Anda di halaman 1dari 27

TRAUMA MUSKULOSKELETAL

TRESIA ELIA LAMBI


C. 18.05.010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


PANRITA HUSADA
BULUKUMBA
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu
sebab. Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga.
Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas ± 12.000 orrang per tahun
(Chairudin, 1998). Taruma yang dialami seseorang akan menyebabkan masalah-masalah
sebagai berikut.
1. Biaya yang besar untuk mengembalikan fungsi setelah mengalami trauma.
2. Resiko kematian yang tinggi.
3. Prodiktivitas menurun akibat banyak kehilangna waktu bekerja.
4. Kecatatan sementara dan permanen.
Di masyarakat, seorang perawa/Ners perlu mengetahui perawatan klien trauma
muskuloskletal yang mungkin dijumpai, baik dijalan maupun selama melakukan asuhan
keperawatan di rumah sakit. Selain itu, ia perlu mengetahui dasar-dasar penanggulan suatu
trauma yang menimbulkan masalah pada sistem muskuloskletal dengan melakukan
penanggulangan awal dan merujuk ke rumah sakit terdekat agar mengurangi resiko yang
lebih besar.
Resiko yang lebih fatal yang perlu diketahui adalah kematian. Peristiwa yang sering
terjadi pada klien dibagi dalam tiga periode waktu sebagai berikut :
1. Kematian dalam detik-detik pertama sampai menit berikutnya (50%).
Kematian disebabkan oleh laserasi otak dan pangkal otak, kerusakan sumsum tulang
belakang bagian atas, kerusakan jantung, oarta, serta pembuluh-pembuluh darah
besar. Kebanyakan klien tidak dapat ditolong an meninggal ditempat.
2. Kematian dalam menit pertama sampai beberapa jam (35%).
Kematian disebabkan oleh perdarahan subdural atau epidural, hematopneumotoraks,
robekan limpa, laserasi hati, fraktur panggul, serta fraktur multipel dengan resimo
besar akibat perdarahan yang masif.
Sebagian klien pada tahap ini dapat diselamatkan dengan pengetahuan dan
penanggulangan trauma yang memadai.
3. Kematian setelah beberapa hari ampai beberapa minggu setelah taruma (15%).
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan beberapa organ atau sepsis. Peran
perawat dalam membantu mengurangi resiko tersebut cukup besar. Resiko kegagalan
organ dan reaksi sepsis dapat dikurangi secara signifikan dengan asuhan keperawatan
yang komprehensif.
Penanggulangan klien trauma memerlukan peralatan serta keterampilan khusus yang
tidak semuanya dapat dilakukan oleh perawat, berhubung keterampilan dan
pengetahuan yang dimiliki setiap Ners bervariasi, serta peralatan yang tersedia kurang
memadai.
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan
struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi
akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi.

1.2.Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami tentang Trauma Muskuloskeletal
untuk kegiatan pembelajaran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1.Mekanisme Trauma

Menentukan mekanisme terjadinya trauma merupakan hal yang penting karena dapat
membantu kita dalam menduga kemungkinan trauma yang mungkin saja tidak segera
timbul setelah kejadian. Trauma musculoskeletal bisa saja dikarenakan oleh berbagai
mekanisme.

Ada beberapa macam mekanisme trauma diantaranya:

a. Direct injury
Dimana terjadi fraktur pada saat tulang berbenturan langsung dengan benda keras
seperti dashboard atau bumper mobil.
b. Indirect injury
Terjadi fraktur atau dislokasi karena tulang mengalami benturan yang tidak
langsung seperti frkatur pelpis yang disebabkan oleh lutut membentur dashboard
mobil pada saat terjadi tabrakan.
c. Twisting injury
Menyebabkan fraktur, sprain, dan dislokasi, biasa terjadi pada pemain sepak bola
dan pemain sky, yaitu bagian distal kaki tertinggal ketika seseorang menahan
kaki ke tanah sementara kekuatan bagian proksimal kaki meningkat sehingga
kekuatan yang dihasilkan menyebabkan fraktur.
d. Powerfull muscle contraction
Seperti terjadinya kejang pada tetanus yang mungkin bisa merobek otot dari
tulang atau bisa juga membuat fraktur.
e. Fatique fracture
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya terjadi pada
telapak kaki setelah berjalan terlalu lama atau berjalan dengan jarak yang sangat
jauh.
f. Pathologic fracture

Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang seperti kanker
yang sudah metastase.

