsif, tidak sabar, tidak bisa duduk diam, atau mungkin menjadi lalai dari konsekuensi
tindakan mereka dan kurang menghargai norma-norma sosial — sama seperti mereka yang di
masa lalu telah pulih dari ensefalitis lethargica. Beberapa remaja atau dewasa muda
menunjukkan kurangnya inhibisi dan sikap impulsif yang secara umum dihubungkan dengan
gangguan pada lobus frontal. Pada orang yang lebih tua, gangguan fungsi intelektuallah yang
dianggap lebih menonjol. Pada kebanyakan kasus, perubahan perilaku yang lebih serius ini
dapat ditemui pada pasien dengan kontusio di lobus frontal dan temporal. Dalam kasus tanpa
kerusakan otak struktural yang jelas, defisiensi kognitif setelah trauma telah banyak dikaitkan
dengan cedera aksonal difus. Upaya untuk memvalidasi ini dengan teknik modern seperti
diffusion tensor imaging telah menemui beberapa keberhasilan, seperti dalam penelitian yang
dijelaskan oleh Kraus dan rekannya.
Kecenderungannya adalah banyak gejala seperti itu mereda perlahan meskipun tidak
selalu sepenuhnya, bahkan pada mereka yang mengalami kecelakaan akan memicu ledakan
psikosis (seperti yang dapat ditemui pada orang yang menderita bipolar atau skizofrenia
paranoid). Bentuk-bentuk ini yang pada masa lalu disebut "kegilaan traumatis" dianalisis
untuk pertama kalinya seabad yang lalu oleh ahli saraf terkenal, Adolf Meyer.
Ensefalopati traumatis kronis. Efek kumulatif cedera otak berulang atau bahkan
tunggal, merupakan jenis cedera kepala yang hingga saat ini sulit diklasifikasi. Topik
mengenai penyakit otak neurodegenerative yang tertunda setelah kejadian cedera otak
traumatis ringan setelah bertahun-tahun paling baik diperkenalkan oleh sebuah eksposisi
mengenai kondisi yang telah dialami oleh petinju yang telah terlibat dalam banyak
pertarungan dalam periode waktu yang lama. Sindrom yang penting secara historis ini
berperan memperkenalkan mengenai ensefalopati kronis yang lebih baru ditekankan dan
dapat juga ditemukan pada atlet profesional lainnya. Ini merujuk pada perkembangan setelah
bertahun-tahun berada dalam lingkaran disatrik dan keadaan pelupa, kelambatan dalam
berpikir, dan tanda-tanda lain dari demensia. Gerakannya menjadi lambat, kaku, dan tidak
pasti, terutama yang melibatkan kaki, dan ada gaya berjalan lebar yang menyeret. Dengan
kata lain, sindrom parkinsonian dan dementing dapat muncul dan kadang-kadang terdapat
ataksia sedang yang melumpuhkan, tetapi tidak ada yang menganggap ini adalah Parkinson
idiopatik atau penyakit Alzheimer. Refleks plantar dapat ditemukan ekstensor pada satu atau
kedua sisi. Sindrom klinis ini dianalisis kembali oleh Roberts dan rekan, yang menemukan
pada derajat tertentu di 37 dari 224 petinju profesional yang mereka periksa. Studi yang lebih
baru menunjukkan bahwa pada sekitar setengah dari semua petinju profesional, baik yang
aktif maupun yang sudah pensiun, CT scan menunjukkan adanya dilatasi ventrikel dan
pelebaran sulci dan cavum septi pellucidum (di mana yang terakhir, yang tampaknya
merupakan anomali perkembangan, selalu tampak pada petinju adalah hal yang masih belum
jelas). Kelainan anatomi ini telah ditunjukkan bertahun-tahun sebelumnya oleh
pneumoencephalography dan ditemukan terkait dengan jumlah dari serangan yang diterima
oleh petinju tersebut (Ross et al; Casson et al).
Sebuah studi patologis dari gangguan ini khusus untuk petinju dibuat oleh Corsellis
dan rekannya. Mereka memeriksa otak 15 pensiunan petinju yang telah menunjukkan
sindrom "punch-drunk" dan mengidentifikasi adanya sejumlah perubahan di otak yang
tampaknya menjelaskan temuan klinis. Pembesaran ventrikel lateralis ringan dan sedang dan
penipisan corpus callosum ditemukan dalam semua kasus. Juga, seperti yang disebutkan,
hampir semuanya menunjukkan cavum septi pellucidum yang sangat melebar dan fenestrasi
daun septum. Area parut glial yang mudah diidentifikasi terletak pada permukaan inferior
korteks serebelar. Pada daerah-daerah ini, dan juga selain di daerah itu, sel-sel Purkinje
hilang dan lapisan sel granula agak menipis. Yang mengejutkan, kontusio kortikal serebral
hanya ditemukan pada beberapa kasus. Yang juga tidak ditemukan adalah bukti perdarahan
sebelumnya, tetapi studi sebelumnya oleh Martland menekankan perdarahan punctate sebagai
temuan utama (ia mungkin telah memperkenalkan istilah dari komunitasnya ke bahasa medis
dan makalahnya memiliki bahasa yang bercampur). Dari 15 kasus dalam kohort Corsellis, 11
diantaranya menunjukkan berbagai tingkat kehilangan sel berpigmen dari substantia nigra
dan locus ceruleus, dan banyak dari sel yang tersisa menunjukkan perubahan neurofibriliar
Alzheimer tetapi tidak pada badan Lewy. Perubahan neurofibrillar tersebar secara difus pada
korteks serebral dan batang otak tetapi paling menonjol pada gray matter mediotemporal.
Yang perlu diperhatikan adalah tidak ditemukannya plak amiloid diskrit pada pemeriksaan ini
dengan metode pewarnaan yang biasa; namun, semua kasus menunjukkan deposit
imunoreaktif beta-amiloid yang luas (“plak difus”).
Bagaimanapun, penelitian ini dilakukan sebelum munculnya teknik imunohistokimia
modern. McKee dan rekan kerjanya telah menarik perhatian pada adanya pengendapan
protein tau pada bahan otopsi dalam mendefinisikan ensefalopati traumatis kronis. Mereka
telah menemukan pola neuropatologis yang cukup konsisten yang terdiri terutama dari
protein tau hiperfosforilasi perivaskular yang berada pada untaian astrositik atau
neurofibrillar dengan kecenderungan pada kedalaman sulkus lobus frontal dan temporal tetapi
juga di daerah korteks, thalamus, dan batang otak lainnya, dan akhirnya muncul secara luas di
lobus temporal medial. Sebagai contoh, di antara 85 subjek dengan cedera otak traumatis
ringan yang berulang, mereka menemukan perubahan ini pada derajat yang berbeda pada 68
kasus. Mayoritas mengalami sakit kepala, depresi, impulsif, dan agresi yang secara kasar
sebanding dengan keparahan perubahan patologis. Yang terbukti pada yang lain adalah
kinerja kognitif yang buruk di area fungsi eksekutif dan memori. Hanya orang-orang dengan
deposisi tau yang paling luas dan paling padat yang benar-benar gila dan banyak dari mereka
mengalami kesulitan berjalan. Beberapa di antaranya juga memiliki manifestasi parkinsonian.
