Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perhatian aktivis kesehatan sedunia dikejutkan oleh deklarasi
“kedarurtan global” (the global emergency) tuberculosis (TBC) pada tahun
1993 daro WHO, karena sebagian besar Negara-negara didunia tidak berhasil
mengendalikan penyakit TBC. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka
kesembuhan penderita yang berdampak pada tingginya penularan. Penyakit
ini kembali menjadi perhatian dengan adanya fenomena ledakan kasus
HIV/AIDS dan kejadian MDR (multidrug resistance). Penyakit tuberculosis
merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang berbagai organ atau
jaringan tubuh. Tuberculosis merupakan bentuk yang paling banyak dan
paling penting.
Penyakit TBC sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut
hasil penelitian, penyakit tuberculosis sudah ada sejak zaman mesir kuno
yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi, dan penyakit ini juga sudah
ada pada kitab pengobatan cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahu yang lalu. Pada
tahun 1882. Ilmuan Robert Koch berhasil menemukan kuman tbc, yang
merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini berbentuk batang (basil) yang
dikenal dengan nama “Mycrobacterium Tuberculosis”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana isu tentang TBC yang berkembang di Indonesia ?
2. Apa pengertian TBC ?
3. Bagaimana perkembangan dan pravalensi penyakit TBC?
4. Apa etiologic dari TBC ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari TBC ?
6. Bagaimana penularan dan siklus hidup dari TBC ?
7. Apa factor-faktor risiko dari TBC ?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari TBC ?

1
9. Bagaimana pencegahan dari TBC ?
10. Bagaimana pengobatan dari TBC ?
11. Bagaimana strategi kebijakan pemerintah untuk membrantas TBC di
Indonesia ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui isu tentang TBC yang berkembang di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengertian TBC.
3. Untuk mengetahui perkembangan dan pravalensi penyakit TBC.
4. Untuk mengetahui etiologic dari TBC.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari TBC.
6. Untuk mengetahui penularan dan siklus hidup dari TBC.
7. Untuk mengetahui factor-faktor risiko dari TBC.
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari TBC.
9. Untuk mengetahui pencegahan dari TBC.
10. Untuk mengetahui pengobatan dari TBC.
11. Untuk mengetahui strategi kebijakan pemerintah untuk membrantas TBC
di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Isu Tentang TBC


Bukan informasi baru kalau Tuberkulosis jadi penyakit menular yang
menakutkan dan momok bagi orang-orang di dunia. Data WHO tahun 2016
malah menyebutkan kalau Tuberkulosis (TB), penyakit menular akibat kuman
Mycobacterium tuberculosis ini masih menempati peringkat ke-10 penyebab
kematian tertinggi di dunia. Pun, Indonesia termasuk dalam 6 besar negara
dengan kasus Tuberkulosis terbanyak.
Usut punya usut, salah satu penyebab membludaknya penderita TB di
Indonesia adalah hoax yang terus berkembang. Hoax atau mitos yang
berkembang ini membuat pengidap TB enggan mengungkapkan bahwa
dirinya terjangkit TB karena takut dikucilkan. Dampaknya, pencegahan dan
pemberantasan tuberkulosis jadi sangat sulit dilakukan. Solusi satu-satunya
adalah, memutus mata rantai hoax dan menemukan pengidap TB untuk
diobati secara rutin dan berlanjut hingga sembuh.
1. Tuberkulosis adalah penyakit kutukan
Perlu diketahui bahwa Tuberkulosis bukanlah penyakit kutukan.
Anggapan ini muncul sebab tuberkulosis seringkali menyerang keluarga
hingga beberapa generasi. Padahal ini terjadi karena penularan TB
memang melalui udara sehingga besar kemungkinan yang akan terjangkit
adalah mereka yang tinggal dalam jarak sangat dekat seperti keluarga.
Pengidap TB tak perlu malu mengakui sedang mengidap penyakit ini
karena takut dianggap sebagai kutukan dan dikucilkan dari masyarakat.
Menyembunyikan TB malah dapat mengganggu siklus pengobatan dan
memperlambat pemulihan.
2. Tuberkulosis adalah penyakit turunan
Tuberkulosis sama sekali tidak berhubungan dengan keturunan. Tidak
ada peran genetika dalam transmisi dan akuisisi TB karena penyakit
menular ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