2.2.Fraktur

2.2.1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua


bagian atau lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal disertai
krepitasi dan nyeri. Apabila terjadi fraktur maka tulang harus diimobilisasi
untuk mengurangi terjadinya cedera berkelanjutan dan untuk mengurangi rasa
sakit pasien.

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih
sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon
pada monopouse (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas


seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat
menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif
dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan secara verbal maupun
non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat
kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan
pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat,
konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan (Engram, 1999)
2.2.2. Etiologi

a. Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar


daripada daya tulang akibar trauma

b. Fraktur karena penyakit tulang seperti Tumor Osteoporosis yang disebut


Fraktur Patologis.

c. Fraktur Stress/ Fatique (akibat dari penggunaan tulang yang berulang-


ulang).

2.2.3. Tanda dan Gejala Fraktur

Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang
terlokalisir pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada yang
menggigitnya atau merasakan ada tulang yang patah. Apa yang dikatakan
pasien merupakan sumber informasi yang akurat.

Pada pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling
nyata dan dramatis juga hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan
primary survey dan lakukan tindakan penanganan trauma dan lakukan
stabilisasi jika memungkinkan.

a. Swelling
Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari
pembuluh darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang.
b. Deformitas
Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal.
c. Tenderness
Sampai palpitasi biasanya terlokalisir diatasbare trauma skeletal
yang dapat dirasakan dengan penekanan secara halus di sepanjang
tulang.
d. Krepitasi
Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang
yang lainnya. Hal ini dapat dikaji selama pemasangan splin. Jangan
berusaha untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri
trauma lebih lanjut.
e. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien
dengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap pada
posisi yang nyaman dan akan menolak menggerakannya. Bahkan
pada pasien dengan dislokasi akan menolak untuk menggerakkan
ekstremitas yang mengalami dislokasi.
f. Exposed bone ends
Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur. Periksa
pulsasi, gerakan dan sensori di bagian distal pada setiap pasien
dengan trauma musculoskeletal.

2.2.4. Jenis Fraktur


a. Fraktur Tertutup (Simple Fracture)
Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai hilangnya
integritas kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya
perdarahan internal kekompartemen jaringan dan dapat menyebabkan
kehilangan darah sekitar 500 cc tiap fraktur. Setiap sisi patahan memiliki
potensi untuk menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
laserasi pembuluh darah di dekat sisi patahan.
Fraktur tertutup biasanya disertai dengan pembengkakan dan hematom.
Strain dan sprain mungkin akan memberikan gejala seperti fraktur tertutup.
Dan karena diagnosis pasti terjadinya fraktur hanya dapat dilakukan dengan
pemeriksaan radiologi, maka berilah penanganan strain dan sprain seperti
penanganan tehadap fraktur tertutup.
b. Fraktur Terbuka (Compound Fracture)
Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang disertai gangguan
integritas kulit. Hal ini biasanya disebabkan oleh ujung tulang yang menembus
kulit atau akibat laserasi kulit yang terkena benda-benda dari luar pada saat
cedera.
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur terbuka adalah perdarahan
eksternal, kerusakan lebih lanjut pada otot-otot dan saraf serta terjadinya
kontaminasi. Sangat penting untuk mengenal adanya luka didekat fraktur
karena bisa menjadi pintu masuk dari kontaminasi kuman.
Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada penderita trauma.
Adanya luka terbuka didekat daerah yang diduga terjadi fraktur, harus
dipertimbangkan sebagai fraktur terbuka dan harus diberikan penanganan
seperti fraktur terbuka. Denyut nadi, pergerakan, sensasi dan warna kulit harus
segera dinilai dan terus dilakukan penilaian ulang secara berkala.