Dugaan hubungan trauma berulang dengan penyakit motor neuron juga telah meningkat.
Bentuk ensefalopati kronis dan deposisi tau ini telah menunjukkan bukti yang penting dalam
kaitannya dengan gegar otak yang berlangsung selama atletik pada semua tingkatan.

Hidrosefalus Posttraumatik
Ini adalah komplikasi yang tidak umum, tetapi sering dikaitkan dengan cedera kepala yang
berat. Biasanya sesuai dengan kriteria hidrosefalus tekanan normal, seperti yang dibahas
dalam Bab. 29 tetapi ditemukan pembesaran ventrikel tipe ex-vacuo, terutama pada pecandu
alkohol kronis. Sakit kepala intermiten, muntah, kebingungan, dan kantuk adalah manifestasi
awal. Kemudian, kemunduran mental, apatis, dan keterbelakangan psikomotor terlihat; pada
saat ini tekanan CSF mungkin telah turun ke tingkat normal (hidrosefalus tekanan normal).
Pemeriksaan postmortem dalam beberapa kasus menunjukkan adanya arachnoiditis basilar
adhesif. Perdarahan subaraknoid dini mungkin terlibat dalam mekanisme tersebut. Respons
terhadap ventrikuloperitoneal shunt bisa jadi dramatis. Zander dan Foroglou telah menulis
secara informatif tentang kondisi ini.

Postconcussion Syndrome
Masalah yang merepotkan ini telah disebutkan di beberapa bagian sebelumnya dalam
bab ini, serta di Bab. 10 sehubungan dengan sakit kepala. Ketika sindrom ini berlarut-larut,
ahli saraf menjadi jengkel dengan kondisi tersebut — masalah yang ditanggapi berlebihan
oleh pasien dan keluarga yang khawatir. Hal ini memiliki beberapa kesamaan dengan
posttraumatic stress disorder, dan di masa lalu telah tepat disebut sebagai "sindrom
ketidakstabilan saraf posttraumatic" dan "neurasthenia traumatis" oleh Sir Charles Symonds,
di antara banyak istilah lain. Sakit kepala, pusing, daya tahan yang buruk, dan kurangnya
kejernihan mental adalah gejala utama.
Nyeri kranial dapat digeneralisasi atau dilokalisasi ke bagian yang mengalami
benturan dan digambarkan sebagai nyeri yang berdenyut, berdebar, menusuk, menekan, atau
seperti band; merupakan sesuatu yang khas dalam variabilitasnya pada seorang individu.
Intensifikasi sakit kepala dan gejala lain dengan upaya mental dan fisik, mengejan,
membungkuk, dan kegembiraan emosional merupakan karakteristik yang ditemukan dalam
sindrom ini; Istirahat dan situasi yang tenang cenderung meringankannya. Sakit kepala dapat
menjadi penghalang utama untuk proses pemulihan.
Pusing, gejala lain yang menonjol, biasanya bukan merupakan bentuk vertigo sejati
tetapi seperti kepalanya terasa ringan. Pasien mungkin merasa tidak stabil, linglung, lemah,
atau sampai pingsan. Namun, sejumlah pasien menggambarkan gejala yang setidaknya sesuai
dengan gejala gangguan pada labirin; benda-benda di lingkungan terasa bergerak sesaat, dan
saat melihat ke atas atau ke samping dapat menyebabkan rasa ketidakseimbangan. Tes labirin
dapat menunjukkan hiporeaktivitas satu sisi organ vestibular tetapi lebih sering pasien
mengungkapkan tidak ada kelainan. McHugh menemukan insiden tinggi adanya kelainan
minor dengan menggunakan electronystagmography, baik pada pasien gegar otak dan pada
mereka yang menderita cedera whiplash leher; tetapi kami menemukan kebanyakan data ini
sulit diinterpretasikan. Pengecualian, vertigo yang disertai dengan berkurangnya rangsangan
labirin dan koklea (ketulian), dapat diasumsikan adanya cedera langsung pada saraf
kedelapan atau telinga. Intoleransi alkohol dilaporkan juga ditemukan pada beberapa pasien.
Umumnya gejala fisik ini sembuh dalam beberapa minggu pada sebagian besar
pasien. Ketika gejalanya menetap, pasien menjadi tidak toleran terhadap kebisingan,
kegembiraan emosional, dan keramaian. Ketegangan, gelisah, fragmentasi tidur,
ketidakmampuan berkonsentrasi, perasaan gugup, kelelahan, khawatir, gelisah, dan
ketidakmampuan untuk mentolerir jumlah alkohol yang biasa, juga merupakan gambaran
klinis yang ditemui pada sindrom ini. Kemiripan gejala-gejala ini dengan gejala kecemasan
dan depresi dan bentuk-bentuk lain dari "posttraumatic stress disorder" tampak jelas.
Postconcussion Syndrome mempersulit semua jenis cedera kepala, ringan dan berat.
Setelah terbentuknya sindrom ini, mungkin dapat bertahan selama berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun, dan cenderung tidak cocok dengan semua jenis pengobatan. Adanya
hubungan dengan ensefalopati traumatik kronis yang dijelaskan sebelumnya belum diketahui
secara pasti. Anehnya, sindrom ini hampir tidak ditemukan pada anak di bawah usia sekitar 6
tahun. Yang mejadi karakteristiknya juga adalah penambahan pada baik durasi dan intensitas
sindrom ini oleh adanya masalah dengan kompensasi dan litigasi, menunjukkan adanya
keterlibatan faktor psikologis. Di negara-negara di mana masalah ini merupakan bagian yang
kurang menonjol dari tatanan sosial, kejadian sindrom pasca trauma jauh lebih jarang
ditemukan. Stres karena lingkungan juga merupakan hal penting, karena jika terlalu banyak
tuntutan pada pasien segera setelah cedera, perasaan lekas marah, susah tidur, dan kecemasan
akan meningkat. Mengenai hubungan ini, percobaan yang menarik dilakukan oleh Mittenberg
dan rekan (1992). Sekelompok subjek tanpa adanya pengalaman pribadi atau pengetahuan
tentang cedera kepala diminta untuk memilih dari suatu daftar tentang gejala-gejala yang
mereka anggap mungkin terjadi setelah cedera kepala concussive. Mereka memilih
sekelompok pilihan yang ditemukan hampir identik dengan Postconcussion Syndrome.
Jumlah penyebab yang bisa beragam dari berbagai komponen Postconcussion Syndrome
membuatnya tampak lebih umum ditemukan daripada yang sebenarnya terjadi. Penelitian
prospektif oleh Meares dan rekan kerja menemukan bahwa, bila dibandingkan dengan
sekelompok pasien yang memiliki trauma nonkranial, timbulnya gejala-gejala seperti yang
ditemukan pada sindrom ini adalah sama dan bahwa prediktor terkuat terjadinya adalah
gangguan kecemasan sebelumnya. Namun, gejala-gejalanya tidak diragukan lagi terjadi pada
individu dengan fungsi tinggi yang disesuaikan dengan baik dan tidak boleh diabaikan hanya
sebagai kecemasan.
