Anda di halaman 1dari 25

Tugas Makalah Seminar

Penggunaan Legume Cover Crop (LCC)


di Perkebunan Kelapa Sawit

Oleh:
Amar Ma’ruf
NIM: 14/373604/PPN/3897

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Fakultas Pertanian. Jurusan Pertanian. Program Studi
Agronomi
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kebutuhan lahan pertanian untuk pemenuhan aspek aktivitas penduduk di dunia terus
meningkat. Pada tahun 2050, peningkatan tersebut diperkirakan mencapai 3,5×108 ha untuk
pemenuhan permintaan komoditas pangan di dunia. (Tilman et al. 2001). Untuk memenuhi
permintaan komoditas pangan, tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) semakin eksis
beberapa dekade terakhir ini. Tanaman kelapa sawit menjadi salah satu tanaman di sekitar
khatulistiwa atau daerah tropis yang perkembangannya paling pesat. (Koh dan Wilcove
2007).
Produksi minyak CPO dan inti sawit dunia meningkat dari 1.7 juta ton pada 1960
hingga 23.8 juta ton pada tahun 2000, atau setara 26.4% dari produksi semua minyak sayur di
dunia selama periode tersebut (Corley & Tinker 2003). Pertumbuhan industri kelapa sawit
yang cepat berkaitan dengan keberagaman penggunaan produk hilir, seperti zat aditif
makanan, kosmetik, industri pelumas dan biodiesel (Corley dan Tinker 2000)
Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling hemat dari segi pembiayaan
untuk pertanian kelapa sawit. Sebab, kedua Negara ini memiliki iklim kondusif, tanah yang
subur, dan biaya tenaga kerja relatif rendah. Hal ini memungkinkan untuk panen hasil buah
yang tinggi sepanjang tahun (Casson 2000). Maka, tidak mengherankan jika kini kedua
negara ini menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia, yakni 80.5% (130.3 juta ton,
setara inti sawit) produksi dunia dan 56.1% (6.7 juta ha) areal kelapa sawit yang
dibudidayakan di seluruh dunia (FAO 2006).
Mengingat begitu pesatnya perkembangan kelapa sawit, tentu segala faktor internal
dan eksternal sangat diperhatikan. Keduanya sama pentingnya dan saling melengkapi.
Seyogiannya faktor yang menentukan hasil produksi, yaitu genetik tanaman, potensi
lingkungan, serta manajemen yang professional. Ketiga faktor ini tidak bisa dihilangkan salah
satunya, atau hanya sekadar dikurangi. Pembatasan terhadap faktor tersebut membuat hasil
tidak optimal.
Nitrogen merupakan unsur esensial bagi tanaman kelapa sawit, sebagaimana termasuk
dalam faktor potensi ligkungan. Pemenuhan nitrogen disiapkan oleh manajemen yang baik
serta kondisi genetik tanaman yang responsif. Nitrogen berasal dari pupuk kimia seperti urea
dan Za, juga berasal dari pupuk hijau seperti penanaman Legume Cover Crop (LCC) yang
bersimbiosis dengan bakteri rhizobium. (Koh, 2008)

2
2. Legume Cover Crop (LCC)
Aplikasi LCC merupakan cara yang tepat untuk optimalisasi potensi lahan dan
keramahan lingkungan. Penanaman LCC mampu memperbaiki kesuburan tanah, menekan
pertumbuhan gulma di areal penanaman, meningkatkan ketersediaan karbon dan nitrogen
dalam tanah, serta mengurangi laju erosi (Choudhary, 1993; Barthes, 2004). Ada beberapa
jenis LCC yang paling popular untuk dibudidayakan, yakni Mucuna bracteata (MB),
Centrocema pubescens (CP), Calopogonium muconoides (CM), Pueraria javanica (PJ), dan
Calopogonium caeruleum (CC).
Salah satu penentu keberhasilan perbaikan lahan adalah dengan pemilihan jenis LCC
yang tepat. LCC yang tepat untuk dibudidayakan memiliki pertumbuhan dan kerapatan yang
cepat, mampu bersimbiosis mutualisme dengan bakteri fiksasi nitrogen, serta biomassa yang
dihasilkan mudah terdekomposisi. Untuk ciri-ciri terakhir yang telah disebutkan, alasannya
agar tidak justru menjadi pesaing bagi tanaman utama (Ambodo, 2008). Pada bahasan
selanjutnya akan dibahas satu per satu jenis-jenis mucuna yang paling banyak dibudidayakan
di perkebunan kelapa sawit.
a. Mucuna bracteata
Salah satu jenis LCC yang paling banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit
adalah M. bracteata. Tanaman ini termasuk satu dari beberapa tanaman kacang-kacangan
yang ditemukan pertama kali di India Utara, tepatnya di kawasan hutan negara bagian
Tripura. Awalnya, Mucuna bracteata ditanam untuk keperluan tanaman pakan hijau.
Perkebunan karet di Kerala, Pertanian di India Selatan sudah menanam M. bracteata secara
intiensif sebagai penutup tanah (CSIR, 1962; Duke, 1981; Wilmot-Dear, 1984).
Daun Mucuna bracteata memiliki warna hijau tua berukuran sekitar 15 cm x 10 cm.
Seperti kebanyakan kacangan lainnya, daun Mucuna bracteata adalah trifoliat. Jika suhu
lingkungan terlalu tinggi, maka helaian daun akan menutup, biasa disebut dengan termonasti.
Keadaan tersebut berfungsi dalam mengurangi penguapan. Mucuna bracteata memiliki
ketebalan vegetasi hingga 40-100 cm, diukur dari permukaan tanah. Bahkan, menurut
Harahap et al. (2008) apabila situasi lingkungan dan aspek budidaya optimal, laju penutupan
pada masa awal penanaman mampu mencapai 2-3 m2 per bulan. Sementara untuk laju
penutupan areal yang sempurna terjadi di tahun ke-2. Jumlah biomassa pada usia tersebut
mencapai 9-12 ton berat kering per ha dengan ketebalan vegetasi optimal, yakni 40 – 100 cm.
Tanaman kacang-kacangan mampu menghasilkan hara nitrogen sebanyak 66%. N2
dari udara difiksasi oleh bakteri rhizobium yang bersimbiosis di nodul kacangan. Berkaitan
dengan fiksasi nitrogen, acap kali banyak terjadi hampbatan-hambatan. Vissoh (2005)

3
menyatakan bahwa penyimpangan komponen faktor lingkungan amat mempengaruhi fiksasi
nitrogen. Keadaan tersebut antara lain nutrisi yang sangat sedikit jumlahnya, pH tanah yang
terlalu asam atau terlalu basa, temperatur ekstrim, kelebihan atau kekurangan air tanah
(Vissoh, 2005).
Pembentukan nodul diakibatkan oleh bakteri rhizobium yang melekat di akar,
tepatnya di bagian rambut akar. Aktivitas tersebut menjadikan rambut akar membelokkan
akar. Kemudian, bakteri menginfeksi di dinding sel sehingga terjadi interaksi dengan
membran sel. Dinding sel tetap bersintesis, begitu pun rambut akar yang tetap tumbuh.
Dinding sel mengarahkan untuk aktivitas penetrasi. Hasil infeksi yang telah terjadi
menghasilkan gumpalan seperti benang. Gumpalan-gumpalan tersebut tumbuh di bagian
korteks akar, yang selanjutnya inti sel membelah. Gumpalan tersebut berisikan rhizobium
yang meyelubugi bahan-bahan kimia (Ahmadjian dan Paracer, 1986).
Menurut kriteria terhadap dampak baik bagi kesuburan tanah, Mucuna bracteata
sangat tepat dipilih sebagai tanaman penutup tanah. M. bracteata mampu menghasilkan
bahan organik yang tinggi. Tanaman ini sangat tepat untuk budidaya tanaman perkebunan di
daerah yang cenderung mengalami kekeringan, tentunya di lahan yang kandungan bahan
organiknya rendah. Berkaitan dengan kandungan hara yang dihasilkan, Subronto dan
Harahap (2002) menyatakan M. bracteata yang berada pada naungan mampu menghasilkan
serasah sebanyak 8.7 ton (setara 236 kg NPKMg, konsentrasi N 75-83%), sedangkan pada
areal terbuka sebanyak 19.6 ton (setara 513 kg NPKMg, konsentrasi N 75-83%). Mucuna
bracteata memberi peningkatan signifikan terhadap kandungan C, P total, K tertukar, serta
kadar pertukaran kation (KTK) dalam tanah. Hal tersebut tentu lebih baik jika dibandingkan
lahan yang ditumbuhi gulma.

