Anda di halaman 1dari 19

KONSEPSI POTENSI MANUSIA

(di Tinjau dari Perspektif Islam)


Oleh : Imam Faqih

Abstrak

Potensi manusia menurut pendidikan Islam adalah manusia telah dibekali


dengan potensi dasar berupa jasmani (pendengaran, penglihatan), akal, ruh yang
masih perlu pengembangan untuk bekal hidupnya semenjak kelahirannya.
Perkembangan ini dipengaruhi oleh lingkungan keluarga masyarakat, sekolah.
Proses pengembangan ini akan berlangsung seumur hidup dan bertujuan untuk
menghambakan diri kepada Allah SWT. Jadi potensi dasar tersebut dipengaruhi
oleh lingkungan (faktor eksternal). Dalam proses pengembangan potensi
pendidikan Islam juga meletakkan prinsip kebebasan dan demokrasi yang
memungkinkan manusia untuk berkreasi mengembangkan potensinya, akan tetapi
kebebasan ini terikat dengan norma atau aturan yang berlaku di lingkungan
masyarakatnya dan norma agama.

Kata Kunci : Potensi, akal, ruh, lingkungan

A. PENDAHULUAN
Negara-negara berkembang mengadopsi sistem pendidikan dari luar
seringkali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem
pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena
seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan.
Jika kita terus melangkah dengan cara mengemas pendidikan,
pembelajaran dan belajar seperti sekarang ini, kita akan bertemu dengan
peserta didik yang cenderung bertindak kekerasan, pemaksaan kehendak, dan
pemerkosaan nilai-nilai kemanusiaan. Masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia sekarang ini merupakan ekspresi dari keadaan di atas. Masalah-
masalah tersebut tidak tumbuh dari keadaan yang biasa, seperti masalah
politik, hukum, sosial, ekonomi, kepercayaan dan lain-lain. Banyak usaha
telah dilakukan untuk menata dan menstruktur kembali pola kehidupan
masyarakat, namun hasil yang didapat belum seperti yang diharapkan.1
Prilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus
keseragaman. Hal ini disebabkan oleh orientasi pendidikan kita cenderung

1
C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). 1-2

50
memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek, guru sebagai
pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator. Orientasi pendidikan
yang kita pergunakan itu menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir
diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah. Proses belajar mengajar
didominasi oleh tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran
sebanyak mungkin guna menghadapi ujian atau tes dimana pada kesempatan
tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan2, sehingga
anak didik tercerabut dari realitas sosialnya.
Sistem pendidikan yang dianut bukan lagi suatu upaya pencerdasan
kehidupan bangsa agar mampu mengenal realitas diri dan dunia nya,
melainkan suatu upaya perbuatan kesadaran yang disengaja dan terencana
yang menutup proses perubahan dan perkembangan. Teori stimulus-respon
yang sudah bertahun-tahun dianut dan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran, tampak sekali mendukung sistem pendidikan di atas. Teori ini
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.3
Aliran progresivisme yang mempengaruhi sistem pendidikan di
Indonesia merupakan sebuah aliran pendidikan yang lahir dari kandungan
masyarakat barat yang tentu saja memiliki basis ontologis dan epistimologis
khas barat (sekuler) dan belum tentu sesuai dengan masyarakat timur (Islam).
Akan tetapi kita tidak bisa terlepas dari pengaruh filsafat pendidikan modern
yang banyak dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan di bidang
pendidikan diantaranya pada awal orde baru dikembangkan model sekolah
pembangunan (masih pilot proyek), dalam proses belajar mengajar
dikembangkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI),
kemudian CBSA dan Sistem Kredit Semester (SKS). Di era reformasi salah
satu upaya reformasi pendidikan ialah diberlakukannya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK).4
Dengan membanjirnya ideologi-ideologi pendidikan kontemporer
barat yang hampir semua berlatar filsafat pendidikan sekuler yakni

2
Zamroni, Paradigma Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 2000) .
36
3
C. Asri Budiningsih, belajar dan pembelajaran,4
4
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005) . 7