Pendekatan untuk mengobati gejala postconcussion akan dijelaskan lebih lanjut. Juga
telah dilaporkan bahwa personel militer yang mengalami cedera kepala derajat apapun
memiliki insidensi posttraumatic stress disorder (PTSD) yang lebih tinggi daripada mereka
yang mengalami cedera somatik lainnya, tetapi sekali lagi, gangguan ini tidak mudah dipicu
hanya oleh faktor psikologis. Gangguan yang sama juag dapat terjadi pada masyarakat umum
setelah cedera dan kemudian menyatu dengan Postconcussion Syndrome yang dijelaskan
sebelumnya.
Gejala histeris yang berkembang setelah kejadian cedera kepala, baik kognitif dan
somatik, tampaknya juga lebih umum ditemukan daripada yang mengikuti cedera pada
bagian lain dari tubuh. Gejala-gejala ini dibahas dalam Bab. 47. Hal ini dapat bersifat
langsung atau tertunda dan bervariasi dari amnesia sampai kebutaan, kelumpuhan, gagap,
ketidakmampuan untuk berdiri, dan bahkan katatonia.

TATALAKSANA CEDERA KEPALA


Pasien dengan Benturan dan Gejala Sementara
Pasien dengan cedera concussive tanpa komplikasi yang telah sadar kembali pada saat
mereka sampai di rumah sakit dan dari pemeriksaan neurologis ditemukan dalam batas
normal memiliki beberapa masalah dalam tatalaksana. Mereka belum diperbolehkan pulang
sampai ada keputusan mengenai pemeriksaan lanjutan (CT scan, foto polos kepala), jika perlu
dan hasilnya terbukti negatif. Juga, pasien belum diperbolehkan pulang sampai kapasitas
memori telah diperoleh kembali dan telah diberikan pesan kepada keluarga untuk mengamati
tanda-tanda yang mungkin, meskipun sepertinya tidak mungkin, komplikasi tertunda
(perdarahan subdural dan epidural, perdarahan intraserebral, dan edema). Sebuah program
yang dikerjakan oleh Mittenberg dan rekan (2001) telah menunjukkan bahwa penjaminan dan
penjelasan tentang cedera concussive dan antisipasi terhadap efek sampingnya mengurangi
kejadian gejala postconcussive dalam 6 bulan. Sebagian besar pasien menjadi jelas secara
mental, sakit kepala ringan atau tidak, dan ditemukan memiliki pemeriksaan neurologis yang
normal. Mereka tidak memerlukan rawat inap atau pengujian khusus, tetapi dalam hukum
Amerika Serikat saat ini, beberapa bentuk pencitraan otak tetap perlu dilakukan seperti yang
dibahas pada bagian sebelumnya.
Gegar otak akibat cedera atletik saat ini disarankan untuk melakukan pengunduran
diri dari permainan, dan mengikuti semacam program kegiatan bagi yang telah lulus seperti
yang disebutkan sebelumnya. Banyak metode pengujian dan program rehabilitasi telah
diperkenalkan, banyak di antaranya merupakan hak milik dan tidak mencari keuntungan.
Pasien dengan keluhan sakit kepala, pusing, dan gugup yang persisten, adalah yang
paling sulit untuk ditangani. Pendekatan utama adalah konsultasi pasien seiring gejalanya
sembuh, ditambah dengan pengurangan kinerja mental dan fisik yang sepadan dengan tingkat
daya tahan pasien. Suatu program harus direncanakan sesuai dengan masalah dasarnya.
Gagasan "istirahat kognitif" telah diperkenalkan tetapi efektivitasnya sulit diukur. Tentu saja
anak muda dan remaja mengalami kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan rumah dan tugas-
tugas lain dan tampaknya memerlukan tekanan agar mereka mau untuk melakukan. Rentang
waktu untuk pulih dan tingkat keparahan gejala seperti "mental fog" dan rasa kantuk sangat
lebar. Jika pekerjaan atau pekerjaan sekolah memicu sakit kepala, misalnya, perencanaan
harus dibuat agar hal itu dikurangi. Pekerjaan paruh waktu mungkin cocok untuk beberapa
individu tetapi tidak untuk orang lain. Demikian pula, beberapa aktivitas fisik harus dibantu
untuk melakukan tetapi aktivitas yang menyebabkan terjadi sakit kepala atau kebingungan
mental atau memburuk harus dikurangi. Pada saat yang sama, kondisi terus berada di tempat
tidur atau tinggal di rumah saja tidak dianjurkan dan pasien diperbolehkan berjalan,
menggunakan internet, menonton televisi, atau membaca sampai pada tingkat yang bisa
menyebabkan kelelahan. Masing-masing kegiatan ini kemudian ditingkatkan secara bertahap.
Dalam semua kasus, keyakinan bahwa gejala-gejala ini membaik selama beberapa minggu
atau lebih harus ditawarkan agar tidak memungkinkan individu untuk menginternalisasi
pengertian demensia kronis setelah cedera kepala yang dapat mempengaruhi media populer.
Beberapa pasien yang berusaha terlalu keras kembali bekerja, hanya untuk kembali
mengalami sakit kepala, kebingungan, dan kelelahan berulang sampai melumpuhkan dan
harus memulai siklus upaya pengurangan upaya lagi.
Jika ada terutama depresi cemas, obat antidepresan kadang-kadang diresepkan tetapi
ini bukan praktik yang biasa kita lakukan — efeknya sering mengecewakan. Analgesik
sederhana, seperti asetaminofen atau obat antiinflamasi nonsteroid, harus diresepkan untuk
sakit kepala. Setiap peningkatan sakit kepala, muntah, atau adanya kesulitan yang dialami
pasien harus segera kembali ke unit gawat darurat. Lembar instruksi tertulis dengan gejala
yang mungkin munciul dan saran yang jelas saat untuk kembali memeriksakan diri sangat
membantu.
Litigasi harus diselesaikan sesegera mungkin. Menunda penyelesaian biasanya
menyebabkan kerugian pada pasien pasien. Lama pengamatan, tes yang banyak diulang, dan
menunggu terlalu lama hanya memperbesar kekhawatiran dan ketakutan pasien dan
mengurangi motivasi untuk kembali bekerja. Tes neuropsikologis mungkin berguna pada
kelompok dengan kesulitan kognitif persisten, tetapi hasilnya harus ditafsirkan dengan hati-
hati, karena depresi dan motivasi yang buruk akan menurunkan kinerja.
