Anda di halaman 1dari 19

1

 
 
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus Pada Pekerja
Wanita Di Pt X Kabupaten SumedangProvinsi Jawa Barat Tahun 2013

Nia Kurniasih1Robiana Modjo2


1. Peminatan Kebidanan Komunitas Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
2.Departemen K3Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Indonesia

ABSTRAK

Kejadian abortus di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar dua juta
dari 4,2 juta kasus. Abortus juga merupakan penyebab ke empat tertinggi dari kematian ibu.
Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus
pada pekerja wanita di Perusahaan Garmen PT X Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat
tahun 2013.Penelitian ini penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional,
menggunakan data primer. Populasi penelitian adalah semua penderita abortus,jumlah sampel
98 dimana semua populasi dijadikan sampel. Analisis hubungan menggunakan uji chi square
dengan CI 95% dan α = 0,05. Hasil menunjukan ada hubungan antara jarak kehamilan dengan
kejadian abortus (7,500; 0,946-59,438). Sedangkan umur, paritas, jenis pekerjaan dan aktifitas
kerja tidak berhubungan dengan kejadian abortus.

Kata Kunci: Abortus, abortus imminens, faktor resiko, kesehatan kerja,

ABSTRACT

The incidenceof abortionin Indonesia isthe highestinSouth EastAsia, which is two


millionfrom4.2million cases all over South East Asia. Abortionis also the fourth highest
causeofmaternal mortality. This research purposestodetermine the factorsassociatedwiththe
incidence ofabortiononwomenworkersin thegarmentcompany named
PTXSumedangregencyof West Java provincein 2013. This quantitative research study with
cross - sectional research design is using primary data. The study population wasallpatients
withabortion, with the number ofsample were 98, whereall thepopulation sampled. Analysis
ofthe relationshipusingthe chi square testwith95% CIandα=0.05. Resultsshowedthere was
associationbetweentheincidence ofabortion with pregnancydistance(7.500; 0.946 to 59.438).
Whileage, parity, type of workand physical work activitiesnot related tothe incidence
ofabortion.

Keywords: Abortion, abortionimminens, occupational health, riskfactors


Bibliography: 25 (1995-2012)
2  
 
Latar belakang

Pekerja wanita di usia reproduksi mempunyai permasalahan kesehatan antara lain;


prevalensi anemia wanita usia reproduksi sebesar 26,8% dan anemia pada wanita hamil
sebesar 40%, sehingga akan berakibat wanita usia reproduksi mudah menderita sakit dan
kemungkinan apabila hamil akan mempunyai resiko tinggi seperti abortus, persalinan
prematur, perdarahan post partum serta melahirkan generasi yang kurang gizi (Depkes,2003)
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk
hidup di luar kandungan (Sarwono, 2009).
Menurut WHO (2006), kejadian abortus di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara
(ASEAN) yaitu sebesar 2 juta dari 4,2 juta orang. Tahun 2009 kejadian abortus sebanyak
2652 orang (Propil Dinkes Sulsel, 2009). Abortus juga merupakan penyebab ke 4 dari
kematian ibu (www aborsi,org.online,www georitis.com 2010), meninggal akibat abortus
60.000-70.000 orang 1/3 dari kematian maternal (Manuaba, 2008)
Rasio jumlah abortus terhadap jumlah kelahiran hidup, antara 18-19%
(Sastrawinata,2005). Tesis Arief wahyu Mulyana (2005), dari 274 ibu hamil terjadi abortus
sebanyak 24 orang (prevalensi 8,8%). Peningkatan kasus abortus nasional 1.982.880 atau 2
juta kasus pertahun atau 37 aborsi per 1000Wanita Usia Subur (WUS) 15-45 tahun (Budi
Utama, 2000).
Berdasarkan penyebab utama, kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan,
infeksi dan eklamsia. Namun sebenarnya abortus juga merupakan salah satu penyebab
kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis, hal ini
merupakan indikasi bahwa hingga saat ini abortus masih merupakan masalah kesehatan di
masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya abortus,di lihat dari karakteristik
ibu faktor-faktor penyebab abortus diantaranya; umur, pendidikan, paritas, jarak kehamilan,
status gizi, penyakit ibu dan infeksi.Selain itu abortus spontan juga ditemukan pada pekerja
wanita yang mengangkat barang berat, memindahkan/ mendorong barang berat, posisi duduk
yang terlalu lama, berdiri berjam-jam dan kebisingan (BKKBN Jabar, 2010).
3  
 

TINJAUAN PUSTAKA
Abortus
Definisi abortus
Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum mampu hidup di luar kandungan
dengan berat badan kurang dari 1000 gr atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu
(Manuaba, 2008)
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk
hidup di luar kandungan (Sarwono, 2009).
Abortus dini terjadi pada kehamilan sebelum 12 minggu, sedangkan abortus tahap
akhir (late abortion) terjadi antara 12-20 minggu. Sebelum usia kehamilan 12 minggu abortus
cenderung komplit. Hal ini disebabkan karena vili khorialis belum tertanam dengan kuat ke
dalam decidua hingga telur mudah terlepas secara utuh, sedangkan setelah 12 minggu hasil
konsepsi cenderung lebih bertahan (Sinclair, 2010)
Kelainan telur juga menyebabkan kelainan pertumbuhan yang sedemikian rupa hingga
janin tidak mungkin hidup terus, misalnya karena faktor endogen seperti kelainan
chromosom. Kelainan pertumbuhan selain oleh kelainan benih dapat juga disebabkan oleh
kelainan lingkungan atau faktor exogen (virus, radiasi,zat kimia) (Obstetri patologi FK
Unpad).
Abortus imminens adalah terjadi perdarahan bercak yang menunjukan ancaman terhadap
kelangsungan suatu kehamilan, dalam kondisi ini kehamilan masih mungkin berlanjut dan
dipertahankan (Wiknjosastro dkk, 2002).
§ Proses awal dari suatu keguguran, ditandai dengan perdarahan pervaginam,
sementara ostium uteri eksternum masih tertutup dan hasil konsepsi/ janin
masihbaik didalam uterus
§ Pengeluaran hasil konsepsi berupa darah yang disertai mules atau tanpa mules
§ Kehamilan pada abortus ini masih bisa dipertahankan

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan study cross
sectional, dimana pengamatan terhadap variabel dependen dan variabel independen dilakukan
4  
 
dalam satu waktu secara bersamaan. Data yang diteliti berupa data primer yang berasal dari
wawancara langsung pada responden, serta data sekunder yang diperoleh dari klinik dan
manajemen perusahaan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di perusahaan garmen PT X di Kabupaten Sumedang Provinsi
Jawa Barat, pada Bulan April sampai Bulan Mei tahun 2013.

