Anda di halaman 1dari 11

JURNAL PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN NON STERIL

PRAKTIKUM II : SUPPOSITORIA

Hari, Tanggal Praktikum : Kamis, 3 Oktober 2019

IB MADE RAY KAYANA

171200206/A2C

Dosen Pengampu :

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
PRAKTIKUM II

SUPPOSITORIA

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam memformulasikan
sediaan suppositoria dan evaluasi kontrol kualitasnya seperti uji
kekerasan, uji waktu larut dan uji disolusinya.

II. DASAR TEORI


A. Definisi
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan
bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya
meleleh, melunak, atau melarut dalam suhu tubuh. Suppositoria dapat
bertindak sebagai pelindung jaringan setempat atau sebagai pembawa zat
terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria
yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol, dan esterasam lemak
polietilen glikol. (Depkes RI, 1995)
Bahan dasar suppositoria mempengaruhi pada pelepasan zat
terapeutiknya. Lemak coklat capat meleleh pada suhu tubuh dan tidak
tercampurkan dengan cairan tubuh, sehingga menghambat difusi obat
yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati. Polietilen glikol adalah
bahan dasar yang sesuai dengan beberapa antiseptik, namun bahan dasar
ini sangat lambat larut sehingga menghambat pelepasan zat yang
dikandungnya. Bahan pembawa berminyak, seperti lemak coklat, jarang
digunakan dalam sediaan vagina, karena membentuk residu yang tidak
dapat diserap. Sedangkan gelatin jarang digunakan dalam penggunaan
melalui rektal karena disolusinya lambat. (Depkes RI, 1995).
B. Bobot dan Bentuk
Berdasarkan bentuk dan bobotnya, sediaan suppositoria dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Suppositoria rektal
Berbentuk silindris dan kedua uungnya tajam, bentuk peluru,
torpedo, dan berjari-jari kecil. Ukuran panjangnya sekitar 32 mm
(1,5 inchi). Beratnya 2 gram untuk orang dewasa bila oleum cacao
digunakan sebagai basis. Sedangkan untuk bayi dan anak-anak
ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan berat orang dewasa (Ansel,
2008). Berat suppositoria rectal untuk orang dewasa kira-kira 2
gram dan biasanya lonjong seperti torpedo. Suppositoria ini untuk
anak-anak beratnya kira-kira 1 gram dan ukurannya lebih kecil
(Lachman, 2008). Untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu atau
kedua ujungnya dan biasanya berbobot sekitar 2 gram (Depkes RI,
1995).
2. Suppositoria vaginal
Berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan
kompendiks resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum cacao.
Tergantung pada basis berat untuk vagina ini berbeda-beda (Ansel,
2008). Berat suppositoria vaginal kira-kira 3-5 gram, berbentuk
bulat atau bulat telur (Lachman, 2008) Umumnya berbentuk bulat
atau bulat telur dan berbobot sekitar 5 gram (Depkes RI, 1995).
3. Suppositoria uretra
Suppositoria uretra ramping seperti pensil, gunanya untuk
dimasukkan kedalam saluran urin pria atau wanita. Suppositoria
saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang sekitar
140 mm, walaupun ukuran ini bervariasi. Apabila basisnya oleum
cacao maka beratnya sekitar 4 gram. Suppositoria saluran urin
wanita panjang dan beratnya 2 gram. Jika menggunakan basis
oleum cacao (Ansel, 2008).
C. Cara Pemakaian
Berdasarkan penggunaannya suppositoria dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis yaitu :
1. Suppositoria Rectal
Suppositoria rectal dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling
sering digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa sakit,
iritasi, rasa gatal, radang serta wasiratau kondisi anorektal lainnya.
Suppositoria rektal sering kali mengandung sejumlah zat termasuk
anastetik lokal, vasokontriktor, adstrigen, analgesik, pelunak yang
menyejukkan dan pelindung (Ansel, 2008)
2. Suppositoria Vaginal
Suppositoria vaginal dimaksudkan untuk efek lokal,
digunakan terutama sebagai antiseptic pada hygiene wanita dan
sebagai zat khusu untuk memerangi penyebab penyakit (bakteri
patogen) (Ansel, 2008)
3. Suppositoria Uretra
Suppositoria uretra biasanya digunakan sebagai antibakteri dan
sebagai sediaan anastetik lokal untuk pengujian uretra (Ansel, 2008).

