BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif.4
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang
diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru
dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.1
2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010)
sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih
berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta
kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada
penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang
0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif.
Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak
tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka
estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun
2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.2
4
2.1.3 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil
non spora berukuran 0.5-3 μm. Gram netral dan bersifat tahan asam. Sifat
tahan asamnya disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam
5
lemak rantai panjang dan beberapa unsur lemak lainnya. Asam mikolik
tersebut terikat dalam struktur arabinogalactan dan peptidoglikan yang
menyebabkan permeabilitas dinding sel bakteri sangat rapat sehingga
menurunkan kerja antibiotik. Lipoarabinomannan juga merupakan suatu
struktur bakteri yang berperan dalam proses interaksi dan pertahanan diri
dalam makrofag. Oleh sebab itu bakteri ini dapat diwarnai dengan carbol
fuchsin dan dipanaskan. Mycobacteriun tuberculosis biasanya ditemukan di
udara, tanah, bahkan air. Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat dan
berkembang biak dalam 18-24 jam. Mycobacteriun tuberculosis biasanya
akan tampak membentuk koloni dalam agar sekitar 2-5 minggu.8,9,13
Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya
tampak serupa namun berbeda dalam tes biokimia. Mycobacterium bovis
biasanya terdapat pada susu basi dan varian mycobacterium lainnya
menyerang hewan pengerat. Biasanya varian lain lebih sering ditemukan di
Afrika.10
Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat
berupa kultur pada atau kultur cair yang may berbasis telur seperti
Löwenstein–Jensen, BACTEC, Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M.
Tuberculosis pada medium cair tergolong lebih cepat. 10
2.1.4 Patofisiologi
Proses Penularan
M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi
±3000 droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat
batuk, bersin bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan
Tuberculosis saluran pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat,
bertahan di udara selama beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas.
Resiko terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M.
Tuberculosis yang masih bertahan hidup di udara. Penularan secara outdoor
biasanya lebih rendah daripada diruangan tertutup dimana pertukaran udara
diluar ruangan berlangsung baik dan ekspose trehadap sinar ultraviolet jauh
lebih tinggi. Penularan juga dapat terjadi melalui alat-alat intervensi seperti
6
4. Pendidikan.
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat mempengaruhi
seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian
yang menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan rendah
akan berpeluang untuk mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar
9
Pada gambar kiri terdapat gambaran kavitas serta bercak berawan pada
lapangan paru kanan atas, sedangkan gambaran CT scan menunjukkan
penyebaran bahan infeksius dari kavitas ke sistem tracheobronchial.14
Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan
atas paru dan pada CT scan terdapat gambaran cavitas pada kedua lapangan
paru.
Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis,
limfositik leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia
normositik normokrom dan hiponatremia terutama pada pasien dengan
penyebaran lesi yang luas.10
Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada
pasien suspek tuberculosis paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu,
pada pagi hari dan sewaktu. Pada pasien dengan tuberculosis paru, sputum
dapat diperoleh dengan proses ekspektorasi atau nebulisasi dengan saline
hipertonik, bilasan bronkus atau bahkan dengan bronchoscopy.10,15
Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan
untuk mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak
memungkinkan dilakukannya pengambilan sputum. Pada penelitian yang
12
2.1.8 Tatalaksana
Pada pasien yang baru pertama kali menderita Tuberkulosis
Rekomendasi pertama adalah pemberian 2HRZE/4HR kecuali pada
penderita TB sistem saraf pusat, TB tulang yang membutuhkan terapi lebih
lama. Rekomendasi kedua adalah pemberian 2HRZE/6HE. Pemberian tiga
kali seminggu Isoniazid dan Rifampicin (2HRZE/4(HR)3) pada fase lanjutan
merupakan pilihan lain yang dapat dilakukan namun perlu dilakukan
pemantauan ketat menelan obat. Pemberian regimen tiga kali seminggu baik
pada fase intensif maupun fase lanjutan (2(HRZE)3/4(HR)3) merupakan
alternatif terakhir yang dapat diberikan asalkan pasien tidak tinggal dalam
lingkungan yang rentan dengan infeksi HIV. Secara umum pemberian
regimen pengobatan setiap hari lebih diutamakan karena angka keberhasilan
pengobatan lebih tinggi dibanding dengan metode pemberian 3 kali
seminggu.21
14
Monitoring Terapi
Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang
ditangani dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan
setelah fase intensif selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
hasil apusan tahan asam bukan merupakan indikator utama untuk menentukan
kegagalan terapi.21
Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan
pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada
bulan ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur
