Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan praktik residensi neurologi dilakukan sebagai bagian dari proses mencapai
perawat spesialis. Rangkaian proses residensi antara lain melakukan pengelolaan kasus
utama, menyusun resume kasus, melakukan Evidence Based Nursing (EBN), dan
melakukan inovasi keperawatan. Adapun kegiatan yang dilakukan tersebut berdasar pada
peran ners spesialis meliputi pemberi layanan keperawatan, peneliti, inovator khususnya
dalam konteks gangguan neurologi.

Gangguan neurologi merupakan gangguan syaraf yang menjadi salah satu tantangan
kesehatan masyarakat. Penyebab gangguan neurologi diantaranya adalah gangguan
pembuluh darah, trauma, tumor, proses penuaan, dan infeksi (WHO, 2016). Adapun jenis
infeksi pada otak cukup banyak kejadiannya adalah meningitis.

Penyebab paling utama dari meningitis adalah bakteri, virus, maupun jamur. (WHO, 2016).
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri tuberkulosa dinamakan meningitis tuberkulosis (
ME TB). Pengetahuan tentang profil epidemiologis ME TB di wilayah tertentu
memungkinkan untuk merenungkan pentingnya penyakit ini, yang merupakan komplikasi
Tuberkulosis (TB) primer paling sering terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi
(Souza et al, 2014).

Meningitis menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global. Di seluruh dunia,


diperkirakan 1 - 2 juta kasus meningitis terjadi setiap tahun. Masalahnya adalah lebih
signifikan dalam-negara miskin sumber daya mencoba termasuk di beberapa daerah Sub-
Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin (Maimaiti et al., 2012). Di Madagaskar
berada di antara negara-negara dimana TBC sangat endemik. Pada tahun 2013, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan prevalensi tuberkulosis menjadi 442 per 100.000
penduduk (95% CI: 222-735) dan kejadian menjadi 234 per 100.000 penduduk (95% CI:
139- 280). Perkiraan tingkat kematian adalah 46 per 100.000 penduduk (95% CI: 19- 84).
Sebanyak 19.010 kasus baru tuberkulosis paru dan 4.964 kasus tuberkulosis
ekstrapulmoner baru diberitahukan. Tuberkulosis meningitis (TBM) menyumbang sekitar
1% dari semua jenis tuberkulosis dan 5,1% tuberkulosis ekstrapulmoner (Raberahona et al,
2017). Hasil penelitian lainnya yang relevan menyatakan bahwa sekitar 50% pada pasien
meningitis TB mengalami kesakitan dan kematian serta gejala sisa panjang akibat adanya
komplikasi sistemik dan neurologik (Anderson, Somaratne, Mason, Holland, & Thomas,
2010).

Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan meningitis antara lain yaitu
hipertermia, penurunan kapasistas adaptif intrakranial, nyeri akut, defisit volume cairan,
defisit pengetahuan, resiko infeksi, resiko injury, dan potensial komplikasi kejang.
Diagnosis keperawatan lainnya yaitu nyeri akut, risiko perfusi serebral tidak efektif,
hipertermi, gangguan pola tidur, resiko tinggi cidera (Hickey, 2014).
Selain peran dalam memberikan asuhan keperawatan, juga menerapkan Evidence Based
Nursing (EBN). Dimana EBN merupakan suatu pendekatan seumur hidup untuk
memecahkan masalah dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan yang terintegrasi
dengan bukti terbaik dari penelitian sehingga menghasilkan hasil positif bagi pasien
(Kathleen, 2013; Melnyk, Gallagher-Ford, Long, & Fineout-Overholt, 2014). Dalam
penerapan EBN pada pasien gangguan neurologi disini, menerapkan latihan Pelvic Floor
Muscle Training (PFMT)/ Kegel’s Exercise dalam mengatasi inkontinensia urin pada
pasien stroke.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan pelaksanaan terhadap evidence based nursing pada pasien gangguan
sistem persarafan.
1.2.2. Tujuan khusus
1.2.2.1 Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien
gangguan sistem persarafan.