2.2.5. Tipe Fraktur


a. Fraktur Trasversal
Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai menembus
bagian tengah secara tegak lurus dari tulang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan langsung.
b. Fraktur Greenstick
Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan seperti dahan
yang masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada bagian luar
dari tulang perpendicular sampai batas tengah tulang.
c. Fraktur Spiral
Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan garis
frakturnya tidak rata
d. Fraktur Oblique
Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik.
e. Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
2.2.6. Prinsip Penatalaksanaan Fraktur

Kejadian fraktur jarang yang mengancam nyawa, meskipun demikian


penanganan pada kejadian yang mengancam nyawa telah dilaksanakan sampai
kondisi pasien stabil. Pertahankan jalan napas, control perdarahan, tutup luka
terbuka pada dada dan lakukan resusitasi cairan. Jika telah selesai barulah
identifikasi dan imobilisasi semua fraktur dan siapkan untuk transportasi

a. Penatalaksanaan Fraktur
 Stabilkan jalan napas.
 Kontrol perdarahan.
 Tutup sucking chest wound (luka terbuka pada dada).
 Resusitasi cairan.
 Jika ada fraktur terbuka, balut luka sebelum melakukan pembidaian
dan jangan mendorong kembali tulang yang terlihat.
 Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur termasuk sendi-
sendi, meskipun ada beberapa tulang pada fraktur yang dapat
diluruskan.
 Tourniket tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali pada
trauma amputasi atau anggota gerak yang sudah tidak dapat
diselamatkan lagi.
 Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien dan
imobilisasi sendi bagian atas dan bawah dari tulang yang fraktur.

b. Tujuan Imobilisasi
 Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi fraktur
terbuka. Hal ini mungkin terjadi jika ujung tulang yang fraktur
masih dapat bergerak bebas ketika pasien dipindahkan.
 Untuk mencegah kerusakan sekitar nervus, pembuluh darah dan
jaringan yang lain dari ujung tulang yang fraktur.
 Untuk meminimalkan perdarahan dan bengkak.
 Untuk mengurangi nyeri.

2.3. Dislokasi

2.3.1. Definisi

Dislokasi adalah keluarnya pangkal tulang dari permukaan articular,


kadang-kadang disertai dengan robeknya ligament yang seharusnya menahan
pangkal tulang agar tetap berada pada tempatnya. Persendian yang biasanya
terkenal adalah bahu, siku, panggul dan pergelangan.

2.3.2. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor
predisposisi, diantaranya :
 Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
 Trauma akibat kecelakaan
 Trauma akibat pembedahan ortoped

 Terjadi infeksi di sekitar sendi


2.3.3. Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital: terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik: akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar
sendi. Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan
oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic: kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf
rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia)
akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma
yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen,
syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
 Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri
akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
 Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka
disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder
joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering
dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya
trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
2.3.4. Tanda dan gejala
 Nyeri
 Deformitas
 Paralisis
 Hilangnya pulsasi (jika tekan nervus dan pembuluh darah).

Pada kebanyakan kasus pada pasien dengan fraktur atau dislokasi


selalu cek nadi, kekuatan otot dan sensasi (pulsasi, motorik dan sensorik) pada
bagian distal daerah yang terluka. Hilangnya pulsasi berarti ekstremitas dalam
keadaan yang membahayakan dan transportasi ke rumah sakit seharusnya
tidak ditunda. Informasikan terlebih dahulu ke rumah sakit yang akan dituju
agar petugas dan dokter bedah tulang telah siap ketika pasien tiba.

2.3.5. Patofisiologi

Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus


terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid
teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang
prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan
luksasio erekta (dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh
membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid).

2.3.6. Komplikasi
a. Komplikasi Dini
 Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil
yang mati rasa pada otot tesebut.
 Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.\
 Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut.
 Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien
yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi.
 Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek
atau
 Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
 Kelemahan otot

2.3.7. Penatalaksanaan Dislokasi


Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi adalah imobilisasi pasien
pada posisinya saat pertama kali ditemukan. Jangan coba meluruskan atau
mengurangi dislokasi kecuali jika ada seorang ahli. Lakukan imobilisasi pada
bagian atas dan bawah sendi yang dislokasi untuk menjaga kestabilan waktu
transport.
Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada ektremitas
bawah adalah dislokasi pada lutut, sedangkan dislokasi pada pergelangan,
siku, bahu, panggul an pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3 jam
tanpa adanya bahaya kerusakan permanen.

