Anda di halaman 1dari 6

Tugas Bisnis Agroindustri

Prospek Pengembangan dan Ekspor Produksi Sorgum di Indonesia

Dosen Pengampu :

Dr. Ir. Wiludjeng Roessali, M. Si

Disusun Oleh :

Janne Hillary

NIM. 2301031641001

MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2016
Prospek Pengembangan dan Ekspor Produksi Sorgum di Indonesia

Salah satu masalah dalam pencapaian ketahanan pangan adalah ketergantungan terhadap
bahan pangan impor, terutama beras dan gandum. Konsumsi pangan pokok di Indonesia masih
cenderung bias ke beras meskipun besaran konsumsi per kapita cenderung menurun. Baik di kota
maupun di perdesaan, konsumsi terigu dan produk turunannya secara agregat meningkat,
sementara konsumsi pangan umbi-umbian justru menurun.
Pergeseran konsumsi pangan yang mensubstitusi peranan beras sebagai sumber kalori
justru terjadi pada berbagai produk makanan berbahan baku gandum yang merupakan bahan
pangan impor, seperti mie dan roti. Pada golongan masyarakat tertentu, konsumsi mie dan roti
yang dibuat dari tepung terigu bahkan telah menggantikan peranan beras sebagai bahan makanan
untuk sarapan pagi dan perubahan pola konsumsi tersebut cenderung meningkat sejalan dengan
naiknya pendapatan dan tumbuhnya daerah perkotaan. Ketergantungan terhadap beras yang
masih sangat tinggi di satu sisi dan konsumsi produk impor terigu yang semakin meningkat
cukup pesat di sisi lain, merupakan indikator negatif bagi kemandirian pangan nasional
(Susilowati dan Saliem, 2013).
Dalam rangka diversifikasi pangan lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap
konsumsi terigu sebagai bahan pangan impor, Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah
satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Kelebihannya, tanaman sorgum dapat ditanam pada lahan kering, rawa, dan lahan masam yang
tersedia cukup luas di Indonesia, sekitar 38,7 juta hektar, dengan produktivitas yang cukup
tinggi, dan kandungan protein lebih tinggi dari beras. Sorgum mempunyai karakteristik yang
lebih dekat dengan gandum sehingga berpotensi menggantikan terigu dan dapat menghasilkan
gula. Selain digunakan untuk bahan pangan sorgum juga dimanfaatkan untuk pakan ternak
(Susilowati dan Saliem, 2013).
Sorgum merupakan tanaman yang proses budidayanya mudah dengan biaya yang relatif
murah, dapat ditanam secara monokultur maupun tumpangsari, dan produktivitas tinggi. Selain
itu tanaman sorgum lebih tahan terhadap hama dan penyakit sehingga risiko gagal relatif kecil.
Tanaman sorgum memiliki kemampuan tumbuh kembali setelah dipanen atau disebut
ratun,sehingga akan mengurangi biaya produksi (Subagio dan Suryawati, 2013).
Produksi Sorgum di Indonesia
Budi daya sorgum oleh petani Indonesia sudah dilakukan sejak lama. Namun masih
belum stabil, sehingga data terkait komoditas sorgum masih sangat minim. Pada era Orde Baru,
pengembangan sorgum dirasakan kurang karena program Bimas dan Inmas fokus pada
komoditas padi sehingga kedudukan sorgum sebagai bahan pangan lokal tergeser oleh beras.
Pengembangan sorgum terus menurun karena belum adanya pemanfaatan sorgum untuk
keperluan tertentu selain pangan dan pakan. Beberapa masyarakat lokal hanya menjadikan
sorgum sebagai tanaman sela di kebun dan sebagai alternatif pangan menjelang masa paceklik
(Susilowati dan Saliem, 2013).
Meskipun kandungan nutrisi sorgum tinggi, tetapi saat ini belum dapat dimanfaatkan
secara optimal. Harga sorgum belum mampu bersaing dengan serealia lain seperti beras, jagung,
gandum dan kacang-kacangan. Pemanfaatan sorgum oleh petani juga masih terkendala oleh
kelengkapan fasilitas yang diperlukan seperti mesin pemecah biji dan peralatan pascapanen
lainnya. Biji sorgum sulit dikupas sehingga diperlukan perbaikan teknologi penyosohan
(Susilowati dan Saliem, 2013).
Daerah-daerah budi daya sorgum di Indonesia, antara lain di Jawa, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Data dan
informasi terkini yang tersedia dari beberapa referensi masih bersifat parsial di wilayah-wilayah
tertentu, tidak secara nasional. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, terdapat area sorgum seluas 3,200
ha, dimana produksinya digunakan untuk pakan, sirup, dan tepung. Di Kendari, hasil sorgum dari
area seluas 6,000 ha digunakan untuk pakan dan sirup. Di Wayngapu, Sumba, NTT, hasil sorgum
dari area seluas 4,000 ha digunakan untuk pakan, sirup, dan tepung. Di Purwakarta, Jawa Barat
dan Pasuruan, Jawa Timur, produksi sorgum, masing-masing dari area seluas 3.000 ha,
digunakan untuk sirup dan tepung (Susilowati dan Saliem, 2013; Subagio dan Suryawati, 2013).
Pengembangan sorgum di Jawa Timur akan terus meningkat sejalan dengan peluang
pasar untuk bahan baku industri (tepung) oleh PT Indofood Tbk. Pengembangan sorgum oleh
PTPN XII selain memenuhi produksi kebutuhan campuran terigu untuk tepung bumbu (PT
Indofood Tbk) juga dintegrasikan dengan ternak dan bahan industri gula. Wilayah penghasil
sorgum yang merupakan pengembangan rintisan integrasi dengan ternak dapat dijumpai di
Kabupaten Sidrap dan Konawe Selatan di Sulawesi, dan Kabupaten Lampung Selatan (Subagio
dan Suryawati, 2013).
Luas panen sorgum dalam periode 2005-2011 cenderung terus menurun, tetapi
produktivitas dan produksi relatif meningkat (Tabel 1). Luas panen mengalami penurunan rata-
rata 1,5% per tahun. Peningkatan luas panen terjadi pada tahun 2011. Pemerintah melalui Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)berupaya mengembangkan sorgum sebagai pangan, pakan, dan
energi alternatif. PTPN XII pada tahun 2013 telah mengembangkan sorgum seluas 1. 154 ha dan
pada tahun 2014 ditingkatkan menjadi 3. 000 ha (Subagio dan Suryawati, 2013).