Centrocema pubescens
Centrocema pubescens berasal dari Amerika Selatan. Tanaman ini masuk dalam
kategori familia Leguminoceae dan sub famili Papilionaceae. Centrocema pubescens
penyebarannya sangat luas di kawasan tropis lembab. Introduksi tanaman ini sudah terjadi
sejak abad ke-19 atau sebelumnya, dari wilayah tropis Amerika menuju wilayah Asia
Tenggara. Tanaman C. pubescens mampu tumbuh baik bersama tumbuhan lain di sekitarnya.
Salah satu perannya sebagai tanaman penutup tanah. Kekurangan mineral pada tanah bisa
diperbaiki melalui inokulasi rhizobium pada benih.
C. pubescens adalah tanaman yang bersifat merambat dan memanjat, serta termasuk
tanaman umur panjang. Memiliki panjang batang hingga mencapai 5 m serta memiliki bulu-

4
bulu halus. Sama seperti tanaman kacangan lainnya, terdapat 3 helai dalam satu daun.
Daunnya berbentuk lonjong dengan permukaan sedikit kasar, serta terdapat bulu-bulu halus
di bagian atas dan bawah daun. Sedangkan mengenai bunganya, Smith (1985) menjelaskan
bahwa bunga C. pubescens berbentuk kupu-kupu dengan warna violet keputih-putihan.
Buah berbentuk polong, panjangnya 9-17 cm, saat muda berwarna hijau dan setelah tua
berubah menjadi kecokelatan.
C. pubescens merupakan tanaman yang cukup handal pada kondisi kapasitas air lahan
yang ekstrim serta tahan terhadap naungan (Reksohadiprodjo 1981). Tanaman ini juga
mampu tumbuh baik pada lahan dengan drainase yang buruk dan pH masam (Smith 1985).
Sarief (1986) menambahkan bahwa C. pubescens beradaptasi baik pada berbagai jenis tanah.
C. Pubescens menghendaki kondisi pH optimum berkisar 4.5-8.0. Sementara untuk
perkembangan nodul akar menghendaki pH optimum dengan kisaran 5.5-6.0. Kelebihan lain
C. pubescens ialah cukup toleran di tanah dengan kandungan Mangan (Mn) tinggi. Tetapi,
cukup perlu diperhatikan keseimbangan kadar Mn dengan pH rendah karena bisa
mengakibatkan keracunan bagi tanaman.

Calopogonium muconoides
Colopogonium muconoides atau sering disebut dengan calopo termasuk dalam jenis
LCC yang banyak dibudidayakan di perkebunan kelapa sawit. Calopogonium mucunoides
adalah jenis pupuk hijau dimana ketersediaannya cukup banyak kita temui di lapangan.
Leguminosa ini merupakan tanaman yang mampu menghasilkan bahan organik tinggi dan
dapat meningkatkan kesuburan tanah karena dapat memfiksasi nitrogen melalui bakteri
rhizobium di bintil akar tanaman. (Arsyad et al. 2011)
Calopo berasal dari Amerika tropis dan Hindia Barat. Di berbagai kondisi elevasi
melebihi 1.000 m di iklim tropis masih terdapat fleksibilitas terhadap lingkungan, yakni masih
mampu tumbuh pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Tapi, ketinggian tempat
optimum bagi calopo berada di ketinggian 300-1500 m dpl. Hal ini sesuai dengan daerah
tropis yang beriklim lembab panas dengan curah hujan tahunan melebihi 1.250 mm. Calopo
cukup toleran terhadap kekeringan. Tapi kemungkinan juga bisa mati jika terjadi musim
kemarau berkepanjangan.
Belum ada diketahui perbaikan kultivar calopo, meskipun sudah banyak ditanam
selama puluhan tahun,. Nama 'Tortilla' digunakan untuk mengindikasikan benih calopo.
Dipanen dari tanaman di wilayah perbatasan bagian utara Adelaide River (Australia).

5
Calopo diperkenalkan ke wilayah Afrika tropis dan Asia pada awal 1900-an, serta
Australia pada 1930-an. Calopo mulai digunakan sebagai pupuk hijau dan tanaman penutup di
wilayah Sumatera pada tahun 1922, tidak lama kemudian di perkebunan karet, selanjutnya di
wilayah Jawa bagian tengah dan timur. Selanjutnya calopo menyebar ke Malaysia sebagai
tanaman penutup tanah di perkebunan karet. Calopo menjadi tumbuh alami di Indonesia dan
Malaysia, dan memiliki penyebaran pesat di daerah tropis beriklim paling lembab di dunia.
Calopo tumbuh menjalar, melilit dengan panjang hingga beberapa meter. Memiliki
pilose padat pada batang yang panjang. Batang-batang ini menyebarkan rambut yang
mengandung besi. Daunnya bertipe trifoliolate. Panjang tangkai daun bisa mencapai 16 cm.
Masing-masing helaian daun berbentuk elips atau bulat telur.
Buah calopo berupa polong denga bentuk lonjong rata memanjang. Ukurannya sekitar
2 – 4 cm × 0,3-0,5 cm. Benih berbentuk hampir segi empat, ukuran sisinya sekitar 3 mm,
berwarna coklat kemerahan dan mengkilap (Acevedo-Rodríguez, 2005). C. mucunoides
menyebar dengan benih yang mudah tersebar sebagai kontaminan dalam jerami atau lumpur
mengikuti kendaraan atau aktivitas manusia lainnya (Smith, 2002).
Calopo juga diakui sebagai jenis tanaman kacang-kacangan yang bermanfaat untuk
melindungi permukaan tanah, mengurangi suhu tanah, nitrogen atmosfer, meningkatkan
kesuburan tanah dan mengendalikan pertumbuhan gulma. Calopo akan terlihat penjalarannya
dalam 4-5 bulan setelah tanam. Tanaman ini merupakan tanaman berumur pendek dan hanya
dapat bertahan selama 1-2 tahun. Untuk aplikasi pada lahan perkebunan, Calopo biasanya
diperbanyak dengan biji, ditaburkan pada 1-3 kg / ha

Pueraria javanica
Pueraria javanica bermanfaat bagi lahan perkebunan, sehingga berpotensi sebagai
lahan untuk sumber hijauan Puero dan biji (bibit) Puero. Pueraria javanica atau dikenal
dengan sebutan puero toleran pada intensitas cahaya yang fluktuatif, baik rendah maupun
tinggi. Pada intensitas cahaya penuh, puero mampu berproduksi 10 ton bahan kering per ha
(Valentim dan Andrade 2005). Berkaitan dengan intensitas cahaya rendah, Ali et al. (2010)
menambahkan bahwa puero toleran terhadap naungan. Puero mampu menghasilkan produksi
tinggi terhadap berat kering dalam areal yang 50% ternaungi. Melihat beragam kelebihannya,
maka puero sangat tepat untuk dijadikan tanaman hijauan di perkebunan, maupun sebagai
bahan pakan ternak.
Puero memiliki pertumbuhan yang cepat. Sekitar 5-6 bulan setelah tanam, tanaman ini
sudah menutupi permukaan lahan 90 - 100%. Di tahun keduan, puero sudah mendominasi