Pasien dengan Cedera Kepala Berat
Jika dokter tiba di lokasi kecelakaan dan menemukan pasien yang tidak sadar,
pemeriksaan cepat harus dilakukan sebelum pasien dipindahkan. Pertama-tama harus
ditentukan apakah pasien bernafas dan memiliki jalan nafas yang aman dan dapat diperoleh
nadi dan tekanan darah, dan apakah ada perdarahan akibat laserasi kulit kepala atau visera
yang terluka. Cedera kepala parah yang menghentikan pernapasan segera diikuti dengan
penghentian fungsi jantung. Cedera seberat ini seringkali berakibat fatal; jika tindakan
resusitasi tidak mengembalikan dan mempertahankan fungsi kardiopulmoner dalam waktu 4
hingga 5 menit, otak biasanya rusak dan tidak dapat diperbaiki. Pendarahan dari kulit kepala
biasanya dapat dikontrol dengan penekanan perban kecuali jika arteri terpotong; maka jahitan
diperlukan. Tindakan resusitasi (respirasi bantuan dan kompresi jantung) harus dilanjutkan
sampai diambil alih oleh petugas ambulans. Oksigen kemudian harus diberikan.
Adanya kemungkinan fraktur serviks-dislokasi, yang mungkin terkait dengan cedera
kepala yang parah, adalah alasan untuk melakukan tindakan pencegahan dalam
menggerakkan leher dan memindahkan pasien. Pada pasien yang terjaga, nyeri leher menjadi
perhatian pada keadaan ini. Harus diingat bahwa bahkan jika tidak ada fraktur tulang
belakang, sumsum tulang belakang dapat terancam oleh ketidakstabilan yang disebabkan oleh
cedera ligamen (menimbulkan risiko subluksasi). Dalam studi 292 pasien dengan cedera
serviks traumatis oleh Demetriades dan rekannya, 31 (11 persen) menunjukkan subluksasi
tanpa fraktur dan 11 (4 persen) mengalami cedera sumsum tulang belakan tanpa fraktur atau
subluksasi. Penggunaan gabungan foto polos tulang belakang leher standar dan CT-scan
serviks untuk mendeteksi semua cedera serviks. Setelah cedera kepala atau leher yang parah,
bahkan tanpa dampak langsung ke leher, disarankan dalam pengawasan untuk dilakukan foto
leher anteroposterior, lateral, dan miring standar, dengan tambahan fleksi lembut (20 derajat)
dan ekstensi (30 derajat) tampilan leher dan CT scan leher. Jika dari pemeriksaan ini normal
dan ditemukan hanya sedikit atau tidak ada sakit leher, collar neck tidak diperlukan lagi. Jika
setelah pemeriksaan ini, atau jika tidak dapat dilakukan, atau jika ada nyeri persisten yang
signifikan atau temuan neurologis lainnya yang diinduksi oleh gerakan kepala, disarankan
untuk dilakukan MRI serviks. Jika ada tanda-tanda mielopati seperti kaki flaccid atau adanya
inkontinensia, disarankan MRI segera.
Di rumah sakit, langkah pertama adalah membersihkan jalan napas dan memastikan
ventilasi yang memadai dengan intubasi endotrakeal jika perlu. Pencarian untuk
kemungkinan cedera lain harus dilakukan, terutama pada perut, dada, tulang belakang, dan
tulang-tulang panjang. Chesnut et al (2012), dalam menganalisis data dari Traumatic Coma
Data Bank, menemukan bahwa hipotensi dini yang berkelanjutan (tekanan darah sistolik <90
mm Hg) dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian 2 kali lipat. Jika terdapat syok saat
masuk ke ruang gawat darurat, angka kematian mencapai 65 persen. Meskipun hipotensi
yang terjadi pada sebagian besar cedera adalah respons vasodepresor dan biasanya terkendali
dalam waktu sekitar 1 jam tanpa obat penekan, jalur intravena yang besar dan tanpa
hambatan harus dimasukkan. Hipotensi persisten karena cedera kepala saja merupakan
kejadian yang tidak biasa dan perlu meningkatkan kecurigaan adanya perdarahan internal
pada toraks atau abdomen, fraktur yang luas, atau trauma pada serviks, atau diabetes
insipidus. Awalnya, cairan yang diinfuskan harus berupa salin normal, menghindari
pemberian "free water" yang berlebihan karena efeknya memperburuk edema otak. Oksigen
harus terus diberikan sampai dapat ditunjukkan bahwa saturasi oksigen arteri normal.
Pemeriksaan neurologis yang cepat kemudian dapat dilakukan, dengan
memperhatikan kedalaman koma, ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya, gerakan mata,
refleks kornea, gerakan wajah saat meringis, menelan, vokalisasi, refleks muntah, tonus otot,
dan gerakan dari anggota tubuh, postur dominan, reaksi terhadap cubitan, dan refleks.
Adanya bercak pada daerah temporal atau postauricular (Battle Sign), perdarahan dari hidung
atau telinga, dan edema konjungtiva yang luas dan perdarahan adalah tanda-tanda yang
berguna bahwa terdapat fraktur basis cranii sebagai penyebabnya. Namun, harus diingat
bahwa pecahnya gendang telinga atau pukulan pada hidung juga dapat menyebabkan
perdarahan dari bagian-bagian ini. Fraktur tulang orbital dapat menggeser posisi mata,
dengan menyebabkan strabismus; fraktur rahang menyebabkan maloklusi dan
ketidaknyamanan saat mencoba membuka mulut. Jika terdapat retensi urin dan kandung
kemih distensi, kateter harus dimasukkan dan dipasang. Suhu, denyut nadi, pernapasan,
tekanan darah, saturasi oksigen arteri, dan kondisi kesadaran harus diperiksa dan dipetakan
setiap jam. Glasgow Coma Scale, yang disebutkan sebelumnya, telah menyediakan sarana
praktis yang dengan menggunakan skala tersebut kondisi kesadaran yang terganggu dapat
dievaluasi dalam interval yang sering (lihat Tabel 34-1), tetapi tidak boleh dianggap
menggantikan pemeriksaan neurologis yang lebih lengkap.
Pemindaian dengan CT-scan dan MRI pada cranium dianggap sangat penting pada
saat ini. Adanya bekuan darah epidural, subdural, atau intraserebral yang cukup besar
merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan segera. Adanya memar, edema otak, dan
pergeseran struktur memerlukan langkah-langkah tertentu untuk memantau perkembangan
lesi ini dan untuk mengontrol ICP. Langkah-langkah ini paling baik dilakukan di ICU.
Tatalaksana pada Peningkatan Tekanan Intrakranial
Ada anggapan, yang masuk akal, bahwa ICP yang tinggi merusak setelah kejadian
cedera kepala, seperti halnya pada proses lain yang melibatkan massa intrakranial. Yang
menjadi masalah adalah tekanan yang tepat di mana kerusakan terjadi, apakah menurunkan
ICP akan meningkatkan hasil, perawatan mana yang terbaik, dan peran monitoring dalam
menentukan pengobatan. Tentu saja ada banyak proses biologis dalam neuron dan astrosit
yang sangat memengaruhi hasil setelah cedera otak traumatis, banyak yang terjadi pada saat
terjadinya tumbukan dan tidak dapat langsung disebut sebagai peningkatan ICP. Kadang-
kadang, terjadi perubahan besar akibat ICP tetapi hal itu tidak terlalu dapat diperbaiki,
menyebabkan tekanan untuk mengurangi ICP sebagai cara mencegah kerusakan otak
sekunder. Pendekatan untuk perawatan ICP akan dibahas di sini dan juga dibahas dalam Bab.
