Anda di halaman 1dari 49

REFERAT

PERDARAHAN PASCA SALIN

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)


SMF Obsetri dan Ginekologi

Disusun oleh:

Farah Saufika Iriyanto 12100118059

Pembimbing :
dr. Dhanny Primantara Johari Santoso., Sp.OG., M.Kes

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISBA
RSUD DOKTER SLAMET GARUT
2019
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan pasca salin (PPS) adalah didefinisikan sebagai kehilangan

darah lebih dari 500mL atau lebih setelah selesainya kala tiga persalinan

pervaginam.1 Hal ini menimbulkan masalah karena separuh perempuan yang

melahirkan pervaginam mengeluarkan darah dalam jumlah sebesar itu, bahkan

lebih, jika diukur secara kuantitatif. Pritchard dkk., menggunakan metode

pengukuran yang akurat menemukan bahwa sekitar 5% perepuan yang melahirkan

pervaginam kehilangan lebih dari 1000mL darah.1 Mereka juga melaporkan

bahwa hasil perkiraan kehilangan darah umumnya hanya sekitar separuh volume

kehilangan darah yang sebenarnya. Karena itu perkiraan kehilangan darah yang

melebihi 500mL harus diwaspadai sebagai ibu yang mengalami perdarahann

berlebihan.1

Perdarahan pasca salin merupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas ibu di seluruh dunia.2 Salah satu target Millenium Development Goals

(MDGs) adalah menurunkan angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga perempatnya

pada tahun 2015. Sayangnya, pada tahun 2012, AKI mengalami kenaikan menjadi

359 per 100.000 penduduk atau meningkat sekitar 57% dibandingkan dengan

tahun 2007 yang hanya 228 per 100.000 penduduk. 2

Penyebab PPS yang paling banyak yaitu sekitar 75-90% dari pendarahan

ini disebabkan oleh atonia uteri.1 Penanganan yang terlambat dan di bawah

standar dapat meningkatkan angka kematian wanita karena perdarahan pasca salin

dalam beberapa jam.1 Identifikasi prenatal wanita berisiko, penilaian cepat


kehilangan darah, manajemen yang efektif dan keterlibatan tim multidisiplin

adalah yang paling penting untuk menyelamatkan kehidupan para wanita ini.1

Namun, bahkan dengan perawatan pranatal terbaik, perdarahan postpartum dapat

terjadi, hal terserut dapat terjadi tanpa faktor risiko. Langkah pertama dalam

manajemen adalah mencapai stabilitas hemodinamik, yang kedua adalah

menghentikan pendarahan, keduanya dilakukan secara bersamaan. Kebanyakan

kasus-kasus perdarahan pasca salin dikelola oleh histerektomi postpartum yang

mengakibatkan pasien tidak dapat hamil lagi selanjutnya. Maka dari itu, Saat

setelah kelahiran bayi dan jam-jam pertama pasca persalinan adalah sangat

penting untuk pencegahan, diagnosis dan penanganan perdarahan. Dibandingkan

dengan resiko lain pada ibu seperti infeksi, maka kasus perdarahan dengan cepat

dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu post natal care sangat diperlukan selain

ante natal care yang baik.6


BAB II

PERDARAHAN PASCA SALIN

1.1 Definisi

Perdarahan pasca-salin didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari

500mL setelah selesainya kala ke tiga persalinan pervaginam atau lebih dari

1000mL setelah persalinan caesar.1

Menurut ACOG PPS didefinisikan sebagai kehilangan darah kumulatif

lebih dari atau sama dengan 1.000 mL atau kehilangan darah disertai dengan

tanda atau gejala hipovolemia dalam waktu 24 jam setelah proses kelahiran, yang

menjadi penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia.8

1.2 Epidemiologi

Perdarahan pasca salin adalah penyebab angka mortalitas dan morbiditas

ibu di dunia dan 75% - 90% dari perdarahan tersebut disebabkan oleh atonia

uterus. Di negara berkembang estimasi angka kematian ibu adalah 140.000 per-

tahun atau satu kematian ibu setiap empat menit. Perdarahan pasca salin terjadi

pada 5% dari semua persalinan, mayoritas kematian terjadi dalam waktu empat

jam setelah persalinan yang menunjukkan bahwa itu adalah konsekuensi dari

persalinan kala tiga.3

Penyebab dari PPS adalah 4T yang merupakan singkatan dari Tone, Tears,

Tissue dan Thrombin. Tone merupakan masalah pada 70% kasus PPS, yaitu

diakibatkan oleh atonia dari uterus. Sedangkan, 20% kasus PPS disebabkan oleh

trauma. Tears dapat disebabkan oleh laserasi serviks, vagina dan perineum,
perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri dan trauma non traktus

genitalia, seperti ruptur subkapsular hepar. Sementara itu, 10% kasus lainnya

dapat disebabkan oleh faktor tissue yaitu seperti retensi produk konsepsi, plasenta