6
lahan, maka perlu dilaksanakan pemangkasan rutin. Biomassa hasil pemangkasan dapat
digunakan untuk beragam kegunaan seperti pembuatan kompos maupun untuk menghambat
laju gulma di lahan perkebunan. Seresah puero bisa dijadikan sebagai mulsa
(Prawirosurokarto, 2005). Berkaitan dengan kegunaan menghambat pertumbuhan gulma,
rupanya puero memiliki kandungan alelokimia berupa isoflavonoid. Alelokimi memiliki
potensi mampu menghambat perkecambahan dan pertumbuhan anakan gulma. (Park et al..
2002). Isoflavonoid merupakan turunan flavonoid, dimana terdapat satu rantai samping
cincin aromatis. Isoflavonoid memang banyak dijumpai kacangan. (Taiz dan Zeiger, 1991).
Patterson (1981) dan Yu el al. (2003) menyatakan bahwa isoflavonoid mampu mengganggu
proses metabolism, yakni mengurangi laju respirasi dan fotosintesis. Menurut Kelton et al.
(2001) isoflavonoid dapat mengganggu sintesis protein. Sudah barang tentu penghambatan
aktivitas metabolisme tanaman mengakibatkan produktivitas berkurang hingga mengalami
kematian

Calopogonium caeruleum
Calopogonium caeruleum adalah salah satu jenis legum yang sering dimanfaatkan
sebagai tanaman penutup tanah di lahan perkebunan kelapa sawit. Calopogonium caeruleum
atau biasa disingkat CC berasal dari Amerika Tengah, Meksiko dan Hindia Barat, lalu
wilayah tropis Amerika Selatan bagian timur dan ke Brasil selatan. CC telah luas
penyebarannya di wilayah-wilayah tropika basah, selanjutnya pada tahun 1940
penyebarannya mulai masuk ke Asia Tenggara (‘t Mannetje dan Jones, 1992).
Calopogonium caeruleum memiliki batang yang kokoh agak berkayu,
pertumbuhannya menjalar memanjat dan melilit. CC merupakan kacang-kacangan yang
berumur panjang. Daunnya bertipe trifoliate. Panjang petiola sampai 12 cm. tiap helaian daun
berbentuk bulat telur, lateral yang miring. Perbungaannya memanjang, bisa memiliki banyak
bunga. CC memiiki buah berupa polong, bentuknya lonjong memangjang, dengan panjang 4
sampai 8 cm dan lebar 8 mm. Dalam satu polong terdapat empat sampai delapan biji.
(Graham, 1933; Pulle, 1976)

Mutualisme dengan rhizobium


Alternatif cara untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah yang
awalnya buruk seperti di daerah tambang, yakni membuat tanah menjadi supresif. Tanah
supresif merupakan tanah yang kaya mikroorganisme tanah. Manfaatnya ialah mendukung
pertumbuhan tanaman serta menjadi musuh bagi mikroba patogen. (Van Brugen 2000; Biwas

7
2000; Doran 2000; Qualls 2000). Selain itu, mikroba tanah dapat berperan untuk penyediaan
nitrat, serta senyawa atau unsure lainnya seperti fosfat dan kalium. Maka, sudah barang tentu
kualitas pertumbuhan tanaman meningkat (Van Brugen 2000; Biwas 2000; Doran 2000;
Qualls 2000). Pemberian pupuk hayati merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kesuburan tanah, seperti inokulasi bakteri rhizobium. Perlu ditanam tanaman sebagai inang
rhizobium seperti banyak pohon legume seperti sengon (P. falcataria), serta tanaman
kacangan lainnya yang sudah dibahas di bagian panjang lebar di bagian sebelumnya, yakni
Mucuna bracteata, Calopogonium muconoides, Centrocema pubescens, Pueraria javanica,
dan Calopogonium caeruleum. Yang peru diperhatikan juga untuk memilih jenis legum, yaitu
tanaman yang memiliki jumlah kalor relatif cukup tinggi sekitar 4.464 Kkal per kg (Samingan
1983).
Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk melakukan penghematan dalam
pemakaian pupuk anorganik adalah dengan meningkatkan nitrogen yang tersedia dalam tanah
melalui penambatan nitrogen bebas (N2) melalui interaksi dengan bakteri penambat N2 yaitu
Rhizobium. Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk menambah hara nitrogen kedalam
tanah adalah dengan melakukan pemupukan nitrogen, tetapi kendalanya adalah dosis pupuk
nitrogen yang diberikan belum memberikan hasil sesuai yang diinginkan, sehingga pemberian
nitrogen dengan dosis yang tepat menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. (Mayani,
2011)
Fiksasi N bebas dari udara dengan bantuan bakteri dapat menghemat penggunaan
pupuk N yang berbentuk anorganik. Tentu mendukung dalam menjaga stok energi. Sebab,
pembuatan pupuk N amat bergantung pada sumberdaya gas dan minyak bumi. Sedangkan
sumber energi yang tidak dapat diperbarui tersebut diprediksi bisa habis. (Kloeper dan Schrot,
2001). Maka, untuk memenuhi kebutuhan N lebih dialihkan pada pemanfaatan N bebas di
udara. Rhizobium memiliki peran besar dalam hal tersebut. Oleh para ahli mikroorganisme
tanah dan penyakit tanaman, rhizobium mendapat perhatian besar. Bakteri Rhizobium
mampu mengolonisasi akar secara agresif. Dengan begitu mikroorganisme lain yang
menimbulkan penyakit atau mikroorganisme lain yang merugikan akan tergantikan
keberadaannya. (Amarger dan Lagacheric, 2003; Bond, 2003).
Rhizobia menurut definisi merupakan bakteri yang membentuk simbiosis dengan
kacang-kacangan, membentuk akar atau nodul batang pada host atau tanaman inang dan
melakukan fiksasi nitrogen dari atmosfer (N2). Klasifikasi awal rhizobia adalah atas dasar
konsep kelompok lintasan inokulasi, dimana kelompok rhizobia didasarkan atas dasar
kemampuan khusus untuk menginfeksi dan melakukan fiksasi N2 dengan kelompok kacang-

8
kacangan (Fred et al.,1932). Peninjauan terhadap jumlah inang rhizobia merupakan salah satu
ciri selama ini yang digunakan untuk mendeskripsikan spesies baru rhizobia (Graham et
al.,1991). Nodulasi efektif pada kacangan oleh sekelompok rhizobia ini terkelompok ke dalam
tingkatan efektivitas. Apakah kemampuan rhizobia sebenarnya untuk nodulasi tanaman
legume itu efektif, atau justru sebagai penghambat dalam pembentukan strain inokulan.
Mengetahui hal ini sangat penting untuk keberhasilan pembentukan nodul dan pertumbuhan
kacang-kacangan. Hal ini sebagai panduan untuk mempersiapkan inokulan dan sebagai dasar
untuk memprediksi kebutuhan untuk inokulasi (Turk dan Keyser, 1992).
Beragam kemanfaatan rhizobium membuat penggunaannya untuk peningkatan
produktivitas sudah diterapkan di banyak Negara, baik Negara maju maupun berkembang.
Bakteri rhizobium memiliki prospek yang bagus untuk ke depannya di dunia pertanian.
Inokulasi rhizobium sangat baik bagi lahan pertanian. Misalnya pada lahan tanaman kedelai.
Menurut Somasegaran et al.,1995; Alexander, 1997; Hamdi, 2002, pada lahan yang
sebelumnya tidak pernah ditanami kedelai, inokulasi Bradyrhizobium japonicum merupakan
upaya yang tepat. Sebab, lahan pertanian yang tidak pernah ditanami kedelai atau kacang-
kacangan jarang bahkan tidak sama sekali ditemui bakteri Rhizobium. Fiksasi bakteri
terhadap N terjadi pada nodul atau bintil akar. Sedangkan bintil akar tanaman leguminosa
hanya bisa terbentuk jika bakteri Rhizobium tumbuh di sekitar tanaman legum
inangnya.(Brill, 2007).
Perlakuan inokulasi Rhizobium dari Rhizoplus yang dikombinasikan dengan pupuk N
(45 kg N/ha) memberikan hasil biji kedelai tertinggi yaitu 2.696 kg biji kering/ha. Di lahan
lebak, pemberian Rhizobium dari Rhizoplus dan Legin dapat mengefisienkan pupuk N sampai
22,5 kg N/ha. Inokulan Rhizobium dapat menggantikan fungsi pupuk N sampai dengan 22,5
N/ha atau dapat mengefisienkan pemupukan N sampai 22,5 kg N/ha. (Noortasiah, 2005).