Populasi dan Sampel


Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pekerja wanita yang bekerja di bagian
produksi dan bagian gudang di perusahaan garmen PT X Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa
Barat, yang tercatat dalam data sedang hamil dan mengalami abortus pada kurun waktu yaitu
dari Januari 2011 sampai dengan Maret 2013 yang berjumlah 149 orang.
Sampel
Sampel penelitian adalah semua pekerja wanita yang hamildan mengalami abortus
pada kurun waktu Januari 2011 sampai dengan Maret 2013 dan masih tercatat sebagai pekerja
pada bagian produksi dan bagian gudang di perusahaan garmen PT X. Disamping itu, pekerja
wanita yang mengalami abortus tersebut pada saat penelitianbersedia di wawancara serta
mengisi kuesioner. Jumlah yang didapatkan pada saat dilakukan penelitian yaitu berjumlah
98orang, karena sisanya sebanyak 51 orangsudah keluar /habis kontrak kerja (karyawan
kontrak).

Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada pekerja wanita yang mengalami
abortus pada kurun waktu Januari 2011 sampai dengan Maret 2013, dengan menggunakan
lembar kuesioner. Cara pengumpulan data yaitu dengan mengumpulkan responden sehabis
bekerja shift pagi dan yang shift sore sebelum bekerja dengan dibantu oleh karyawan bagian
HRD. Sedangkan data sekunder yang diperoleh melalui HRD perusahaanberupa daerah
penelitian yang meliputi data demografi, upaya kesehatan yang telah dilakukan atau yang
tersedia dan masalah kesehatan yang sering terjadi, serta data lain yang mendukung penelitian
ini.
5  
 
Hasil Analisis
Analisis Univariat
Analisis univariat menggambarkan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada
penelitian ini variabel dependennya adalah kejadian abortus dan variabel indevendennya
adalah karakteristik wanita pekerja (umur, paritas, jarak kehamilan dan usia kehamilan) serta
lingkungan kerja (jenis pekerjaan dan aktivitas kerja).

Tabel.5.1 Distribusi Frekuensi menurut karakteristik pekerja wanita dan lingkungan kerja di
PT. X tahun 2013
No Variabel n=98 Persentase (%)
1 Kejadian abortus
Kejadian abortus 76 77,6
Ancaman abortus 22 22,4
2 Umur
< 20 tahun, > 35 tahun 25 25,5
20 tahun -35 tahun 73 74,5
3 Paritas
>3 kali 21 21,4
≤ 3 kali 77 78,6
4 Jarak kehamilan
< 2 tahun 21 21,4
≥ 2 tahun 77 78,6
5 Jenis pekerjaan
Bagian gudang 22 22,4
Bagian produksi 76 77,6
6 Aktivitas duduk/ berdiri
> 4 jam 74 75,5
≤ 4 jam 24 24,5
7 Aktivitas mengangkat/ mendorong
Barang berat 50 51
Barang ringan 48 49

Tabel di atas menunjukkan bahwa:


1. Responden yang mengalami kejadian abortus lebih tinggi yaitu 77,6 % dibandingkan
dengan responden yang mengalami ancaman abortus yaitu 22,4 %. Rata-rata
responden yang mengalami abortus pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu.
2. Responden terbanyak pada kelompok umur 20-35 tahun yaitu 74,5 % lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok umur < 20 tahun > 35 tahun yaitu 25,5 %. Hal ini
dikarenakan pekerja wanita di perusahaan ini rata-rata usia produktif.
6  
 
3. Responden dengan paritas ≤ 3 kali lebih banyak yaitu 78,6 % dibandingkan dengan
paritas > 3 yaitu 21,4 %. Rata-rata responden menggunakan alat kontrasepsi untuk
menjarangkan atau menunda kehamilannya.
4. Responden dengan jarak kehamilan ≥ 2 lebih tinggi yaitu 78,6 % dibanding jarak
kehamilan < 2 yaitu 21,4 %. Hal ini dikarenakan responden rata-rata menggunakan
alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan.
5. Responden terbanyak bekerja di bagian produksi yaitu 77,6 % sedangkan di bagian
gudang sebanyak 22,4 %. Hal ini dikarenakan bagian produksi merupakan tempat
yang paling banyak menempatkan pekerja.
6. Responden yangmelakukan aktivitas kerja dengan posisi duduk atau berdiri > 4 jam
lebih banyak yaitu 75,5 % dibanding ≤ 4 yaitu 24,5 %. Responden rata-rata bekerja
dalam satu bidang keahlian sendiri- sendiri seperti bagian menjahit, memotong kain,
hal ini dilakukan secara menetap dan terus menerus selama waktu bekerja.
7. Responden dengan melakukan aktivitas kerja mengangkat/mendorong barang berat
lebih banyak yaitu 51 % dibanding mengangkat/mendorong barang yang lebih ringan
yaitu 49 %. Hal ini dikarenakan apabila mengangkat atau mendorong barang lebih
banyak dianggap lebih efektif.