sputum dan tes sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga
bulan ke 5 dan ke 6. Bila masih positif maka pengobatan dianggap gagal. 21
15
Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini
pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 21)
Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear
ditemukan positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak
direkomendasikan untuk memperpanjang fase intensif. 21
Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya,
pasien perlu menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin
dan isoniazid sebelum memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas
antiobitik yang rutin dilakukan, regimen pengobatan mengacu pada hasil tes
sedangkan pada negara yang jarang menjalankan tes sensitivitas antibiotik,
pengobatan didasarkan pada empirisme atau regimen MDR-TB. 21
Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan
pengobatan lini pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan
bahwa negara tersebut tergolong negara dengan insidensi MDR yang
rendah.21
16
Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC)
sering digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih
lanjut mengenai FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan
penggunaan FDC untuk mencegah insidensi obat yang tidak terminum yang
berujung pada resistensi pengobatan.21
2.1.9 Komplikasi
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis,
efusi pleura, empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan
komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan
parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom
gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB).29
19
2.1.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Terapi pencegahan.
b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan.
c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis.
Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak
dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada
evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.30
Terapi pencegahan:
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat
yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.30
1. Yang melayani penderita tidak hanya sebagai orang per orang, tetapi
sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat
sekitarnya.
2. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna,
jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang disampaikan.
3. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan
mengenal serta mengobati penyakit sedini mungkin.
4. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
5. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan
tingkat pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan
lanjutan.31
2.2.6. Pola Pikir dan Pola Tindak Dokter Keluarga/Dokter Layanan Primer
Dokter keluarga bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan
mitranya, dan ia berhubungan dengan mitranya di kala sehat maupun di kala
sakit. Tanggung jawab ini mengharuskan dokter keluarga menyediakan
program pemeliharaan kesehatan bagi mitranya yang sehat, dan program
pengobatan atau pemulihan bagi mitranya yang sedang jatuh sakit. Program
28
ini harus spesifik dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap mitranya.
Hal ini dapat dipenuhi bila pola pikir dan pola tindaknya mengacu pada
pendekatan Medifa yang menata alur pelayanan dokter keluarga dalam 4
kegiatan (assessment – targeting – intervention – monitoring) yang
membentuk satu siklus pelayanan terpadu.31
1. Penilaian profil kesehatan pribadi (Assessment)
Dokter keluarga mengawali upaya pemeliharaan mitranya
dengan melakukan penilaian komprehensif terhadap faktor risiko dan
kodisi kesehatan dengan tujuan memperoleh profil kesehatan pribadi
dari mitranya.31
2. Penyusunan program kesehatan spesifik (Targeting)
Tersedianya profil kesehatan ini memberi kesempatan kepada
dokter keluarga untuk mempelajari masalah kesehatan yang dimiliki
mitranya, sehingga dokter keluarga dapat menyusun program
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap mitra.31
3. Intervensi proaktif (Intervention)
Dengan demikian setiap mitra, apakah ia dalam kondisi sehat,
menyandang faktor risiko atau sakit, secara proaktif akan diajak
mengikuti program pemeliharaan kesehatan yang sepesifik dengan
kebutuhannya. Melalui program proaktif ini diharapkan mitra yang
sehat dapat tetap sehat, yang saat ini menyandang faktor risiko dapat
dikurangi kemungkinan jatuh sakit berat di kemudian hari, dan yang
saat ini menderita suatu penyakit dapat segera pulih, dicegah
terjadinya komplikasi, atau diupayakan agar kecacatan seminimal
mungkin. Bila diperlukan si mitra akan dirujuk ke spesialis.31
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah
dan mungkin telah mempunyai anak, tetapi kemudian bercerai dan
masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan
pasangan masing-masing, semuanya mengganggap sebagai satu
keluarga.31
8. Keluarga gabungan (composite family)
Keluarga yang terdiri dari suami dengan beberapa istri dan
anak-anaknya atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya
yang hidup bersama.31
9. Keluarga tinggal bersama (whabilation family)
Pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan
perkawinan.31
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : Tn.Mistak Edi
Umur : 74 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 8 September 1945
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh Lepas Harian
Status : Kawin
Alamat : Jl.Pertahanan RT/RW 053/012 Kelurahan 16
Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II Palembang
Agama : Islam
3.2. Subjektif
Autoanamnesis pasien pada hari Sabtu, 24 Agustus 2019 Pukul 11.00 WIB
1. Keluhan Utama
Kontrol untuk mengambil obat.