16 saat koma dan Bab. 30 pada tumor otak.
Pemantauan ICP Dalam kasus cedera kepala sedang dan berat, sudah merupakan
kebiasaan pada sebagian besar layanan ICU untuk melakukan pemantauan ICP secara terus
menerus dengan menggunakan alat tertentu. Dasar pemikirannya adalah untuk mengontrol
penyebab kerusakan otak sekunder yang masih dapat dicegah, terutama pada pemeriksaan
neurologis pasien dibatas pada beberapa tanda sentinel seperti pembesaran pupil atau karena
adanya obat-obatan sedasi yang bisa mengaburkan pemeriksaan. Ventricular Catheter telah
dianggap sebagai "gold standard" pengukuran tekanan intrakranial karena langsung
dimasukkan ke kompartemen CSF, yang seharusnya dapat langsung mencerminkan total
tekanan yang ada dalam cranium. Hal ini memberikan keuntungan tambahan bagi
penggunaan drainase CSF terapeutik untuk mengurangi ICP. Pada pasien koma, pemantauan
ICP untuk menghindari pemberian cairan yang berlebihan, menyesuaikan jumlah agen
osmotik dan salin hipertonik yang digunakan untuk mengurangi tekanan, dan menetapkan
tingkat hiperventilasi yang ideal. Dalam hal ini, pemantauan dapat membantu memandu
pengobatan dan menghindari efek merugikan pada perawatan ICP untuk trauma kepala.
Namun, ada beberapa data penting yang mendukung praktek pemantauan ICP secara
rutin. Tentunya pada pasien yang hanya tampak mengantuk atau hanya menunjukkan efek
massa minimal berdasarkan CT-scan, biasanya tidak perlu dilakukan pemantauan. Pedoman
yang diberikan oleh American Association of Neurological Surgeons telah menyebutkan
bahwa pemantauan dilakukan jika Glasgow Coma Scale adalah antara 3 sampai 8 dan ada
kelainan pada CT scan, atau jika tidak ada kelainan pada CT-scan tetapi pasien memiliki
salah satu di antara kriteria usia di atas 40, posturing, atau memiliki tekanan darah sistolik di
bawah 90 mmHg. Mereka menetapkan tingkat ICP yang harus dicapai adalah di bawah 20
mmHg dan ini telah menguatkan akan pentingnya pemantauan ICP dalam manajemen trauma
kepala.
Pemeriksaan ulang tentang keefektifan pemantauan ICP dalam suatu penelitian acak
mencapai kesimpulan yang berkebalikan bahwa informasi yang diperoleh melalui
pemantauan tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengamatan klinis dan
pencitraan dengan CT scan. Uji coba ini dilakukan oleh Chesnut dan rekan (disebut BEST:
TRIP) di negara-negara berkembang dan mendefinisikan peningkatan ICP pada tingkat yang
dikatakan terlalu rendah (20 mmHg). Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan klinis untuk manajemen peningkatan ICP adalah layak sebagai program yang
mengacu pada pengukuran ICP langsung. Hal itu bukannya mengabaikan kepentingan
mempertahankan ICP pada tingkat tertentu; itu hanya untuk mempertanyakan perlunya
pemantauan langsung sebagai panduan bagi manajemen. Dua percobaan kraniektomi
dekompresi (disebut DECRA dan RESCUEicp) yang akan dirinci di bawah ini, secara
persisten menggunakan peningkatan ICP sebagai indeks untuk perawatan bedah dan dalam
konteks itu, pemantauan ICP, tentu saja, merupakan suatu keharusan.
Pada prakteknya, kami menggunakan pemantauan ICP di unit kami untuk
memperingatkan bila terjadi pemburukan edema otak atau pendarahan jika pasien tidak dapat
diperiksa secara efektif atau menunjukkan respons yang buruk dengan bukti efek massa pada
CT scan. Meskipun risiko infeksi dengan kateter ventrikel rendah, yaitu kurang dari 3 persen,
penggunaan jangka panjang dapat dipersulit bila terjadi meningitis bakteri. Kateter dapat
dibiarkan terpasang selama 3 sampai 5 hari, atau lebih singkat jika kondisi klinis dan ICP
stabil selama 24 hingga 48 jam. Monitor ICP saat ini menggunakan alat pengukur regangan
fiberoptic yang dapat dimasukkan langsung ke dalam korteks serebral tanpa menyebabkan
kerusakan yang nyata.
Pengukuran Umum Langkah pertama dalam menurunkan ICP yang meningkat
adalah dengan mengontrol faktor-faktor insidensial yang diketahui meningkatkan tekanan,
seperti hipoksia, hiperkarbia, khususnya hipertermia, posisi kepala yang menekan vena
jugularis, dan tingginya tekanan airway rata-rata darri ventilasi tekanan positif (lihat
monograf oleh Ropper dan rekan [2004] dan Bab 29 untuk perincian lebih lanjut).
Menghindari hiponatremia dan hipoosmolaritas serum yang dapat menyebabkan air masuk ke
otak dan meningkatkan volumenya dilakukan dengan hanya memasukkan larutan isoosmolar
atau hiperosmolar seperti normal saline. Peningkatan osmolalitas serum sebagai konsekuensi
dari konsentrasi berlebihan zat terlarut difussible seperti glukosa tidak berguna untuk
mengurangi volume intrakranial karena mereka tidak menyebabkan gradien bagi air dan zat
terlarut di pembuluh darah otak. Akibatnya, penggunaan cairan seperti dekstrosa 5% dalam
air, 0,5 normal saline, dan 5% dekstrosa dalam 0,5 normal salin dihindari; Larutan Ringer
laktat diperbolehkan; salin normal, dengan atau tanpa tambahan dekstrosa, sangat ideal. Pada
sebuah studi post hoc pada pasien yang mengalami cedera berat, resusitasi dengan albumin
diketaui memiliki efek yang merugikan dibandingkan dengan saline (SAFE Investigators).
Terapi Hiperosmolar Dasar dari kelas perawatan ini adalah menciptakan gradien
konsentrasi air dari otak ke darah sehingga dapat mengurangi volume otak. Mannitol,
gliserol, dan urea efektif dalam menurunkan ICP dengan menyebabkan hiperosmolaritas
serum pada awalnya dan kemudian menyebabkan diuresis yang mempertahankan kondisi ini
dan yang kedua menyebabkan hipernatremia dan hipovolemia. Sebaliknya, saline
hiperosmolar meningkatkan natrium serum secara langsung dan meningkatkan volume
intravaskular.
Efek mannitol sangat penting dalam perawatan trauma kepala, tetapi pedoman ideal
untuk penggunaannya belum pernah ditetapkan. Jika ICP meningkat melebihi level yang
telah ditentukan, misalnya, 20 mmHg seperti yang direkomendasikan oleh pedoman yang
disebutkan sebelumnya untuk perawatan cedera otak traumatis, mannitol 20 persen, dengan
dosis 0,25 hingga 1,0 g/kg diberikan setiap 3 hingga 6 jam untuk mempertahankan natrium
serum di atas sekitar 142 mEq/L dan osmolaritas 290 hingga 315 mOsm/L. Bahkan jika
pemantauan ICP tidak dilakukan, upaya ini dapat dilakukan untuk mempertahankan tingkat
osmolalitas serum pada hari-hari pertama setelah cedera jika ada kontusio dan pembengkakan
otak yang terdeteksi pada CT scan.