Analisis Bivariat
Tabel.5.2 Hubungan Karakteristik Pekerja Wanita Dan Lingkungan Kerja
Menurut Kejadian Abortus Di PT. X Tahun 2013

Ancaman
Kejadian
abortus
abotus Total OR
Variabel (95%CI) P
No
n % n % n %
1 Umur
< 20 tahun, > 35 tahun 21 84 4 16 25 100 1,72 0,54
20-35 tahun 55 75,3 18 24,7 73 100 (0,52 -5,67)
2 Paritas
>3 kali 18 85,7 3 14,3 21 100 1,97 0,39
≤ 3 kali 58 75,3 19 24,7 77 100 (0,52 - 7,41)
3 Jarak kehamilan
< 2 tahun 20 95,2 1 4,8 21 100 7,52 0,03
≥ 2 tahun 56 72,7 21 27,3 77 100 (0,94-59,43)
4 Jenis pekerjaan
Bagian gudang 19 86,4 3 13,6 22 100 2,11 0,38
7  
 
Bagian produksi 57 75 19 25 76 100 (0,56 - 7,93)
5 Aktivitas duduk berdiri
> 4 jam 61 82,4 13 17,6 74 100 2,82 0,08
≤ 4 jam 15 62,5 9 37,5 24 100 (1,01 - 7,81)
Aktivitas mengangkat
6 mendorong
Barang berat 43 86 7 14 50 100 2,79 0,07
Barang ringan 33 68,8 15 31,3 48 100 (1,02-7,63)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa:


1. Kejadian abortus pada pekerja wanita dengan kelompok umur < 20 tahun > 35tahun
yaitu 84 % lebih tinggi dibanding kelompok umur 20-35 tahun yaitu 75,3 %
Hasil uji statistik diperoleh bahwa p value sebesar 0,54 artinya tidak ada hubungan yang
signifikan antara umur dengan kejadian abortus. Nilai OR = 1,72 (95 % CI = 0,52-5,67)
artinya umur < 20 tahun >35 tahun mempunyai resiko 2 kali lebih besar mengalami
abortus dibandingkan dengan umur 20-35 tahun.
2. Kejadian abortus pada pekerja wanita dengan paritas > 3 kali lebih tinggi yaitu 85,7 %
dibanding paritas ≤ 3 kali yaitu 75,3 %
Hasil uji statistik diperoleh bahwa p value sebesar 0,39 artinya tidak ada hubungan antara
paritas dengan kejadian abortus. Nilai OR = 1,97 (95 % CI = 0,52- 7,41) artinya paritas
>3 kali mempunyai resiko 2 kali lebih besar mengalami abortus dibandingkan dengan
paritas ≤ kali.
3. Kejadian abortus pada pekerja wanita dengan jarak kehamilan < 2 tahun lebih tinggi yaitu
95,2 % dibanding jarak kehamilan ≥ 2 tahun yaitu 72,7 %
Hasil uji statistik diperoleh bahwa p value sebesar 0,03 artinya ada hubungan yang
signifikan antara jarak kehamilan dengan kejadian abortus. Nilai OR = 7,50 (95 % CI =
0,94 – 59,44) artinya jarak kehamilan < 2 tahun mempunyai resiko 8 kali lebih besar
mengalami abortus dibandingkan dengan jarak kehamilan ≥ 2 tahun.
4. Kejadian abortus dengan jenis pekerjaan di bagian gudang lebih tinggi yaitu 86,4 %
dibanding di bagian produksi yaitu 75 %
Hasil uji statistik diperoleh bahwa p value sebesar 0,38 artinya tidak ada hubungan antara
jenis pekerjaan dengan kejadian abortus. Nilai OR = 2,11 (95 % CI = 0,56 – 7,93) artinya
jenis pekerjaan bagian gudang memiliki resiko lebih besar 2 kali dibanding jenis
pekerjaan di bagian produksi.
5. Kejadian abortus pada pekerja wanita dengan aktivitas kerja duduk/berdiri > 4 jam lebih
tinggi yaitu 82,4 % dibanding duduk/berdiri ≤ 4 jam yaitu 62,5 %.
8  
 
Hasil uji statistik diperoleh bahwa p value sebesar 0,08 artinya tidak ada hubungan
signifikan antara aktivitas kerja duduk/berdiri dengan kejadian abortus. Nilai OR = 2,81
(95 % CI = 1,01 – 7,81) artinya aktivitas kerja duduk/berdiri > 4 jam memiliki resiko 3
kali lebih besar dibanding aktivitas kerja duduk/berdiri ≤ 4 jam.
6. Kejadian abortus pada pekerja wanita dengan aktivitas kerja mengangkat/mendorong
barang berat lebih tinggi yaitu 86 % dibanding mengangkat/mendorong barang lebih
ringan yaitu 68,8 %
Hasil uji statistik diperoleh bahwa p value sebesar 0,07 artinya tidak ada hubungan
signifikan antara aktivitas kerja mengangkat/mendorong barang dengan kejadian abortus.
Nilai OR = 2,79 (95% CI = 1,02 – 7,63) artinya aktivitas kerja mengangkat/mendorong
barang berat memiliki resiko 3 kali lebih besar dibanding aktivitas kerja
mengangkat/mendorong barang ringan.