Dalam upaya peningkatan produksi sorgum, Badan Litbang Pertanian hingga tahun 2012
telah melepas 15 varietas sorgum dengan berbagai karakter keunggulan (Tabel 2). Peluang
peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas masih terbuka karena hingga sekarang
produktivitas sorgum baru mencapai 60% dari potensi hasil yang dapat dicapai. Penyebab
rendahnya produksi sorgum adalah penggunaan benih yang tidak bermutu dan pemeliharaan
tanaman yang tidak optimal. Varietas Numbu, Kawali, dan Galur Harapan (Citayam) yang
dikembangkan di PTPN XII mampu memberi hasil rata-rata 3,6 t/ha (Subagio dan Suryawati,
2013).
Prospek Komoditas Ekspor
Pengembangan sorgum juga berperan dalam meningkatkan ekspor nonmigas, mengingat
pemanfaatan sorgum di luar negeri cukup beragam. Pada tahun 1950an hingga 1960an,produksi
sorgum Indonesia pernah diekspor ke Singapura, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan Jepang
untuk digunakan sebagai bahan baku pakan, industri makanan dan minuman. Ekspor sorgum
selama Pelita V mencapai 1.092.400 kg dengan nilai US$ 116.211, sedangkan impor sorgum
mencapai 4.615 kg atau US$ 3.988, sehingga masih terjadi net ekspor 1.087.785 kg atau
perolehan nilai devisa US$ 112.233. Prospek penggunaan biji sorgum yang terbesar adalah untuk
pakan, yang mencapai 26,63 juta ton untuk wilayah Asia Australia dan diperkirakan masih terjadi
kekurangan sekitar 6,72 juta ton. Kondisi ini memberi peluang bagi Indonesia untuk mengekspor
sorgum (Subagio, H dan M. Aqil, 2013; Susilowati dan Saliem, 2013).

Tabel 3. Ekspor dan Impor Produksi Sorgum Selama Pelita V di Indonesia

Hingga kini, perkembangan produksi sorgum nasional belum masuk dalam statistik
pertanian, yang menunjukkan bahwa komoditas tersebut belum mendapat prioritas untuk
dikembangkan. Namun ditinjau dari daerah pengusahaan yang cukup luas, rata-rata produktivitas
yang lebih tinggi dibanding negara produsen utama sorgum, serta adanya defisit permintaan
sorgum di beberapa negara, sorgum mempunyai prospek yang cukup cerah di Indonesia
(Subagio, H dan M. Aqil, 2013).
Dengan pesatnya perkembangan industri berbasis sorgum di tingkat global secara tidak
langsung akan meningkatkan permintaan. Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi Indonesia
mengingat kondisi agroklimat Indonesia yang sangat sesuai untuk pengembangan sorgum.
Optimalisasi pengembangan produksi sorgum di Indonesia akan dapat meningkatkan produksi
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Dukungan pemerintah dibutuhkan dengan
menempatkan sorgum sebagai prioritas dalam program perluasan tanam. Bagi Indonesia, apabila
dalam waktu 6-15 tahun mendatang (2020-2030) sorgum dapat dikembangkan sebagai
suplementasi pangan pokok beras dan komponen ransum pakan, maka hal itu akan menjadi
kebangkitan tanaman sorgum yang selama ini telah ditinggalkan (Subagio, H dan M. Aqil, 2013).

Referensi
Direktorat Budidaya Serealia. 2013. Kebijakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam
Pengembangan Komoditas Jagung, Sorgum dan Gandum. Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan. Kementan RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1996. Prospek sorgum sebagai bahan
pangan dan industri pangan. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk
Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4- 1996: 2−5.
Sirappa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia sebagai Komoditas Alternatif
Untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-139
Subagio, H dan M. Aqil. 2013. Pengembangan Produksi Sorgum di Indonesia. Seminar Nasional
Inovasi Teknologi Pertanian: 199-213.
Subagio, H dan Suryawati. Wilayah Penghasil dan Ragam Penggunaan Sorgum di Indonesia.
Sorgum: Inovasi Teknologi dan Pengembangan. IAARD Press. Jakarta, hal: 24-37.
Subandi., Roesmarkan, S., dan E. Muchlis. 1985. Hasil Penelitian Pemuliaan Sorgum. Risalah
Rapat Teknis Puslitbangtan. Bogor
Susilowati, S.H., dan H.P. Saliem. 2013. Perdagangan Sorgum di Pasar Dunia dan Asia serta
Prospek Pengembangannya di Indonesia. Sorgum: Inovasi Teknologi dan Pengembangan.
IAARD Press. Jakarta, hal: 7-23.

Anda mungkin juga menyukai