9
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan LCC di perkebunan sawit tentu menghasilkan keuntungan bagi produksi


tanaman kelapa sawit, juga terhadap kelesatarian lingkungan. Sudah dijabarkan dalam
beberapa hal mengenai kemanfaatan-kemanfaatan tersebut, yaitu: mengendalikan gulma dan
meningkatkan produksi kelapa sawit, meningkatkan serapan nitrogen, serta kemanfaatan
untuk pengendalian limbah perkebunan dan konservasi tanah.

1. Menurunkan Produktivitas Gulma dan Meningkatkan Hasil Produksi Kelapa


Sawit
Pengaruh tanaman penutup di komunitas dan beragam gulma sudah dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Kamara et al, 2000;. Smith dan Alli, 2007; Baumgartner et al., 2008).
Terjadi asosiasi yang unik pada beberapa spesies menunjukkan bahwa perlakukan tanaman
penutup tanah mempengaruhi keberadaan komunitas gulma di lahan. Memang, diperlukan
manajemen yang sesuai untuk mengendalikan komunitas gulma di lahan, salah satunya
dengan cara menanam tanaman penutup tanah.
Selain keuntungan yang didapat, namun tetap ada kemungkinan adanya persaingan
kelapa sawit terhadap LCC untuk suatu nutrisi yang sama. Hal tersebut bisa diatasi dengan
menanaman LCC yang memiliki keseragaman sistem perakaran yang tidak terlalu kompetitif,
tidak terjadi persaingan di piringan pertanaman kelapa sawit, serta LCC harus tumbuh rendah.
Itu sebabnya, mesti dilakukan pemangkasan rutin pada LCC. (Turner dan Gillbanks, 2003).
Dari penelitian yang dilaksanakan oleh Samedani et al. (2014), Pada tabel 1
diperlihatkan pengaruh perlakuan LCC terhadap kepadatan gulma dan keberagaman gulma.
Ada 5 perlakuan yang diterapkan, yakni A. compressus, C. caeruleum + C. pubescens, M.
bracteata, P. javanica + C. pubescens, dan control.

10
Perlakuan Kepadatan Gulma (S) Keragaman Gulma
A. compressus 1.27c 0.20b
C. caeruleum + C. pubescens 3.07b 0.93a
M. bracteata 2.53bc 0.77a
P. javanica + C. pubescens 2.93b 0.97a
Tanpa perlakuan LCC 5.67a 1.06a

Tabel 1. Pengaruh Perlakuan LCC terhadap Kepadatan dan Keragaman Gulma

Sumber: Samedani et al., 2014

Dari pengaruh aplikasi beragam jenis dan kombinasi LCC di perkebunan kelapa sawit,
selanjutnya diketahui pengaruhnya terhadap produksi kelapa sawit. Pada tabel 2 diperlihatkan
bahwa pengurangan kerapatan dan keberagaman gulma memberikan produktivitas kelapa
sawit yang berbeda-beda. Dilihat dari 12 – 18 bulan setelah tanam LCC dan 18 – 24 setelah
tanam LCC. Data ini diambil pada September 2011 – September 2012.
Tabel 2. Hasil Produksi Kelapa Sawit (September 2011 – September 2012)

Sumber: Samedani et al., 2014

Bulan Setelah Penanaman Cover Crop


Perlakuan 12 – 18 18 – 24
Hasil TBS Berta TBS Hasil TBS Berta TBS
Jumlah TBS Jumlah TBS
(Kg) rata-rata (Kg) (Kg) rata-rata (Kg)
A.compressus 114.3a 16.3a 7.3a 99.1a 10.0ab 9.6ab
C.caeruleum + C. pubescens 108.1a 13.3a 7.1a 66.9ab 8.3ab 8.2ab
M. bracteata 93.4a 12.3a 7.8a 71.5ab 7.3ab 10.8a
P. javanica + C. pubescens 84.9a 9.8a 9.1a 92.6ab 11.7a 7.9ab
Tanpa Gulma 84.4a 10.5a 87a 65.0ab 7.3ab 8.7ab
Penggulmaan 95.5a 10.7a 8.8a 33.1b 4.7b 6.0b

11
Perlakuan A. compressus mengurangi keanekaragaman gulma. Selain itu tidak adanya
persiapan lahan dan penanaman tanaman penutup tanah kemungkinan telah mengurangi
perkecambahan gulma, maka hal tersebut menurunkan keanekaragaman gulma (Senarathne
dan Perera, 2011). Komunitas gulma yang dipengaruhi perlakuan M. bracteata lebih mirip
dengan perlakuan P. javanica + C. pubescens dibandingkan dengan perlakuan C. caeruleum
+ C. pubescens. A. compressus merupakan gulma lunak di perkebunan kelapa sawit (Corley
dan Tinker, 2003). Adapun beberapa jenis gulma yang dipengaruhi oleh perlakuan LCC
adalah B. latifolia, M. pudica, M. malabathricum, P. conjugatum, O. nodosa dan S.
sumatrensis.
Adanya senyawa fenolik dalam jaringan tanaman penutup termasuk faktor yang
mempengaruhi penghambatan pertumbuhan gulma. P. javanica + C. pubescens memiliki
kandungan fenolik yang lebih tinggi daripada tanaman penutup tanah lainnya yang bisa
memperngaruhi tumbuhan di sekitarnya. Kenaikan tandan buah segar oleh perlakuan A.
compressus lebih tinggi dibandingkan dengan C. caeruleum + C. pubescens, M. bracteata, P.
javanica + C. pubescens.
Teoh dan Chew (1980) menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh kacang-kacangan
meningkatkan produktivitas kelapa sawit, dibandingkan ditutupi oleh vegetasi alami dengan
kacang-kacangan, serta vegetasi alami dengan Mikania. Jika Mikania saja menunjukkan
penurunan hasil kelapa sawit karena terjadi persaingan terhadap nutrisi tanah. Gray dan Hew
(1968) menunjukkan bahwa aplikasi tanaman penutup tanah, dengan aplikasi pupuk majemuk
(8% N, 4% P, 14% K dan 2% Mg) memberikan peningkatan hasil 13% dalam 6 tahun
pertama. Hasil yang didapat dari aplikasi tersebut sama dengan yang aplikasi membentuk
komunitas kacangan di perkebunan. Dengan begitu, pupuk hanya memberikan peningkatan
lanjutan sebesar 3%. Mathews dan Saw (2007) menunjukkan bahwa peningkatan hasil kelapa
sawit oleh M. bracteata dibandingkan dengan vegetasi alami hanya sekitar 5,6%, yang
mungkin bukan angka signifikan selama 3 tahun panen. Perlakuan gulma memberikan hasil
kelapa sawit terendah. Peningkatan hasil kelapa sawit pada perlakuan M. bracteata
dibandingkan dengan tanpa vegetasi ditunjukkan oleh peningkatan bobot rata-rata.
Penelitian lain mengenai pengaruh LCC terhadap gulma ditunjukkan pada tabel 3.
Dimana perlakuannya adalah beragam ketebalan Pueraria javanica dan beragam ketebalan
kompos pelepah kelapa sawit terhadap gulma Borreria alata.
Tabel 3. Rerata Perkecambahan Borreria alata pada beberapa ketebalan mulsa Pueraria
javanica dan kompos pelepah kelapa sawit.

