Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada sang Kholiq yang tak pernah letih
ataupun tidur dalam mengurus semua makhluk-Nya yang berada di langit maupun di
bumi. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, maka kami dapat menyelesaikan makalah
mengenai “Warfarin, Theofilin, dan Glikosida Jantung” yang tentunya masih jauh dari
kata sempurna ini.

Shalawat serta salam kami sanjungkan kepada makhluk paling mulia di muka
bumi ini. Makhluk yang diutus untuk menyempurnakan akhlak seluruh manusia di bumi.
Dialah baginda Rasulullah SAW. Semoga syafa’at beliau senantiasa tercurah kepada para
umatnya yang setia mengikuti jejaknya sampai akhir hayat nanti. Serta shalawat untuk
keluarga beliau dan sahabat-sahabat beliau.

Kami juga ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Toksikologi
yaitu Ibu Annisa Farida Muti, S.Farm, M.Sc, Apt. yang telah memberikan kami tugas ini
agar kami dapat mempelajarinya dengan baik dan berguna untuk masa depan.

Kami juga berharap bahwa apa yang sudah kami tulis dapat bermanfaat bagi
teman-teman pembaca dalam memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Dan jika ada
masukan, sekiranya tak segan untuk menambahkan supaya kami dapat memperbaiki
kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini.

Jakarta, Desember 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i

i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………….. 2
1.3 Tujuan …………………………………………………………………. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Xenobiotika dan Toksikologi Obat …………………………. 3
2.2 Model Masuk dan Daya Keracunan …………………………………. 4
2.3 Klasifikasi Daya Keracunan ………………………………………….. 6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Warfarin ………………………………………………………………... 8
3.2 Theofilin ………………………………………………………………… 11
3.3 Glikosida Jantung …………………………………………………….... 13
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………………... 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun hanya
sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan mengkonsumsi
obat secara overdosis oleh remaja maupun orang dewasa. Kematian pada anak akibat
mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang toksik telah berkurang secara nyata
dalam 20 tahun terakhir, sebagai hasil dari kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif
untuk pencegahan keracunan. Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat
perawatan medis yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat,
baik dan hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani
korban.

Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia (Casarett
and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/ cedera pada
organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi
substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya
efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap
organisme. Banyak sekali peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila
dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan ekotoksikologi.

Uji toksisitas sangatlah diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat. hal ini
dilakukan untuk menghindari adanya efek negatif yang timbul bagi kesehatan, baik efek
secara langsung maupun di masa depan. Salah satu organ pada tubuh manusia yang sangat
penting adalah hepar, hepar memiliki fungsi untuk memetabolisme semua jenis bahan obat
serta bahan-bahan asing yang masuk ke tubuh manusia, sehingga apabila terjadi proses
sekresi melalui empedu, maka akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang disebabkan
penumpukan xenobiotik di dalam hepar.

1.2 Rumusan Masalah

1
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a. Apa definisi dari toksikologi obat?
b. Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
c. Apa saja klasifikasi daya keracunan?
d. Apa saja tanda dan gejala keracunan dari obat – obat Warfarin, Theofilin, dan Glikosida
Jantung ?
e. Bagaimana dosis toksik dari obat – obat Warfarin, Theofilin, dan Glikosida Jantung ?
f. Bagaimana penatalaksanaan keracunan dari obat – obat Warfarin, Theofilin, dan
Glikosida Jantung?
g. Bagaimana Mekanisme Toksisitas dari obat – obat tersebut ?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


a. Mengetahui definisi dari toksikologi obat.
b. Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat.
c. Mengetahui klasifikasi daya keracunan.
d. Mengetahui apa saja tanda dan gejala dari obat – obat Warfarin, Theofilin, dan
Glikosida Jantung.
e. Mengetahui bagaimana dosis toksik dari obat – obat Warfarin, Theofilin, dan Glikosida
Jantung.
f. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan keracunan dari obat – obat Warfarin, Theofilin,
dan Glikosida Jantung.
g. Mengetahui Bagaimana Mekanisme Toksisitas dari obat – obat tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Definisi Xenobiotika dan Toksikologi Obat
Xeno Biotik berasal dari bahasa yunani yaitu xeno dan biotik , xeno artinya asing
dan biotik artinya hidup xenobiotic merupakan bahan kimia yang terdapat pada mahluk
hidup yang secara normal tidak ada / tidak di produksi.
Toksisitas merupakan istilah relative yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa
satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif,
kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang
sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya.
Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek
zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya
zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang
mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran,
kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain
menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh
yang dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat
menyebabkan kematian.

Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di
gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah
pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief,
1991).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang
yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat
bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai
obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu
yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang
berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan
memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.

3
2.2 Model Masuk dan Daya Keracunan
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit,
atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat mengakibatkan
cederadari tubuh dengan adanya rekasi kimia (Brunner & Suddarth, 2001). Arti lain dari
racun adalah suatu bahan dimana ketika diserap oleh tubuh organisme makhluk hidup
akan menyebabkan kematian atau perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui
pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat
seketika itu juga, cepat, lambat, atau secara kumulatif. Keracunan dapat diartikan
sebagaisetiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisystem dengan keadaan yang
tidak jelas (Arif Mansjor, 1999). Keracunan melalui inhalasi ( pengobatan dengan
cara memberikan obat dalam bentuk uap kepada si sakit langsung melalui alat
pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan materi toksik, baik kecelakaan dan
karena kesengajaanmerupakan kondisi bahaya kesehatan.

 Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :


1. Cara Terjadinya terdiri dari:
a. Self Poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih tetapi
dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan. Pasien tidak bermaksud
bunuhdiri tetapi hanya untuk mencari perhatian saja.
b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir
dengankematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis yang
dipakai.
c. Accidental Poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor kesengajaan.
d. Homicidal Poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni
orang lain.
2. Mulai Waktu terjadi :
a. Keracunan Kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan. Gejala
dapat timbul secara akut setalah pemajanan berkali-kali dalam dosis relative kecil
ciri khasnya adalah zat penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh
lebih panjang sehingga terjadi akumulasi. Keracunan ini diakibatkan oleh
keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus menerus dan efeknya

4
baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu, bulan, atau tahun). Misalnya,
menghirup uap benzene dan senyawa hidrokarbon terkklorinasi (spt. Kloroform,
karbon tetraklorida) dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan menimbulkan
penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal akan menimbulkan
kerusakan dalam darah.
b. Keracunan Akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai banyak
orang (pada keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau penduduk
sekampung) gejalanya seperti sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma.
Keracunan ini juga karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang akibatnya dapat
dilihat atau dirasakan dalam waktu pendek. Contoh, keracunan fenol menyebabkan
diare dan gas CO dapat menyebabkan hilang kesdaran atau kematian dalam waktu
singkat.
3. Menurut Alat Tubuh yang Terkena.
Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang terkena, contohnya
racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.
4. Menurut Jenis Bahan kimia.
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang sama,
misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan sebagainya.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi),
melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking, dan laba-
laba) dan gigitan ular, melalui makanan yaitu keracunan yang disebabkan oleh
perubahan kimia (fermentasi) dan pembusukan karena kerja bakteri (daging busuk)
pada bahan makanan, misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung asam sianida
(HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang maupun kepiting, dan
keracunan juga dapat disebabkan karena penyalahgunaan zat yang terdiri dari
penyalahgunaan obat stimultan (Amphetamine), depresan (Barbiturate), atau
halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.
 Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga
saluran, yakni:
a. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini sangat
jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung menggunakan mulut
atau makan dan minum di laboratorium.

5
b. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah aniline,
nitrobenzene, dan asam sianida.
c. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat pernapasan
dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan yang terjadi. SO2
(sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat pada jalan pernapasan.
Sedangkan HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah dan
terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh.
d. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
e. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).

2.3 Klasifikasi Daya Keracunan

Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan lain-lain.
1. Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen Oranye,
Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat.
3. Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor.
4. Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC).

Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis


penggolongan daya
racun yaitu: No.

1. Super Toksik > 15 G/KG BB

2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB

3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB

4. Toksisitas 50 – 500 MG/KG BB


Sedang

5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB

6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Warfarin
3.1.1 Pendahuluan Warfarin
Warfarin adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
penggumpalan darah, seperti pada deep vein thrombosis atau emboli paru. Selain
itu, warfarin juga digunakan pada penderita fibrilasi atrium untuk mencegah
stroke, dan pada pasien pasca operasi penggantian katup jantung. Warfarin bekerja
mengurangi produksi protein yang berfungsi untuk membekukan darah (faktor
pembekuan). Tidak semua faktor pembekuan diganggu oleh warfarin, melainkan
faktor pembekuan yang bergantung dengan vitamin K.