51
liberalisme dan pragmatisme dan pengaruhnya di negeri kita cukup besar,
apakah tidak seyogyanya Islam yang syarat nilai transendental, universal dan
memenuhi hajat hidup manusia dapat mewarnai ideologi pendidikan barat
tersebut, salah satunya adalah progresivisme John Dewey yang dapat
disintesakan dengan konsep potensi manusia.
Di dalam benturan peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi
pergumulan ideologi dunia. Islam sebagai agama dunia yang sarat dengan
nilai-nilai universal dan transcendental yang diyakini oleh pemeluknya
sebagai kebenaran mutlak seharusnya dapat ditawarkan sebagai paradigma
ideologi dalam rangka membangun peradaban alternatif.
Maka dari itu di tengah-tengah munculnya semangat Islam progresif
saat ini yang berorientasi Islam liberal dan humanis perlu adanya acuan yang
bertolak dari nilai-nilai dasar Islam yang sejatinya sangat humanis, sehingga
semangat Islam progresivisme tidak kehilangan akar akidahnya.

B. PENGERTIAN POTENSI ATAU FITRAH MANUSIA


Sebelum memberikan definisi dari fitrah manusia perlu diketahui
proses penciptaan manusia yang dapat dilihat pada surat al-Mukminun ayat
12-14 yang berbunyi:

21 21

Artinya: "Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari


suatu saripati (berasal )dari tanah ,kemudian kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan)dalam tempat yang kokoh (rahim),kemudian air mani
itu kami jadikan segumpal darah, laku segumpal darah itu kami jadikan
daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu kami bungkus dengan daging, .kemudian kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain". 5
Jika dilihat dari proses kejadian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa proses kejadian manusia secara fisik setelah Melalui berbagai evolusi

5
Departemen Agama RI, Al Qur'an Dan Terjemahannya, (Surabaya:Mahkoa,1990), 527

52
tersebut, kemudian lahir menjadi makhluk yang berbentuk lain, yang menurut
istilah al Quran di sebut sebagai khalqan akhar. Menurut ibnu katsir yang di
maksud " tsumma ansya'naahu khalqan akhar " adalah kemudian Tuhan
meniupkan ruh ke dalam diri manusia sehingga ia bergerak dan menjadi
makhluk lain(berbeda dengan sebelumnya) yang memiliki pendengaran,
penglihatan, indera yang menangkap pengertian, gerakan dan sebagainya.6
ada lima tahap yaitu :1) nutfah. 2) 'alaqoh 3) mudlghah atau pembentuk
organ-organ penting 4) 'idham (tulang) 5) lahm (daging).7
Hal ini telah di isyaratkan oleh Allah dalam al Quran surat al-Sajdah
ayat 9 yang berbunyi:

9
Artinya: "Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuh) nya roh (ciptaan) nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur".8 (Q.S. Al-
Sajdah: 9)
Apabila di lihat dari paparan di atas tentang proses penciptaan
manusia dapat di katakan bahwa manusia diciptakan Allah dalam struktur
yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri
dari unsur jasmaniah dan rohaniah yang di dalamnya mengandung
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang,
dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi sedangkan dalam Islam di
sebut fitrah.
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan
ansya'a digunakan dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan pengertian mencipta
sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue
print) yang perlu penyempurnaan. Kata-kata yang biasanya digunakan dalam
Al-Qur'an untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar
ciptaan-Nya atau melengkapi ciptaan itu adalah kata ja'ala yang artinya

6
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir III, (Beirut: Dar al-Fikr), 241
7
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2002), 20-21
8
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahya, 661

53
menjadikan, yang diletakkan dalam satu ayat setelah kata khalaqa dan ansya'a
perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan manusia.9 Misalnya:

03
Artinya:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.".10 (QS. Ar-Ruum: 30)

10

Artinya: katakanlah: " dialah yang menciptakan kamu dan


menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati " (tetapi) amat
sedikit kamu bersyukur.11 (Qs. al-Mulk: 23)

Dari kedua ayat tersebut dapat di pahami bahwa:


Pertama, penciptaan manusia yang menggunakan kata khalaqa dan
ansya'a merupakan pernyataan pendahuluan yang belum final. Penciptaan
baru lengkap dan sempurna setelah diikuti kata ja'ala.
Kedua, penciptaan yang menggunakan kata fathara berarti penciptaan
yang sudah final, manusia tinggal melaksanakan atau mewujudkannya.
Ketiga, pernyataan Allah setelah kata ja'ala menunjukkan potensi
dasar yang merupakan bagian integral dari fitrah manusia seperti
pendengaran, penglihatan, akal pikiran sebagai SDM, berbangsa bangsa dan
bersuku-suku sebagai potensi sosial.12
Ayat di atas menghubungkan makna fitrah dengan agama Allah (din).
Hubungan fitrah dengan din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling
melengkapi keduanya.
Selain pengertian di atas mengenai hakekat makna fitrah, ada
pengertian yang lebih rinci yang berasal dari surat al a'raf ayat 172 yang
berbunyi:

9
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, 41
10
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, 645
11
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya, 957
12
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, 42

54
271
Artinya:
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keEsaan Tuhan)".13 (QS. Al-A'raf: 172)
Ayat di atas membuktikan bahwa Allah menjanjikan kepada manusia
agar mengakui Allah sebagai tuannya dan sesembahanNya. Namun kapan dan
bagaimana perjanjian itu dibuat?
Satu tafsiran mengatakan, bahwa Allah mengeluarkan keturunan anak
Adam dari sulbi Bapak-Bapak mereka. Sedang tafsir lain menunjukkan yang
dimaksud dengan anak cucu Adam adalah dari Adam itu sendiri. tafsiran
pertama, melukiskan ayat sama untuk mendukung pandangannya, yakni ayat
yang mengatakan "dari sulbi mereka" bukan "dari sulbinya". Secara implisit
ini mengatakan termasuk juga selain Adam. Tafsiran kedua, menjelaskan
adanya hadits-hadits Nabi yang menunjukkan Adam sendirilah yang
digambarkan berkesinambungan. Sebagian mengakui bahwa keturunan
manusia menerima Islam setelah melukiskan keturunannya. Maka, menurut
mereka, fitrah itu berarti Islam sedangkan penafsiran lainnya membatasi
makna fitrah kepada tauhid.
Dua penafsiran fitrah di atas sudah jelas, namun kedua penafsiran itu
membentuk penafsiran ketiga yang agaknya berbeda pandangannya. Fitrah
menurut penafsiran ketiga ini adalah bentuk yang diberikan kepada manusia
pada saat penciptaannya dahulu. Adapun manusia harus mengarahkan fitrah
itu kepada iman billah. Pandangan ini didasarkan kepada alasan Al-Qur'an.
Ibnu Qayyum menyelipkan sebuah pernyataan: manusia menerima Islam itu
adalah sama dengan jalan yang ditempuh seorang anak kecil yang menerima

13
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya., 250

55
dan mengakui ibunya. Sesuai dengan pandangan ini, manusia bukanlah sudah
muslim semenjak lahirnya, melainkan telah dibekali potensi-potensi yang
memungkinkannya menjadi muslim.
Ketiga penafsiran di atas nampaknya berselisih pendapat mengenai
bagaimana Allah menjadikan manusia diberi ketentuan baik bergantung
kepada pengakuan ke-Esaan-Nya. Sekalipun demikian, tingkah laku dan
perbuatan yang dihasilkan ternyata tidak ada bedanya. Kesamaan ketiga
penafsiran itu menunjukkan bahwa manusia mempunyai kecenderungan
beragama. Sebab-sebab yang mengarahkan manusia untuk tidak beriman
kepada Allah itu terjadi di luar dirinya, bukan berasal dari kondisi di dalam
dirinya.14
Dalil-dalil lainnya yang dapat diinterpretasikan untuk mengarahkan
fitrah diantaranya:
1. QS. An-Nahl: 78

77
Artinya:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.".15 (QS. An-Nahl: 78)

Menurut Dr. Muhammad Fadhil al-Dimyati, firman Allah di atas


menjadi petunjuk bahwa kita harus melakukan usaha pendidikan aspek
eksternal (mempengaruhi dari luar diri anak didik). Dengan kemampuan yang
ada pada diri anak didik yang dipengaruhi oleh faktor eksternal yang
bersumber dari fitrah itulah maka pendidikan secara operasional bersifat
hidayah (menunjukkan).
Dalam surat al-Alaq ayat 3-4 dinyatakan oleh Allah sebagai berikut:
1 0