12
Sumber: Indraheni et al.

Biji gulma Borreria alata mengalami penurunan, penghambatan, serta tidak mampu
berkecambah diduga karena gulma ini tergolong gulma berdaun lebar dan memiliki biji
fotoblastik positif (+). Pada penelitian ini, pengaruh Pueraria javanica terhadap Borreraria
alata cenderung kepada fungsi Pueraria javanica sebagai mulsa. Gulma dengan kriteria
tersebut memerlukan cahaya agar bisa berkecambah. Mulsa Pueraria javanica dan kompos
pelepah kelapa sawit mengakibatkan instersepsi cahaya terhalangi, akibatnya ada gangguang
terhadap perkecambahan. Sesuai pendapat Widderick el al. (2004) gulma berdaun lebar
memiliki biji bersifat fotoblastik positif. Sifat tersebut yang membuat biji sangat tergantung
pada cahaya untuk berkecambah.
Selanjutnya Tesdale dan Mohler (1992) menyatakan bahwa penambahan mulsa di
lahan, berpotensi merubah kondisi lingkungan tempat benih gulma berada, yakni perubahan
iklim mikro. Tiap-tiap factor lingkungan saling berinteraksi dalam mempengaruhi
perkecambahan biji gulma. Berkaitan dengan adanya mulsa, Madkar et al. (l986) menyatakan
bahwa perkecambahan biji gulma terhambat salah satu faktornya adalah apabila terdapat
perlakuan yang membuat permukaan tanah tertutup, seperti pemberian mulsa.

2. Meningkatkan N
Kemampuan LCC untuk bersimbiosis dengan mikroorganisme pemfiksasi nitrogen
merupakan satu manfaat bagi perkebunan kelapa sawit. Apabila produksi nitrogen oleh
interaksi antara LCC sebagai host dan rhizobium sebagai simbion massif dan optimal, maka
bisa mengurangi penggunaan pupuk N seperti urea, ZA, atau yang lainnya. Nilai N dan
peningkatannya bisa dilihat dengan akumulasi N pada saat lahan perkebunan diaplikasikan
LCC. Berikut terdapat penelitian mengenai akumulasi N pada saat perlakuan LCC pada tabel

13
4, beserta dengan hari kemunculan (hari per tahun), waktu untuk berbunga, dan akumulasi N
pada tahun 1997 dan 1998. Perlkuan pada data ini diaplikasikan pada pertanaman padi gogo.
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan LCC terhadap akumulasi N, hari kemunculan LCC, dan waktu
berbunga

Sumber: Akan vou et al. (2001)

Mengenai kemampuan akumulasi N, dalam data ini kacang-kacangan dibagi menjadi


tiga kelompok yang berbeda. C. juncea dan C. cajan menghasilkan biomassa dan akumulasi
N tertinggi. Mucuna dan C. mucunoides, yang termasuk dalam LCC popular di perkebunan
kelapa sawit mengumpulkan akumulasi N pada taraf pertengahan. Kelompok ketiga, yang
terdiri dari S. hamata dan A. histrix, hanya memproduksi jumlah biomassa dan akumulasi N
terbatas. Variasi ini kemungkinan juga tergantung pada iklim dan tanah. (Becker dan Johnson
1998, Akanvou et al. 2000).
Akumulasi N tentu mempengaruhi produktivitas tanaman. Baik untuk tanaman LCC
sebagai maupun tanaman utama, yakni kelapa sawit. Fungsi nitrogen antara lain sebagai
penyusun asam amino, penyusun protein serta komponen-komponen lainnya. Nitrogen
berperan besar dalam proses respirasi. Peran lainnya yaitu meningkatkan reaksi enzimatik,
serta meningkatkan metabolisme sel (Bornner dan Galston 1952). Akar menyerap nitrogen
dalam bentuk amonium atau ion nitrat. Tanaman akan selalu membutuhkan nitrogen yang
dapat terikat. Tiap tanaman memiliki kebutuhan nitrogen yang bervariasi.
Dari penelitan lain memperlihatkan jumlah serapan N dan zat lainnya, yakni C, lignin,
senyawa polyphenol, serta produksi bimassa beberapa LCC (. Jenis LCC yang diuji adalah

14
Atylosia scarabacoides, Pueraria phaseolus, Centrosema pubescens, dan Calopogonium
muconoides.

Tabel 5. Produksi Biomassa dan Komposisi Kimia Tanaman LCC pada Tanah

Sumber: Dinesh et al. (2001)

Hasil Biomassa C Organik N Total Lignin Polifenol


Jenis Cover crop Ratio C : N
(t h-1) (g kg-1) (g kg-1) (g kg-1) (g kg-1)
Atylosia scarabacoides 28.3 498 28.6 17.4 67.2 26.4
Pueraria phaseolus 32.9 528 32.4 16.3 61.5 22.4
Centrocema pubescens 16.0 467 25.1 18.6 74.2 30.7
Calopogonium muconoides 14.0 453 22.1 20.5 79.3 35.4
LSD (0.05) 1.8 4 0.5 0.6 0.3 5.8

Variasi N organik pada tanah kemungkinan disebabkan karena adanya variasi dalam
komposisi kimia dari tanaman penutup tanah. Sementara diketahui lignin dan polyfenol
mengurangi tingkat mineralisasi N (Franken-berger dan Abdelmagid 1985). Mekanisme
penghambatan oleh polifenol tidak sepenuhnya dipahami (Oglesby dan Fownes 1992).
Kemungkinan Fenol melarutkan endapan protein, sehingga menghambat enzim aktivitas
mikroba yang penting untuk mineralisasi N. Semakin rendah mineralisasi N organik dalam
tanah yang diubah oleh Calopogonium mucunoides karena kandungan lignin dan polifenol
yang tinggi. Parameter yang telah ditemukan ini menjadi acuan yang baik untuk memprediksi
mineralisasi N di tanah dari tanaman kacang-kacangan dalam rasio lignin: N atau rasio
polifenol: N (Handayanto et al. 1994).
Mineralisasi N bisa terjadi berkat peran besar mikroorganisme dalam tanah. Terdapat
beberapa bakteri yang dapat memfiksasi N2. Namun dalam aktivitas pertanian, Rhizobium
adalah bakteri yang paling penting dalam fiksasi nitrogen (Thomas, et al., 1997). Rhizobia
menyebabkan bintil akar terbentuk di akar tanaman legum. Rhizobia tidak bisa melakukan
fiksasi N tanpa adanya tanaman legume. Pun sebaliknya, tanaman legume tidak bisa
melakukan fiksasi tanpa N tanpa rhizobia. Interaksi keduanya sebagai inang dan simbion tidak
bisa dihilangkan untuk dapat melakukan fiksasi N.