Riwayat abortus di lingkungan kerja


Riwayat abortus di lingkungan kerja ini berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
pada 10 orang responden yang mempunyai waktu luang dan bersedia di wawancara saat
mengisi kuesioner. Hasil dari wawancara tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Semua responden mengatakan riwayat kehamilan sebelum dan sesudah bekerja di
perusahaan baik-baik saja, namun saat melahirkan ada dua responden mengalami pendarahan
setelah melahirkan. Kondisi bayinya rata-rata sehat dan hidup sampai sekarang, namun ada
satu responden yang mengatakan bayinya lahir BBLR (2200 gram) dan sempat dirawat
selama 1 minggu sampai saat ini kondisinya sehat.
Selama menunda kehamilan semua responden mengaku memakai alat kontrasepsi.
Alat kontrasepsi yang digunakan tiga responden menggunakan metode suntik tiga bulan, dua
responden menggunakan metode suntik satu bulan dan lima responden menggunakan
kontrasepsi pil. Tiga responden mengaku melepas kontrasepsi karena ingin punya anak lagi,
lima responden mengaku gagal karena sering lupa minum pil/tidak teratur minum pil, dua
responden berhenti di suntik karena mengaku ingin mendapat menstruasi.
Pendarahan dialami enam responden saat bekerja, langsung melapor ke supervisor
dan dibawa ke klinik perusahaan selanjutnya di rujuk ke rumah sakit. Empat responden lain
mengalami pendarahan di rumah dan langsung ke rumah sakit. Dari sepuluh responden dua
diantaranya kehamilannya dapat dipertahankan setelah mendapat perawatan selama 5-10 hari
di rumah sakit.
9  
 
Setelah mengalami pendarahan dan mengalami abortus mendapat cuti satu setengah
bulan, dua responden yang kehamilannya masih bisa dipertahankan, meminta perhatian
khusus dengan diberi keringanan pekerjaan sesuai anjuran dari dokter. Pihak perusahaan
memberi keringanan tersebut dengan bekerja non shift, pekerjaan dibantu oleh sesama
pekerja dan supervisor, serta mendapatkan multivitamin dan diperiksa rutin ke klinik
perusahaan dan bidan praktek swasta (BPS) sebagai mitra perusahaan.
Selama bekerja responden mengaku merasa sering pusing dan mudah lelah apalagi
kalau bekerja sore atau malam hari karena ditambah sering mual dan ingin muntah, sehingga
bekerja kurang maksimal.Responden yang bekerja di bagian gudang mengaku lebih jenuh
karena banyak barang yang menumpuk dan orang lalu lalang mengangkut barang yang ke luar
dan masuk gudang. Dalam waktu 8 jam responden yang bekerja sambil duduk atau berdiri
sesekali meregangkan otot dengan cara dipijat-pijat sendiri. Sedangkan yang mengangkat dan
mendorong barang dengan mengurangi barang yang diangkat tetapi lebih sering prekuensinya
karena jumlah target yang harus diselesaikan.
Saat jam istirahat responden bisa melakukan relaksasi otot tetapi tidak punya waktu
banyak karena harus ngantri makan makanan yang disediakan oleh perusahaan dan solat
bersama pekerja lain. Hal ini menyebabkan banyak waktu yang terbuang untuk mengantri dan
responden mengaku tidak bisa melakukan dengan cepat karena kondisi tubuh yang sedang
hamil.
Pembahasan
Keterbatasan penelitian
Hasil analisis variabel dependen dan variabel independen pada penelitian ini rata-rata
tidak menunjukan hubungan yang signifikan. Hal ini kemungkinan terjadi karena keterbatasan
tenaga dalam melakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri dengan
dibantu oleh 1 orang bagian HRD perusahaan dan 1 orang dari klinik perusahaan.
Waktu dan biaya yang digunakan dalam proses penelitian juga terbatas dan terdapat
beberapa hambatan dalam pengumpulan data karena kesibukan pekerjaan di perusahaan dan
perubahan shift kerja responden yang mau diwawancara serta hambatan dalam proses
pengolahan data sehingga hasil penelitian kurang memenuhi sesuai harapan.

Riwayat kejadian abortus responden


Abortus dini terjadi pada kehamilan sebelum 12 minggu sedangkan abortus tahap
akhir (late abortion) terjadi antara 12-20 minggu. Sebelum usia kehamilan 12 minggu abortus
cenderung komplit. Hal ini disebabkan karena vili korialis belum tertanam dengan kuat
10  
 
kedalam decidua hingga telur mudah terlepas secara utuh, sedangkan setelah 12 minggu hasil
konsepsi cenderung lebih tahan (Sinclair,2010)
Kelainan telur juga menyebabkan kelainan pertumbuhan yang sedemikian rupa hingga
janin tidak mungkin hidup terus, misalnya karena faktor endogen seperti kelainan
chromosom, kelainan pertumbuhan selain oleh kelainan benih dapat juga disebabkan oleh
kelainan lingkungan atau faktor exogen (virus, radiasi, zat kimia)(Obstetri patologi, FK
Unpad).
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden kejadian abortus yang mereka alami
antara usia kehamilan 8 – 16 minggu. Kejadian abortus yang dialami oleh responden dengan
usia kehamilan sebelum 12 minggu rata-rata tidak memerlukan perawatan yang lama karena
buah kehamilan sudah keluar seluruhnya sedangkan usia kehamilan 12-20 minggu perawatan
cenderung lama dan apabila buah kehamilan masih bagus serta janin masih hidup kehamilan
masih bisa dipertahankan dengan cara istirahat tirah baring.
Perbedaan abortus pada usia kehamilan dibawah 12 minggu lebih cenderung komplit
karena sesuai teori buah kehamilan belum tertanam secara kuat sehingga buah kehamilan
dapat keluar seluruhnya. Sedangkan usia kehamilan diatas 12- 20 minggu kejadian abortus
cenderung inkomplit atau masih ada sebagian yang tertinggal biasanya bagian plasenta karena
sudah menempel erat pada dinding rahim. Untuk mengeluarkannya biasanya dilakukan
kuretage oleh dokter ahli di rumah sakit.
Dengan adanya program sefe motherhood perlu kiranya mengubah kebijakan bahwa
untuk pengelolaan kesehatan reproduksi khususnya pada kehamilan sebaiknya dimulai sejak
awal kehamilan karena rentang waktu terjadinya abortus yaitu pada usia kehamilan di bawah
20 minggu atau sebelum usia kehamilan 5 bulan. Selain itu apabila kehamilan trimester
pertama tidak mendapat perawatan yang baik dapat menyebabkan kelahiran prematur,
kelainan/kecacatan pada bayi dan BBLR.