14
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994). 58-60
15
Departeman Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya , 413

56
Artiya:
"Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam.".16 (QS. Al-Alaq: 3-4)
Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui
belajar, niscaya tidak akan dapat mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan
bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan akhirat.
Pengaruh dari luar manusia terhadap fitrah sebagaimana terdapat
dalam sabda Nabi SAW riwayat Abu Hurairah dapat disimpulkan sebagai
berikut:

Artinya:
"Tidaklah anak dilahirkan kecuali dilahirkan atas dasar fitrah, maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebgai Yahudi atau Nasrani dan
majusi."17 (HR. Abu Hurairah)

Fitrah dalam hadits tersebut diartikan sebagai faktor pembawaan sejak


lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan ia tak akan dapat
berkembang sama sekali bila tanpa adanya pengaruh lingkungan.
Dari interpretasi tentang fitrah di atas, meskipun fitrah dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidak lah netral
terhadap pengaruh tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam proses
perkembangannya, terjadi interaksi (saling mempengaruhi) antara fitrah dan
lingkungan sekitar, sampai akhir hayat manusia.
2. QS. Asy-Syams ayat 7-10

23 7
Artinya:
"Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan

16
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya, 1079
17
Al Imam Zainuddin Ahmad Bin abdul Latif Az Zabidi Terjemah Cecep Samsul Hari,
Ringkasan shahih al bukhori(Bandung: Mizan, 1997), 273.

57
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.".18 (QS. Asy-Syams: 7-
10)

Atas dasar ayat tersebut di atas bahwa dalam fitrah, manusia telah
diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang salah. Berfikir
benar dan sehat merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan
melalui pendidikan dan latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut, kita dapat mengatakan bahwa
pengaruh faktor lingkungan yang sengaja adalah pendidikan dan latihan
berproses interaktif dengan kemampuan fitrah manusia.
Dalam pendidikan Islam, hidayah Allah menjadi sumber spiritual
sebagai penentu keberhasilan terakhir dari proses ikhtiariah manusia dalam
pendidikan.19
Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan
slam yang telah memberikan makna terhadap istilah fitrah maka dapat
diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar
perkembangan manusia yang dianugerahkan Allah kepada manusia,
komponen-komponen potensial fitrah tersebut adalah:
a. Kemampuan dasar untuk beragama Islam (ad-dinul qayyimah),
dimana faktor iman merupakan inti beragama manusia. Muhammad Abduh,
Ibnu Qayyim, Abu A'la al-Maududi berpendapat sama bahwa fitrah
mengandung kemampuan asali untuk beragama Islam, karena Islam adalah
agama fitrah atau identik dengan fitrah. sedangkan Al-Fikry lebih
menekankan para peranan hereditas dari Bapak Ibu yang menentukan
keberagamaan anaknya. Faktor keturunan psikologis orang tua merupakan
salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia itu.
b. Muwahib (bakat) dan qabiliyat (tendensi atau kecenderungan) yang
mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian, fitrah
mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena
iman bagi seorang mukmin merupakan élan vitale (daya penggerak utama)

18
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya, 1064
19
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) . 44-45

58
dalam dirinya yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran hakiki
dari Allah.
c. Naluri dan kewahyuan (revilasi). Menurut Prof. Dr. Hasan
Langgulung, fitrah dapat dilihat dari dua segi, yakni: pertama, segi naluri, dan
yang kedua, dapat dilihat dari segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada
Nabi-Nabi-Nya. Jadi, potensi manusia dan agama wahyu itu merupakan satu
hal yang tampak dalam dua sisi; ibarat nya mata uang logam yang
mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang itulah kita ibaratkan fitrah.
Pof. Dr. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan (asma al-
husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. tetapi bila
dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya
berjuta-juta macam.20
d. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya
sebatas pada agama Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik
menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi. Namun lebih dari pada itu
tidak mungkin manusia terdidik menjadi atheis. Pendapat ini diikuti oleh
banyak ulama Islam yang berfaham mu'tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu
Khaldun.
e. Dalam fitrah, tidak ada komponen psikologis apapun, karena fitrah
diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci, bersih yang terbuka kepada
pengaruh eksternal, yang dalam hal ini pada wilayah pendidikan.
Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau respon (jawaban) terhadap
pengaruh dari luar tidak terdapat dalam fitrah.21
Adapun diantara aspek-aspek fitrah yang saling mempengaruhi antara
satu aspek dengan aspek lainnya ialah:
a. Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang
dibawa sejak lahir. Hal itu berpusat pada potensi dasar untuk
berkembang.