Struktur kimia Warfarin

Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan


menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan
darah. Atas dasar ini antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan
meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah bekunya darah in vitro.
Pada trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya

7
trombus dan mengurangi kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak
memperkecil trombus.
Warfarin merupakan turunan kumarin yang sudah biasa diresepkan
sebagai antikoagulan oral untuk mengobati atau mencegah penyakitpenyakit
trombotik, diantaranya myocardial infarction, ischemic stroke, venus thrombosis,
heart valve replecement dan atrial fibrillation. Namun, warfarin mempunyai
rentang terapeutik yang sempit dan memberikan perbedaan respon yang besar
diantara individu atau pasien. Kekurangan dosis akan menyebabkan kegagalan
dalam mencegah tromboembolisme sedangkan kelebihan dosis akan
meningkatkan resiko perdarahan. Derajat antikogulasi setiap pasien diukur
dengan parameter waktu protrombin yang dinyatakan dengan International
Normalized Ratio (putri, et al. 2012).
Warfarin adalah antikoagulan oral yang banyak digunakan pada pasien
dengan resiko tromboemboli dan mempunyai efektivitas yang tinggi untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tromboemboli. Saat ini, warfarin
merupakan antikoagulan oral yang paling banyak digunakan. Indikasi umum
digunakan warfarin dalam jangka panjang adalah pasien dengan atrial fibrilasi,
gangguan mekanik katup jantung, kardiomiopati dan penderita tromboemboli
vena.1,2 Warfarin merupakan antagonis vitamin K, bekerja dengan menghambat
sintesis hepatik faktor koagulasi II, VII, IX, X dan protein antikoagulasi C dan S
yang tergantung vitamin K sebagai kofaktornya(kusumastuti, et al. 2010).
Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap trombus yang sudah
terbentuk, tetapi dapat mencegah perluasan trombus. Warfarin telah terbukti
efektif untuk pencegahan stroke kardioembolik. Karena meningkatnya resiko
pendarahan, penderita yang diberi warfarin harus dimonitor waktu protrombinnya
secara berkala.
Bioavailabilitas oral dari warfarin hampir 100%. Warfarin terutama
berikatan dengan protein plasma (97%), khususnya dengan albumin.Warfarin
didistribusikan melalui hati, ginjal, paru-paru dan limpa. Durasi efek
antikoagulannya setelah pemberian dosis tunggal adalah 5–7 hari (kusumastuti, et
al. 2010).

8
3.1.2 Dosis Toksik Warfarin

a. Dosis warfarin yang direkomendasikan untuk pengobatan adalah 0,5-0,7


mg/kg sebagai therapeutic loading doses, sedangkan dosis terendah yang
dilaporkan bersifat fatal pada kasus menelan warfarin dosis tunggal adalah
6,667 mg/kg .

b. Dosis berulang sebesar 1-2 mg/kg selama periode 6-15 hari menyebabkan
sakit serius dan kematian.

3.1.3 Tanda dan Gejala

a. Perdarahan dari jaringan atau organ,


b. nekrosis kulit dan jaringan lain,
c. alopesia,
d. urtikaria,
e. dermatitis,
f. demam,
g. mual,
h. diare,
i. kram perut,
j. hipersensitivitas dan priapismus.

3.1.4 Mekanisme Toksik Warfarin

Dengan cara menghambat sintesis vitamin K di hati, dengan mengubah


residu asam glutamate menjadi residu asam gama-karboksiglutamat. Pemberian
obat pada umumnya berdadsarkan pada dosis rata-rata, yaitu dosis yang
diperkirakan memberikasn efek terapeutik dengan efek samping minimal. Apabila
dosis rata-rata itu tidak menimbulkan efek yang berlebihan, maka akan dilakukan
penghentian obat tanpa perlu mempertimbangkan apakah dosis yang diberikan
sudah sesuai dengan kebutuhan penderita.
Jika indeks terapi obat cukup besar, maka perbedaan individual kadar obat
dalam keadaan steady state tidak akan menimbulkan masalah dalam penentuan