1.3. Manfaat Penulisan


1.3.1. Menjadi masukan bagi perawat sebagai upaya dalam meningkatkan profesionalisme
dalam memberikan asuhan keperawatan berdasarkan evidence based nursing practice.
BAB 2
TINJAUN PUSTAKA

1. Pengertian
Definisi meningitis yang relevan menyatakan bahwa meningitis diidentikkan dengan
adanya proses inflamasi pada meningen yakni membran yang melapisi otak dan saraf
tulang belakang (Black & Hawks, 2014; Smeltzer & Bare, 2008). Meningitis juga diartikan
sebagai peradangan pada meningen yang merupakan selaput dari otak dan sumsum tulang
belakang (WHO, 2016).

2. Etiologi
Salah satu teori menyatakan bahwa meningitis dapat disebabkan oleh adanya virus, bakteri,
jamur, dan parasit lainnya. Akan tetapi bakterilah yang paling banyak menyebabkan
terjadinya meningitis (Hickey, 2014). Penyebaran bakteri dengan kontak langsung melalui
cairan dari saluran pernapasan dari orang yang terinfeksi merupakan hal yang serius
(Williams & Hopper, 2007). Jenis-jenis bakteri yang dominan menyebabkan meningitis
pada orang dewasa yaitu meningokokus (Neisseria Meningitides), pneumokokus
(streptokokus pneumoniae), dan Haemophilus influenza. N Meningitides dan s Pneumoniae
(Black & Hawks, 2014; Mardjono & Sidharta, 2009). Dari beberapa penyebab terjadinya
meningitis, bakteri merupakan jenis parasit tersering yang memyebabkan terjadinya
kejadian meningitis.

3. Klasifikasi
Meningitis secara umum terbagi dalam 2 jenis, yaitu meningitis serosa dan meningitis
purulenta. Meningitis serosa disebut juga meningitis viral atau aspetik, ditandai dengan
jumlah sel protein yang tinggi dan cairan cerebrospinalis yang jernih, penyebab yang paling
sering dijumpai dalah kuman tuberculosis dan virus. Sedangkan meningitis purulenta
disebut juga meningitis bakterial, ditandai dengan eksudat berupa pus. Penyebab dari
meningitis purulenta antara lain adalah Meningococcus, Pneumococcus, Stafilococcus,
Gonococcus, Actynomyces, H influenza dan Entamoeba coli. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulenta yang paling sering ditemukan. Prognosis meningitis yang
disebabkan oleh virus lebih bagus dibandingkan dengan meningitis yang disebabkan oleh
bacterial (Markam, 2009).

4. Patofisiologi
Infeksi meningeal umumnya berasal di salah satu dari dua cara: melalui aliran darah
sebagai konsekuensi dari infeksi lain, atau dengan perluasan langsung, seperti yang
mungkin terjadi setelah cedera traumatis ke tulang wajah, atau sekunder terhadap prosedur
invasif. Setelah organisme penyebab memasuki aliran darah, melintasi penghalang darah
otak dan menyebabkan reaksi peradangan di meningen (Smeltzer & Bare, 2008). Teori
lainnya yang relevan menyatakan bahwa invasi dapat terjadi melalui pleksus koroidalis
(melewati sawar darah otak) atau langsung melalui bukaan di dura. Organisme akan
berkolonisasi di LCS, menyebabkan inflamasi di meningen yang mengandung koloni
tersebut. Setelah itu akan terbentuk eksudat dan meningen menebal, lalu terjadi adhesi yang
menyebabkan hidrosefalus. Arteri – arteri yang menyuplai rongga subarachnoid mungkin
juga menjadi terkena infeksi, sehingga menyebabkan rupture atau thrombosis dari
pembuluh darah tersebut. Jika cukup parah, otak dibawahnya akan ikut terinfeksi, sehingga
menyebabkan edema serebral dan peningkatan Tekanan intracranial (TIK) (Black &
Hawks, 2014).
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari meningitis adalah rigiditas nukal (kaku kuduk), tanda brudzinki dan
kering, serta fotofobia. Manifestasi umum lain yang terkait infeksi dapat juga ditemukan,
seperti sakit kepala, demam, takikardia, kelemahan, menggigil, mual, dan muntah. Klien
mungkin tampak pemarah pada awalnya, tetapi saat infeksi berlanjut, klien tampak sakit
akut dan kebingungan, stupor, atau koma. Kejang dapat terjadi, petekie atau ruam
perdarahan dapat muncul (Black & Hawks, 2014).
Manifestasi klinik klasik dari meningitis adalah sakit kepala, demam, dan seringkali dengan
tanda disfungsi serebral; ini ditemukan pada lebih dari 85% pasien. Mual, muntah,
kekakuan, kelemahan, myalgia, dan fotofobia juga umum. Meningismus mungkin samar-
samar atau jelas, disertai dengan tanda kering dan brudzinki. Tanda ini hanya ada sekitar
50% pada orang dewasa. Disfungsi serebral dimanifestasikan dengan konfusi, delirium,
atau menurunnya tingkat kesadaran berkisar dari letargi sampai koma. Kelumpuhan saraf
kranial, khususnya yang melibatkan saraf kranial IV, VI dan VII ditemukan sekita 10- 20%
pada kasus. Kadang-kadang bersamaan dengan deficit neurologi fokal seperti defek
lapangan pandang, disfasia, dan hemiparesis pada minoritas kecil pasien. Kejang terjadi
sekitar 40% kasus. Adanya kelumpuhan saraf ke enam, dimanifestasikan sebagai
kelemahan dari otot traktus lateralis, menunjukkan kenaikan ICP (Isselbacher et al.,2013).