Bagaimanapun juga ketika menolong pasien dengan dislokasi lutut dan


tidak ada pulsasi pada bagian distal. Maka harus dikoreksi dalam waktu 1 atau
2 jam setelah terjadi trauma. Dan seharusnya waktu sejak terjadinya
kecelakaan hingga sampai ke rumah sakit tidak lebih dari 1 jam.

2.4. Sprain

2.4.1. Definisi

Sprain adalah injuri dimana sebagian ligament robek, biasanya


disebabkan memutar secara mendadak dimana sendi bergerak melebihi batas
normal. Organ yang sering terkena biasanya lutut, dan pergelangan kaki, cirri
utamanya adalah nyeri, bengkak dan kebiruan pada daerah injuri.

Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya tidak


disertai deformitas. Bagaimanapun juga lebih bail lakukan penanganan sprain
seperti penanganan fraktur lalu imobilisasi. Biarkan sendi yang mengalami
sprain pada posisi elevasi dan berikan kompres dingin jika mungkin.

2.4.2. Etiologi
 Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang
normal, seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.
 Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari
posisi normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.

2.4.3. Manifestasi klinis


 Nyeri
 Inflamasi/peradangan
 Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.

2.4.4. Tanda Dan Gejala


 Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
 Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
 Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
 Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan
2.4.5. Patofisiologi
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau
mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan
dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament
pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya
tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner
& Suddart,2001: 2357)
2.4.6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Riwayat:
 Tekanan
 Tarikan tanpa peredaan
 Daya yang tidak semestinya
b. Pemeriksaan Fisik :
 Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal .

2.4.7. Penatalaksanaan
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
b. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan
nyeri dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg
peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
c. Elektromekanis.
 Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C
 Pembalutan / wrapping eksternal. Dengan pembalutan, cast atau
pengendongan (sung)
 Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
 Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat
dan perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari
tergantung jaringan yang sakit.
 Penyangga beban. Menghentikan penyangga beban dengan
penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang
sakit.
2.5. Strain

2.5.1. Definisi

Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlabihan, peregangan


berlebihan, atay stres yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak
komplet dengan perdarahan kedalam jaringan (Brunner & Suddart, 2001: 2355
).

Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot di
sekitar sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada deformitas
atau bengkak. Strain lebih baik ditangani dengan menghilangkan beban pada
daerah yang mengalami injuri.

Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas dan
evaluasi dilanjutkan di ruang gawat darurat.

2.5.2. Etiologi

 Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak,


seperti pada pelari atau pelompat.
 Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara
mendadak.
 Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan
yang berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis
(peradangan pada tendon).

2.5.3. Manifestasi Klinis


Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
 Nyeri
 Spasme otot
 Kehilangan kekuatan
 Keterbatasan lingkup gerak sendi.
 Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena
penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan :
 Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain tennis
bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang
terus-menerus dari servis yang berulang-ulang.

2.5.4. Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung
(impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik
pada arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi
,otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci
paha),hamstring (otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot
yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera kontusio dan membengkak
(Chairudin Rasjad,1998).