D. Basis Suppositoria
Basis suppositoria mempunyai peranan penting dalam pelepasan
obat yang dikandungnya. Salah satu syarat utama basis suppositoria
adalah selalu padat dalam suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur
atau melarut pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat
tersedia sepenuhnya, segera setelah pemakaian (Ansel, 2008).
Basis suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat,
gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran
polietilenglikol (PEG) dengan berbagai bobot molekul dan ester asam
lemak polietilen glikol. Basis suppositoria yang digunakan sangat
berpengaruh pada pelepasan zat terapeutik (Depkes RI, 1995).
Ada beberapa basis yang umum digunakan untuk pembuatan
suppositoria yaitu :
1. Basis suppositoria yang meleleh (Basis berlemak)
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai,
terdiri dari oleum cacao, dan macam-macam asam lemak yang
dihidrogenasi dari minyak nabati seperti minyak palem dan minyak
biji kapas. (Lachman, 2008).
2. Basis suppositoria larut air dan basis yang bercampur dengan air
Basis yang penting dari kelompok ini adalah basis gelatin
tergliserinasi dan basis polietilen glikol. Basis gelatin tergliserinasi
terlalu lunak untuk dimasukkan dalam rektal sehingga hanya
digunakan melalui vagina (umum) dan uretra. Basis ini melarut dan
bercampur dengan cairan tubuh lebih lambat dibandingkan dengan
oleum cacao sehingga cocok untuk sediaan lepas lambat. Basis ini
menyerap air karena gliserin yang higroskopis. Oleh karena itu, saat
akan dipakai, suppo harus dibasahi terlebih dahulu dengan air.
(Lachman, 2008).
3. Basis surfaktan
Surfaktan tertentu disarankan sebagai basis hidrofilik
sehingga dapat digunakan tanpa penambahan zat tambahan lain.
Surfaktan juga dapat dikombinasikan dengan basis lain. Basis ini
dapat digunakan untuk memformulasi obat yang larut air dan larut
lemak. Beberapa surfaktan nonionik dengan sifat kimia mendekati
polietilen glikol dapat digunakan sebagai bahan pembawa
suppositoria. Contoh surfaktan ini adalah ester asam lemak
polioksietilen sorbitan dan polioksietilen stearat. Surfaktan ini dapat
digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan pembawa
suppositoria lain untuk memperoleh rentang suhu lebur yang lebar
dan konsistensi. Salah satu keuntungan utama pembawa ini adalah
dapat terdispersi dalam air. Tetapi harus hati-hati dalam
penggunaan surfaktan, karena dapat meningkatkan kecepatan
absorpsi obat atau dapat berinteraksi dengan molekul obat yang
menyebabkan penurunan aktivitas terapetik. (Lachman, 2008).

E. Metode Pembuatan
Ada beberapa metode pembuatan yang umum digunakan untuk
membuat suppositoria yaitu :
1. Dengan tangan
Pembuatan dengan tangan hanya dapat dikerjakan untuk
suppositoria yang mengguanakan bahan dasar oleum cacao skala
kecil, dan jika bahan obat tidak tahan terhadap pemanasan. Metode
ini kurang cocok untuk iklim panas (Lachman, 2008).
2. Dengan mencetak hasil leburan
Cetakan harus dibasahi terlebih dahulu dengan paraffin cair
bagi yang memakai bahan dasar gliserin/gelatin. Tetapi untuk
oleum cacao dan PEG tidak dibasahi karena akan mengerut pada
proses pendinginan dan mudah dilepas dari cetakan (Lachman,
2008).
3. Dengan kompresi
Pada metode ini proses penuangan, pendinginan, dn pelepasan
suppositoria dilakukan dengan mesin secara otomatis kapasitas bisa
sampai 3500-6000 suppositoria perjam (Lachman, 2008).

F. Keuntungan dan kerugian


1. Keuntungan

a. Dapat menghindari terjadinya iritasi lambung

b. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan


asam lambung
c. Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga
obat memiliki efek lebih cepat daripada penggunaan obat
peroral
d. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar (Anief,
2000).
2. Kerugian

a. Meleleh pada udara yang panas, jika menggunakan basis oleum


cacao.
b. Dapat menjadi tengik pada penyimpanan yang lama (Lachman,
2008).
G. Uji Kualitas
1. Uji sikap lebur/kisaran leleh
Waktu lebur dapat diperoleh melalui metode yang amat
sederhana yaitu meletakkan sebuah suppositoria dalam sebuah
pingan terkristalisasi terisis dengan air bersuhu 370 C dalam suatu
penangas air. Waktu yang diperlukan suppositoria untuk melebur
disebut waktu lebur.
2. Uji keseragaman bobot
Ditimbang 20 suppositoria dan dihitung rata-
ratadari suppositoria, kemudian dihitung persen penyimpangan.