Mannitol dalam jumlah besar dapat menyebabkan gagal ginjal, yang hampir selalu
bersifat reversibel, meskipun mekanismenya masih belum pasti dan mungkin berkaitan
dengan aliran darah ginjal. Bukti yang terbatas menunjukkan bahwa komplikasi ini hanya
terjadi dengan penggunaan lebih dari 200 g mannitol setiap hari.
Kelebihan relatif saline hipertonik dan manitol sering dibahas dan telah ditinjau oleh
salah satu dari penulis (Ropper, 2012). Beberapa penelitian kecil yang membandingkan agen,
yang dirujuk dalam ulasan, menunjukkan hanya sedikit sekali perbedaan sebagai
pertimbangan untuk memilih antara kedua agen tersebut. Pengalaman dan penilaian
keseluruhan dari efek samping dari masing-masing agen tersebut biasanya yang mendasari
penggunaannya dalam praktek. Saline hipertonik (konsentrasi 3 hingga 23 persen) memiliki
efek yang sebanding dengan manitol dalam terapi peningkatan ICP dan memiliki keuntungan
dapat menghindari dehidrasi parah karena meningkatkan osmolaritas secara langsung
daripada melalui diuresis. Sebaliknya yang juga berkaitan, yaitu bahwa pasien dengan curah
jantung yang buruk dapat mengalami gagal jantung kongestif dengan penggunaan saline
hipertonik dalam volume tinggi. Diuretik telah digunakan untuk mengurangi efek ini. Salah
satu agen dapat menghasilkan hiperglikemik, keadaan hiperosmolar pada penderita diabetes,
terutama pada orang tua dan mereka yang menerima kortikosteroid.
Saline hipertonik, 3 persen, dapat digunakan dalam bolus 150 mL; larutan 7,5 persen,
dalam 75 mL bolus; dan 23 persen, dalam volume sekitar 30 mL. Semua dosis kecuali
dengan konsentrasi garam terendah memerlukan kateter vena sentral untuk mencegah
sklerosis vena. Tingkat konsentrasi natrium yang sama seperti yang dicatat untuk manitol
digunakan sebagai referensi untuk memandu dalam peningkatan bertahap pemberian natrium,
dengan natrium serum lebih tinggi dari sekitar 156 mEq/L jarang dilakukan pengurangan
tambahan pada ICP.
Hipokarbia Hipokarbia, yang diinduksi oleh hiperventilasi mekanik menyebabkan
alkalosis CSF dan vasokonstriksi serebral dengan penyesuaian penurunan volume darah
serebral dan ICP. Ini efektif untuk periode waktu yang terbatas, karena pH cairan tulang
belakang akan menyeimbangkan diri dalam berjam-jam oleh elaborasi ion amonium dalam
pleksus choroidalis, memungkinkan volume darah otak untuk kembali ke level sebelumnya.
Satu langkah pengurangan PCO2 biasanya menurunkan ICP selama sekitar 20 hingga 40
menit. Upaya untuk memperpanjang efek hipokarbia dan alkalosis dengan pemberian buffer
amonium intravena telah menunjukkan hasil yang beragam.
Telah disarankan bahwa hiperventilasi mungkin berbahaya bagi beberapa pasien yang
mengalami cedera kepala karena akan mengurangi aliran darah ke otak, tetapi risikonya,
seandainya ada, tampak minimal, setidaknya pada orang dewasa. Pada anak-anak,
pengurangan aliran darah otak telah dibuktikan oleh Skippen dan rekannya di mana tingkat
hipokarbia yang bahkan hanya sedang dan tiga perempatnya menyebabkan iskemia otak
ringan ketika PCO2 di bawah 25 mmHg. Untuk alasan ini, hipokarbia hanya digunakan dalam
kasus trauma kepala terutama dalam keadaan akut dan telah dihindari dalam penggunaan
kronis. Jika ICP terus meningkat dan pembengkakan otak berlangsung meskipun ada
langkah-langkah ini, prospek untuk bertahan hidup buruk. Harus disebutkan bahwa banyak
pasien, terutama anak-anak, mengalami hiperventilasi secara spontan setelah trauma kepala.
Hipotermia Anestesi hipotermia dan barbiturat secara konsisten menurunkan ICP
tetapi relatif sedikit pasien yang merespon tindakan tersebut untuk waktu yang lama dan
keadaan klinisnya tidak membaik. Masalah utama, selain dari kesulitan mempertahankan
suhu tubuh yang rendah, adalah bahwa pada proses penghangatan kembali menyebabkan
pembengkakan otak yang substansial dan kembalinya ICP ke tingkat sebelumnya atau lebih
tinggi. Sebuah penelitian terkontrol acak dengan mendinginkan pasien dewasa dengan cedera
kepala tertutup berat (Glasgow Coma Scale 3 sampai 7) hingga 33°C (91,4°F) selama 24 jam
tampaknya mempercepat pemulihan neurologis dan mungkin menunjukkan hasil yang sedikit
meningkat (Marion et. al), tetapi dalam penelitian yang lebih besar dan dilakukan dengan
lebih baik yang dipimpin oleh Clifton menunjukkan bahwa dengan mencapai kondisi
hipotermia 33°C (91,4°F) dalam 8 jam setelah cedera gagal meningkatkan hasil dan
pendekatan ini tidak disarankan kecuali dalam keadaan khusus. Sebuah percobaan yang
dilaporkan oleh Andrews dan rekan sampai pada kesimpulan yang sama ketika kondisi
hipotermia dengan suhu 32 hingga 35°C ditambahkan ke prosedur terapi standar untuk
peningkatan ICP. Kurangnya efek yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian yang
dilakukan pada anak-anak (Hutchinson et al, 2008).
Meskipun barbiturat menurunkan ICP, namun menyebabkan penurunan tekanan darah
juga; karenanya, hal ini dapat mengurangi perfusi otak. Namun, penelitian tidak terkontrol
oleh Marshall dan rekan kerja (1979) mengklaim peningkatan kelangsungan hidup dengan
menggunakan barbiturat bahkan dalam kasus di mana ICP melebihi 40 mm Hg. Penelitian
acak yang lebih definitif oleh Eisenberg dan rekan menunjukkan tidak ada manfaat dari
anestesi yang diinduksi barbiturat pada pasien yang mengalami cedera kepala, dan kelas obat
ini sebagian besar telah ditinggalkan kecuali untuk kontrol singkat ICP akut sementara
tindakan lain sedang dipersiapkan.
