Cara Pengangkutan Sumber Radioaktif
Cara Pengangkutan Sumber Radioaktif
Pemanfaatan sumber radioaktif sekarang telah banyak dilakukan di berbagai Negara termasuk di
Indonesia. Di Indonesia sumber radioaktif di manfaatkan untuk Bidang Industri, Kedokteran, Lingkungan,
Pertanian, penelitian, dan bidang yang lain. Sumber radioaktif mempunyai manfaat yang besar yang bisa
dimanfaatkan diberbagai bidang seperti di atas. Disamping manfaat yang besar, sumber radioaktif juga
mempunyai resiko bahaya radiasi. Bahaya radiasi dapat mengenai pekerja, masyarakat, dan lingkungan
hidup.
Resiko yang ditimbulkan dapat diminimalisir dengan adanya penenganan sumber radioaktif yang tepat
dan benar. Dalam penganannya harus memperhatikan berbagai aspek terutama masalah keselamatan dan
keamanan sumber radioaktif. Pengelolaan sumber radioaktif dengan tidak memperhatikan masalah
keamanan dapat menyebabkan kecelakaan.
Dibawah ini merupakan standar tata cara pengangkutan sumber radioaktif berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI dan standar industri.
Cara Pengangkutan Sumber Radioaktif
1. Prinsip dasar keselamatan pengangkutan sumber radioaktif yaitu:
Sumber tidak boleh terlepas dari container/kemasan bawaan (dalam kondisi normal atau jika terjadi
insiden)
Pajanan radiasi dalam level yang aman.
Jika sumber menghasilkan panas, panas harus dilepas dengan cukup.
2. Surat persetujuan transportasi dari BAPETEN harus didapat terlebih dahulu untuk memindahkan sumber
dari satu lokasi ke lokasi lain.
3. Surat persetujuan transportasi tidak diperlukan untuk transportasi sumber di dalam satu lokasi.
4. Sumber radioaktif untuk dipindahkan harus memiliki izin penggunaan yang masih berlaku dari
5. Simbol bahaya radiasi, label dan tanda “siap dipindah” harus dipasang diwadah kemasan. Semua
dokumen resmi harus dimasukkan ke dalam wadah kemasan. Tuliskan label berat total jika berat melebihi
50 kgs.
6. Petugas keselamatan radiasi harus mengecek kondisi fisik kemasan wadah, lakukan tes kekuatan wadah
kemasan, dan mengukur level pajanan radiasi pada permukaan wadah kemasan dan area sekitar.
Laporkan hasilnya kepada Radiation Safety Coordinator sebelum pengiriman.
7. Ketika mengirim alat, simpan di dalam bagian yang tidak ditumpangi (misalkan truck box). Amankan alat
di dalam kendaraan selama transportasi.
8. Simpan kemasan di dalam kendaraan penumpang/kapal dengan jarak aman dari petugas pengirim,
masyarakat, photography film, dan bahan kimia berbahaya.
9. Informasikan dan dapatkan saran dari BAPETEN untuk kerusakan kemasan, atau penyitaan dari institusi
lain.
Berikut adalah referensi standar dan peraturan yang dapat Anda jadikan referensi untuk keselamatan
kerja radiasi, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah RI
UU No. 10/1997 tentang ketenaganukliran.
Peraturan Pemerintah No. 29/2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan
Nuklir
Peraturan Pemerintah No.33/2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber
Radioaktif.
Peraturan Pemerintah No. 27/2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif
Peraturan Pemerintah No.26/2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif.
2. Standar Industri
American Conference of Governmental Industrial Hygienist, TLV and BEI Book, 2010.
OGP Report No. 412/2008 regarding Guidelines for the management of Naturally Occurring Radioactive
Material (NORM) in the oil and gas industry.
Apa itu Budaya Keselamatan (Safety Culture) ?
“Budaya keselamatan suatu organisasi adalah produk dari nilai-nilai individu & kelompok, sikap,
kompetensi dan pola perilaku yg menentukan komitmen, dan gaya serta kecakapan terhadap
program K3 organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan positif ditandai dengan
komunikasi yang didirikan dari saling percaya, oleh persepsi bersama tentang pentingnya
keselamatan, dan dengan keyakinan tentang keberhasilan langkah-langkah pencegahan.”
(ACSNI, 1993)
Guldenmund (2010) mengatakan bahwa budaya keselamatan sebagai aspek–aspek dari budaya
organisasi yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku terkait dengan peningkatan atau
penurunan risiko. Model Bandura (1986) tentang determinisme timbal balik menjelaskan bahwa
budaya keselamatan terdiri dari 3 aspek yang saling terkait, yaitu aspek psikologis, aspek
perilaku dan aspek situasional.
Aspek psikologis dari budaya keselamatan sering disebut sebagai "iklim keselamatan (safety
climate)" atau dengan kata lain bagaimana orang merasa tentang keselamatan dan
sistem manajemen keselamatan. Aspek ini berhubungan dengan nilai-nilai individu &
kelompok serta sikap dan persepsi terhadap keselamatan.
Aspek perilaku budaya keselamatan memberikan perhatian pada apa yang dilakukan orang-
orang. Ini termasuk kegiatan yang terkait dengan keselamatan, perilaku, juga komitmen
manajemen terhadap keselamatan.
Aspek situasional mengacu pada apa yang organisasi punya. Ini termasuk misalnya
kebijakan, prosedur, peraturan, struktur organisasi, sistem
manajemen, sistem kontrol dan sistem komunikasi.
Sedangkan bila mengadopsi teori Guldenmund (2010) maka budaya keselamatan (safety
culture) itu sendiri terdiri dari lapisan-lapisan yang dianalogikan seperti lapisan pada bawang
merah dimana lapisan-lapisan tersebut berturut-turut dari luar ke dalam antara lain :