3
Meskipun benar bahwa tuberkulosis dapat menginfeksi anggota keluarga
yang sama karena kemungkinan besar tertular melalui udara.
3. Tuberkulosis adalah penyakit kelas sosial rendah
TB adalah penyakit yang menular melalui udara dan dapat dengan
mudah ditularkan oleh siapa saja, kaya atau miskin. Namun, kurangnya
ventilasi, lingkungan kumuh padat penduduk, buruknya akses dan
perawatan kesehatan serta kekurangan gizi membuat orang lebih mudah
terjangkit TB.
Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014 oleh Kemenkes RI
menggambarkan sakit akibat TB menurut kuintil indeks kepemilikan
menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok terbawah sampai
dengan menengah atas. Ini artinya, risiko TBC dapat terjadi pada hampir
semua tingkatan sosial ekonomi.
4. TB dapat ditularkan melalui peralatan makan
Meski menular dari udara, mengasingkan para pengidap TB dari
lingkungan masyarakat bukanlah hal yang tepat. Penting diketahui,
tuberkulosis tidak akan menular dengan kontak fisik seperti bersalaman
dan berpegangan tangan, berbagi makanan dan minuman, dan
menggunakan alat makan yang sama dengan pengidap.
Jika penderita menggunakan gelas atau sendok dan tidak batuk disekitar
alat makan tersebut, maka bakteri tidak akan menyebar ke peralatan
makan. Sebab, untuk penyakit yang menjangkiti paru-paru, maka bakteri
hanya akan menjangkiti paru-paru dan hanya bisa ditularkan oleh lendir
yang berasal dari paru-paru melalui batuk. (Penjelasan oleh dr. Sepriani
Timurtini Limbong, dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia).
5. Tuberkulosis tidak bisa disembuhkan
Pasien TB bisa sembuh asalkan patuh! Pakar Paru Indonesia Dr dr
Erlina Burhan, SpP(K) mengatakan TB bisa disembuhkan secara total.
Syaratnya, pengobatan rutin dilakukan selama 6 bulan berturut-turut sesuai
dengan hasil diagnosis dokter.

4
Pola konsumsi obat yang berlanjut ini adalah satu-satunya kunci
menyembuhkan TB sebab jika konsumsi obat terputus karena penderita
sering lupa minum atau sengaja berhenti karena sudah merasa sehat ini
akan membahayakan si pengidap TB. Karena saat berhenti minum obat,
bakteri menjadi resisten atau kebal terhadap obat yang sebelumnya
sehingga bakteri terus berkembang biak di dalam tubuh dan penyakit jadi
semakin parah.

2.2 Pengertian
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang menyerang
terutama parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular
yang disebabkan oleh basil Micobakterium tuberculosis yang merupakan
salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar
basil tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan
selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon
(Hood Alsagaff, 1995 : 73).
Batuk darah (hemoptisis) adalah darah atau dahak bewarna yang
dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai
dari glottis kearah distal, batuk darah akan ebrhenti sendiri jika asal robekan
pembuluh darah tidak luas, sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi
(Hood Alsagaff, 1995, hal 301).