2. Keluhan Tambahan
Tidak ada
6. Riwayat Pengobatan
Pasien mengonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam Kombinasi
Dosis Tetap (KDR) sejak 3 minggu yang lalu setelah didiagnosis Tb paru.
Dosis OAT KDT pasien sebanyak tiga keping satu kali makan per hari selama
2 bulan tahap intensif dan 4 bulan tahap lanjutan.
7. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengatakan tidak pernah berolahraga. Kebiasan merokok
disangkal pasien, dan tidak pernah meminum minuman alkohol.
38
8. Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan pasien adalah buruh lepas harian, pasien tidak pernah
melakukan pekerjaan lainnya.
9. Riwayat Higiene
- Pasien mandi dua kali sehari dengan air sumur didepan rumah dan
menggunakan sabun.
- Pasien mengganti pakaian setiap hari.
- Pasien menggunakan handuk dan pakaian sendiri, tidak bercampur
dengan orang lain.
Kesan
Sosial : Harmonis
Ekonomi : Menengah ke bawah
Lingkungan : Kurang baik
GENOGRAM
Keterangan:
: Laki-laki (hidup)
: Perempuan (hidup)
: Laki-laki (Penderita TB)
Pneumonia
3.7. Penatalaksanaan
- Promotif
1. Memberikan informasi kepada pasien mengenai gambaran umum
tentang penyakit Tuberkulosis serta pengaruhnya terhadap tubuh
sehingga pasien mengerti dan patuh untuk minum obat, dan mencegah
agar tidak terjadi kembali.
2. Memberikan informasi kepada pasien bahwa pengobatan Tuberkulosis
tidak boleh terputus dan harus diminum sesuai dengan dosis. Selain
itu, pasien diberikan informasi tentang efek samping dari OAT
sehingga pasien mengerti dan tetap meminum obat tanpa terputus.
- Preventif
1. Menganjurkan pasien untuk kontrol rutin mengambil OAT di
puskesmas
2. Non Farmakologis
Menjaga kebersihan lingkungan rumah
43
- Rehabilitatif
1. Istirahat yang cukup.
2. Mengkonsumsi obat secara teratur
3.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
44
BAB IV
PEMBAHASAN PEMBINAAN KELUARGA
Total 8
Total 10
sedangkan dua anak lainnya sedang pergi belajar di sekolah, dan cucu
nya masih kecil sehingga tidak dapat dinilai APGAR Score keluarganya.
b. Fungsi patologis
Kesimpulan:
Keluarga Tn.Mistak Edi memiliki fungsi patologis dari segi kultural,
agama, ekonomi dan edukasi.
2. Denah Rumah
Kamar
Mandi
1mx0,5m
Pintu Belakang
8m
Ruang Keluarga
5mx4m
Pintu
Utama
4m
GAYA HIDUP
Rendahnya asupan
nutrisi
FAMILY
PERILAKU LINKUNGAN PSIKO-
KESEHATAN SOSIAL-EKONOMI
Berobat jika ada Pendapatan cukup
keluhan dan/atau obat memenuhi kebutuhan
habis primer, Kehidupan
sosial baik
PELAYANAN
KESEHATAN
Jarak rumah- LINGKUNGAN
Puskesmas dekat, Pasien perempuan, KERJA
Sering berobat 27 tahun, diagnosis Pasien di rumah saja
untuk mengambil Tb paru kasus baru, mengurus rumah
obat kontrol konsumsi tangga
OAT
LINGKUNGAN FISIK
Rumah kecil, tinggal
FAKTOR BIOLOGI ramai dalam satu rumah,
Tidak ada pemukiman padat,
kurang ventilasi, kerapian
dan kebersihan.