% Penyimpangan = bobot tiap suppo – bobot rata-rata suppo x 100%


bobot rata-rata suppo
syarat: tidak satupun suppositoria yang bobotnya menyimpang lebih
dari 5% dari bobot rata-ratanya dan tidak lebih dari 2 suppositoria
yang menyimpang tidak lebih dari 7,5% dari bobot rata-ratanya.
3. Uji keseragaman bentuk
Suppositoria dipotong memanjang dan diamati secara visual
bagian luar dan dalam dari masing-masing suppositoria dan harus
tampak homogen.
4. Uji waktu lunak
Dimasukkan suppositoria kedalam pipa U yang dicelupkan
pada penangas air dengan suhu 370 C, kemudian dimasukkan
batang pengaduk dan waktu sampai batang pengaduk menembus
suppositoria disebut waktu lunak.
5. Uji kehancuran
Alat yang digunakan terdiri dari ruang berdinding rangkap
dimana suppositoria yang diuji ditempatkan, dirancang untuk
mengukur kerapuhan suppositoria
6. Uji disolusi
Digunakan untuk menahan sampel ditempatnya dengan kapas,
kawat, dan manik-manik gelas. (Voight, 1994; Lachman, 2008).

III. ALAT DAN BAHAN


A. ALAT
1. Alat penentuan kekerasan suppositoria
2. Alat penentuan waktu leleh
3. Labu takar 1000ml
4. Thermometer
5. Stopwatch
6. Tabung reaksi
7. Pipet volum 1ml
8. Pipet tetes
9. Beker glass
B. BAHAN
1. Aminofilin : 250mg
2. Oleum cacao : qs
3. Cera alba : 5%
4. Sediaan suppositoria jadi
IV. PEMERIAN BAHAN
1. Aminofilin (FI IV hal 90)
a. Pemerian : butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia
lemah, rasa pahit. Jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan
kehilangan etilenadiamina dan menyerap karbon dioksida dengan
melepaskan teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas lakmus.
b. Kelarutan : tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan 1 g dalam
25 air menghasilkan larutan jernih, larutan 1 g dalam 5 ml air
menghablur jika didiamkan dan larut kembali jika ditambah sedikit
etilenadiamina.
c. Khasiat : bronkodilator
d. Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
2. Oleum cacao (FI III hal 453)
a. Pemerian : lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa
khas lemak agak rapuh.
b. Kelarutan : sukar larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam
kloroform P, dalam eter P dan dalam eter minyak tanah P.
c. Suhu lebur : 310 – 340 C.
d. Khasiat : Zat tambahan
3. Cera alba (FI III hal 140)
a. Pemerian : zat padat, lapisan bening, putih kekuningan, bau khas
lemah
b. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol
(95%) P dingin ; larut dalam kloroform P, dalam eter P hangat, dalam
minyak lemak dan dalam minyak atsiri.
c. Suhu lebur : 62℃ sampai 64℃
d. Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
e. Khasiat dan penggunaan zat tambahan
V. CARA KERJA
1. Siapkan alat dan bahan
2. Hitunglah bahan yang diperlukan untuk membuat 8 suppositoria
3. Penimbangan semua bahan yang dibutuhkan
4. Lelehkan oleum cacao dan cera alba
5. Setelah semua basis melebur tambahkan zat aktif
6. Aduk sampai basis dan zat aktif tercampur homogen
7. Masukkan ke dalam cetakan suppo
8. Dinginkan dalam almari pendingin
9. Kemas suppositoria yang telah jadi dengan menggunakan aluminium foil
10. Bandingkan suppo yang dibuat dengan yang ada di pasaran

VI. PERHITUNGAN BAHAN


1. Aminofilin : 250𝑚𝑔 × 8 = 2000𝑚𝑔
5
2. Cera alba : 100 × 3000𝑚𝑔 = 150𝑚g

Untuk 8 supp : 150𝑚𝑔 × 8 = 1200𝑚𝑔


3. Oleum cacao : 3000𝑚𝑔(𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 1 𝑠𝑢𝑝𝑝) − 250𝑚𝑔(𝑎𝑚𝑖𝑛𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛) −
150𝑚𝑔 (𝑐𝑒𝑟𝑎 𝑎𝑙𝑏𝑎) = 2600𝑚𝑔
Untuk 8 supp 2600𝑚𝑔 × 8 = 20800𝑚𝑔
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M, 2000, Farmasetika, 2000, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Ansel, H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed IV, Alih Bahasa Ibrahim,
F. Jakarta : UI Press.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia

Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri
Farmasi Edisi III, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Voight, R., 1994, Buku Pengantar Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soedani,
N., Edisi V, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Press.

Anda mungkin juga menyukai