15
Pada bintil akar terdapat sel-sel yang agak membesar berisi bakteroid dan
diantaranya terdapat sel-sel yang lebih kecil dan lebih banyak mengandung pati.
Perkembangan bintil akar mulai terjadi pada saat sel korteks akar terangsang membelah
secara mitotik membentuk calon bintil dan diikuti oleh masuknya bakteri Rhizobium
kedalam sel-sel tersebut. Umumnya bintil akar terbentuk 5-6 hari setelah inokulasi, sedangkan
fiksasi nitrogen terjadi 8-15 hari setelah inokulasi. Struktur bintil akar ditentukan oleh
tanaman inang. Pada bintil akar determinate, daerah meristematik tidak jelas, bentuk bulat,
misalnya pada tanaman kedelai. Bintil akar indeterminate ditandai dengan daerah
meristimatik yang jelas, ukuran panjang meningkat selama pertumbuhan, misalnya pada
clover.
Bintil akar yang efektif memfiksasi N2 berwarna merah karena mengandung
leghemoglobin. Bintil akar tetap aktif selama 50–60 hari, setelah itu akan mengalami
senescen. Pada saat senescen bakteroid dan leghemoglobin akan mengalami degradasi
sehingga bintil akar berwarna hijau atau coklat. Bentuk, ukuran, warna, tekstur dan letak bintil
akar pada tanaman ditentukan oleh tanaman inang (Dierolf, et al., 2001). Tanaman tingkat
tinggi yang mampu bersimbiosis dengan bakteri diazotrop untuk memfiksasi N2 udara
terutama adalah dari golongan leguminosae. Jenis tanaman dapat bersimbiosis dengan bakteri
penambat nitrogen Rhizobium, Bradyrhizobium dan Azorhizobium. Ada lebih 115 genera
dari famili leguminosae diketahui bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen
(MacDicken, 1994). Pada masing-masing jenis legum mempunyai variasi genetik berbeda-
beda dalam membentuk simbiosis dengan galur Rhizobium tertentu. Galur Rhizobium juga
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menginfeksi tanaman inang. Beberapa
galur dapat menginfeksi satu tanaman inang tetapi terdapat juga galur yang dapat bersimbiosis
lebih dari satu jenis tanaman legume.

3. Mengendalikan Limbah dan Konservasi Tanah


Tanaman LCC bisa memiliki manfaat untuk mengendalikan limbah perkebunan dan
konservasi tanah. Pada tabel 6 ditnjukkan peran Pueraria javanica dan Calopogonium
muconoides terhadap kadar bahan organic (BO), berat volume (BV), dan total ruang pori
tanah (PRT).

16
Tabel 6. Pengaruh Puearia javanica dan Calopogonium muconoides terhadap Kadar Bahan
Organik Tanah (BO), Berat Volume Tanah (BV), dan Total Ruang Pori (TRP).

Sumber: Arsyad et al. 2011

Parameter Pengukuran
Perlakuan Kadar Bahan Organik Berat volume Total ruang pori
tanah (%) tanah (g/cm3) tanah (%)
Kontrol 2.547 a 1.186 a 52.525 b
Pueraria javanica 5 ton ha-1 3.002 b 1.106 b 55.773 a
Pueraria javanica 10 ton ha-1 3.893 c 1.056 b 57.628 a
Calopogonium muconoides 5 ton-1 3.340 bc 1.066 b 57.155 a
Calopogonium muconoides 10 ton-1 3.813 c 1.066 b 57.066 a

Perlakuan Pueraria javanica dan Calopogonium mucunoides terlihat mempengaruhi


ketersediaan bahan organik (BO) tanah, bobot volume (BV) tanah dan total ruang pori
(TRP) tanah. Semakin tinggi tingkat perlakuan LCC yang dilakukan, semakin meningkat
ketersediaan bahan organik di tanah. Perlakuan LCC dalam mempengaruhi berat volume
tanah.
Bahan organik mendekomposisi pengikatan butir-butir tanah sehingga menyebabkan
tanah relatif gembur, keadaan tanah menjadi longgar dan bergranulasi yang mengakibatkan
penurunan nilai bobot volume. Hakim et.al., (1986) menyatakan tanah dengan kadar bahan
organik tinggi biasanya memiliki bobot volume lebih rendah. Sarief (1989) menambahkan
bahwa pemberian bahan organik akan menciptakan pori-pori yang lebih banyak sehingga
tanah menjadi sarang dan gembur, dalam hal ini tanah yang gembur akan menunjukkan
rendahnya nilai bobot volume tanah.
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa perlakuan Pueraria javanica dan Calopogonium
mucunoides mempengaruhi peningkatan total ruang pori tanah. Hal ini sejalan dengan
peningkatan kadar bahan organik tanah dan penurunan bobot volume tanah. Semakin tinggi
perlakuan LCC maka semakin tinggi sumbangan kadar bahan organik, dan semakin tinggi
peningkatan persentase total ruang pori tanah. Soepardi (1983) menyatakan bahwa

17
menurunnya bobot volume tanah maka total ruang pori cenderung meningkat, begitu pula
sebaliknya hal tersebut disebabkan karena jumlah dan ukuran pori turun terhadap bobot isi.
Selanjutnya juga ditunjukkan perlakuan Pueraria javanica dan Calopogonium
muconoides terhadap parameter kadar air tersedia (tabel 7). Tabel 7 menunjukkan bahwa
pemberian Pueraria javanica dengan dosis 10 ton ha-1 mampu meningkatkan kadar air
tersedia dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Semakin tinggi dosis bahan hijauan yang
diberikan semakin tinggi peningkatan kadar air tersedianya.

Tabel 7. Pengaruh Pueraria javanica dan Calopogonium muconoides terhadap Kadar Air
Tersedia

Sumber: Arsyad et al. 2011

Parameter
Perlakuan
Kadar air tersedia (%)
Kontrol 6.054 b
Pueraria javanica 5 ton ha-1 6.670 b
Pueraria javanica 10 ton ha-1 8.028 a
Calopogonium muconoides 5 ton-1 6.686 b
Calopogonium muconoides 10 ton-1 6.426 b

Sarief (1989) menyatakan bahwa bahan organik memperbaiki flokulasi tanah sehingga
tanah menjadi gembur dan ruang pori serta daya memegang air juga meningkat sehingga
kemampuan tanah menyimpan air juga meningkat. Meningkatnya daya pegang tanah terhadap
air akan meningkatkan volume air yang terkandung didalam tanah, sehingga akan
meningkatkan air tersedia dan memelihara kelembaban tanah.
Pemberian pupuk hijau Pueraria javanica dengan dosis 5 ton ha-1 (C1) dibandingkan
dengan pemberian pupuk hijau Calopogonium mucunoides dengan dosis 5 ton ha-1 (C3) dan
pemberian pupuk hijau Calopogonium mucunoides dengan dosis 10 ton ha-1 (C4)
menunjukkan perbedaan pengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa tanah dengan kandungan
bahan organik tinggi mempunyai kadar air tersedia lebih besar daripada tanah dengan
kandungan bahan organik rendah. Hakim et al.,(1986) mengatakan bahwa bahan organik

18
mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Sedangkan Bukman dan
Brady (1978) menyatakan bahwa bahan organik dapat mengikat air sampai enam kali
beratnya sendiri.
Manfaat LCC terhadap upaya pengendalian limbah bisa dilihat pada tabel 8.
Diperlihatkan 2 jenis LCC popular, yakni Centrosema pubescens (daun dan akar) dan
Calopogonium muconoides dalam menyerap Sianida (Cn), Timbal (Pb), Raksa (Hg) yang ada
di penambangan emas rakyat dan PT Aneka Tambang.

Kandungan (ppm)
Perlakuan
Sianida (Cn) Timbal (Pb) Raksa (Hg)
Limbah Penambangan Emas Rakyat:
C. pubescence (daun) 3.36 0.014 0.0005
C. pubescence (akar) 0.47 29.91 0.4800
C. muconoides 3.51 0.29 0.6800
M. cordata 2.27 1.30 0.0005
Limbah PT Aneka Tambang
M. cordata 4.03 11.94 0.1600

Tabel 8. Serapan Logam Ketiga Jenis Tanaman pada Dua Jenis Limbah

Sumber: Hidayati et al. (2005)

C. muconoides menunjukkan kemampuan penyerapan logam berat yang paling tinggi


untuk Cn dan Hg. Pada C. pubescence ada indikasi bahwa akumulasi Cn lebih banyak pada
daun, sedangkan Pb dan Hg lebih banyak pada akar. Hal ini sesuai dengan kriteria yang
dibutuhkan pada pemilihan tumbuhan hiperakumulator, yakni akumulasi logam berat pada
tajuk yang jauh lebih tinggi dibandingkan akumulasi pada akar agar logam berat dapat
terambil dengan mudah bersama tajuk tanaman pada saat pemanenan.