9
dosis. Apabila indeks terapi suatu obat sempit. Individualisasi dosis menjadi
penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kgBB) sudah dapat
menimbulkan perbedaan nyata dalam respon.
3.1.5 Manajemen Terapi Keracunan Warfarin
a. Berikan arang aktif dosis tunggal secara oral bila kondisi korban
memungkinkan
b. Pemberian arang aktif dilakukan jika korban menelan warfarin dalam jumlah
yang berpontensi toksik satu jam sebelumnya
c. Dosis tunggal arang aktif untuk anak-anak adalah 1-2 gram/kg sedangkan
untuk orang dewasa adalah 50-100 gram

3.2 Theofilin
3.3.1 Pendahuluan Theofilin
Teofilin merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit dan mantap di
udara. Teofilin mengandung tidak kurang dari 98,5 % dan tidak lebih dari 101,5 %
C7H8N4O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Anonim, 1979).

Mekanisme kerja teofillin menghambat enzim nukleotida siklik fosfodiesterase


(PDE). PDE mengkatalisis pemecahan AMP siklik menjadi 5’-AMP dan GMP siklik
menjadi 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan penumpukan AMP siklik dan
GMP siklik, sehingga meningkatkan tranduksi sinyal melalui jalur ini. Teofilin
merupakan suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin, kaitan khususnya
dengan asma adalah pengamatan bahwa adenosin dapat menyebabkan
bronkokonstriksi pada penderita asma dan memperkuat mediator yang diinduksi
secara imunologis dari sel must paru-paru (Goodman & Gilman, 2007). Teofilin
merupakan perangsang SSP yang kuat, merelaksasi otot polos terutama bronkus
( Ganiswarna, 1995).

3.3.2 Dosis Toksik Theofilin

10
 5-10 mg / kg - dosis awal terapeutik.
 10 mg / kg - potensi toksisitas.
 50 mg / kg - mengancam nyawa.
 Keracunan teofilin kemungkinan besar akan terjadi apabila kadarnya dalam
serum melampaui 20μ/mL.
 Kejang-kejang pada orang dewasa, rata-rata terjadi ketika kadar serumnya
50μ/mL dengan kisaran 20-70 μ/mL.

3.3.3 Tanda dan Gejala

- Nausea ringan - Hipokalemia


- Muntah - Hipofosfatemia
- Insomnia - Hipomagnesemia
- Iritabilitas - Hipokalsemia / Hiperkalsemia
- Sakit perut - Hiperglikemia
- Asidosis metabolik ringan - Takikardia
- Tremor - Kejang
- Nyeri kepala - Meninggal

3.3.4 Mekanisme Toksik Theofilin

Pada konsentrasi toksik, teofilin menyebabkan penghambatan fosfodiesterase


dengan akumulasi cAMP resultan. Selain itu mungkin ada perubahan dalam
translokasi kalsium intraselular. Sebagian besar toksisitas kardiovaskular dan
metabolik teofilin telah dikaitkan dengan kelebihan katekolamin. Kenaikan
katekolamin ini diperkirakan menyebabkan hipokalemia dan hiperglikemia terlihat
pada keracunan akut yang juga dapat mendahului dan memprediksi toksisitas
teofilin. Sebagai tambahan, adenosin diketahui bertanggung jawab atas umpan balik
negatif ke jantung dalam situasi overstimulation simpatik 13. Blokade reseptor
adenosin dan hilangnya umpan balik negatif dapat menyebabkan efek kelebihan
katekolamin.

3.3.5 Manajemen Terapi Keracunan Theofilin

11
Pengobatan keracunan teofilin harus dimulai dengan cara-cara yang dirancang
untuk merangsang muntah (misalnya pemberian ipekak, jika penderita belum
muntah) atau sonde, yang disertai campuran 30 gr arang yang diaktifkan, untuk
menyerap teofilin yang tersisa dalam saluran gastrointestinal. Arang yang telah
diaktifkan dapat juga membuang teofilin serum yang telah diserap dari saluran
gastrointestinal. Kemungkinan terbaik ialah dengan menunda pemberian arang
sampai timbul muntahan bila menggunakan ipekak untuk merangsang muntah,
karena arang juga menyerap ipekak. Sesudah penelanan teofilin SR, dianjurkan
pemberian arang berulang dengan interval 2-3 jam. Penambahan pencahar garam
yang tak terabsorbsi efektif untuk mengurangi waktu transit usus bila produk SR
telah tertelan. Dialisis peitoneal dapat membuang teofilin dari penderita keracunan
teofilin, tetapi hemoperfusi dengan menggunakan kolom arang yang disiapkan
secara khusus merupakan metode pilihan.