Glukokortikoid Beberapa penelitian terkontrol telah menetapkan bahwa pemberian
steroid dosis tinggi tidak meningkatkan hasil klinis pada cedera kepala berat. Namun
dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih kecil, penelitan Clinical
Randomization of an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH) yang dirancang
dengan baik dilakukan pada lebih dari 10.000 orang dewasa dan dikendalikan pada berbagai
tingkat cedera sebagaimana dinilai oleh Glasgow Coma Scale dan kriteria imaging. Efek dari
infus methylprednisolone 2 g, yang dilanjutkan oleh 0,4 g/jam selama 48 jam, malah
menunjukkan kelangsungan hidup lebih baik pada pasien yang tidak diobati, dengan margin
yang kecil tetapi jelas, yang membuat rekomendasi saat ini bahwa steroid tidak digunakan
secara rutin setelah cedera kepala.
Tatalaksana Tekanan Darah Manajemen hipertensi sistemik post-trauma
merupakan masalah yang sulit. Dalam beberapa jam setelah cedera kepala, respons
simpatoadrenal dan peningkatan tekanan darah akan turun secara spontan dalam hitungan
beberapa jam atau beberapa hari. Kecuali jika peningkatan tekanan darah ekstrem (lebih dari
180/95 mm Hg), hal ini dapat diabaikan pada tahap awal. Dalam percobaan pada hewan,
telah ditemukan bahwa hipertensi berat menyebabkan peningkatan perfusi otak dan
pembesaran edema di sekitar luka memar dan pendarahan. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, edema adalah elemen utama yang menyebabkan pembengkakan otak dan
peningkatan ICP pada sebagian besar pasien cedera kepala (Marmarou et al). Ini
mencerminkan kegagalan mekanisme autoregulatori pembuluh darah, di mana menyebabkan
edema transudatif pada area otak yang rusak. Kontrol pada tekanan darah yang tinggi harus
diseimbangkan dengan risiko penurunan tekanan perfusi otak dan pengamatan bahwa bahkan
dalam periode singkat hipotensi ringan dapat memicu siklus vasodilatasi otak, peningkatan
volume darah otak, dan peningkatan ICP dalam bentuk plateau waves (Rosner dan Becker).
Adanya pengamatan seperti ini menekankan perlunya koreksi segera hipotensi pada pasien
yang mengalami cedera kepala berat.
Karena kebanyakan terapi dalam tatalaksana peningkatan ICP adalah dengan
mendehidrasi pasien atau mengurangi tekanan pengisian jantung, sehingga menyebabkan
hipotensi, jalan tengah dengan menghindari hipertensi berat dan derajat hipotensi apa pun
tampaknya merupakan langkah terbaik. Untuk menurunkan tekanan darah yang tinggi,
diuretik, beta-adrenergic blocking agents, atau angiotensin-converting enzyme inhibitors
adalah yang umumnya digunakan, daripada agen yang berpotensi melebarkan pembuluh
darah otak (nitrogliserin dan nitroprusside, hidralazin, dan beberapa penghambat saluran
kalsium bila digunakan dapat memunculkan risiko ini. Hipotensi harus dikoreksi oleh agen
vasopressor seperti fenilefrin atau norepinefrin. Tingkat tekanan darah yang tepat dalam
perawatan harus dinilai berdasarkan konteks ICP dan adanya plateau waves, tujuannya adalah
untuk mempertahankan tekanan perfusi otak normal 60 hingga 80 mmHg, sebagaimana
tingkat tekanan darah pasien sebelumnya.; adanya tanda-tanda kegagalan organ akibat hiper
atau hipotensi, seperti iskemia jantung atau ginjal, juga harus diperhatikan.
Tatalaksana Medis Umum
Jika koma bertahan selama lebih dari 48 jam, nasogastric tube harus dipasang dan
cairan dan nutrisi harus diberikan melalui rute ini. Fraktur basis cranii, terutama jika ada
kebocoran CSF, dapat menghalangi rute ini dan harus dilakukan pemasangan gasctric tube
langsung di lambung. Pemberian agen yang mengurangi produksi asam lambung — atau
yang setara, antasida pada stomach tube untuk menjaga keasaman lambung pada pH di atas
3,5 — berperan dalam mencegah perdarahan lambung. Penggunaan profilaksis obat
antiepilepsi, seperti dibahas sebelumnya, dalam bagian "Epilepsi Pascatrauma," baru-baru ini
banyak dipraktekkan, tetapi tidak ada bukti bahwa kejang epilepsi tertunda menjadi
berkurang (lihat Chang dan Lowenstein). Antiepilepsi diberikan hanya jika ada kejang.
Kegelisahan dikendalikan dengan diazepam, propofol, atau obat serupa, tetapi hanya
jika perawatan oleh perawat gagal untuk menenangkan pasien dan untuk menyebabkan tidur
selama beberapa jam pada periode tertentu. Etomidate dan dexmedetomidine mungkin lebih
disukai untuk mengurangi agitasi karena efek sedasi minimal. Demam diobati dengan
antipiretik seperti asetaminofen dan, jika perlu, dengan selimut pendingin. Penggunaan
morfin atau bromokriptin untuk meredam episode postur ekstensi yang kuat dan menyertai
aktivitas adrenergik telah disebutkan sebelumnya.
Pembedahan Dekompresi
Perlunya intervensi bedah selama periode pasca trauma akut ditentukan oleh dua
faktor: status klinis pasien dan temuan pada imaging. Adanya bekuan darah subdural atau
epidural yang menyebabkan pergeseran struktur pada otak memerlukan evakuasi bekuan
tersebut. Pendekatan mengenai lesi ini telah dibahas sebelumnya. Bila peningkatan ICP tidak
memberikan respon terhadap terapi sesuai prosedur atau agen osmotik standar dan tindakan
medis lainnya yang diuraikan sebelumnya, atau jika kondisi pasien dan tanda-tanda vital
kemudian mulai memburuk (denyut jantung meningkat, suhu naik atau turun di bawah
normal, keadaan kesadaran memburuk, hemiplegia, refleks plantar ekstensor lebih jelas),
pencarian terhadap pendarahan otak baru yang terjadi belakangan harus dilakukan. Biasanya
dalam keadaan klinis ini, CT-scan akan menunjukkan adanya hematoma epidural, subdural,
atau intraserebral yang baru atau membesar, atau edema serebral yang memburuk. Jika ingin
menghindari kematian atau kecacatan parah, tindakan operasi dalam kasus-kasus ini harus
segera dilakukan sebelum tanda-tanda lanjut kompresi batang otak - dekerebrasi atau postur
decorticate, hipertensi, bradikardia - muncul.
Tindakan kraniektomi dekompresi pada pasien dengan pembengkakan otak traumatis
progresif dan tidak terselesaikan telah menjadi bahasan baru yang menarik, setelah diabaikan
selama beberapa dekade. Guerra dan rekannya melaporkan 57 pasien, sebagian besar orang
dewasa muda, yang menjalani kraniektomi frontotemporal luas, unilateral pada 31 kasus dan
bilateral pada 26 kasus. Dari jumlah tersebut, 58 persen dapat mencapai kondisi rehabilitasi
yang sangat baik. Penulis berpendapat bahwa hasil ini merupakan peningkatan yang
signifikan sesuai yang diharapkan pada kelompok pasien ini. Penelitian terbuka serupa yang
dilakukan oleh Aarabi dan rekannya menunjukkan 40 persen kasus dengan hasil yang baik.