19
KESIMPULAN

Ada pun beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari keseluruhan makalah ini, yaitu:
1. Jenis-jenis tanaman legume cover crop (LCC) yang biasa digunakan pada perkebunan
kelapa sawit adalah Mucuna bracteata, Calopogonium muconoides, Centrocema
pubescens, Pueraria javanica, dan Centrocema caeruleum.
2. Penentu keberhasilan penggunaan LCC, baik untuk meningkatkan produksi kelapa
sawit maupun perbaikan ekologi adalah dengan memilih jenis LCC yang tepat. LCC
yang tepat untuk dibudidayakan memiliki pertumbuhan dan kerapatan yang cepat,
memiliki simbiosis mutualisme dengan bakteri fiksasi nitrogen, serta biomassa yang
dihasilkan mudah terdekomposisi.
3. LCC memiliki beberapa manfaat antara lain mengendalikan gulma di lahan
perkebunan, menyumbang nitrogen bagi tanaman kelapa sawit, serta mengendalikan
limbah dan konservasi tanah.
4. Adapun beberapa jenis gulma yang dipengaruhi oleh perlakuan LCC antara lain B.
latifolia, M. pudica, M. malabathricum, P. conjugatum, O. nodosa dan S. sumatrensis,
dan Borreria alata.

20
5. LCC menghambat pertumbuhan gulma karena perannya yang bisa sebagai sebagai
mulsa di lahan perkebunan. Selain itu, beberapa LCC juga memiliki senyawa yang
menghambat pertumbuhan gulma. Seperti kombinasi P. javanica + C. pubescens
memiliki kandungan fenolik yang lebih tinggi daripada tanaman penutup tanah lainnya
yang bisa memperngaruhi pertumbuhan tumbuhan di sekitarnya.
6. LCC menyumbangkan kandungan N bagi tanaman kelapa sawit. Sebab, LCC mampu
bersimbiosis dengan rhizobia sehingga terjadi Mineralisasi N.
7. Penggunaan LCC merupakan salah satu cara terbaik untuk konservasi tanah. Seperti
pada data yang didapatkan, perlakuan Pueraria javanica dan Calopogonium
mucunoides terlihat mempengaruhi ketersediaan bahan organik (BO) tanah, bobot
volume (BV) tanah dan total ruang pori (TRP) tanah.
8. Beberapa jenis LCC bermanfaat untuk pengendalian limbah di perkebunan kelapa
sawit. Seperti C. muconoides menunjukkan kemampuan penyerapan logam berat
untuk Cn dan Hg. Serta C. pubescence mampu mengakumulasi banyak Cn pada daun,
serta banyak Pb dan Hg pada akar

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi Bala and Ken E. Giller. 2000. Symbiotic specificity of tropical tree rhizobia for
host legumes. New Phytologist (2001) 149 : 495 – 507.
Ahmadjian, V and S. Parace. 1986. Symbiosis. An Introduction to Biological
Associations. University Press of New England. Hanover and London. 198p. (Cit
Hilda, 2011)

Akan vou, R., M . Becker, M . Chano, D. E. Jo hnson, H. Gbaka- Tcheche, and A. Tour e ,
2000: Fallow residue managem ent e€ects on uplan d rice in three agroeco logical
zones of We st Africa. Biol. Fert. Soils 31, 50 1Ð507. (Cit Akanvou et al. 2001)

Akan vou, R dan Basti aans, L dan Krop, M.J dan Goudriaan, A dan Bec ker, M. 2001.
Characterization of Growth, Nitrogen Accumulation and Competitive Ability of Six
Tropical Legumes for Potential Use in Intercropping Systems. J. Agronomy & Crop
Science 187, 111Ð120 (2001) Ó 2001 Blackwell Wissenschafts-Verlag, Berlin.
Ali AI, Yakup M, Sabaruddin. 2010. Produksi dan kandungan mineral Pueraria phaseoloides
dengan tingkat naungan dan inokulasi mikoriza berbeda. Media Petern. 33:155-
161.Valentim JF, Andrade CMS. 2005. Tropical kudzu (Pueraria phaseoloides):
Successful adoption in sustainable cattle production systems in the Western Brazilian
Amazon. Trop Grasslands. 38:222-223. (cit Fanindi, 2013)

21
Ambodo. A.P. 2008. Rehabilitasi Pasca Tambang Sebagai Inti dari Rencana Penutupan
tambang. Makalah Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan
Pasca Penutupan Tambang. Pusdi Reklatam. Bogor (Cit Hilda, 2011)
Amarger, N. and F. Lagacheric .2003. Characteridtic and Ecology of Rhizobium,
Technical Hand Book on Symbiotic Nitrogen Fixation. Rome : Food and
Agriculture Organisation of United Nation. (Cit. Muhibuddin. 2009)
Arsyad AR, Yulfita Farni dan Ermadani. 2011. Aplikasi Pupuk Hijau (Calopogonium
mucunoides dan Pueraria Javanica) Terhadap Air Tanah Tersedia dan Hasil Kedelai.
J. Hidrolitan., Vol 2 : 1 : 31 – 39, 2011
Barthes, B., A. Azontonde., E. Blanchart., G. Girardin., R. Oliver. 2004. Effect of legume
cover crop (Mucuna pruriens var Utilis ) on soil carbon in an ultisol undermaize
cultivation in Southren Benin, Soil Use Manag.20:231-239 (Cit Hilda, 2011)
Baumgartner, K., K.L. Steenwerth and L. Veilleux, 2008. Cover-crop systems affect weed
communities in a California vineyard. Weed Sci., 56: 596‒605 (Cit. Samedani et al.
2014)
Bonner J, Galston AW. 1952. Principles of Plant Physiology. San Francisco: W.H. Freeman
and Company.
Brill, W. J. 2007. Biological Nitrogen Fixation. Science Amer. 3:68-81. (Cit. Muhibuddin.
2009)
Choudhary, M. A., C. J. Baker. 1993. Conservation tillage and seed in systems in South
Pacific. Soil Till. Res. 27: 183-302 (Cit Hilda, 2011)

Corley, R.H.V. & Tinker, P.B. (2003) The Oil Palm, 4th edn. Blackwell Science. Ltd, Oxford,
UK. (Cit Koh 2008)
Corley, R.H.V. and P.B. Tinker, 2003. The Oil Palm. Blackwell Science (Cit. Samedani et al.
2014)
CSIR (Council of Scientific and Industrial Research). 1962. The wealth of India: a dictionary
of Indian raw materials and industrial product. CSIR. New Delhi, India. Duke, J. F.
1981. Handbook of Legumes of World Economic Importance. Plenum Press. New
York. NY. USA. (Cit Hilda, 2011)
Dinesh dan . Suryana, M.A.R dan Nair and Chaudhuri, G. 2001. Leguminous Cover Crop
E€ects on Nitrogen Mineralization Rates and Kinetics in Soils. J. Agronomy & Crop
Science 187, 161Ð166 (2001) Ó 2001 Blackwell Wissenschafts-Verlag, Berlin
FAO (2006) FAOSTAT Online Statistical Service. Food and Agricultural Organization,
Rome. Available at: http://faostat.fao.org (accessed August 2007). FAO (United
Nations Food and Agriculture Organization). (Cit Koh 2008)
Fanindi A, Sutedi E, Prawiradiputra BR. 2013. Produksi Hijauan dan Benih Puero (Pueraria
javanica) pada Taraf Intensitas Cahaya yang Berbeda. Balai Penelitian Ternak, Bogor
Fred EB, Baldwin IL, McCoy E. 1932. Root nodule bacteria and leguminous plants.
Madison, WI, USA: University of Wisconsin Press. (Cit. Abdullahi et al. 2000)