Lingkungan sekitar kotor
Komunitas -- Pemukiman
padat dengan sanitasi kurang
Pada poin I, alasan kedatangan pasien yaitu kontrol berobat OAT. Pasien
khawatir selama rutin minum obat takut lupa untuk meminum obat.
Pada poin II, diagnosis kerja yang ditegakkan adalah Tuberkulosis Paru
Kasus Baru
Pada poin III, didapatkan masalah perilaku berupa pasien berobat bila ada
keluhan dan obat habis.
Pada poin IV, didapatkan masalah dari lingkungan fisik pasien makan
dengan nutrisi tampak kurang, status gizi kurng. Dari segi ekonomi, pendapatan
keluarga yang hanya dapat memenuhi kebutuhan primer, pendapatan dari suami.
Rumah yang cukup sempit dan terdapat 10 orang dalam satu rumah. Ventilasi rumah
kurang sehingga sinar matahari yang masuk sedikit, membuat pencahayaan kurang
dan terasa lembap. Jamban cukup bersih, namun lingkungan sekitar kotor. Rumah
pasien dikelilingi got dengan air tergenang dan penuh sampah.
Pada poin V, ditetapkan skala fungsional pasien derajat 2 yaitu pasien tidak
mengalami banyak kesulitan, dan bisa melakukan aktifitas kerja dengan baik.
4.1.8. Penatalaksanaan
A. Promotif
Memberikan informasi mengenai gambaran umum TB paru,
Hipertiroid dan faktor risiko lain, sehingga keluarga diharapkan dapat
memutuskan upaya pencegahan secara mandiri apa yang akan
dilakukan.
B. Preventif
Memberikan informasi mengenai upaya pencegahan yang dapat
dilakukan sehingga tidak mencetuskan dan tidak memperparah
kondisinya, misalnya:
- Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter
- Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur
- Tetap diet sehat dengan gizi seimbang
- Upayakan beraktifitas fisik dengan aman
- Hindari rokok, alkohol dan zat karsinogenik lainnya
54
C. Kuratif
Farmakologis
OAT KDT RHZE 1 x 3 KDT tab
Hemofort 1 x 1 tab
Non farmakologis
Menjaga kebersihan lingkungan rumah
Membuka jendela di rumah agara sinar matahari dapat masuk
Menjemur bantal, kasur tiap pagi setelah tidur malam
Menggunakan masker sekali pakai baik di luar maupun di dalam
rumah
Modifikasi gaya hidup: makan makanan yang bergizi.
D. Rehabilitatif
- Meminta keluarga mengingatkan pasien dan membantu pasien
untuk melakukan aktifitas fisik walaupun ringan dan makan
makanan yang bergizi.
- Menganjurkan pasien rutin kontrol ke Puskesmas dan melakukan
pengecekan tekanan darah dan kekuatan otot tubuh yang
mengalami kelemahan secara berkala.
55
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Diagnosis pada pasien ini adalah TB Paru kasus baru yang
dipengaruhi oleh salah satunya adalah faktor lingkungan dan ekonomi. Untuk
penanganan kasus ini bukan hanya dari terapi farmakologis saja tetapi juga
diperlukan edukasi pada pasien dengan menggunakan metode pendekatan
dokter keluarga. Salah satunya dengan menggunakan prinsip pelayanan yang
holistik dan komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif
dan kolaboratif, penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian
integral keluarga, mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan tempat tinggal, menjunjung tinggi etika dan hukum, dapat diaudit
dan dipertanggung jawabkan, serta sadar biaya dan sadar mutu.