2.5.5. Klasifikasi Strain


 Derajat I/Mild Strain (Ringan)
Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad,1998).
a. Gejala yang timbul :
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot
b. Tanda-tandanya :
 Adanya spasme otot ringan
 Bengkak
 Gangguan kekuatan otot
 Fungsi yang sangat ringan
c. Komplikasi
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
d. Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun
tanda perdarahan yang besar.
e. Terapi
Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat,kompresi
dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan
otot.
 Derajat II/Medorate Strain (Ringan)
Derajat ii/medorate strain (ringan) yaitu adanya cidera pada unit
muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan.
a. Gejala yang timbul
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot
 Spasme otot sedang
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b. Komplikasi sama seperti pada derajat I :
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
c. Terapi :
 Immobilisasi pada daerah cidera
 Istirahat
 Kompresi
 Elevasi
d. Perubahan patologi :
Adanya robekan serabut otot
 Derajat III/Strain Severe (Berat)
Derajat III/Strain Severe (Berat) yaitu adanya tekanan/penguluran
mendadakyang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament
yang menghasilkan ketidakstabilan sendi.
a. Gejala :
 Nyeri yang berat
 Adanya stabilitas
 Spasme
 Kuat
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan fungsi otot
b. Komplikasi :
Distabilitas yang sama
c. Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
d. Terapi:
Imobilisasi dengan kemungkinan pembedahan untuk
mengembalikanfungsinya.

2.5.6. Manifestasi Klinis


 Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi otot
 Nyeri mendadak
 Edema
 Spasme otot
 Haematoma

2.5.7. Komplikasi
 Strain yang berulang
 Tendonitis
2.5.8. Penatalaksanaan
 Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
 Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol
pembengkakan.
 Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering diberikan
secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan
edema dan ketidaknyamanan.
 Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam sedangkan mati rasa
biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung
selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin
untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan
memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan perawatan
konservatif.

2.6. Kontusio
2.6.1. Definisi
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis : pukulan,
tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan pada
kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah,
sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya (Morgan, 1993:
63)

2.6.2. Etiologi
 Benturan benda keras.
 Pukulan.
 Tendangan/jatuh
2.6.3. Manifestasi Klinis
 Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) karena rupture pembuluh
darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur.
 Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
 Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan
kehilangan darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).

2.6.4. Gejala
 Nyeri
 Bengkak
 Perubahan warna
 Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning, sekitar satu
minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan terbatas.
 Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau ungunya
beberapa hari setelah terjadinya cedera.
 Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit. \
 Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang terbatas
disebut hematoma.
 Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang
menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191)

2.6.5. Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada
kerusakan kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih rentan
rusak dibanding orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah akan keluar dari
pembuluhnya ke jaringan, kemudian menggumpal, menjadi Kontusio atau biru.
Kontusio memang dapat terjadi jika sedang stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga
bisa membuat darah mudah menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut
menurun (Hartono Satmoko, 1993: 192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalami fagositosis dan didaur
ulang oleh makrofag. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio merupakan
hasil reaksi konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih lanjut bilirubin akan
dikonversi menjadi hemosiderin yang berwarna kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap
mengalir dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh
darah, jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme pembekuan darah
yang harus baik. Pada purpura simplex, penggumpalan darah atau pendarahan akan
terjadi bila fungsi salah satu atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono
Satmoko, 1993: 192).

2.6.6. Penatalaksanaan
 Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman.
 Tinggikan daerah injury.
 Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap
pemberian) untuk vasokonstriksi, menurunkan edema, dan menurunkan rasa
tidak nyaman.
 Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam prtama (20-30
menit) 4 kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi.
 Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak.
 Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada indikasi
(Brunner & Suddart,2001: 2355).
 Menurut Agung Nugroho (1995: 53) penatalaksanaan pada cedera kontusio
adalah sebagai berikut:
 Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan
kapiler.
 Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan
jaringan-jaringan lunak yang rusak.
 Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan
berikutnya.