6. Komplikasi
Komplikasi dari meningitis bakterial tergantung pada mikroorganisme penyebab dan
tingkat keparahan penyakit. Kelumpuhan syaraf cranial dan hilangnya fungsi sensorineural
pendengaran, penglihatan, hidrosefalus, gangguan kepribadian, sakit kepala, kejang,
kelemahan atau kelumpuhan (Hickey, 2013). Peningkatan tekanan intrakranial karena
edema serebral, sindrom herniasi dengan tanda kompresi batang otak serta SIRS (Sindrom
Inflamasi Respon Sistemik) (Archibald & Quisling, 2013). Komplikasi sekunder neurologi
termasuk infark serebral, cerebral venous thrombosis, SIADH (Syndrome of Inappropriate
Antidiuretic Hormone) dan pneumonia aspirasi (S. Woodward & Mestecky, 2011). Pada
pasien dengan demam berkepanjangan durasi 10 hari lebih, sampai 25% mungkin memiliki
efusi subdural. Beberapa kasus ini dapat berlanjut ke subdural empyema. Infark kortikal
adalah komplikasi umum dari meningitis bakteri dan biasanya terjadi akibat vasospasme
dari pembuluh darah otak atau vaskulitis yang berhubungan dengan meningitis sendiri
(Archibald & Quisling, 2013). Cerebritis adalah komplikasi dini yang mungkin terjadi
selama 4 hari pertama. Daerah nekrotik diisi dengan sel polimorfonuklear, limfosit, dan sel
plasma serta dengan pembengkakan parenkim seperti pada cerebritis. Pada akhir cerebritis
(4-8 hari), nekrosis meningkat ada pembuluh darah proliferasi dan sel inflamasi lebih
dalam, serta supuratif fokus mulai breakdown dan menjadi kapsul (Archibald &
Quisling,2013).

7. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis meningitis ditegakkan dengan pemeriksaan lumbal fungsi. Pasien meningitis
bacterial akan menunjukkan sebagai berikut :
a. Tekanan CSS meningkat sedang
b. Peningkatan kadar protein CSS (normal 15 – 45 mg/dl)
c. Penurunan kadar glukosa darah CSS (normal, 60-80 mg/dl, atau dua pertiga nilai glukosa
serum)
d. Peningkatan sel darah putih, biasanya meningkat (100 hingga 10,000/cm3) dengan
dominasi leukosit polimornuklear (Black & Hawks, 2014).
Gambaran dari pemeriksaan CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada
pasien meningitis tuberkulosis seiring dengan perkembangan penyakit, gambaran yang
sering ditemukan adalah peningkatan didaerah basal, tampak hidrosepalus komunikan
disertai dengan tanda- tanda edema otak atau iskemia fokal. Hal lain yang dapat ditemukan
tuberkulosis yang silent, biasanya didaerah thalamus atau kortek serebri (Isselbacher et al.,
2013).