22
Graham PH, Sadowsky MJ, Keyser HH, Barnet YM, Bradley RS, Cooper JE, Deley DJ,
Jarvis BDW, Roslycky EB, Strijdom BW, Young JPW. 1991. Proposed minimal
standards for the description of new genera and species of root-nodulating and stem-
nodulating bacteria. International Journal of Systematic Bacteriology 41: 582–587.
(Cit. Abdullahi et al. 2000)
Harahap, I. Y., C. H. Taufik., G. Simangunsong, dan R. Rahutomo. 2008. Mucuna
bracteata pengembangan dan pemanfaatannya di perkebunan kelapa sawit. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit., Medan. (Cit Hilda, 2011)
Handayant o, E., G. Cadi sch, and K. E. Giller, 19 94: Nitrogen relea se from prunings of
legume he dge grow trees in relation to quality of the prun ings and incubat ion
method. Plant Soil 160, 237Ð248 . (Cit. Dinesh et al. 2001)
Hilda, Aulia. 2011. Laju Penutupan Tanah Oleh Pertumbuhan Mucuna Bracteata Dc. Dan
Centrosema Pubescens Benth. Pada Ex-Borrow Pit Jabung Timur, Jambi.
Departemen Agronomi Dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Kamara, A.Y., I.O. Akobundu, N Sanginga and S.C. Jutzi, 2000. Effect of mulch from
selected multipurpose tress (MPTs) on growth, nitrogen and yield of maize (Zea mays
L.). J. Agron. Crop Sci., 184: 73‒80 (Cit. Samedani et al. 2014)
Kelton, J., Andrew. J., Price dan Jorge. M. 2011. Allelopathic weed suppression through
the use of cover crops. Auburn University. United States Department of Agriculture.
USA.
Kloeper, J. W. and M. N. Schroth, 2001. Development of Powder Formulation of
Rhizobacteria for Inoculation of Potato Seed Pieces. Phytopathol., 71 : 590-592.
(Cit. Muhibuddin. 2009)
Koh, L.P. & Wilcove, D.S. (2007) Cashing in palm oil for conservation. Nature , 448, 993–
994. (Cit Koh 2008)
Koh, L.P. 2008. Can oil palm plantations be made more hospitable for forest butterflies and
birds?. Department of Ecology and Evolutionary Biology, Princeton University,
106A Guyot Hall, Princeton, NJ 08544, USA
Mathews, J. and E.K. Saw, 2007. IOI's experiences with establishing Mucuna bracteata
on soil derived. In: Mucuna Bracteata, A Cover Crop Living Green Manure. Goh,
K.J. and S. B. Chiu (eds.). Agricultural Crop Trust (ACT), Petaling Jaya (Cit.
Samedani et al. 2014)
Mayani, Nanda, dan Hapsoh. Potensi Rhizobium dan Pupuk Urea untuk Meningkatkan
Produksi kedelai (Glycine maxL.) pada Lahan Bekas Sawah. rogram Studi
Pascasarjana Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, USU, Medan
Muhibuddin. A. 2009. Efektivitas Strain Bradyrhizobium Japonicum Pada Tanaman
Kedelai Varietas Mahameru Dan Baluran. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas 45 Makassar
Noortasiah. 2005. Pemanfaatan Bakteri Rhizobium Pada Tanaman Kedelai Dilahan Lebak.
Buletin Teknik Pertanian.Vol. 10. No. 2 (Cit. Mayani)

23
Oglesb y, K. A., and J. H. Fownes, 1992: Effect s of chemi cal composi tion on nitr ogen
minerali zation from green man ures of seven tropi cal legum inous trees. Plant Soi l
14, 127Ð132 . (Cit. Dinesh et al. 2001)
Park, L. J., Tanner. R. D. dan Prokop. A. 2002. Kudzu (Pueraria lobata), a valuable
potential commercial resource: food, paper, textiles and chemicals. In: Pueraria:
Genus Pueraria (ed. By Keung W.M.). Taylor and Francis, London, 259-272. (Cit.
Indraheni)
Patterson, D.T. 1981. Effects of allelopathic chemicals on growth and physiological
response of soybean (Glycine max). Weed Science 29: 53-58.
Prawirosurokarto. 2005. Tanaman penutup tanah. Universitas Sumatra Utara
Reksohadiprodjo, S. 1981. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropika.
Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gajahmada Yogyakarta. (Cit
Hilda, 2011)
Samedani, Batoul dan Abdul, S.J, dan Abdullah, S.A.S dan Rafii, M.Y dan Rahim, A.A dan
Anwar, M.P. 2014. Effect Of Cover Crops On Weed Community And Oil Palm Yield.
International Journal Of Agriculture & Biology 16: 23‒3
Samingan T. 1983. Dendrologi. Jakarta: PT Gramedia. 90 hal. (Cit. Mayani)
Sarief, E. S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
182 hal. (Cit Hilda, 2011)
Senarathne, S.H.S. and K.C.P. Perera, 2011. Effect of several weed control methods in
tropical coconut plantation on weed abundance, coconut yield and economical value.
Int. Res. J. Plant Sci., 2: 25–31 (Cit. Samedani et al. 2014)
Smith, M.A.K. and A.L. Alli, 2007. Mulching effect of tropical plant residues on
ecological weed growth in maize. Afr. Crop Sci. Conf. Proc., 8: 1105–1115 (Cit.
Samedani et al. 2014)
Smith, A. C. 1985. Flora Vitensis Nova; A New Flora of Fiji. Lawai. Kauai. Hawai
National Tropical Botanical Garden. Hawai Vol 3. 232p. (Cit Hilda, 2011)
Somasegaran, P. H. Hoben and J. Halliday. 1995. The Niftal Manual for Methods in Legume
Rhizobium Technology. Univ. of Hawai. Col. of Agriculture and Human
Recourses, U. S. Agency for International Development. (Cit. Muhibuddin. 2009)
Taiz, L. dan ziger. E. 1991. Plant fisiologi. Third Edition. Sinaueur Asosociates Inc.
Pub. Sunderland, Massachusetts
Teoh, K.C. and P.S. Chew, 1980. Fertiliser responses of oil palms on coastal clay soils in
Peninsular Malaysia. In: Soil Science and Agricultural Development in Malaysia.
Pushparajah, E. (ed.). Kuala Lumpur, Malaysia (Cit. Samedani et al. 2014)
Tilman, D., Fargione, J., Wolff, B., D’Antonio, C., Dobson, A., Howarth, R., Schindler, D.,
Schlesinger, W.H., Simberloff, D. & Swackhamer, D. (2001). Forecasting
agriculturally driven global environment change. Science, 292, 281–284. (Cit Koh
2008)

24
Turner, P.D. and R.A. Gillbanks, 2003. Oil Palm Cultivation and Management. Inc.
Society of Planters (Cit. Samedani et al. 2014)
Turk D, Keyser HH. 1992. Rhizobia that nodulate tree legumes: specificity of the host for
nodulation and effectiveness. Canadian Journal of Microbiology 38: 451– 460. (Cit.
Abdullahi et al. 2000)
Van Brugen AHC. 2000. In Search of Biological Indicators for Soilhealth and Disease
Supression. Applied Soil Ecology (15) 25-36. (Cit. Mayani)
Vissoh. P et al. 2005. Experiences with M. bracteata in West Africa. International
Development Research Centre. 36p. (Cit Hilda, 2011)
Wilmot-Dear. C.M. 1984. A revision of M. bracteata (Leguminose-Phaseoleae) in China and
Japan. Kew Bulletin. 39(1): 23-65. (Cit Hilda, 2011)

25

Anda mungkin juga menyukai