2.7. Asuhan Keperawatan Pada Klien Trauma Muskuloskeletal


2.7.1. Pengkajian
a. Identitas pasien.
b. Keluhan Utama.
Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan mobilitas /
ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat penyakit sekarang
 Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau setelah
berolah raga.
 Daerah mana yang mengalami trauma.
 Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
e. Riwayat Penyakit Dahulu.
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau mengalami
trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya
f. Riwayat Penyakit Keluarga.\
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
g. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi : Kelemahan, Edema, Perdarahan perubahan warna kulit,
Ketidakmampuan menggunakan sendi.
 Palpasi : Mati rasa
 Auskultasi
 Perkusi
h. Pemeriksaan Penunjang
Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk membedakan
dengan patah tulang.
2.8. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( peregangan atau kekoyakan pada
otot, ligament atau tendon)
Dibuktikan dengan :
Gejala dan tanda mayor
DS : mengeluh nyeri
DO : tampak meringis
bersikap protektif ( posisi menghindar nyeri)
Gelisah
Frekuensi nadi meningkat
Sulit tidur
Gejala dan tanda Minor
DS : -
DO : tekanan darah meningkat
Pola napas berubah
Nafsu makan berubah
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
(ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon)
Dibuktikan dengan :
Gejala dan tanda mayor
DS : mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
DO : kekuatan otot menurun
Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan tanda minor
DS : nyeri saat bergerak
Enggan melakukan pergerakan
Merasa cemas saat bergerak
DO : sendi kaku
Gerakan tidak terkoordinasi
Gerakan terbatas
Fisik lemah
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
Dibuktikan dengan :
Gejala dan tanda mayor
DS : menolak melakukan perawatan diri
DO : tidak mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/ berhias secara
mandiri
Gejala dan tanda minor
DS : -
DS : -

2.9 Intervensi Keperawatan


1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( peregangan atau kekoyakan pada
otot, ligament atau tendon)
Ditandai dengan :
Gejala dan tanda mayor Gejala dan tanda minor
DS : mengeluh nyeri DS : -
DO : tampak meringiss DO : tekanan darah meningkat
Bersikap protektif( posisi Pola napas berubah
menghindar nyeri) Nafsu makan berubah
Gelisah
Frekuensi nadi meningkat
Sulit tidur

Intervensinya :
Intervensi utama Intervensi pendukung
Observasi : Observasi :
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, - Identifikasi kontraindikasi kompres dingin
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri Terapeutik:
- Identifikasi faktor yang memperberat dan - Pilih metode kompres yang nyaman dan
memepringan nyeri mudah didapt
- Lakikan kompres dingin pada daerah cidera
Terapeutik :
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk Edukasi :
mengurangi rasa nyeri - Jelaskan prosedur penggunaan kompres
- Fasilitasi istirahat dan tidur dingi
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri
Edukasi :
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategis meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandi
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian analgetik

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot


(ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon)
Ditandai dengan :
Gejala dan tanda mayor Gejala dan tanda minor
DS : mengeluh sulit menggerakkan DS : nyeri saat bergerak
ekstremitas Enggan melakukan pergerakan
Merasa cemas saat bergerak

DO : kekuatan otot menurun DO : sendi kaku


Gerakan tidak terkoordinasi
Rentang gerak (ROM) menurun Gerakan terbatas
Fisik lemah

Intervensinya :

Intervensi utama Intervensi pendukung


Observasi : Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik - Monitor secara berkala untuk memastikan
lainnya otot rileks
- Monitor kondisi umum selama melakukan
mobilisasi Terapeutik:
- Beri waktu mengungkapkan perasaan
Terapeutik : tentang terapi
- Libatkan keluarga untuk bantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan Edukasi :
- Anjurkan fokus pada sensasi otot yang
Edukasi : relaks
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi - Anjurkan bernapas dalam dan perlahan
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
Ditandai dengan :
Gejala dan tanda mayor Gejala dan tanda minor
DS : menolak melakukan perawatan diri DS : -

DO : tidak mampu mandi/mengenakan DS : -


pakaian/makan/ke toilet/ berhias
secara mandiri

Intervensinya :

Intervensi utama Intervensi pendukung


Observasi : Observasi :
- Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri - Identifikasi faktor resiko jatuh
sesuai usia - Monitor kemampuan berpindah dari tempat
- Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan tidur ke kursi roda dan sebaliknya
diri, berpakaian, berhias, dan makan
Terapeutik:
Terapeutik : - Orientasikan ruangan pada pasien dan
- Sediakan lingkungan yang terapeutik keluarga
- Jadwalkan rutinitas perawatan diri - Gunakan alat bantu berjalan
Edukasi : Edukasi :
- Anjurkan melakukan perawtan diri secara - Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga
konsisten sesuai kemampuan keseimbangan tubuh

Anda mungkin juga menyukai