8. Penatalaksanaan Medis
Hasil yang baik tergantung pada identifikasi awal antibiotik yang dapat melalui sawar
darah otak ke dalam ruang subarachnoid dengan konsentrasi yang cukup untuk
menghentikan multiplikasi bakteri, antibiotik penisilin (misalnya, ampisilin, piperacillin)
atau salah satu dari sefalosporin (misalnya, ceftriaxone sodium, cefotaxime sodium) dapat
digunakan. Vankomisin hidroklorida sendiri atau dalam kombinasi dengan rifampisin dapat
digunakan jika resistan terhadap bakteri diidentifikasi. Dosis tinggi dari antibiotik yang
sesuai diberikan secara intravena (Smeltzer & Bare, 2008).

Distribusi rata-rata umur pasien stroke pada kasus resume praktik


residensi KMB kekhususan neurologi di RSUP dr. Cipto
Mangunkusumo
Jakarta 2017
no variabel mean±SD Median Min-max 95% CI
1 Umur 54.7±13.5 52 31-79 48.8-60.5

Tabel 3.5 didapatkan hasil bahwa rata-rata umur pasien yang mengalami stroke
adalah 54.7 tahun dengan umur paling muda adalah 31 tahun. Ada beberpa faktor
yang tidak dapat dimodifikasi terjadinya stoke, salah satunya adalah umur.
Peningkatan umur bertolak belakang dengan kesehatan pembuluh darah. Hal ini
dikarenakan semakin meningkat umur maka akan semakin tinggi pula kejadian
palque atau trombus akibat gaya hidup yang tidak baik. Disamping gaya hidup,
faktor keturunan juga dapat menjadikan gangguan pada pembuluh darah sehingga
terjadinya stroke. Hal ini dapat dilihat dari tabel yang menyatakan bahwa ada
pasien dengan usia 31 tahun sudah mengalami stroke.

Evidence Based Nursing Practice (EBN) Penerapan pelvic floor muscle training
(PFMT) pada pasien stroke dengan inkontinensia urin

Analisis Problem Intervention Comparasion Outcome (PICO)

Masalah inkontinensia urin muncul pada pasien stroke. Hasil interview


dengan beberapa perawat di ruang neurologi lantai 5 Gedung A RSCM yang
mengatakan bahwa pada pasien dengan inkontinensia urin sudah dilakukan
tindakan bladder training tetapi dirasakan belum efektif membantu pasien untuk
mengontrol berkemihnya. Hasil pengamatan dari beberapa pasien yang setelah di
bladder training yang terpasang kondom kateter mengatakan sudah merasakan
adanya keinginan berkemih tetapi tidak mampu mengontrol. Beberapa pasien
yang terpasang kondom kateter setelah dilakukan bladder training tidak
merasakan adanya keinginan berkemih. Salah satu tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi inkontinensia urin selain dilakukan bladder training
adalah pelvic floor muscle training (PFMT)/Kegel’s Exercise. Tindakan
pembanding pada EBN ini adalah tindakan keperawatan yang telah lazim
dilakukan di ruangan.Dengan penerapan EBN ini diharapkan mampu mengatasi
masalah inkontinensia urin yang terjadi pada pasien stroke sehingga kualitas
hidup pasien stroke akan meningkat

Berdasarkan ilustrasi diatas maka dapat disimpulkan analisis PICO pada


penerapan EBN adalah problem patient (P) berupa inkontinensia urin dengan
intevention (I) yang akan dilakukan berupa PMFT dengan comparison (C)
berupa tindakan yang lazim dilakukan diruangan dan dengan outcome (O)
inkontinesia urin teratasi.

