ASMA BRONKIAL
Pembimbing:dr.Lisa, Sp.PD
Disusun oleh:
Rianda AfriliaArdiani
11.2012.273
2014
KATA PENGANTAR
Dengan ini penulis aturkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
bimbingan-Nya sehingga dapat terselesaikannya referat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam RSU Bethesda Lempuyangwangi mengenai Asma Bronkial dan Penatalaksanaanya.
Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSU Bethesda Lempuyangwangi. Penulis juga turut mengucapkan terima
kasih kepada dr. Lisa, Sp.PD yang telah banyak membantu dan membimbing dalam proses
penyusunan referat ini.
Referat mengenai Asma Bronkial dan Penatalaksanaanya, Referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
sekalian. Semoga dengan kritik dan saran yang membangun, selanjutnya dapat tersusun
referat yang lebih baik.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan referat ini. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ............................................................................................. 1
Daftar Isi ......................................................................................................... 2
BAB I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 3
2.7 Komplikasi............................................................................................
2.8 Prognosis.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan masa menopause perempuan lebih
banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula
yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar antara 5-7%.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orangdan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies inChildhood (ISAAC) pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari
4,2% menjadi 5,4%
2.2. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah
diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis
(hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan
hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya asma dibedakan menjadi dua yaitu faktor
yang menyebabkan terjadinya asma dan faktor yang memicu munculnya gejala asma. Yang
menyebabkan terjadinya asma termasuk di dalam faktor dari host (faktor primer yaitu
genetic) dan faktor yang memicu terjadinya gejala asma biasanya adalah faktor lingkungan
Faktor Penjamu
Genetik.
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan
untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran
subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma
dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut
tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa
kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28,
IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang
terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9,
CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan
sebagainya.
Obesitas
Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas ( BMI >30 kg / m2) dan pada
individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol. Asma pada pasien dengan obesitas
memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan morbiditas biasanya lebih meningkat pada
pasien dengan obesitas daripada pasien asma dengan berat badan normal. penggunaan
glukokortikosteroid sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat
mengakibatkan obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas
menyebabkan terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma
masih belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa
faktor. Telah diteliti bahwa obesiras dapat mempengaruhi fungsi dari jalan napas dan
efeknya mempengaruhi mekanisme dari paru itu sendiri, berkembangnya pro-
inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan pengaruh dari hormon atau
nerogenik. Sehingga pada pasien obesitas terjadi penurunan volume ekspirasi,
perubahan pola pernapasan ini dapat menyebabkan perubahan dari elastisitas dan
fungsi dari otot polos saluran pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator
inflamasi melalui adiposit seperti interleukin-6, (TNF)- ά, eotaxin, dan leptin,
kombinasi dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat
menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana mekanisme
sehingga mempengaruhi saluran napas.
Faktor Lingkungan
Allergen
Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk sari, spora jamur)
dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan khususnya dalam perkembangan
asma masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Infeksi
Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan fenotip
asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus memproduksi pola
gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan asma pada masa kanak-kanak.
Beberapa studi prospektif pada anak dengan RSV menunjukkan bahwa 40 % akan
berlanjut menjadi wheezing atau memiliki asma pada masa anak-anak nantinya. Namun
pada penelitian lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan
sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari
perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi yang jelas.
Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi infeksi dari cacing
tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan selanjutnya.(Iris R,2008)
Asap Rokok.
Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi pary pada individu
dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif terhadap
pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi terkontrolnya gejala
asma. Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun setelah melahirkan meningkatkan
perkembangan terjadinya asma pada usia dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit
alergi masih belum jelas. Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat
kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki
faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan gejala
wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok (perokok pasif)
meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi dan usia dini.(Anthony et
al,2008)
Exercise-Induced Asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas atau olahraga tertentu.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani
atau olahraga yang berat. Lari cepat paing mudah menimbulkan serangan asma. Seangan
asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. (Iris,2008)
Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, kemarau, bunga
(serbuk sari berterbangan).
2.3. Diagnostik
Diagnosis ditentukan dari anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada riwayat penyakit akan ditemukan batuk, sesak, mengi atau rasa berat di
dada. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang
waktu.
Anamnesis. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
Pemeriksaan Fisik :
Ekspirasi memanjang
Mengi
Hiperinflasi dada
Terkadang dapat ditemukan pernafasan cepat sampai sianosis.