Hubungan Umur Responden Dengan Kejadian Abortus


Umur yang beresiko untuk terjadinya abortus pada wanita saat hamil yaitu kelompok
umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Pada umur kurang dari 20 tahun penyulit
pada kehamilan lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara umur 20-35
tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat
merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin dan memudahkan
terjadinya keguguran (Manuaba, 2010).
11  
 
Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu
maupunpertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk
hamil. Penyulit pada kehamilan remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan kurunwaktu
reproduksi sehat antara 20-30 tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah
dengan tekanan (stress) psikologi, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya
keguguran (Manuaba, 1998).
Manuaba (2007), menambahkan bahwa kehamilan remaja dengan usia dibawah 20
tahun mempunyai risiko:
1. Sering mengalami anemia.
2. Gangguan tumbuh kembang janin.
3. Keguguran, prematuritas, atau BBLR.
4. Gangguan persalinan.
5. Preeklampsi.
6. Perdarahan antepartum.
Menurut Kanadi (2002) wanita harus waspada terhadap usia rawan keguguran, yaitu di
atas 35 tahun. Wanita yang telah mencapai usia itu harus berfikir masak sebelum memutuskan
untuk hamil. Kebanyakan penyebabnya adalah masalah kelainan kromosom. Resiko
keguguran memang semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Jadi wanita yang
berusia 35 tahun memiliki resiko keguguran lebih tinggi dibandingkan wanita yang berusia 30
tahun, apalagi usiannya sudah di atas 40 tahun.
Risiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya usia terutama
setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau tidak, wanitadengan usia lebih
tua, lebih besar kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal (Murphy,
2000).Semakin lanjut usia wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga
semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita, maka
risiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan
meningkatnya risiko kejadian kelainan kromosom (Samsulhadi,2003).
Pada gravida tua terjadi abnormalitas kromosom janin sebagai salah satu faktor
etiologi abortus (Friedman, 1998). Sebagian wanita yang berusia di atas 35 tahun mengalami
kehamilanyang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi beberapa penelitian
menyatakan semakin matang usia ibu dihadapkan pada kemungkinan terjadinya beberapa
risiko tertentu, termasuk risiko kehamilan. Para tenaga ahli kesehatan sekarang membantu
para wanita hamil yang berusia 30 dan 40an tahun untuk menuju ke kehamilan yang lebih
aman.
12  
 
Risiko lainnya terjadi keguguran pada ibu hamil berusia 35 tahun atau
lebih.Kemungkinan kejadian pada wanita di usia 35 tahun ke atas lebih banyak dibandingkan
pada wanita muda. Pada penelitian tahun 2000 ditemukan 9% pada kehamilan wanita usia 20-
24 tahun. Namun risiko meningkat menjadi 20% pada usia 35-39 tahun dan 50% pada wanita
usia 42 tahun. Peningkatan insiden pada kasus abnormalitas kromosom bisa sama
kemungkinannya seperti risiko keguguran.Yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko
tersebut sebaiknya wanita berusia 30 atau 40 tahun yang merencanakan untuk hamil
haruskonsultasikan diri dulu ke dokter. Bagaimanapun, berikan konsentrasi penuh mengenai
kehamilan di atas usia 35 tahun, diantaranya:
Rencanakan kehamilan dengan konsultasi ke dokter sebelum pasti untukkehamilan tersebut.
Kondisi kesehatan, obat-obatan dan imunisasi dapatdiketahui melalui langkah di bawah ini:
1. Konsumsi multivitamin yang mengandung 400 mikrogram asam folat setiaphari
sebelum hamil dan selama bulan pertama kehamilan untuk membantumencegah
gangguan pada saluran tuba.
2. Konsumsi makanan-makanan yang bernutrisi secara bervariasi, termasukmakanan
yang mengandung asam folat, seperti sereal, produk dari padi,sayuran hijau daun,
buah jeruk, dan kacang-kacangan.
3. Mulai kehamilan pada berat badan yang normal atau sehat (tidak terlalu kurusatau
terlalu gemuk). Berhenti minum alkohol sebelum dan selama kehamilan.
4. Jangan gunakan obat-obatan, kecuali obat anjuran dari dokter bahwa si ibu sedang
hamil (Saleh, 2003).
Hasil penelitian ini tidak menunjukan hubungan yang signifikan antara umur dan
kejadian abortus pada pekerja wanita tapi dari nilai OR = 1,718 ada perbedaan bahwa umur <
20 tahun dan> 35 tahun beresiko 2 kali lebih besar dari usia 20 – 35 tahun. Meskipun usia 20
– 35 tahun adalah usia aman untuk hamil dan melahirkan tetapi bukan berarti tidak memiliki
resiko untuk terjadinya abortus, karena semua kehamilan dianggap beresiko sehingga perlu
penanganan dan perhatian khusus.
Kelompok umur 20-35 tahun juga merupakan kelompok terbanyak di perusahaan ini,
dan perusahaan tidak mempekerjakan usia di bawah umur sesuai Undang-Undang
Ketenagakerjaan no. 20 tahun 1999 dan no. 13 tahun 2003 yaitu usia minimum tidak boleh
kurang dari 18 tahun. Sedangkan untuk kelompok umur lebih dari 35 tahun selain jumlahnya
sedikit juga menggunakan KB karena tidak ingin memiliki anak lagi namun metode KB yang
digunakan jangka pendek dan seringkali mengalami kegagalan.
13  
 