Penulusuran Artikel

Berdasarkan kata kunci tersebut ditemukan artikel-artikel dengan jenis


sistematik review, randomized kontrolled trials (RCT), dan konsensus dokumen
dari para ahli. Kemudian dipilih satu artikel untuk dijadikan rujukan dan
beberapa artikel lainnya sebagai pendukung. Berikut merupakan tabel
penelusuran evidence
Hasil pencarian dengan memasukkan kata kunci “urine incontinece AND Pelvic
muscle floor training”

Didapatkan 80 artikel penelitian. Kemudian ditambahkan “OR kegel’s


exercice” didapatkan 124 artikel. Kemudian ditambahkan “ AND
stroke” didapatkan hasil penelusuran evidence

N Sumber
o Kata Penelusuran
Kunci
EBSCO Science direct Proquest NCBI
1 Kata kunci Hasil Hasil Hasil Hasil pencarian
yang pencarian pencarian pencarian dengan
digunakan dengan dengan dengan memasukkan kata
yaitu memasukkan memasukkan memasukkan kunci “urine
“Urine kata kunci kata kunci kata kunci incontinece AND
incontinen “urine “urine “urine Pelvic muscle
ce AND incontinece incontinece incontinece floor training”
AND Pelvic AND Pelvic AND Pelvic
muscle floor muscle floor muscle floor Didapatkan 80
Pelvic training” training” training” artikel
penelitian.
muscle
Didapatkan Didapatkan Didapatkan Kemudian
floor 165 artikel 1800 artikel 2015 artikel ditambahkan
training penelitian. penelitian. penelitian. “OR kegel’s
OR Kemudian Kemudian Kemudian exercice”
ditambahka ditambakan “ ditambakan “ didapatkan 124
Kegel’s
n “AND AND stroke” AND stroke” artikel.
Exercise stroke” didapatkan didapatkan Kemudian
AND didapatkan ditambahkan “
stroke” 8 artikel 72 artikel. 77 artikel. AND stroke”
didapatkan 8
artikel
Inkontinensia urin didefinisikan oleh International Continence Society (ICS) sebagai
suatu kondisi di mana urin keluar tanpa disengaja yang merupakan masalah sosial
atau kesehatan dan di tunjukkan secara obyektif (Black & Hawks, 2005).
Inkontinensia urin merupakan sindrom multifaktorial yang dihasilkan oleh
kombinasi patologi genitourinari, perubahan yang berhubungan dengan usia, dan
kondisi komorbid yang mengganggu mikturisi normal atau kemampuan fungsional
diri untuk berkemih, atau keduanya (DuBeau, 2000).

Menurut DuBeau (2000) Inkontinensia dapat diklasifikasikan ke dalam tipe


diagnostik klinik yang digunakan dalam perencanaan evaluasi dan pengobatan,

klasifikasi inkontinensia urin adalah sebagai berikut Transient Incontinence,Urge


Incontinence,Stress Incontinence,Overflow Incontinence, dan Inkontinensia
fungsional

Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim saraf
otonom dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks
fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral,
sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi
pada berbagai derajat (Japardi, 2002).