2.2 Perkembangan dan Pravalensi Penyakit


Di negara industri di seluruh dunia, angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit TBC menunjukan penurunan. Tetapi sejak tahun 1980-an,
grafik menetap dan meningkat di daerah dengan prevelensi HIV tinggi.
Morbiditas tinggi biasanya terdapat pada kelompok masyrakat dengan social
ekonomi rendah dan prevelensinya lebih tinggi pada daerah perkotaan dari
pada pedesaan.
Insidensi TBC di Amerika Serikat adalah 9,4 per 100.000 penduduk
pada tahun 1994 (lebih dari 24.000 kasus dilaporkan). Anak yang pernah

5
terinfeksi TBC mempunyai risiko menderita penyakit ini sepanjang hidupnya
sebesar 10%. Epidemic pernah dilaporkan pada tempat orang-orang
berkumpul seperti rumah perawatan, penampungan tuna wisma, rumah sakit,
sekolah, dan penjara. Dari tahun 1989-1992 terjadi KLB multidrug resistance
(MDR) minimal terhadap INH (isoniazid) dan rifampisin di daerah tempat
penderita HIV berkumpul. KLB (kejadian luar biasa) tersebut berhubungan
dengan tingginya angka kematian dan tingginya penularan TBC pada petugas
kesehatan.
Menurut hasil SKRT (survey kesehatan rumah tangga) tahun 1986,
penyakit tuberculosis diindonesia merupakan penyebab kematian ke-3 dan
menduduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di masyarakat.
WHO memperkirakan terjadi kasus TBC sebanyak 9 juta per tahun di
seluruh dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta
orang pertahun. Dari seluruh kematian tersebut, 25% terjadi dinegara
berkembang, sebanyak 75% dari penderita berusia 15-50 tahun (usia
produktif). WHO menduga kasus TBC di Indonesia merupakan nomor 3
terbesar di dunia setelah cina dan india. Prevelensi TBC secara pasti belum
diketahui. Asumsi prevelensi BTA (+) di Indonesia adalah 130 per 100.000
penduduk. Estimasi WHO tentang gambaran jumlah kasus tuberculosis di
seluruh dunia.
WHO menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi didunia
50%.nya berasal dari Negara-negara afrika dan asia serta amerika ((brasil).
Hamper semua Negara ASEAN masuk dalam kategori 22 negara tersebut
kecuali singapura dan Malaysia. Dari seluruh dunia, india menyumbang 30%,
China 15% dan Indonesia 10%.
Penyakit ini menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin, serta
mulai merambah tidak hanya pada golongan social ekonomi rendah saja.
Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentasi penderita
TBC terbesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun
(20,46%), 15-24 (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun (12,32%),
lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%).

6
Dari seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan hanya mencapai
70,03 % dari 85% yang ditargetkan. Rendahnya angka kesembuhan di
sebabkan oleh beberapa factor, yaitu penderita (perilaku, karakteristik, social
ekonomi), petugas ( perilaku, keterampilan), ketersediaan obat, lingkungan
(geografis), PMO ( pengawas minum obat), serta virulensi dan jumlah kuman.

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit tuberculosis adalah bakteri mycobacterium
tuberculosis dan mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran
0,5-4 mikronx 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai
lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid ( terutama asam mikolat).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap
pencucian warna dengan asam dan alcohol, sehingga sering disebut basil
tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman
tuberculosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan
aerob.
Bakteri tuberculosis ini mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit
atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95%
selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan sampai 1-2 jam diudara terutama di
tempat yang lembab dan gelap ( bisa berbulan-bulan) namun tidak tahan
terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa
untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan
40 kali pertukaran udara per jam.

2.3 Manifestasi Klinis


Tuberkulosis sering dijuluki “The great imitator” yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak ekmiripan dengan penyakit lain yang juga
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita
gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang
asimtomatik.

7
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi dua golongan, gejala
respiratorik dan gejala sistemik :
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya
pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukkan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax,
anemia, dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala
ini timbul apabila system persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik, meliputi :


a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama
makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan serta malaise.

8
c. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan
tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak nafas walaupun
jarang dapat timbul menyerupai gejala pneumonia.
Tuberkulosis paru termasuk insidious. Sebagian besar pasien
menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan BB,
berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetap. Batuk pada awalnya
mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang kea rah pembentukkan
sputum mukopurulen dengan hemoptisis.
Tuberkulosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti
perilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anorexia, dan
penurunan BB. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan
dorman.