Hubungan Paritas Dengan Kejadian Abortus
Resiko abortus spontan meningkat seiring dengan bertambahnya paritas serta umur ibu
atau ayah, (menurut Hartanto, 2003), kehamilan menjadi sangat beresiko tinggi pada wanita
yang mempunyai paritas ≥ 4 kali. Selain itu mengetahui riwayat kehamilan dan persalinan
yang lalu penting untuk mengetahui resiko-resiko kehamilan sekarang dan yang akan datang.
Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin, bila terlalu sering melahirkan
rahim akan semakin lemah. Bila ibu melahirkan 4 anak atau lebih maka perlu diwaspadai
adanya gangguan diantaranya terjadi abortus.
Pada penelitian ini tidak menunjukan hubungan yang signifikan antara paritas dan
kejadian abortus, akan tetapi nilai OR = 1,966 menunjukan bahwa paritas > 3 kali memiliki
resiko 2 kali lebih besar dari paritas ≤ 3 kali. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Lukitasari 2010 tetapi tidak sesuai dengan hasil penelitian Lahay 2012.
Jumlah melahirkan lebih dari 3 kali besar kemungkinan jarak kehamilanpun semakin
dekatmaka resiko mengalami abortuspun akan semakin besar maka itu perlu penyuluhan atau
menganjurkan untuk ber KB sehingga resiko mengalami abortus akan dapat dihidari.

Hubungan Jarak Kehamilan Dengan Kejadian Abortus


Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun keadaan rahim dan
kondisi ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena
ada kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, mengalami perdarahan atau persalinan
dengan penyulit.
Hasil penelitian ini menunjukan hubungan yang signifikan antara jarak kehamilan
dengan kejadian abortus. Nilai OR = 7,500 ini menunjukan jarak kehamilan < 2 tahun
beresiko 8 kali lebih besar mengalami abortus dibanding jarak kehamilan ≥ 2 tahun, dan
penelitian ini sesuai tiori.
Berdasarkan hasil penelitian, jarak kehamilan mempunyai resiko besar terjadinya
abortus, makin banyak anak makin dekat jarak kehamilan yang dialami. Untuk menghindari
hal tersebut perlu adanya aturan untuk menjarangkan kehamilan dan pembatasan jumlah anak
dengan mengharuskan pekerja wanita yang sudah menikah untuk ikut program KB.

Hubungan Jenis Pekerjaan Dengan Kejadian Abortus


Tempat dimana wanita bekerja sangat berpengaruh terhadap reproduksi wanita,
karena apabila bekerja pada tempat yang berbahaya seperti bahan kimia, radiasi dan jika
terpapar bahan tersebut dapat mengakibatkan abortus. Terutama pada kehamilan trimester I,
14  
 
dimana sel embrio berdefensiasi untuk membentuk sistem organ. Jadi bahan kimia yang
berbahaya masuk kedalam tubuh wanita hamil dapat mempengaruhi hasil konsepsi.
Jenis pekerjaan yang sebaiknya dihindari ketika hamil, misalnya para wanita yang
bekerja sebagai petani, buruh pabrik, ahli di laboratorium, kru maskapai penerbangan, polisi
lalu lintas,tentara, juru masak, bahkan pekerjaan sebagai karyawan atau sekertaris seringkali
memiliki resiko apabila yang bersangkutan harus duduk selama berjam-jam. Selain itu stress
juga berbahaya bagi kehamilan, karena bisa melemahkan kondisi fisik dan mengganggu
perkembangan janin (Anonim, 2010)
Menurut Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 76
yang menyatakan bahwa larangan untuk mempekerjakan pekerja wanita berumur kurang 18
tahun dan wanita hamil menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungan
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s/d 07.00 WIB.
Apapun jenis pekerjaan yang diberikan harus dilaksanakan dengan rasa tanggung
jawab. Begitupula dengan para pekerja wanita meskipun dalam keadaan hamil tetap harus
mengikuti aturan yang ada. Jenis pekerjaan yang paling banyak mempekerjakan karyawan
perempuan di perusahaan garmen ini adalah bagian produksi dan gudang. Dalam melakukan
aktivitas selama 8 jam diantaranya memotong kain, menjahit, pres kain dan baju,paking bahan
dan baju. Selama 8 jam kerja yang dibagi tiga shift kerja yaitu pagi, sore dan malam serta
mendapatkan jatah istirahat satu kali selama 30 menit.
Pada variabel jenis pekerjaan hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan yang
signifikan antara jenis pekerjaan dan kejadian abortus. Nilai OR = 2,11 artinya meskipun
tidak berhubungan secara nyata namun terdapat perbedaan bahwa responden yang bekerja di
bagian gudang memiliki resiko 2 kali lebih besar mengalami abortus dari pada responden
yang bekerja di bagian produksi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Armita (2002)yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan jenis pekerjan dengan kejadian abortus.
Sesuai pernyataan responden saat di wawancara bahwa di bagian gudang sering kali
mengangkat dan mendorong barang dan lebih banyak dalam posisi berdiri. Kondisi dalam
gudang memungkinkan juga menimbulkan efek stress yang lebih tinggi di banding bagian
produksi karena kondisi ruangan lebih tertutup, sebagian besar ruangan dipenuhi oleh barang
dan seringnya keluar masuk barang ke gudang tersebut.
Dari paparan di atas sesuai dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, alangkah baiknya pekerja wanita yang sedang hamil diberlakukan kerja non
shift yaitu hanya pagi saja sehingga beban stress dan kondisi yang bisa membahayakan
kandungan dan dirinyabila bekerja waktu sore dan malam bisa dihindari. Begitu juga untuk
15  
 
mengurangi kegiatan yang sama dalam waktu yang lama dan untuk mengurangi beban
psikologis khusus untuk pekerja wanita yang hamil jatah istirahat dibagi menjadi dua termin.