Gelisah
sukar bicara
takikardi
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang asma dapat berupa Spirometri, Uji provoksi bronkus, Pemeriksaan
sputum, Uji kulit, pemeriksaan eosinofil total, pemeriksaan kadar IgE total dan spesifik
dalam sputum, Foto dada, Analisis Gas darah.
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi dan sesak nafas. Pada
awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada
perkembangan lanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih atau
purulen. Ada pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengu dinamakan cough
variant asthma.
Pada asma alergik, sering berhubungan dengan pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik
seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran nafas atau perubahan cuaca.
Pada asma akibat pekerjaan, gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik
menjelang akhir minggu. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan
bahan tersangka yang ada dilingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegkkan
diagnosis.
Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan
iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu
jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi
IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstitial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi
alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediato r sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-
kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. (Iris,2008)
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan rekasi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut,
dan SO2. Pada keadaaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik
KLASIFIKASI ASMA
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran
udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan
penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
II. Persisten
Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
tetapi < 1x/ hari APE 80% nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%
mengganggu aktiviti
dan tidur
III. Persisten
Sedang Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / seminggu * VEP1 60-80% nilai prediksi
* Serangan mengganggu APE 60-80% nilai terbaik
aktiviti dan tidur * Variabiliti APE > 30%
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE 60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai prediksi
* Sering kambuh APE 60% nilai terbaik
* Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%
( 10-25mmHg) ( >25mmHg)
Dewasa
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Emfisema Paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yangmengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan
perokok berat.Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengidan
menurunkan kemampuan jasmani
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif dulu dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada
mala hari dinamakan paroxysmal nocturnal dypsnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang bila pasien duduk.
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Emboli Paru
Gejalanya adalah berupa sesak nafas, pasien batuk-batuk yang disertai darah, myeri
pleura, keringat dingin, kejang dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
takikardi, ortopnea, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis.
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai
terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE
pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik
(% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan
mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE)
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol:
1. Glukokortikosteroid Inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman
pada dosis yang direkomendasikan.
Tabel. Dosis glukokortikosteroid inhalasi
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan,
terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada
dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di
hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus,
sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan
efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek
sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon.
2. Glukokortikosteroid Sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko
efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa
harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal
belum terkontrol , maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi
juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan
apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid
inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk
mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi
steroid oral :
prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid
minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
bentuk oral, bukan parenteral
3. Sodium kromoglikat
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast
melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta
supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Terdiri dari cromolyn dan cromones. MDI
2mg atau 5mg, inhalasi 3-4kali perhari. Nebulizer 20mg digunakan 3-4kali perhari.
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan
pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan
hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan
waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan
inhalasi .
4. Metilsantin
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( 10 mg/kgBB/ hari atau lebih); hal
itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala
gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi.
Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas.
Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering
digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik
tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam
terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar
teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek
toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi
individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15
ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping.. Perhatikan
berbagai keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil,
penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian
teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang
mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan
makrolid.
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme
kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan
bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis
glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat,
mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan
glukokortikosteroid inhalasi . Diketahui sebagai terapi tambahan
tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama . Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.
Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan
pengobatan leukotriene modifiers. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah
zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang
ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi
hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk contoh obat pelega adalah :
Agonis beta2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang
telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.
Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek
samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu
relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel
mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma . Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat
direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat
atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya
terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons
tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah
petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral..Efek sampingnya adalah rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh
lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian
inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi
inhalasi.
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Pencegahan
Pencegahan Pencegahan sensitisasi Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan
sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan
perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain
menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti
intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk
mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respon nonalergi atau modulasi sel T
regulator masih merupakan hipotesis. (Mangunnegoro,2006) Mencegah eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor
seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti
polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan
beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan
kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkam gejala dapat memperbaiki kontrol asma
serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor
lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang
harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas,
emosi-stress dan berbagai faktor lainnya.( Mangunnegoro,2006) Konsep baru
pengobatan awal- penilaian derajat Banyak penderita asma tidak diobati menurut
pedoman mutakhir, menimbulkan asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi
penderita, keluarga serta seluruh sistem perawatan kesehatan. Pemantauan dan penialaian
secara terus-menerus penting untuk keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep
baru, penanganan asma dibuat dalam 3 golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan
diatas 12 tahun, serta menggunakan 2 domain dalam evaluasi derajat
Komplikasi
1. Pneumothoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Gagal nafas
5. Bronkitis
6. Fraktur Iga