Keracunan Teofilin dapat diterapi dengan cara memperbesar eliminasinya,


dimana hal ini dapat mengurangi waktu pemulihan. Hemodialisis dan hemoperfusi
adalah teknik invasive yang membutuhkan kanulasi arteri dan vena (biasanya di
lengan) untuk membuat sirkulasi ekstrakorporeal sementara. Pada hemodialisis, obat
menuruni gradien konsentrasinya melalui membran dialisis dan dibuang dalam
cairan dialisis. Pada hemoperfusi, darah melewati suatu kolom karbon aktif atau
resin di mana di dalamnya darah diabsorpsi. Teknik ini mempunyai risiko yang
signifikan (perdarahan, emboli air, infeksi, kehilangan arteri perifer) dan waktu
paruh eliminasi yang memendek tidak terlalu berhubungan dengan keadaan klinis
yang membaik (morbiditas atau mortalitas yang berkurang).

3.3 Glikosida Jantung


3.4.1 Pendahuluan Glikosida Jantung

Glikosida jantung meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium dan


menurunkan konduktivitas di atrioventricular (AV) node. Digoksin adalah glikosida
jantung yang paling banyak digunakan.

12
Glikosida jantung paling bermanfaat untuk pengobatan takikardi
supraventrikel, terutama untuk mengontrol respon ventrikular pada fibrilasi atrium
yang menetap. Digoksin memiliki peran yang terbatas dalam mengatasi gagal
jantung kronik pada anak. Peran digoksin pada gagal jantung dapat dilihat di bagian
2.3. Pada tata laksana fibrilasi atrium, dosis penunjang glikosida jantung biasanya
ditentukan berdasarkan kecepatan ventrikel pada saat istirahat yang seharusnya tidak
boleh turun di bawah 60 denyut per menit kecuali dalam keadaan khusus, misalnya
pada pemberian bersama beta-bloker. Pada anak-anak, dosis penunjang glikosida
jantung untuk tata laksana atrial fibrilasi biasanya dapat ditentukan berdasarkan
kecepatan ventrikel paling rendah yang dapat diterima pada saat istirahat.

3.4.2 Dosis Toksik

 Efek yang tidak diinginkan bergantung pada kadar glikosida jantung dalam
plasma dan bergantung juga pada sensitivitas dari sistem konduksi atau
miokardium, yang sering meningkat pada penyakit jantung. Kadang-kadang
sulit untuk membedakan antara efek toksik obat atau perburukan kondisi klinis
karena gejalanya mirip. Selain itu, kadar plasma saja tidak dapat menandakan
adanya toksisitas namun hampir dapat dipastikan terjadi peningkatan risiko
toksisitas jika kadar digoksin dalam plasma mencapai 1,5-3 mcg/L. Glikosida
jantung harus digunakan dengan sangat hati-hati pada lansia karena
meningkatnya risiko terjadi toksisitas digitalis pada kelompok pasien tersebut.

 Pemantauan secara teratur kadar plasma digoksin selama terapi pemeliharaan


tidak diperlukan kecuali bila diduga ada masalah. Hipokalemia dapat memicu
terjadinya toksisitas digitalis. Seperti halnya pada orang dewasa, perhatian
khusus harus juga diberikan pada anak-anak yang menggunakan diuretika
bersama dengan glikosida jantung agar terhindar dari hipokalemia. Pada anak
hipokalemia juga dapat memicu terjadinya toksisitas digitalis.

3.4.3 Tanda dan Gejala


 Efek proaritmik yakni : penurunan potensi istirahat, menyebabkan after
potensial melampaui AUC serta peningkatan automatisitas

13
 Efek samping gastrointestinal : anoreksia, mual, nyeri lambung.
 Efek samping visual : penglihatan berwarna kuning.
 Lain-lain : delirium, bingung, mimpi buruk.

3.4.4 Mekanisme Toksisitas Glikosida Jantung

1. Overdosis digoxin (>1ng/ml)

 Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-selkonduksi;


meningkatnya after depolarization.
 Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
 EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinusbradikardi,
berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikelpremature, bigemini, VT, VF
 Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.:PAT
dengan AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat3) atau adanya bi-
directional VT sangat sugestif untuk menilai adanya keracunan glikosida
jantung.