Hubungan Aktivitas Kerja Dengan Kejadian Abortus


Faktor-faktor ergonomi seperti desain tempat kerja yang buruk, cenderung
menyebabkan gangguan reproduksi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Kemampuan
perempuan untuk bekerja ketika hamil tergantung karakteristik individu dan sifat dari tugas
seperti: tidak dapat berdiri lama, tidak dapat mengangkat barang berat.
Desain lingkungan kerja yang tidak ergonomi seperti: membawa beban berat, gerakan
kerja berulang, berdiri, duduk, dan berjalan yang terlalu lama berpengaruh negatif terhadap
aspek fisik termasuk berdampak langsung pada hasil reproduksi.
Perubahan fisik dan psikologi pada perempuan hamil mempengaruhi perubahan
kemampuan untuk menjalankan tugas kerja secara aman. Risiko ergonomi yang dapat
menyebabkan gangguan reproduksi antara lain:
§ Berdiri
Suatu stadi menyatakan perempuan hamil yang berdiri lebih dari 4 jam dalam satu shif
(8 jam) memiliki potensial risiko keguguran dan melahirkan bayi prematur (Henriksen
et al, 1995)
§ Duduk
Duduk yang lama akan menyebabkan kualitas dan jumlah darah yang disuplai ke uterus
secara signifikan berkurang (Sohn et al, 1989). Studi lain mengatakan bahwa duduk
yang lama akan menyebabkan ketidaknyamanan dari ibu hamil (Nicholas and Grieve,
1992)
§ Mengangkat
Dengan bertambah besar ukuran perut ibu hamil menyebabkan bertambahnya tekanan
tulang belakang bagian bawah dan beban bertambah apabila mengangkat beban berat
sehingga akan menyebabkan kontraksi uterus, abortus, lahir prematur, dan BBLR
(Teitelman et al, 1990, Paul 1993, Fourn et al, 1999)
Hasil penelitian tidak menunjukankan perbedaan yang bermakna antara duduk/berdiri
lebih dari sama dengan 4jam dan kurang dari 4 jam, begitu juga dengan
mengangkat/mendorong barang yang berat maupun ringan. Akan tetapi nilai OR = 2,81 dan
2,79 ini artinya bahwa pada duduk/berdiri lebih 4 jam dan mengangkat/mendorong barang
berat mempunyai resiko 3 kali lebih besar dibanding duduk/berdiri kurang dari sama dengan 4
jam dan mengangkat/mendorong barang ringan. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
16  
 
Armita (2002)yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktifitas kerja
dengan kejadian abortus.
Aktifitas kerja bisa sama dilihat dari beban kerja maupun waktu, namun cara
seseorang dalam melakukan pekerjaan tersebut bisa saja berbeda tergantung kebiasaan dan
perilaku yang dijalaninya selama bekerja. Sebagai contoh, cara mengangkat barang ada yang
posisi membungkuk dan ada yang posisi jongkok terlebih dahulu, keadaan ini bisa
mempengaruhi kesehatan fisik dan kondisi kehamilannya.
Selain itu kegiatan mengangkat dan mendorong barang,berat ataupun ringan barang
tersebut setiap orang berbeda-beda sehingga tidak ada batasan yang sama. Alasan lain karena
selain sebagai pekerja di perusahaan juga sebagai ibu rumah tangga di keluarga yang
melakukan aktivitas kerja yang sama yaitu mengurus rumah tangga.
Untuk mengurangi kejadian abortus atau menghindari ancaman terjadinya
abortus,perlu adanya bimbingan dari tenaga ahli bagaimana aktivitas kerja yang baik dan
benar dan mengurangi aktivitas kerja di rumah tangga dengan berbagi tugas bersama anggota
keluarga yang lain.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Kejadian abortus pada pekerja wanita di perusahaan garmen ini masih banyak
yaitu: 20% dari jumlah kehamilan.Berdasarkan jumlah abortus yang dialami
responden 77,6% mengalami kejadian abortus sedangkan yang mengalami ancaman
abortus dan kehamilannya masih bisa dipertahankan sebanyak 22,4% dari jumlah
kejadian abortus. Kehamilan yang masih bisa dipertahankan mendapatkan cuti
bekerja dan perawatan di rumah maupun di rumah sakit dengan ongkos biaya
ditanggung oleh perusahaan. Kebijakan keringanan pekerjaan pada pekerja wanita
yang mengalami ancaman abortus diberikan oleh manajemen perusahaan untuk
mempertahankan kelangsungan kehamilan sampai saat melahirkan dan menjaga
agar kondisi kesehatan reproduksi tetap aman dan sehat melalui program safe
motherhood.
2. Karakteristik pekerja wanita yang hamil dan mengalami abortus bervariasi, bila
dilihat dari umur, kelompok usia 20 – 35 tahun lebih banyak dari pada usia 35
tahun ke atas, karena kelompok usia tersebut secara keseluruhan yang paling
banyak dan merupakan kelompok usia produktif. Usia kurang dari 20 tahun hanya
beberapa orang saja karena perusahaan tidak menerima karyawan dengan usia di
17  
 
bawah umur untuk dipekerjakan.Berdasarkan paritas rata – rata kehamilan antara 2
–3, namun kehamilan ke 4 dan ke 5 masih ada. Menurut jarak kehamilan paling
banyak pada jarak kehamilan lebih dari 2 tahun.
3. Lingkungan pekerjaan di perusahaan sudah memenuhi aturan sesuai Undang-
Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja terbukti dengan adanya susunan
kepengurusan kesehatan kerja, klinik kesehatan yang berada di dalam lingkungan
perusahaan, pekerja menggunakan alat pelindung diri, setiap ruangan seperti
gedung produksi dan gudang cukup penerangan, luas dan sirkulasi udara baik.
Khusus untuk kesehatan reproduksi perusahaan mempunyai program safe
motherhood untuk melayani kehamilan di mulai pada bulan ke lima, masa
melahirkan dan nifas, masa menyusui, serta KB.
4. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari karakteristik responden hubungannya
dengan kejadian abortus 2 dari 3variabel tidak menunjukan hubungan yang
signifikan tetapi nilai OR memperlihatkan adanya perbedaan bahwa kelompok
resiko mempunyai peluang 2 sampai 3 kali lebih besar untuk mengalami abortus
dibanding kelompok tidak beresiko. Sedangkan untuk variabel jarak kehamilan
dengan kejadian abortus menunjukan adanya hubungan yang signifikan dan
kelompok resiko mempunyai peluang 8 kali lebih besar untuk mengalami abortus
dibanding kelompok tidak beresiko.
5. Hubungan antara lingkungan kerja dengan kejadian abortus berdasarkan hasil
penelitian dari dua variabel yang dianalisis tidak menunjukan hubungan yang
signifikan,tetapi nilai OR memperlihatkan bahwa kelompok resiko mempunyai3
kali lebih besar mengalami abortus dibanding kelompok tidak beresiko.

