Anda di halaman 1dari 6

TUGAS STASE KULIT

ROSSY K- 42100090

1. Fungsi Kortikosteroid
 Menekan inflamasi/peradangan dengan cara menghambat fosfolipase A dan
menekan IL-1α.
 Imunosupresan, kortikosteroid dapat menghambat kemotaksis neutrofil,
menurunkan jumlah sel Langerhans dan menekan pengeluaran sitokin
 Menekan reaksi alergi-imunologi. mempunyai efek terhadap eosinofil,
mengurangi jumlah dan menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal
juga dapat mengurangi jumlah sel mast di mukosa.
 Menekan proliferasi/antimitotik.
 Vasokonstriksi dan efek ini sejalan dengan daya antiinflamasi

2. Efek Samping Kortikosteroid Topikal


 Atrofi Kulit dan Striae
Merupakan efek samping yang paling sering ditemui, dimana kulit tampak tipis,
mengkilat serta hampir selalu terlihat telangiektasi-striae. Hal ini terjadi, pada
penggunaan yang lama dan lebih mudah timbul pada daerah yang banyak
berkeringat, tertutup atau penetrasinya tinggi seperti ketiak, lipat paha atau daerah
intertriginosa serta wajah. Pada dasarnya dapat timbul dimanapun yang lama
menggunakan kortikosteroid potensi kuat. Biasanya atrofi mulai terjadi setelah
penggunaan 3-4 minggu.Histologis tampak penipisan epidermis disertai regresi
papilla dermis. Kortikoksteroid menyebabkan penipisan epidermis dan dermis
akibat aktivitas antiproliferatif pada keratinosit dan fibroblas. Penipisan ini
mengakibatkan visualisasi pembuluh darah sehingga tampaklah telangiektasi, atau
superfisial karena hilangnya dinding penyangga dari kolagen.
Sedangkan striae, walaupun belum jelas betul bagaimana terjadinya, namun faktor
utamanya adalah efek pada serat kolagen dan elastin.
 Akne Steroid
Ditandai oleh erupsi monomorfik berupa papulopustular folikular terutama pada
tubuh bagian atas, lengan atas serta wajah. Kelainan ini lebih sering ditemui pada
penggunaan sediaan dengan potensi sangat kuat, tetapi kadang disebabkan oleh
sediaan yang potensinya lebih lemah ditambah bebat oklusi. Hal ini dikarenakan
degenerasi epitel folikular sehingga terjadi pengeluaran isi folikel. Pada lesi akne
yang sudah ada, mula-mula kortikosteroid akan menekan reaksi inflamasi, tetapi
dengan segera tumbuh lesi baru dan dengan penghentian obat akan muncul
pustulasi.
 Purpura, Stellate Pseudoscar, Ulserasi
Sebagai akibat dari atrofi dermal yang hebat serta hilangnya ground substance,
pembuluh darah kehilangan penyangga sehingga tanpa dapat dihindari menjadi
mudah pecah walau hanya karena trauma ringan. Trauma sedikit saja bisa
mengakibatkan pendarahan kulit bahkan erosi dan ulserasi, oleh karena hanya ada
sedikit perlindungan terhadap pembuluh darah akibat penipisan dermis. Lesi
purpura diserap secara lambat dan meninggalkan parut cekung, hipopigmentasi
bentuk tak beraturan (Stellate Pseudoscar). Stellate Pseudoscar ini paling sering
didapatkan pada ekstremitas, terutama permukaan ekstensor dari lengan bawah.
Pada kulit yang sudah menipis, misalnya pada orang tua, lesi ini juga lebih mudah
timbul. Pada akhirnya bisa timbul ulserasi yang sebenarnya.
 Dermatitis Perioral
Kelainan ini ditandai oleh papula dan pustula folikular diatas kulit eritematus pada
daerah perioral (sekeliling mulut) dan tampak jelas daerah yang bebas lesi pada
vermillion border. Acap kali ditemui pada wanita yang menggunakan
kortilosteroid topikal potensi kuat pada wajah. Kortikosteroid topikal yang
fluorinated dianggap sebagai penyebab utama.
 Rosasea
Penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat atau sangat kuat pada wajah akan
memperburuk rosasea yang telah ada dan dapat mencetuskan gambaran seperti
rosasea dengan eritema, papula, pustula, telangiektasi di pipi, hidung serta dahi.
Rosasea adalah suatu kondisi wajah yang ditandai dengan gejala rasa terbakar dan
pustulasi. Penggunaan kortikosteroid topikal, acap kali memberikan perbaikan
bagi keluhan tersebut, akan tetapi dengan berjalannya waktu, diperlukansediaan
yanglebih kuat serta pengolesan lebih sering. Bila obat ini dihentikan, akan terjadi
fenomena rebound yang parah ditandai dengan eritema, pustulasi, telagniektasi
seperti telah disebutkan diatas. Mekanisme munculnya ketergantungan terhadap
kortikosteroid ini diduga melalui tiga fase yaitu :
1. Pemakaian kortikosteroid menghilangkan eritema, puspula, skuama serta