20
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan, (Jakarta: Bintang Ilmu,
1998) , 36
21
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam., 49

59
b. Potensi dasar tersebut berkembang secara menyeluruh (integral) yang
menggerakkan seluruh aspek-aspeknya secara mekanistik satu sama
lain saling mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
c. Aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis,
responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh
pendidikan. Komponen dasar tersebut meliputi:
1. Bakat, yang bisa dikategorikan sebagai suatu kemampuan
pembawaan yang potensial mengacu pada perkembangan
kemampuan ilmiah dan keahlian dalam berbagai bidang.
2. Insting atau gharizah, adalah kemampuan berbuat tanpa melalui
proses belajar.
3. Nafsu dan dorongan-dorongannya. Dalam tasawuf dikenal adanya
nafsu-nafsu lawwamah yang mendorong ke arah perbuatan
mencela, nafsu amarah yang mendorong ke arah perbuatan
merusak, nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan
seksual, nafsu mutmainnah yang mendorong ke arah ketaatan
kepada Tuhan.
4. Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis
yang terbawa sejak kelahirannya.
5. Hereditas atau keturunan
6. Intuisi, adalah kemampuan psikologis untuk menerima ilham
Tuhan.22

C. POTENSI YANG DIMILIKI MANUSIA


Sebelum membahas tentang potensi yang di miliki manusia penulis
ingin mengantarkanya terlebih dahulu dengan penjelasan tentang hakekat
manusia menurut Islam, yaitu:
1. Manusia Sebagai Makhluk Jasmani Dan Rohani
Jasad manusia asal mulanya dari tanah, setelah berproses menjadi
bentuk manusia dalam Al-Qur'an disebut basyar yakni makhluk fisik

22
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam., 48-50

60
biologis. Kebaikan dan kesempurnaannya itu dapat ditinjau dari susunan
organ tubuh manusia, terutama susunan syaraf otaknya yang berfungsi
sebagai adaptasi dan koordinasi dari semua rangsangan yang diterima oleh
panca indera.
Setelah pembentukan fisik mendekati sempurna dalam bentuk
janin, Allah meniupkan rohnya kepada manusia, maka sejak itu pula
makhluk itu benar-benar menjadi makhluk jasmani dan rohani yang mulia
sehingga para malaikat pun diperintahkan untuk tunduk kepada manusia.
Adapun tanda-tanda kemuliaan itu tampak dalam tujuan penciptaan
yang diberikan dari berbagai sumber daya yang merupakan kelengkapan
kehidupan sekitar. Namun semua itu merupakan potensi yang baru bisa
berarti setelah dikembangkan, diaktualisasikan melalui proses pendidikan.
2. Manusia Makhluk Yang Suci Ketika Lahir
Manusia di katakan sebagai makhluk yang suci ketika lahir di
karenakan ruh manusia berasal dari zat yang maha suci (al-qudus), karena
itu manusia sejak lahir sudah memiliki model kesucian dan anak yang lahir
tidak membawa dosa turunan.
Menurut konsep Islam tidak ada seorangpun yang memikul dosa
orang lain, disamping itu pula manakala dikaitkan dengan kekhalifahan
Nabi Adam diturunkan ke bumi bukan dengan membawa dosa tetapi
membawa hikmah besar dalam rangka merealisasikan kekhalifahannya di
bumi.
Meskipun manusia suci ketika lahir bukan berarti ia tidak memiliki
potensi apa-apa akan tetapi telah dibekali potensi dasar yang masih perlu
di kembangkan sehingga Pandangan yang menyamakan fitrah dengan teori
"tabula rasa" nya John Locke, yang menyatakan bahwa manusia lahir
tanpa membawa bakat atau potensi apapun perlu diluruskan. karena
Menurut Islam justru dengan fitrah itulah manusia memiliki potensi dasar,
bahkan dilengkapi dengan sumber daya manusia, meskipun semuanya
masih tergantung pada proses pengembangannya.
3. Manusia Makhluk Etis Religius