Mekanisme berkemih terdiri dari 2 proses, yaitu proses pengisian dan pengosongan. Pada
fase pengisian, serabut aferen dri dinding vesika urinaria menerima impuls regangan yang
dibawa oleh nerves pelvicus ke corda spinalis S2-S4 kemudian diteruskan ke syaraf pusat
melalui traktus spinotalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi ke otak mengenai
volume urin. Pusat subcortikal menyebabkan muskulus detrusor vesika urinaria
berelaksasi dan muskulus spinchter uretra interna berkontraksi akibat peningkatan
aktivitas saraf simpatis yang berasal dari nucleus intermediolateralis cornu lateralis
medulla spinalis Thorak 10 – lumbal 2 yang dibawa oleh nerves hipogastrikus sehingga
saat pengisian tanpa menstimulus respon berkemih. Saat proses pengisian berlanjut, pusat
kortikal bekerja menghambat pengeluaran urin. Sedankan fase pengosongan timbul dari
stimulasi sistem parasimpatik yang berasal dari s2-s4 dan dibawa oleh nerves eregentes
yang menyebabkan kontraksi muskulus detrusor vesicae. Selain itu terjadi proses inhibisi
(blok) pada sistem simpatis yang menyebabkan terjadinya relaksasi spinchter uretra
interna. Berkemih kemudian terjadi saat spinchter uretra eksterna relaksasi akibat
penurunan aktivitas serabut saraf somatik yang dibawa oleh nerves pudendus dan adanya
peningkatan tekanan intra vesikal melebihi tekanan intrauretra. Stress incontinence terjadi
ketika tekanan intravesikal yang melampaui tekanan maksimum uretra pada aktivitas
detrusor yang berkurang. Peningkatan tekanan vesikal seringkali berhubungan dengan
aktivitas seperti bersin, batuk dan tertawa. Keadaan ini kemungkinan terdapat kelemahan
pada sfingter uretra atau, pada wanita terjadi perubahan sudut uretrovesikal. Dalam
keadaan normal, fase pertama proses pengosongan urin, sudut uretrovesikal menghilang
selama kandung kemih turun. Dengan menghilangnya sudut uretrovesikal, turunnya
corong kandung kemih dengan posisi kandung kemih berputar kebawah dan kebelakang.
Keadaan tersebut merupakan posisi anatomi pada fase pertama proses pengosongan urin,
sehingga beberapa aktivitas yang menyebabkan penurunan tekanan pada kandung kemih
mengakibatkan proses pengosongan urin. Pada laki-laki, perubahan patofisiologi biasanya
terjadi akibat BPH (Benigna Prostat Hipertrofi) yang dapat menyebabkan retensi,
overflow, dan stress incontinence. Urgency incontinence, salah satu masalah yang
berpengaruh yaitu tidak adanya hambatan kontraksi detrusor yang berhubungan dengan
gangguan sistem saraf tepi. Overflow incontinence berhubungan dengan masalah retensi
dan overdistensi kandung kemih akibat berlebihnya jumlah urin (Polaski & Tatro, 1996).

PFMT/Kegel’s exercise

Telah disebutkan diatas bahwa dalam manajemen atau penatalaksanaan pasien inkontinensia
urin secara konservatif non-farmasetikal (non-drug treatment) yaitu dengan memberikan
behavioural therapy yang diantaranya adalah Kegel’s exercise dan bladder training (Bren,
2005). Behavioural therapy dalam bentuk bladder re-education bertujuan membantu pasien
yang mengalami urinary frequency dan urgency untuk belajar kembali mengontrol kandung
kemihnya. Bladder re- education efektif untuk mengatasi detrusor instability dan sensory
urgency (Fillingham & Douglas, 2000). Metode behavioural therapy mudah dilakukan
dan tidak ada efek yang merugikan bagi pasien. Penjabaran behavioural

therapy khususnya PFMT Kegel’s Exercise adalah sebagai berikut.

Kegel’s exercise pertama kali dikenalkan oleh Dr. Arnold Kegel pada tahun 1948
sebagai metode yang dianjurkan untuk pengobatan pasien inkontinensia urine (Black
& Hawks, 2014). Kegel’s exercises diartikan sebagai penguatan otot pubococcygeal
secara sadar, dengan melakukan gerakan kontraksi yang berulang- ulang untuk
menurunkan stress atau urge incontinence (Bulechek & McCloskey, 1999).
Kegel’s exercises melibatkan kontraksi dan relaksasi secara sadar otot dasar pelvis,
menguatkan otot-otot dasar pelvis yang menyokong uretra, kandung kemih, uterus
dan rektum (Anonim, 2007).
Otot dasar pelvis mencakup pubococcygeal muscle yang mengelilingi midportion uretra.
Pada lansia otot ini sering mengalami kelemahan yang terjadi karena atrofi akibat kesalahan
penggunaan. Latihan otot dasar pelvis atau Kegel’s exercise yang dilakukan dengan benar
akan menguatkan otot tersebut, meningkatkan resistensi uretra, dan disertai dengan
penggunaan otot secara sadar oleh pasien untuk mencegah urinary accidents.
Otot dasar pelvis tidak dapat dilihat dari luar, sehingga sulit untuk menilai
kontraksinya secara langsung. Oleh karena itu, latihan perlu benar-benar dipelajari
agar otot yang dilatih adalah otot yang tepat dan benar. Keberhasilan akan dicapai
bila: 1) pastikan bahwa pengertian pasien sama dengan yang dimaksud pemberi
latihan, 2) latihan dilakukan tepat pada otot dan cara yang benar, 3) lakukan secara
teratur, beberapa kali per hari, 4) praktekkan secara langsung pada setiap saat
dimana fungsi otot tersebut diperlukan, 5) latihan setiap hari dan dilakukan secara
terus menerus.

