Anda di halaman 1dari 10

SLIDE 2

Al-qur’an

Al-Qur’an adalah
kitab suci agama islam merupakan kumpulan wahyu Ilahi
yangdisampaikan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantara
malaikat jibriluntuk mengatur hidup dan kehidupan umat Islam pada khususnya
dan umatmanusia pada umumnya
HADIST
adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadis dijadikan
sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadis
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.
IJTIHAD
Pada dasarnya Ijtihad memiliki fungsi untuk membantu manusia dalam
menemukan solusi hukum atas suatu masalah yang belum ada dalilnya di
dalam Al-quran dan hadits. Sedangkan tujuan Ijtihad adalah untuk
memenuhi kebutuhan umat Islam dalam beribadah kepada Allah pada
waktu dan tempat tertentu.

BEBERAPA JENIS IJTIHAD

1. Ijma’

Pengertian Ijma’ adalah suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan


hukum agama Islam berdasarkan Al-quran dan hadits dalam suatu perkara.
Hasil dari kesepakatan para ulama tersebut berupa fatwa yang
dilaksanakan oleh umat Islam.

2. Qiyas

Pengertian Qiyas adalah suatu penetapan hukum terhadap masalah baru


yang belum pernah ada sebelumnya, namun mempunyai kesamaan
(manfaat, sebab, bahaya) dengan masalah lain sehingga ditetapkan hukum
yang sama.

3. Maslahah Mursalah
Pengertian Maslahah Mursalah adalah suatu cara penetapan hukum
berdasarkan pada pertimbangan manfaat dan kegunaannya

SLIDE 3
Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan
manusiadenganTuhannya, yaitu iman, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Hukum kemasyarakatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan
manusiadengan sesamanya CONTOHNYA SEPERTI : muamalah, munakahat, dan
ukubat.a.
 Muamalah mengatur tentang harta benda (hak, obligasi, kontrak,
seperti jual beli, sewa menyewa, pembelian, pinjaman, titipan, pen
galihan utang,syarikat dagang, dan lain-lain).b.
 Munakahat, yaitu hukum yang mengatur tentang perkawinan
danperceraian serta akibatnya seperti iddah, nasab, nafkah, hak
curatele, waris,dan lain-lain.Hukum dimaksud biasa disebut hukum
keluarga dalam bahasa Arab disebutAl-Ahwal Al-Syakhsiyah.
Cakupan hukum dimaksud biasa disebut hukumperdata.
 Ukubat atau Jinayat, yaitu hukum yang mengatur tentang pidana
sepertimencuri, berzina, mabuk, menuduh berzina, pembunuhan
serta akibat-akibatnya.
SLIDE 4
Prinsip TauhidTauhid adalah prinsip umum hukum islam. Prinsip ini
menyatakan bahwa semuamanusia ada dibawah satu ketetapan yang
sama, yaitu ketetapan tauhid yangdinyatakan dengan kalimat
la ilaha illallah
(tidak ada Tuhan selain Allah).Berdasarkan prinsip ini, maka pelaksanaan
hukum islam merupakan ibadah. Ibadahdalam arti penghambaan
manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagaimanifestasi
kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian, tidak boleh terjadi
salingmenuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lain.
Pelaksanaan hukumislam adalah ibadah dan penyerahan diri kepada
keseluruhan kehendak-Nya.
2.Prinsip KeadilanKeadilan berarti keseimbangan. Istilah keadilan pada
umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebikjasanaa
seorang pemimpin. Akan tetapi, keadilan dalamhukum islam meliputi
berbagai aspek kehidupan. Prinsip keadilan meliputi keadilandalam
berbagai hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, hubungan
antaramanusia dengan sesama manusia dan masyarakatnya, dan
hubungan manusia dengan berbagai pihak yang terkait. Keadilan dalam
hukum islam berarti pula keseimbanganantara kewajiban yang harus
dipenuhi oleh manusia dengan kemampuan manusiauntuk
melaksanakan kewajiban itu.

Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf berarti hukum islam


digerakkan untuk merekayasa manusia menujutujuan islam digerakan
untuk merekayasa manusia menuju tujuan yang baik dan benaryang
dikehendaki dan diridhai Allah. Nahi munkar berarti fungsi kontrol
sosialnya.Atas dasar prinsip inilah, dalam hukum islam dikenal adanya
perintah dan larangan,wajib dan haram, pilihan antara melakukan dan
tidak melakukan perbuatan yangkemudian dikenal dengan istilah hukum
yang lima (al-ahkamul khasamah), yakni:wajib, sunnat, mubah, makruh,
dan haram.
.4. Prinsip Kemerdekaan atau KebebasanKebebasan dalam arti luas
mencakup berbagai jenis, baik kebebasan individualmaupun kebebasan
komunal, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dankebebasan
berpolitik. Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dan
hukumislam tidak disiarkan berdasarkan paksaan, akan tetapi
berdasarkan penjelasan,argumentasi, dan peryataan yang meyakinkan.
5. Prinsip Persamaan atau EgaliterContoh yang paling nyata dari
pelaksanaan prinsip egalite ini adalah islam menentang perbudakan.
Kemuliaan manusia bukan terletak pada ras dan warna kulit.
Kemuliaanmanusia adalah karena zat manusianya itu sendiri dan pada
tinggi rendahnyaketaqwaan seorang

6. Prinsip Ta’awun
Prinsip ta’awun berarti tolong
-menolong antara sesama manusia. Tolong-menolongini diarahkan
sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam upaya
meningkatkankebaikan dan ketaqwaan kepada Allah. Prinsip ini
menghendaki kaum muslim salingmembantu atau menolong dalam
kebaikan dan ketaqwaan
.7.Prinsip Toleransi (tasamuh)Hukum islam mengharuskan umatnya
hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpamemandang ras dan
warna kulit. Toleransi yang dikehendaki islam adalah toleransiyang
menjamin tidak terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya. Toleransi
hanya daatditerima apabila tidak merugikan umat islam. Adapun tujuan
ditetpakannya hukumislam adalah untuk kemaslahatan manusia
seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia,maupun kemaslahatan di akhirat
nanti. Apabila dirinci, maka tujuan ditetapkannyahukum islam ada lima,
yakni:1.

SLIDE 5
Memelihara Kemaslahatan AgamaAgama adalah suatu yang harus
dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapatterangkat lebih tinggi
dari martabat makhluk lain, dan juga untuk memenuhikebutuhan
jiwanya. Beragama merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi
bagi manusia karena agamalah yang dapat menyentuh hati nurani
manusia.Agama islam harus dipeihara dari ancaman orang-orang yang
tidak bertanggun jawab yang hendak merusak akidah, ibadah akhlaknya.
Agama islam memberi perlindungan dari kebebasan bagi penganut
agama lain untuk meyakini danmelaksanakan ibadah menurut agama
yang dianutnya.2.

Memelihara JiwaMenurut hukum islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu


islam mlarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam hukuman
qishash
(pembalasanyang seimbang), sehingga diharapkan sebelum orang mau
melakukanpembunuhan, dia berpikir dua kali, karena apabila orang
dibunuh meninggal,maka pembunuh dihukum
qishash
atau dibunuh pula.3.

Memelihara AkalManusia adalah makhluk Allah yang paling mulia.


Setidaknya ada dua hal yangmembedakan manusia dengan makhluk lain.
Pertama manusia dijadikan Allahsebagai makhluk yang memiliki bentuk
yang paling baik. Kedua manusiadianugerahi akal. Akal sangat penting
perannya dalam kehidupan di dunia ini.Dengan akal, manusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,dengan itu manusia
dapat mengelola dan memakmurkan dunia dengan sebaik- baiknya.4.

Memelihara KeturunanUntuk memelihar keturunan, islam mengatur


prnikahan dan mengharamkan zina.Islam menetapkan siapa-siapa yang
tidak boleh dikawini. Hal ini dilakukansebagai upaya pemurnian dan
pemeliharaan keturunan.5.

Memelihara Harta BendaMeskipun pada hakikatnya semua harta benda


itu kepunyaan Allah, namun islam juga megakui hak pribadi seseorang.
Oleh karena itu manusia sangat tamak padaharta benda, maka islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara

satu sama lain. Dalam hal ini islam mensyari’atkan peraturan


-peraturan mengenai jual beli, sewa menyewa, gadai, dan sebagainya.
Islam melarang penipuan, pencurian, dan riba. Demikianlah hukum islam
yang ditetapkan oleh Allah untukkemaslahatan manusia demi
tercapainya kebahagiaan kehidupan di dunia dankebahagiaan hidup di
akhirat.
SLIDE 7
Madzhab Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H.
Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai
ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan
fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman
bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat
Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far
Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau
menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.
Madzhab Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli
hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau
mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits
yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli
Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul,
beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau
perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir.
Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain
khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta,
sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat
kepada makam Rasul.
Madzhab Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi.
Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada
tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits,
kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal
sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu
yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab
Syafi’i.
Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun,
pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian
berkembang ke negeri-negeri lain.
Madzhab Hanbali
Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal
As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah
murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai
Imam Syafi’i pergi ke Mesir.
Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan
yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak
mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan
tersebar luas

SIKAP YG FHARUS DIAMBIL


sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi

memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sekali lagi, tidak demikian. Sebab,

perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah

akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan

keniscayaan faktual dan syar‘i.

Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing

orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil

semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan

nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis

Nabi—yang nota bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multiinterpretasi

(ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.

Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah

tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada

yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada

perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl).

Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni. Hal yang sama juga terjadi

dalam konteks dilâlah nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas

tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada

juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu

tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi bagaimana

dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.

Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang

melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti,

bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak.

Demikian halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak

berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan

membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut,

meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum.

Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan

sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan

keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.

Islam, misalnya, menetapkan sejumlah kaidah dan ketentuan:


1. Dalam konteks nas-nas syariah yang qath‘i tsubut dan qath‘i dilâlah, seperti

al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya qath‘i, baik dalam masalah akidah

maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh ada perbedaan pendapat.

Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini hukumnya haram.

2. Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah

yang zhanni, baik dengan qath‘i tsubût dengan zhanni dilâlah, seperti al-Quran dan

Hadis Mutawatir yang maknanya zhanni, maupun zhanni tsubût dengan qath‘i

dilâlah, seperti Hadis Ahad yang bermakna qath‘i.

3. Pemultitafsiran (ta’wîl) nas-nas syariah tetap dibolehkan, tetapi harus dalam

koridor dilâlah yang ditunjukkan oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan metode

memahami dan istinbâth yang dibenarkan oleh syariah.

4. Pandangan yang dihasilkan oleh semua mazhab dianggap benar, dengan catatan

tetap mempunyai potensi salah.

5. Mengikuti pandangan mazhab tersebut tidak dalam kerangka untuk memastikan

seratus persen pandangan tersebut benar dan salah, melainkan dalam

kerangka tarjîh dan ghalabat zhann. Dengan kata lain, kita mempunyai dugaan

kuat, bahwa hukum yang kita ambil dan ikuti dalam masalah tertentu adalah

hukum Allah bagi kita, dan juga orang yang menyatakannya, terlepas dari siapa

yang menyatakannya. Namun, jika kemudian terbukti salah, hukum itu pun

dianggap marjûh dan lemah sehingga ketika itu harus ditinggalkan.

Itulah, mengapa semua mazhab Islam tersebut pada dasarnya mazhabnya satu,

yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Bahkan tidak satu pun di antara mereka mengklaim

dirinya, kecuali dengan menyatakan:

‫اب‬ َّ ‫طأ ٌ يَحْ ت َِم ُل ال‬


َ ‫ص َو‬ َ ‫غي ِْري َخ‬ ُ ْ‫طأ َ َو َرأ‬
َ ‫ي‬ َ ‫َرأْيِي‬
َ ‫ص َوابٌ يَحْ ت َِم ُل ْال َخ‬

Pendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu

salah, namun berpotensi benar.

Mereka pun saling memuji satu sama lain; mereka saling menerima alasan dan

argumentasi satu sama lain. Yang yunior menggambarkan yang senior sebagai

bintang dan tetap bersikap tawadhu‘ terhadap seniornya. Sikap-sikap ini dan juga

sikap serupa yang lainnya telah menerangi pikiran dan menguatkan ikatan batin
mereka. Namun, sikap ini tidak lagi diwarisi oleh para pengikut mereka. Ijtihad pun

mereka tutup. Mazhab pun dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama

yang mampu berijtihad dan membangun mazhab sendiri. Sikap inilah yang

menyebabkan lahirnya sikap fanatisme mazhab. Dengan kata lain, fikih

dan fuqaha’-nya dijadikan layaknya monumen.

Tindakan memonumenkan fikih dan fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa

fikihnyalah yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga

dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini

bisa berubah menjadi fanatisme mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya

dalam tindakan mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut

para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan

mazhabnyalah yang benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan

dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara

para pengikut Hanafi dan Syafii pada masa lalu.

Realitas ini hingga kini pun masih terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan,

ketika penyakit seperti ini diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.

Satu-satunya solusi untuk menyembuhkan penyakit seperti ini adalah dengan

memposisikan fikih dan fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama

digariskan oleh syariah dan diejahwentahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi

tersebut, tak ada satu pun fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab,

mereka masing-masing adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan

pahala dan harus diberi ucapan selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan

pahala, dan harus dimaafkan, jika kemudian terbukti salah. Pada titik inilah

as-Suyuthi menyatakan:

Aneh, ada orang yang mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain.

Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab

yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam.

Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih

dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furû‘ tersebut benar-benar telah

terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak

satu pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga

menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. 6

Anda mungkin juga menyukai