pruritus karena efek antiinflamasi.
2. Berlanjutnya pemberian kortikosteroid menyebabkan meningkatnya
pertumbuhan mikroba oleh sebab efek imunosupresi lokal.
3. Dengan penghentian obat, respon imun tak lagi tertekan sehingga kemerahan,
pustulasi, skuama serta gatal kembali muncul akibat infeksi yang makin hebat.
 Menutupi (Menyelubungi) dan Memperburuk Infeksi Kulit
Sering kali kortikosteroid topikal diberikan secara tidak tepat untuk kelainan
infeksi primer pada kulit. Erupsi akan mengalami perbaikan karena penekanan
proses peradangan sehingga tanda klinis infeksi tertutup atau berubah sedangkan
organisme penyebab tidak diberantas. Salah satu teori mengatakan bahwa
kortikosteroid menghambat transkripsi gen yang mengkode peptide antibakterial.
Sebagai contoh, penggunaan kortikosteroid topikal pada tinea menimbulkan
gambaran klinis yang tidak khas dimana tepi yang meninggi, eritematus dan
berbatas tegas tidak didapatkan lagi sehingga batas menjadi kabur serta meluas
yang dikenal sebagai Tinea Inkognito. Hal lini diakibatkan oleh penekanan
inflamasi, namun jamur terus tumbuh dengan subur. Kortikosteroid juga
memperberat infeksi virus, terutama pada penderita dermatitis atopik.
 Granuloma Gluteale Infantum
Ditandai oleh adanya erupsi papulonodular atau nodulus merah kehitaman pada
pantat, paha atau daerah genetalia bayi yang telah diterapi karena ruam popok
yang telah ada sebelumnya. Walaupun etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi
diduga pemakaina kortikosteroid topikal potensi kuat yang dioleskan di bawah
penutupan celana plastik, yang merubah respon terhadap infeksi kandida sebagai
penyebabnya. Dengan penghentian kkostikosteriod, lesi perlahan-lahan akan
menghilang, namun meninggalkan parut atrofik.
 Hepertrikosis
Terutama dijumpai pada wanita yang menggunakan kortikostetoid topikal potensi
kkuat pada wajah. Meskipun obat telah dihentikan, rambut-rambut velus yang
lebih gelap dan lebih besar ini dapat bertahan selama beberapa bulan.
Mekanisme terjadinya pertumbuhan rambut velus yang lebih kasar oleh dorongan
kortikosteriod ini belum diketahui dengan pasti.
 Hipopigmentasi
Walaupun dikenal sebagai efek samping yang banyak terjadi setelah injeksi
kostikosteroid intralesi, namun hipopigmentasi cukup sering ditemui setelah
pemberian kortikosteroid topikal. Khususnya pada penderita berkulit hitam.
Dalam hal ini, kortikosteroid mengganggu sintesis melanin oleh melanosit.
 Gangguan Penyembuhan Luka
Pada penggunaan kortikosteroid topikal dapat terjadi hambatan penyembuhan luka
yang sudah ada sebelumnya, dikarenakan khasiat antiinflamasi dari sediaan ini
yaitu melalui :
1. Efek vasokonstriksi pembuluh darah kecil sehingga ekstravasasi leukosit dan
eksudasi plasma terganggu.
2. Penurunan jumlah leukosit di tempat radang.
3. Penurunan reaktivitas jaringan ikat oleh sebab gangguan pembentukan
fibroblas, ground substance serta jaringan granulasi. Jadi, secara ringkas, efek
yang merugikan ini, disebabkan menurunnya respon inflamasi dan kegagaln
bergabungnya kolagen dan fibrin.
 Dermatitis Kontak Alergika
Sediaan kortikosteroid topikal dapat menimbulkan dermatitis kontak baik terhadap
molekul kortikosteroid itu sendiri, walaupun sangat jarang terjadi, dan acap kali
terhadap vehikulum atau berbagai kompinen yang terdapat di dalamnya seperti
pengawet, emulsifier, stabilizer. Tak jarang terjadi reaksi silang antara sediaan
kortikosteroid yang memiliki struktur molekul yang serupa.
 Gangguan Optalmik (Okular)
Pemakaian kortikosteroid topikal, terutama potensi kuat pada kelopak mata atau
periorbital, harus diawasi dengan cermat, karena adanya risiko untuk terjadinya
glaukoma, katarak, dan hipertensi okular. Salah satu penelitian memperlihatkan
bahwa hipertensi okular sebagai akibat penggunaan deksametason tipikal, lebih
sering, lebih hebat dan lebih cepat timbul pada anak-anak. Efek yang merugikan
terhadap mata ini muncul sebagai akibat kemampuan kortikosteroid untuk
meningkatkan tekanan intraokular. Sebaiknya hanya kortikosteroid potensi ringan
yang digunakan di sekitar mata.
 Takifilasis
Suatu fenomena dimana penggunaan kortikosteroid topikal secara terus menerus
menimbulkan toleransi akut dengan berkurangnya kemanjuran atau khasiat
sediaan tersebut.