2.6 Penularan dan Siklus Hidup


Penyakit tuberculosis yang disebabkan oleh kuman mycrobakterium
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) sat seorang pasien TBC
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh
orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat
berhadapan dengan orang lain, basil tuberculosis tersembur dan terhirup ke
dalam paru orang sehat, masa inkubasinya selama 3-6 bulan.
Resiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan
dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan factor genetic dan
factor penjamu lainnya. Risiko tertinggi berkembangnya penyakit yaitu pada
anak berusia di bawah 3 tahun, resiko rendah pada masa kanak-kanak, dan
meningkat lagi pada masa remaja, dewasa muda dan usia lnjut. Bakteri masuk
ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan bisa menyebar ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah, pembuluh limfe, atau langsung ke
organ terdekatnya.

2.7 Faktor-faktor Risiko

9
1. Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui
udara. Individu terinfeksi melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa,
atau bernyanyi, melepaskan droplet. Droplet yang besar menetap,
sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh
individu yang rentan. Individu yang berisiko tinggi untuk tertular
tuberculosis adalah :
2. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB
aktif.
3. Individu imunosupresif ( termasuk lansia, pasien dengan kanker,
mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terinfeksi
HIV).
4. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik.
5. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,
tahanan, etnik, dan ras minoritas, terutama anak-anak dibawah 15
tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 tahun sampai 44
tahun).
6. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (
misalnya : diabetes, gagal ginjal kronik, silicosis, penyimpangan gizi,
bypass gastrektomi tau yeyunoileal).
7. Imigran dari Negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara,
Afrika, Amerika, Latin, Karibia).
8. Setiap individu yang tinggal di institusi (misalnya : fasilitas perawatan
jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara).
9. Petugas kesehatan.
10. Risiko untuk tertular TB juga tergantung pada banyaknya organisme
yang terdapat di udara.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Untuk menegakkan diagnosis penyakit tuberculosis dilakukan


pmeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain

10
yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya
mahal dan hasilnya lama.

Metode pemeriksaan dahak (bukan liur) sewaktu pagi, sewaktu (SPS)


dengan pmeriksaan mikroskopis membutuhkan ± 5 ml dahak dan biasanya
menggunakan pewarnaan panas dengan metode Ziehl Neelsen (ZN) atau
pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet menurut Tan Thiam Hok. Bila dari dua
kali pemeriksaan didapatkan hasil BTA positif, maka pasien dinyatakan
positif mengidap tuberculosis paru.

2.9 Pencegahan

Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan


secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan
sekunder, dan pencegahan tertier, sebagai berikut:

1. Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah


mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer
sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille
Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG
telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an, efektivitasnya
dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran
keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun ada
satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan
lebih terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis
milier atau meningitis tuberkulosis.

Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi


tuberkulosis di suatu negara. Di negara dengan prevalensi tuberkulosis
yang tinggi, BCG harus diberikan pada semua anak kecuali anak
dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga anak dengan kondisi lain yang
menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan

11
bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan,
dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-
2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti
pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal. Selain pemberian
imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat didukung dengan
konsumsi gizi yang baik.

2. Pencegahan Sekunder
Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu
dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan
sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor <
5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10
mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).

Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan


pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru.
Laboratorium tuberkulosis paru merupakan bagian dari pelayanan
laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan
Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien tuberkulosis
paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir
pengobatan (Depkes RI, 2007).

Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau


biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard).
Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling
cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS)
dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak
secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat

12
spesifik, sensitive dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium
(Depkes RI, 2007).

Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan


Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak
mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah
Indonesia. Tujuan manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah
untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis
paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan
pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh
masyarakat (Depkes RI, 2007).

Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi


beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis
paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan
mutu laboratorium tuberculosis paru, keamanan dan kebersihan
laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI,
2007).

Selanjutnya upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan kegiatan


diagnosis penderita tuberkulosis paru.

3. Pencegahan Tertier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah


parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi
setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi
karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase


intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara
cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan

13
untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan
lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh
sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan
menjadi kecil (WHO, 2003).

Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient


basis), namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di
RS. Kondisi-kondisi tersebut seperti : meningitis dan tuberkulosis
milier, anak dengan gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang
belakang.

Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau


gambaran X-ray dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi
seiring peningkatan kekebalan tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan
tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV.

2.10 Pengobatan

Pengobatan tuberculosis paru menggunakan obat antituberculosis


(OAT) dengan metode directly observed treatment shortcourse (DOTS).

1. Kategori I (2 HRZE/ 4 H3R3) untuk pasien TBC baru.


2. Kategori II (2 HRZES/ 5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien yang
pengobatan kategori I nya gagal atau pasien yang kambuh).
3. Kategori III (2 HRZ/ 4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+).
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaaan
akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II
ditemukan BTA (+).
5. Obat diminum sekaligus 1 (satu) jam sebelum makan pagi.
a. Kategori I
1) Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2 HRZE) :
 INH (H) : 300 mg- 1 tablet
 Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

14
 Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg
 Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg

Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali.

Regimen ini disebut KOMBIPAK II.

2) Tahap lanjutan diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4


H3R3).
 INH (H) : 600 mg- 2 tablet @ 300 mg
 Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Obat tersebut diminum 3 (tiga) kali dalam seminggu (intermiten)


sebanyak 54 kali.

Regimen ini disebut KOMBIPAK III.

Tindak Lanjut Pengobatan

KATEGORI WAKTU HASIL BTA RENCANA


TINDAK
LANJUT
I Akhir tahap Negatif Diteruskan ke
intensif tahap lanjutan
Positif Terapkan sisipan
selama 1 bulan.
Jika hasil
pemeriksaan
dahak masih (+)
maka diteruskan
ke tahap lanjutan.
Sebulan sebelum 2 kali pemeriksaan Sembuh
akhir/ akhir negative
pengobatan Positif Pengobatan gagal,

15
ganti ke kategori
II
II Akhir intensif Negatif Teruskan ke tahap
lanjutan
Positif Terapkan sisipan
selama 1 bulan.
Jika hasil
pemeriksaan
dahak masih (+)
maka diteruskan
ke tahap lanjutan
Sebulan sebelum 2 kali pemeriksaan Sembuh
akhir/ akhir negative
pengobatan Positif Pengobatan gagal,
pasien kronis
dirujuk ke
spesialis atau
mengonsumsi INH
seumur hidup
III Akhir intensif Negatif Teruskan ke tahap
lanjutan
Positif Pengobatan
diganti dengan
kategori II

2.11 Strategi Kebijakan Pemerintah

Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi


DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat memutus mata
rantai penularan TBC. Terdapat lima komponen utama strategi DOTS :

16
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana.
2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA dalam
dahak.
3. Terjaminnya persediaan obat antituberculosis (OAT).
4. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi
program penanggulangan TBC.

a. Tujuan

Tujuan Umum :

Memutus mata rantai penularan sehingga penyakit tuberculosis diharapkan


bukan lagi menjadi masalah kesehatan.

Tujuan khusus :

 Cakupan penemuan kasus BTA (+) sebesar 70%.