Hasil serupa pada anak-anak dilaporkan oleh Polin dan rekannya. Beberapa kasus yang
melibatkan kami, kebanyakan dengan anak-anak yang terlambat dioperasi, hasilnya tidak
begitu menggembirakan.
Namun, hasil yang secara umum baik ini tidak dapat divalidasi dalam penelitian acak
DECRA yang dilakukan oleh Cooper dan rekannya, atau dalam penelitian yang dilaporkan
oleh Cooper dan rekan kerja. Dekompresi memang dapat mengurangi ICP, seperti yang
diharapkan, ketika konten intrakranial terpapar tekanan atmosfer, tetapi hasil operasi tidak
menunjukkan kondisi yang lebih baik dan dalam penelitian yang disebutkan terakhir, hasilnya
lebih buruk bila dengan dekompresi. Untuk melengkapi penelitian ini laporan oleh
Hutchinson dan rekan (2016) mengenai pasien dengan hipertensi intrakranial refrakter
menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi tetapi juga tingkat keadaan
vegetatif yang lebih tinggi dengan dilakukannya prosedur dekompresi. Detail pada operasi
dan derajat ICP yang ditentukan sebagai batas untuk memutuskan dilakukan operasi telah
dibahas dalam masing-masing penelitian ini, tetapi yang tetap menjadi keputusan terbaik
hingga saat ini dan dipahami secara luas adalah untuk tidak melakukan dekompresi
sembarangan untuk mengurangi ICP. Ulasan mengenai hipertensi intrakranial yang muncul
segera setelah penelitian DECRA dibahas oleh Stochetti dan Maas.
Pengobatan penyakit medis umum yang berkaitan dengan koma yang berkepanjangan
diuraikan dalam Bab. 16. Setiap pasien menunjukkan masalah yang unik.

PROGNOSIS
Seperti yang telah dikemukakan, prognosis pada cedera berat sangat mengecewakan,
apalagi seiring bertambahnya usia. Beberapa aspek prognosis sudah disebutkan sebelumnya
tetapi penjelasan berikut akan merangkum permasalahan tersebut. Dalam survei besar yang
dilakukan European Brain Injury Consortium, yang terdiri dari 10.005 pasien dewasa, cedera
terbukti berakibat fatal pada 31 persen; 3 persen berada dalam kondisi vegetatif persisten, dan
16 persen mengalami cacat berat secara neurologis (Murray et al). Data dari Traumatic Coma
Data Bank yang dianalisis secara luas dibandingkan, seperti yang dilaporkan oleh Marshall
dan rekan kerja (1983). Tanda-tanda gangguan otak fokal, baik karena cedera kepala tertutup
atau terbuka dan menembus, cenderung selalu membaik seiring berlalunya waktu.
Hemiplegia sering dapat berkurang menjadi hemiparesis minimal atau bisa juga menjadi
fungsi motorik menjadi tidak berfungsi dengan tanda refleks yang berlebihan dan tanda
Babinski pada sisi yang bermasalah, dan juga afasia secara bertahap berubah menjadi
paraphasia atau disfisia yang seperti gagap atau ragu-ragu yang tidak terlalu melumpuhkan
fungsinya. Banyak tanda-tanda gangguan pada batang otak (disfungsi saraf kranial dan
ataksia) membaik juga, biasanya dalam 6 bulan pertama setelah cedera (Jennett dan Bond)
dan sering dalam waktu yang tidak terduga. Sebagian besar pasien yang telah koma selama
berjam-jam atau berhari-hari - yaitu, mereka yang mengalami cedera otak berat - mengalami
gangguan memori dan cacat kognitif lainnya serta disertai dengan perubahan kepribadian. Ini
mungkin satu-satunya efek lanjutan persisten seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Jennett dan Bond, perubahan mental dan kepribadian ini adalah cacat yang lebih
berat daripada yang gangguan neurologis fokal karerna berkaitan dengan penyesuaian sosial
yang bersangkutan. Pada luka kepala terbuka dan luka tembus otak, Grafman dan rekan kerja
menemukan bahwa besarnya kehilangan jaringan dan lokasi lesi adalah faktor utama yang
mempengaruhi hasil.
Prognosis cedera kepala dipengaruhi oleh beberapa faktor lain sebagaimana
disebutkan. Usia pasien adalah faktor yang paling penting (Vollmer et al). Bertambahnya usia
mengurangi kemungkinan bertahan hidup dan kemungkinan pemulihan yang lebih baik.
Pasien yang lebih tua sering cacat mengalami cacat yang menetap, terutama ketika ada
komplikasi yang terlibat. Pasien muda dan setengah baya berhasil dengan lebih baik,
terutama jika mereka tidak memiliki komplikasi lain.
Seperti pada umumnya, pasien anak-anak dapat pulih lebih sempurna daripada orang
dewasa. Russell menunjukkan sejak lama bahwa tingkat keparahan cedera yang diukur
dengan durasi amnesia traumatis adalah indeks prognostik yang berguna. Pada pasien dengan
periode amnesia yang berlangsung kurang dari 1 jam, 95 persen dapat kembali bekerja dalam
waktu 2 bulan; jika amnesia bertahan lebih dari 24 jam, hanya 80 persen yang dapat kembali
bekerja dalam waktu 6 bulan. Namun, sekitar 60 persen pasien dalam penelitian besarnya
masih mengalami gejala pada akhir bulan kedua, dan 40 persen pada akhir bulan ke-18. Dari
yang paling mengalami cedera berat (yang koma selama beberapa hari), banyak yang
mengalami cacat menetap. Namun, tingkat pemulihan seringkali lebih baik dari yang
diharapkan; kerusakan motorik, afasia, dan demensia cenderung berkurang dan kadang
hilang. Perbaikan dapat berlanjut selama periode 3 tahun atau lebih. Adanya cedera multi-
organ dan, terutama, hipotensi pada beberapa setelah cedera tentu memiliki efek besar, tidak
hanya pada kelangsungan hidup, tetapi dalam beberapa penelitian, berhubungan dengan hasil
neurokognitif dan perilaku pasien.
Temuan penting mengenai aktivasi volunteer dari bagian korteks serebral pada pasien
yang berada dalam keadaan vegetatif atau kesadaran minimal telah disebutkan sebelumnya
dan dalam Bab. 16. Hal ini berfungsi sebagai peringatan bagi ahli saraf untuk menetapkan
label diagnostik vegetatif dan keadaan sadar minimal hanya setelah dilakukan pemeriksaan
dengan cermat dan berulang dan kemudian untuk bisa membangun komunikasi yang baik
dengan keluarga dan dokter lain menyesuaikan dengan hasil yang ditemukan. Meskipun
demikian, sebagian besar pasien yang berada dalam fase vegetatif selama 6 bulan atau lebih
setelah trauma tengkorak tidak akan pulih ke kehidupan yang mandiri seutuhnya.

Anda mungkin juga menyukai