3. Efek Samping Kortikosteroid Oral


 Gangguan pada cairan dan elektrolit : Retensi sodium, retensi cairan, gagal
jantung kongestif, kehilangan kalium pada pasien yang rentan, hipokalemia
alkalosis, hipertensi.
 Jaringan otot : steroid miopati, lemah otot, osteoporosis, nekrosis aseptik,
keretakan tulang belakang, keretakan pathologi.
 Saluran pencernaan : ulserasi peptik dengan kemungkinan perforasi dan
perdarahan, pankretitis, ulserasi esofagitis, perforasi pada perut, perdarahan
gastrik, kembung perut. Peningkatan Alanin Transaminase (ALT, SGPT),
Aspartat Transaminase (AST, SGOT), dan Alkaline Phosphatase telah diteliti
pada pengobatan dengan kortikosteroid. Perubahan ini biasanya kecil, tidak
berhubungan dengan gejala klinis lain, bersifat reversibel apabila pemberian obat
dihentikan.
 Dermatologi : mengganggu penyembuhan luka, menipiskan kulit yang rentan,
petechiae, ecchymosis, eritema pada wajah, banyak keringat.
 Metabolisme : Keseimbangan nitrogen yang negatif sehubungan dengan
katabolisme protein. Urtikaria dan reaksi alergi lainnya, reaksi anafilaktik dan
reaksi hipersensitif. dilaporkan pernah terjadi pada pemberian oral maupun
parenteral.
 Neurologi : Peningkatan tekanan intrakranial, perubahan fisik, pseudotumor
cerebri, dan epilepsi.
 Endokrin : Menstruasi yang tidak teratur, terjadinya keadaan “cushingoid”,
supresi pada pitutary-adrenal axis, penurunan toleransi karbohidrat, timbulnya
gejala diabetes mellitus laten, peningkatan kebutuhan insulin atau hypoglikemia
oral, menyebabkan diabetes, menghambat pertumbuhan anak, tidak adanya
respon adrenokortikoid sekunder dan pituitary, khususnya pada saat stress atau
trauma, dan sakit karena operasi.
 Mata : Katarak posterior subkapsular, peningkatan tekanan intrakranial, glaukoma
dan eksophtalmus.
 Sistem imun : Penutupan infeksi, infeksi laten menjadi aktif, infeksi oportunistik,
reaksi hipersensitif termasuk anafilaksis, dapat menekan reaksi pada test kulit.

Anda mungkin juga menyukai