Ketepatan dalam melakukan Kegel’s exercise akan mempengaruhi keberhasilan


yang ingin dicapai, pastikan bahwa otot yang dilatih adalah otot dasar pelvis dan
cara melakukan kontraksi tepat. Pada saat kontraksi otot dasar pelvis, otot paha,
abdomen dan otot gluteus tidak ikut berkontraksi. Dr. Kegel pertama kali
mengembangkan latihan ini untuk membantu wanita sebelum dan sesudah
melahirkan, kemudian didalam perkembangannya latihan ini juga digunakan untuk
membantu memperbaiki kontinensia pada pria dan wanita.
Pelaksanaan EBN

Subjek Penerapan EBN

Subjek dalam penerapan EBN ini adalah semua pasien stroke yang dirawat di ruang
neurologi Zona A Lantai V RSCM.
Adapun kriteria subjek yang sesuai untuk pelaksanaan EBN ini adalah:
1. Pasien stroke iskemik/hemoragie

2. GCS 14-15
3. Mampu berkomunikasi verbal/non verbal
4. Pasien yang mengalami inkontinensia urin
5. Melewati fase akut serangan stroke Sementara
itu kriteria eksklusi subjek adalah:
1. Pasien yang terdiagnosis tumor intraspinal/SCI
2. Pasien afasia sensorik
3. Terpasang folley kateter
4. MAP lebih dari 150 mmhg, suhu lebih dari 37,5
Prosedur Pelaksanaan EBN
Tahap persiapan
1. Membuat proposal EBN ditujukan kepada Bidang Keperawatan Komite Etik Keperawatan
dan Ruang Neurologi Zona A Lantai V RSCM.

2. Melakukan presentasi proposal EBN di Ruang Neurologi Zona A Lantai V


RSCM
3. Sosialisasi tentang tindakan PFMT /Kegel’s Exercise
4. Mempersiapkan protap tindakan PFMT /Kegel’s Exercise
Tahap pelaksanaan
Penerapan kegiatan EBN terkait PFMT atau Kegel’s exercise di Ruang neurologi
lantai 5 Gedung A RSCM Jakarta. Mahasiswa telah mensosialisasikan kegiatan
EBN kepada kepala ruangan, perawat primer dan perawat pelaksana dan pada
prinsipnya disetujui dan dapat dilaksanakan. PFMT /Kegel’s exercise dilakukan
setelah penulis mendapatkan ijin dari pasien dan keluarganya. Penerapan EBN ini

melibatkan pasien stroke yang dirawat di ruang neurologi lt. 5 RSCM Jakarta yang
disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan kriteria terebut, didapatkan 3
pasien yang sesuai. Penerapan EBN ini dilaksanakan pada minggu IV April - I Mei 2017 (1
minggu).

Adapun pelaksanaan EBN berdasarkan telaah jurnal yang valid yaitu:

a. Dikaji data terkait demografi dan riwayat penyakit pasien. Jika pasien sesuai dengan
kriteria inklusi maka akan dilanjutkan dengan penjelasan terkait pelaksaan EBN.
b. Dilakukan pengukuran kejadian inkontinensia urin dengan menggunakan 3
Incontinence Question (3IQ)
c. Pasien diposisikan terbaring atau duduk
d. Dianjurkan pasien untuk mengontraksikan otot dasar panggul (sama seperti menaha
kencing dan pasien harus dapat merasakan otot dasar panggul)
e. jika otot abdomen/perut dan atau otot pantat juga mengeras/kontraksi maka pasien tidak
mengkontraksikan otot dasar panggul dengan benar.
f. Dilakukan kontraksi dalam hitungan selama 10 detik kemudian istirahat selama 10
detik.
g. Latihan dilakukan 5-10 kali setiap sesi
h. Latihan dilakukan sehari 3 kali dalam seminggu
i. Setelah intervensi diberikan, mahasiswa mengukur kembali kejadian
inkontinensia urin.

Anda mungkin juga menyukai