61
Sebagai makhluk yang suci ketika lahir manusia dibekali fitrah
beragama, ia akan selalu dibimbing Tuhan kepada agama yang sesuai
fitrahnya yaitu agama tauhid. Agama tauhid ini tidak terbatas pada Islam
saja akan tetapi juga termasuk agama-agama yang lain. Oleh karena itu
manusia yang tidak beragama tauhid merupakan penyimpangan atas
fitrahnya.
Selain dibekali fitrah beragama manusia juga dibekali fitrah
bermoral mendorongnya untuk selalu berkomitmen terhadap nilai-nilai dan
norma yang berlaku. Maka dari itu manusia yang paling jahat sekalipun
akan lebih suka pada orang yang memiliki etika daripada yang tidak
beretika, walaupun dirinya tidak mampu melakukannya.
Dalam Islam naluri etik (fitrah bermoral) tidak dapat dipisahkan
dengan naluri beragama (fitrah beragama) karena Etika moral atau akhlak
merupakan esensi dari agama. Sedangkan Islam sebagai agama fitrah tidak
hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, termasuk sumber daya
manusianya sehingga akan membawanya kepada keutuhan dan
kesempurnaan pribadinya.23
Berdasarkan pada hakekat manusia di atas dapat dikatakan bahwa
manusia sejak lahir memiliki potensi. Berkaitan dengan potensi yang di
miliki manusia Al-Qur'an memperkenalkan dua kata kunci untuk
memahami manusia secara komperehensif. Kedua kata kunci tersebut
adalah kata al insan dan al basyar. Kata insan yang bentuk jamaknya al
nas dari segi semantik berasal dari kata anasa yang mempunyai arti
melihat, mengetahui minta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung
petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan
nalar, yakni dengan penalaran nya itu manusia dapat mengambil pelajaran
dari apa yang di lihat nya , ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan
apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin sesuatu yang bukan
milik nya.pengertian ini menunjukkan adanya potensi untuk dapat di didik
pada diri manusia (makhluk yang dapat di beri pelajaran atau pendidikan).

23
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, 46 - 47

62
Selanjutnya kata insan jika di lihat dari asal katanya nasiya yang
berarti lupa, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara manusia dengan
kesadaran dirinya. Sedangkan di lihat dari asal kata al uns atau anisa dapat
berarti jinak. Kata al insan dan al insi keduanya dapat berasal dari satu kata
anisa, akan tetapi dalam Al-Qur'an kata al insi selamanya di pakai
bersamaan dengan kata al-jinni, sehingga al jinni dapat dapat diartikan
sebagai lawan dari kata anisa (jinak). Oleh karena itu makhluk jin dapat di
katakan sebagai makhluk buas.24
Dari beberapa pengertian di atas dapat di peroleh pengertian bahwa
manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas
hidup dan lingkungan yang ada. Manusia memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik
perubahan sosial maupun perubahan alamiah. Manusia menghargai tata
aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya.25
Adapun kata al-basyr di pakai untuk menyebut semua makhluk,
baik laki-laki atau perempuan, individual maupun kolektif. Pemakaian kata
basyar di beberapa tempat dalam alQuran seluruhnya memberikan
pengertian bahwa yang di maksud dengan kata tersebut adalah anak Adam
yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam pasar-pasar itu
mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Dengan demikian kata
basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyah nya yang
berupa bentuk tubuh, kebutuhan tubuh dan kondisi tubuh.
Dengan demikian manusia dalam pengertian basyar ini tergantung
sepenuhnya pada alam. Pertumbuhan dan perkembangan fisiknya
tergantung pada apa yang dimakan dan diminumnya. Sedangkan manusia
dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang
sepenuhnya tergantung pada kebudayaan termasuk di dalamnya adalah
pendidikan.26

24
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 81-82
25
Musa Asy,ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur,an, (Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992), 20
26
Abuddin nata, filsafat pendidikan Islam, (Jakarta; logos wacana ilmu, 1997), 31