2. Terjadi interaksi dengan obat lain

 Kuinidin, veramapil, amiodaron, akan menghambat P-glikoprotein, yakni


transporter di usus dan di tubulus ginjal,sehingga terjadi peningkatan
absorpsi dan penurunan sekresidigoksin, akibatnya kadar plasma digoksin
meningkat 70%-100%.
 Aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B menyebabkangangguan fungsi
ginjal, sehingga ekskresi digoksin terganggu,kadar plasma digoksin
mengalami peningkatan.
 Diuretik tiazid, furosemid menyebabkan hipokalemia sehingga
meningkatkan toksisitas digoksin.
3.4.5 Manajemen Keracunan

a. Menghentikan pemberian glikosida jantung dan diuretikayang mengeluarkan K+.


b. Merawat penderita di ruang intensif.
c. Memantau keadaan jantung dengan EKG secara kontinu.
d. Memberikan fenitoin, lidokain, prokainamid untuk mengontrol aritmia
(takiaritmia).

14
e. Memberikan kalium oral atau IV untuk menurunkan ikatandigitalis otot jantung
sehingga efek digitalis dihilangkan secara langsung.
f. Memberikan imunoglobin antidigoksin.
g. Menghindari kardioversia elektrikal.

Imunoglobin antidigoksin

Antidotum (penawar racun) efektif untuk toksisitas digoksin atau digitoksin


yang mengancam jiwa. Tersedia dalam bentuk imuno terapi antidigoksin dengan
fragmen FAB yang dimurnikandari antiserum antidigoksin yang diperoleh dari
domba(digibind). Dosis penetralisirnya didasarkan atas perkiraan totaldosis obat
tertentu atau beban total tubuh.

15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
 Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu
penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam
pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan
bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan.
 Manajemen Terapi dari Paracetamol dapat berupa : Terhirup, Kontak dengan Kulit,
Kontak dengan Mata, Tertelan.
 Adapun tanda dan gejala keracunan dari paracetamol yaitu fase I, II, III, dan IV.
 Adapun tanda – tanda inflamasi adalah : Tumor, Calor, Dolor, Rubor, Functio laesa.
 Mekanisme kerja teofillin menghambat enzim nukleotida siklik fosfodiesterase (PDE).
PDE mengkatalisis pemecahan AMP siklik menjadi 5’-AMP dan GMP siklik menjadi
5’-GMP.
 Manajemen Terapi dari Teofilin yaitu dimulai dengan cara-cara yang dirancang untuk
merangsang muntah (misalnya pemberian ipekak, jika penderita belum muntah) atau
sonde, yang disertai campuran 30 gr arang yang diaktifkan, untuk menyerap teofilin
yang tersisa dalam saluran gastrointestinal.
 Antidotum (penawar racun) efektif untuk toksisitas digoksin atau digitoksin yang
mengancam jiwa.

16
DAFTAR PUSTAKA

 Isnatin Miladiyah, 2012. Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan Aspirin
sebagai Antireumatik, Vol. 4, No. 2, Juli ‐ Desembe. Yogyakarta
 https://karyatulisilmiah.com/obat-obat-antiinflamasi-nosteroid-nsaid/
 http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-danangariw-6712-2-babii.pdf

 Farmakologi dan Terapi, edisi ke-4 (cetakan ulang 2002), bagian Farmakologi FKUI:
Gaya Baru, Jakarta

 https://www.academia.edu/6509942/MAKALAH_TOKSIKOLOGI

 http://sidfirman82.blogspot.co.id/2017/07/toksikologi-obat-dan-penanganan.html

 http://naturalhe4b.blogspot.co.id/2012/12/biokimia-xenobiotik.html

 http://eprints.ums.ac.id/6144/1/K100050119.pdf

 http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-danangariw-6712-2-babii.pdf

 https://www.academia.edu/7781242/TOKSISITAS_OBAT_GLIKOSIDA_JANTUNG

 http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-sistem-kardiovaskuler-0/21-obat-inotropik-positif/211-
glikosida-jantung

 https://dokumen.tips/documents/manajemen-terapi-keracunan-teofilin.html

 https://emedicine.medscape.com/article/818847-clinical

 https://lifeinthefastlane.com/toxicology-conundrum-014/

 http://curriculum.toxicology.wikispaces.net/2.1.11.4.8.2+Theophylline#Theophylline-
MECHANISM%20OF%20TOXIC%20EFFECTS

17

Anda mungkin juga menyukai