Tn.Mistak Edi pertama kali didiagnosis TB Paru di Puskesmas Taman
Bacaan Palembang yang didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksan penunjang. Setiap 1 minggu sekali, pasien/keluarga pasien
mengambil obat, dan setiap 1 bulan sekali pasien diwajibkan untuk kontrol
kondisi penyakitnya ke puskesmas. Tn.Mistak Edi kontrol untuk mengambil
obat dan dipantau berat badan dan pemeriksaan fisik paru di Puskesmas
Taman Bacaan Palembang, diberikan edukasi promotif dan preventif agar
pengobatan TB paru tuntas. Dengan di lakukannya edukasi berupa
pengetahuan preventif dan promotif kepada pasien serta dukungan
farmakoterapi dan edukasi. Setelah melakukan pengobatan OAT, keadaan
Tn.Mistak Edi makin membaik, nafsu makan meningkat, dan batuk berkurang
dari sebelumnya.
5.2. Saran
5.2.1. Mahasiswa
Setelah memahami kondisi pasien dan keluarga dengan pendekatan
metode kedokteran keluarga, mahasiswa disarankan dapat berperan aktif
mentatalaksana kondisi pasien dan keluarga lebih lanjut. Dikhususkan dalam
56
upaya promotif dan preventif, mahasiswa disarankan dapat ikut serta beperan
dalam konseling pasien dan keluarga, mengajak pasien dan keluarga dalam
upaya kesehatan, termasuk intervensi kesehatan lainnya yang memerlukan
pemantauan langsung agar kondisi kesehatan pasien dan keluarga menjadi
lebih baik.
5.2.2. Puskesmas
Disarankan untuk pihak puskesmas, dalam kunjungan rumah ada
baiknya juga dilibatkan pihak puskesmas yang berkunjung sebagai pengawas
minum obat dan intervensi kesehatan lainnya yang memerlukan pemantauan
langsung. Hal ini diharapkan agar pasien minum obat dengan cara yang lebih
baik/benar, teratur dalam pengawasan, serta mengamankan pasien dari obat-
obat yang mungkin dikonsumsi secara pribadi (obat resep mandiri/tanpa
resep) yang mungkin tidak/kurang dianjurkan oleh dokter pemberi
farmakoterapi.
57
DAFTAR PUSTAKA
4. Daniel, T.M. 1999. Tuberkulosis. Dalam : Asdie, A.H., (Editor edisi bahasa
Indonesia). Harrison prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. edisi 13. EGC,
Jakarta, Indonesia. Hal 799-808
7. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report
on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011
8. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene
Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:
Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
10. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes,
David. Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott
Williams & Wilkins 2000.
11. Croft, J., Norman, H., Fred, M., 2002.Tuberkulosis Klinik. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Widya Medik.
58
12. Richard, E.B, Victor. C.V. 1995.Ilmu Kesehatan Anak Bahagian II (Nelson
Pediatric Textbook). Edisi ke-15. Jakarta: EGC Saunder.
13. Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internal
medicine. United Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.
14. Eastman et all. Getting started in clinical radiology from image to diagnosis.
Germany:Thieme. 2006
15. Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC,
Rahman MM. Comparison of sputum induction with bronchoalveolar lavage in
the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis. Mymensingh Med J.
2008 Jul;17(2):115-23.
24. Shakya, Rajani. B.S, Rao. Shrestha, Bhawana. Evaluation of risk factors for
antituberculosis drugs- induced hepatotoxicity in nepalese population.
Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And Technology Vol.Ii,
No.1, February, 2006.
25. RYC, Chan. AKH Kwok. Ocular toxicity of ethambutol. Hong Kong Med J
2006;12:56-60
26. Heng JE, Vorwerk CK, Lessell E, Zurakowski D, Levin LA, Dreyer EB.
Ethambutol is toxic to retinal ganglion cells via an excitotoxic pathway. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 1999 Jan;40(1):190-6.Fe
27. Chai SJ, Foroozan R. Decreased retinal nerve fibre layer thickness detected by
optical coherence tomography in patients with ethambutol-induced optic
neuropathy. Br J Ophthalmol. 2007 Jul;91(7):895-7. Epub 2007 Jan 10.
LAMPIRAN
Gambar 3. Dapur
62