Saran
Bagi Perusahaan
1. Untuk mengurangi kejadian abortus diharapkan ada kebijakan baru tentang
pengelolaan pada pekerja wanita yang hamil. Kebijakan diberikan sejak diketahui
hamil karena pada awal kehamilan saat dimana pembentukan janin berlangsung
dan pada masa ini rentan terjadi resiko kehamilan diantaranya abortus, kelainan/
kecacatan pada bayi, persalinan prematur dan bayi BBLR.
2. Berdasarkan hasil penelitian, jarak kehamilan mempunyai resiko besar terjadinya
abortus, makin banyak anak makin dekat jarak kehamilan yang dialami. Untuk
menghindari hal tersebut perlu adanya aturan untuk menjarangkan kehamilan dan
18  
 
pembatasan jumlah anak dengan mengharuskan pekerja wanita untuk ikut
program KB dengan metode jangka panjang.
3. Untuk mengurangi aktivitas kerja dengan kegiatan yang sama dalam waktu yang
lama dan mengurangi beban psikologis khusus untuk pekerja wanita yang hamil,
bekerja non shift dan jatah istirahat dibagi dua termint.
4. Semua pekerja khususnya yang sedang hamil perlu adanya bimbingan dari tenaga
ahli bagaimana aktivitas kerja yang baik dan benar dan mengurangi aktivitas kerja
di rumah tangga dengan berbagi tugas bersama anggota keluarga yang lain.
5. Dengan melaksanakan K3 dan mengembangkan program safemotherhood lebih
kearah pencegahan sejak dini terhadap resiko diharapkan kesehatan reproduksi
akan meningkat dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan, perawatan dan
pemulihan kesehatan pekerja khususnya dengan masalah reproduksi akan lebih
berkurang.
Bagi Pekerja
1. Perlu adanya keterbukaan dari pekerja wanita sejak diketahui dirinya hamil dengan
menunjukan bukti hasil pemeriksaan dan kondisikehamilannya kepada manajemen
perusahaan untuk ditindaklanjuti sesuai kebijakan.
2. Dapat mengatur pekerjaan di rumah dengan berbagi tugas pekerjaan bersama anggota
keluarga yang lain.
3. Diharapkan mau menggunakan KB dengan menggunakan metode jangka panjang
untuk mengurangi kegagalan.
Bagi instansi Terkait
1. Adanya kebijakan yang mengatur tentang pekerja wanita hamil diberi keringanan
sejak awal kehamilan.
2. Adanya pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja di semua perusahaan di wilayah
kerja yang terus menerus dan terarah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariawan Iwan. Universitas Indonesia, FKM Jurusan Bioststistik dan Kependudukan.


1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan
2. Astuti Maya, 2011. Buku Pintar Kehamilan, Jakarta: Buku Kedokteran EGC
3. Boyle, Maureen, 2002. Kedaruratan Dalam Persalinan. Jakarta: EGC
4. Cuningham, Dkk, 1995. Obstetri William. Jakarta: EGC
5. Depkes RI 2009. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat- Kesehatan Ibu dan Anak
(PWS- KIA) Jakarta
6. Depkes RI 2001. Standar Pelayanan Kesehatan. Dirjen Binkesmas . Jakarta
19  
 
7. Fakultas Kedokteran UNPAD, Edisi ke 2, 2005, Ilmu Kesehatan Reproduksi Obstetri
Patologi, Bandung, EGC
8. FKM. Unair. Ac. Id/ s2k3/files/ mk/ dasar-dasar k3/ TENAGA KERJA WANITA &
Kes-Pro.pdf. Rabu 21 Nop 2012
9. Harrianto Ridwan. 2009. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta : EGC
10. Kementrian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
11. Kennet J Leveno 2009. Panduan Ringkas Obstetri William. Jakarta
12. Kurniawidjaja L. Meily. 2011. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta :
Universitas Indonesia
13. Manuaba Ida Ayu Candranita, Manuaba Ida Bagus Gde Fajar 2010.Ilmu Kebidanan
Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: Buku kedokteran EGC
14. Maryunani Anik dan Yulianingsih, 2009. Asuhan Kegawatdarurtan dalam Kebidanan,
Jakarta: Trans Info Media
15. Mochtar, Rostam, 1998. Sinopsis Obstetri Edisi 2. Jakarta: EGC
16. Morgan Geri dan Hamilton carelo, 2009. Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
17. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
18. Prawirohardjo Sarwono, 2011. Ilmu Kandungan, Jakarta: PT Bina pustaka
19. Rukiah dan Yulianti , 2010. Asuhan Kebidanan IV (patologi kebidanan) Jakarta: Trans
Info Media
20. Saifudin, 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
21. Sinclair Constance 2010. Buku Saku Kebidanan dan Kandungan, Jakarta: Bina Rupa
Aksara Publisher
22. Wikjosastro H 2006. Ilmu Kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
23. ---------------, 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri dan Genekologi.
Jakarta: EGC
24. ---------------, Perpustakaan Universitas Indonesia, pdf – abstrak – 85381-3 tesis Arief.
Desember 2012
25. --------------, http://Azhardini. Blogspot.Com/2013/03/Abortus inkomplet.html Maret
2013
 

Anda mungkin juga menyukai