63
Dari beberapa uraian di atas dapat di peroleh gambaran yang jelas,
bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan
rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya, ia dapat melaksanakan tugas-
tugas yang memerlukan dukungan fisik. Sedangkan dengan kelengkapan
rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan
mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik
dan produktif, maka perlu di bina dan di berikan bimbingan. Dalam
hubungan ini pendidikan amat memegang peranan yang amat penting.
Secara garis besarnya potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama
yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu :
a. Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah)
Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk
memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Dorongan tersebut di
antaranya:
Pertama, insting untuk memelihara diri seperti makan, minum,
penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya. Kemudian dorongan
yang kedua, yaitu untuk mempertahankan diri. Bentuk dorongan ini dapat
berupa nafsu marah, bertahan, atau menghindar dari gangguan yang
mengancam, baik yang berasal sesama makhluk maupun dari lingkungan
alam. Adapun dorongan yang ketiga, berupa dorongan untuk
mengembangkan jenis, dorongan ini berupa naluri seksual.
Ketiga macam dorongan tersebut melekat pada diri manusia secara
fitrah dan di peroleh tanpa melalui proses belajar. Karena itu dorongan ini di
sebut dorongan naluriah atau dorongan instinktif.
b. Hidayat al-Hassiyat (potensi inderawi)
Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk
mengenal sesuatu diluar dirinya.melalui alat indera yang dimilikinya,
manusia dapat mengenal suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun
bentuk sesuatu. Jadi indera berfungsi sebagai media yang menghubungkan
manusia dengan dunia di luar dirinya.
Potensi inderawi yang umum di kenal terdiri atas indera penglihat,
pencium, peraba, pendengar dan perasa.

64
c. Hidayat al-aqliyyat (potensi akal)
Jika kedua hidayat diatas di miliki oleh setiap makhluk hidup baik
manusia maupun hewan, maka hidayat al-aqliyat hanya dianugerahkan Allah
kepada manusia. Adanya potensi ini menyebabkan manusia dapat
meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain ciptaan Allah.
Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami
simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, membandingkan antara yang salah dan
benar.selain itu juga mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam
menciptakan kebudayaan serta peradaban.manusia.
d. Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Di dalam diri manusia sejak lahir sudah ada potensi keagamaan yaitu
berupa dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi. Dorongan untuk mengabdi ini terimplementasi
dalam berbagai macam unsur emosi seperti perasaan kagum, perasaan ingin
di lindungi, perasaan takut, perasaan bersalah dan lain-lain.27
Keempat potensi tersebut terangkum dalam potensi dasar manusia
yaitu : jasmani, akal nafs dan ruh. Hidayat al gharizziyat dan hassiyat terdapat
dalam diri manusia sebagai makhluk biologis (basyr dan nafs). Sedangkan
hidayat al aqliyah (akal), dan hidayat al diniyyat termuat dalam ruh. Potensi
yang bersifat fitrah ini tampaknya memang menandai karakteristik dasar
kehidupan manusia pada umumnya.

D. CARA MENGEMBANGKAN POTENSI MANUSIA


Dalam uraian di atas, potensi yang dimiliki manusia diistilahkan
dengan fitrah. Potensi atau fitrah yang dimiliki manusia pada hakekatnya
merupakan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan
mempertahankan kelestarian hidupnya, kemampuan rasional maupun
spiritual. Hanya saja, kemampuan tersebut masih bersifat embrio. Untuk itu
diperlukan berbagai potensi tersebut secara aktif. Upaya efektif untuk
maksud tersebut adalah melalui media pendidikan.