 Kesembuhan minimal 85%.
 Mencegah multidrug resistance (MDR).
b. Sasaran

Masyarakat tersangka TBC berusia > 15 tahun.

c. Kebijaksanaan dan strategi


 Pengobatan untuk semua penderita baru.
 Petugas pengelola TBC harus mengikuti pelatihan strategi DOTS.
 Monitoring pengobatan :
o Kategori I akhir bulan ke-2, 5, dan 6
o Kategori II akhir bulan ke-3, 7, dan 8
o Kategori III akhir bulan ke-2
d. Kegiatan dan langkah-langkah

17
 Penemuan penderita (case finding) secara lintas program dan lintas
sector secara aktif (misalnya kontak survey) dan pasif.
 Pengobatan penderita (case holding)
o Pengawasan minum obat, terutama pada tahap intensif oleh
puskesmas.
o Perencanaan termasuk jadwal minum obat, kunjungan rumah,
pencegahan DO (drop out), dan sebagainya.
o Pengamatan efek samping :
 Tubuh melemah.
 Nafsu makan menurun.
 Gatal-gatal.
 Sesak nafas.
 Mual dan muntah.
 Berkeringat dingin dan menggigil.
 Gangguan pendengaran dan pengelohatan (biru dan merah).
 Efek samping obat :
o INH : Neuropati perifer (dapat dikurangi dengan memberikan
vitamin 𝐵6), hepatotoksik/ hepatitis.
o Rifampisin : Sindrom flu, hepatotoksik.
o Prazinamid : Hiperurisemia, hepatotoksik.
o Etambutol : Neuritis optic, nefrotoksik, ruam kulit.
o Streptomisin : Nefrotoksik, gangguan N. VIII
 Rujukan :
o Pemeriksaan uji silang (cross check) semua slide (+) dan 10% slide
(-) ke laboratorium rujukan.
o Pasien dengan efek samping berat.
 Kriteria kesembuhan :
o Pemeriksaan dahak (3x dalam seminggu) dengan hasil negative.
o Jumlah obat yang diminum minimal 90% dari paket pengobatan.
o Masa pengobatan intensif dan intermitten maksimal 9 bulan.

18
e. Indikator dan monitoring evaluasi
 Cakupan penemuan kasus baru BTA (+) = (130/100.000) x jumlah
penduduk.
 Cakupan penemuan kasus tersangka TBC diantara pengunjung
puskesmas = 10% penderita baru.
 Angka konversi >80%.
 Tingkat kesalahan uji silang <5%.
 Angka kesembuhan >85%.

f. Pencatatan dan pelaporan


 Dengan format TBC-1 sampai TBC-14 (WHO).
 Puskesmas (pusat rujukan mikroskopis dan satelit) mencatat tetapi tidak
melaporkan, dinas kesehatan kota pusat rujukan mikroskopis
mengambil catatan ke puskesmas.
 Yang perlu dicatat minimal :
o Puskesmas satelit TBC-1, 2, 5, 6, 9, 10, 13, 14.
o Puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) : TBC-2, 4, 5, 6, 9, 10, 12,
13, 14.
o Kota/kabupaten : TBC-3, 7, 11, 12.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang umum, dan banyak


dalam kasus bersifat mematikan. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai strain
mikrobakteria, umumnya Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis biasanya
menyerang paru-paru, namun bisa juga berdampak pada bagian tubuh
lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan
infeksi Tuberkulosis aktif batuk, bersin, atau meyebarkan butiran ludah
mereka melalui udara.

3.2 Saran

1. Bagi mahasiswa hendaknya lebih giat dalam mencari ilmu pengetahuan


yang berhubungan dengan Penyakit TB Paru.
2. Bagi pihak rumah sakit hendaknya menyediakan fasilitas-fasilitas yang
lebih lengkap sehingga dapat menangani orang yang terkena TB Paru.
3. Bagi pihak pemerintah hendaknya lebih menggalakan lagi program-
program untuk mencegah dan mengobati TB Paru melalui penyuluhan-
penyuluhan melalui petugas kesehatan dan juga program pengobatan
yang lebih merata keberbagai pelosok daerah.

20
DAFTAR PUSTAKA

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis “ Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya” Edisi. 2. Jakarta : Penerbit Erlangga

Wijaya,Andra Saferi. Dan Yessie Mariza Putri. 2013. Keperawatan Medikal


Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika

21

Anda mungkin juga menyukai