27
Jalaluddin, Teologi Pendidikan,34-35

65
Pendidikan dalam prespektif pendidikan Islam merupakan sarana
untuk membantu peserta didik dalam upaya mengangkat, mengembangkan,
dan mengarahkan potensi pasif yang dimilikinya menjadi potensi aktif yang
dapat teraktualisasi dalam kehidupannya secara maksimal. Dimensi ini
memberi pengertian bahwa dalam konteks ini pendidikan bukan sarana yang
berfungsi sebagai indoktrinasi pembentukan corak dan warna kepribadian
peserta didik sebagaimana yang diinginkan oleh pendidik atau sistem
pendidikan yang ada. Akan tetapi, pendidikan berfungsi sebagai fasilitator
berkembangnya potensi peserta didik secara aktif sesuai dengan sunatullah-
Nya masing-masing dan utuh, baik potensi fisik maupun psikis.28
Disisi lain, setelah keseluruhan dimensi potensi tersebut mampu
dimunculkan secara aktif dan dinamis, maka pendidikan harus mampu
menjadi alat kontrol, baik sebagai kekuatan moral religius maupun moral
sosial terhadap dinamika kekuatan perkembangan potensi yang dimiliki
peserta didik. Dengan kekuatan kontrol ini, pendidikan akan dapat meredam
dan meminimalisir faktor-faktor yang dapat mempengaruhi potensi peserta
didik out of system dari nilai-nilai moral religius maupun sosial kehidupan
manusia di muka bumi. Oleh karena itu dengan kekuatan yang ada dalam
potensi manusia menjadikan manusia menjadi wakil Allah (Khalifah Allah)
dimuka bumi. Dengan akalnya, manusia mampu mengelola dan
memanfaatkan alam semesta untuk kelangsungan hidupnya dan mampu
membaca dan mengenali atribut-atribut Ilahiyah. Namun, karena manusia
tidak menciptakan atribut-atribut tersebut dan bersifat tidak sempurna
sebagaimana kesempurnaan Allah, maka kepada manusia diturunkan agama
untuk menuntun manusia agar berada di jalan tuhannya, mengenal atribut-
atribut Ilahiyah, dan sekaligus tunduk pada aturan-aturan universal-Nya yang
Agung.
Untuk itu didalam pandangan pendidikan Islam, agar potensi manusia
mampu teraktualisasi sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka pada dasarnya
pendidikan berfuingsi sebagai stimulasi bagj perkembangan dan pertumbuhan

28
Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemkiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), 209.

66
potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik
sebagai abdi maupun sebagai khalifah di bumi.
Agar dapat terlaksananya tugas tugas manusia sebagai makhluk
individu sebagai abdi dan mahluk sosial sebagai khalifah di bumi,maka
proses pendidikan Islam harus mampu menyentuh kedua dimensi manusia
secara padu dan harmonis, yaitu dengan jalan mengembangkan dan
memenuhi kebutuhan kedua dimensi peserta didik.
Implikasi dari pernyataan diatas memberikan nuansa bahwa wacana
pendidikan Islam merupakan sarana bagi pengembangan potensi manusia
seoptimal mungkin. Dengan demikian, manusia sangat memerlukan
pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal.
Maka dari itu pengembangan berbagai potensi manusia dapat
dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi belajar
yang dimaksud tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga
dapat dilakukan diluar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat, dan
lewat institusi sosial yang ada.29
Dari pemaparan diatas dapat diketahui akan potensi manusia menurut
pendidikan Islam adalah manusia telah dibekali dengan potensi dasar berupa
jasmani (pendengaran, penglihatan), akal, ruh yang masih perlu
pengembangan untuk bekal hidupnya semenjak kelahirannya.
Pengembangan ini dipengaruhi oleh lingkungan keluarga masyarakat,
sekolah. Proses pengembangan ini akan berlangsung seumur hidup dan
bertujuan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Jadi potensi dasar
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan (faktor eksternal). Dalam proses
pengembangan potensi pendidikan Islam juga meletakkan prinsip kebebasan
dan demokrasi yang memungkinkan manusia untuk berkreasi
mengembangkan potensinya, akan tetapi kebebasan ini terikat dengan norma
atau aturan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya dan norma agama.

29
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigendakarya, 1993), 141.

67
DAFTAR PUSTAKA

Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005

Zamroni, Paradigma Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,


2000

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Departemen Agama RI, Al Qur'an Dan Terjemahannya, Surabaya:Mahkoa,1990

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an,


Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Al Imam Zainuddin Ahmad Bin abdul Latif Az Zabidi Terjemah Cecep Samsul
Hari, Ringkasan shahih al bukhori, Bandung: Mizan, 1997

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan, Jakarta: Bintang


Ilmu, 1998

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

Musa Asy,ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur,an, Yogyakarta:


Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Abuddin nata, filsafat pendidikan Islam, Jakarta; logos wacana ilmu, 1997

Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemkiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media


Pratama, 2001

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigendakarya, 1993

68

Anda mungkin juga menyukai