(kotiledon) selaput atau bekuan, dan plasenta abnormal. Faktor penyebab dari

thrombin diantaranya abnormalitas koagulasi yang sangat jarang terjadi yaitu

sekitar <1% kasus.2

1.3 Faktor Resiko2

Berikut merupakan faktor resiko PPS antepartum :

Faktor Resiko Etiologi Perdarahan

Meningkatkan usia maternal >35 tahun Tone

Obesitas BMI >35 Tone

Grande Multipara Tone/tissue

Abnormalitas uterus Tone

Kelainan darah maternal Thrombin

Riwayat PPS atau retensio plasenta Tone/tissue

Anemia dengan Hb <9gr/dL No reserve

Perdarahan antepartum (plasenta Tissue/tone/thrombin

previa/solusio plasenta)

Overdisetensi uetrus (Gemeli, Tone

polihidramnion, makrosomia)

Intrauterine fetal death (IUFD)

Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical


Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2019.
Faktor resiko PPS Intrapartum adalah sebagai berikut :

Faktor Resiko Etiologi

Partum presipitatus Trauma/tone

Perasalinan memanjang Tone/tissue

Korioamnitis, pireksia intrapartum Tone/thrombin

Penggunaan oksitosin (insuksi, Tone

augmentasi)

Emboli cairan amnion Thrombin

Inversio uterus Trauma/tone

Trauma saluran genital Trauma

Persalinan pervaginam dibantu Trauma/tone

Seksio sesarea (terutama yang Trauma/tone

emergensi)

Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical


Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2019.

1.4 Klasifikasi1,2

Perdarahan pasca salin diklasifikasikan berdasarkan waktunya yaitu :

1. Perdarahan pascasalin primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi

sampai 24 jam pertama setelah anak lahir.

2. Perdarahan pascasalin lanjut (late postpartum hemorrhage) yang terjadi

setelah 24 jam hingga 1-2 mingggu masa nifas.

Berdasarkan jumlah darah yang keluar berdasarkan perkiraan perdarahan yang

terjadi maka perdarahan post partum dibagi menjadi dua yaitu:


1. Perdarahan pasca-salin minor (500-1000 ml)

2. Perdarahan pasca-salin mayor (>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi

menjadi sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml).

1.5 Etiologi2

Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor, yaitu:

1. kelemahan tonus otot uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas

insersi plasenta (tone)

2. Robekan jalan lahir dari perineum, vagina, sampai uterus (tears)

3. Sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang

adekuat (tissue)

4. Gangguan faktor pembekuan darah (thrombin)

1.6 Manifestasi Klinis2

Berdasarkan derajat hilangnya darah :

Referensi: Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, Duncan E. SOGC Clinical


Practice Guideline: Prevention and management of postpartum haemorrhage.
Journal of Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada April, 2000

Penyebab Gejala dan Tanda


Atonia Uteri - Perdarahan segera setelah anak lahir
- Uterus tidak berkontraksi atau lembek

Retensio - Plasenta belum dilahirkan dalam 30 menit setelah
Plasenta kelahiran bayi
Sisa Plasenta - Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh
darah) tidak lengkap
- Sub-involusi uterus
- Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus

Robekan Jalan - Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir


Lahir - Uterus berkontraksi dan keras
- Plasenta lengkap
Ruptur Uteri - Perdarahan segera (perdarahan intraabdominal dan/ atau
pervaginam)
- Nyeri perut hebat
- Kontraksi hilang
Inversio Uteri - Fundus uteri tidak teraba pada palpasi abdomen
- Lumen vagina terisi massa

- Nyeri ringan atau beratb
Gangguan - Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak terlihat gumpalan
Pembekuan darah
darah - Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji pembekuan
darah sederhana
- Terdapat faktor predisposisi:

 Solusio plasenta
 Kematian janin dalam uterus
 Eklampsia

 Emboli air ketuban
1.7 Perdarahan Pasca Salin

1.7.1 Tone

a. Atonia Uterus

 Definisi

Atonia uterus adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi secara adekuat

atau lemahnya kekuatan kontraksi miometrium setelah melahirkan dan untuk

mengehentikan perdarahan dari tempat implantasi plasenta.1

Atonia uteri dapat pula diartikan sebagai kelelahan pada otot uterus

sehingga tidak mampu lagi berkontraksi, padahal kontraksi uterus diperlukan

untuk konstriksi pembuluh darah besar yang terbuka akibat pelepasan plasenta.

 Epidemiologi1

Atonia uterus merupakan penyebab tersering dari perdarahan pasca salin.

Pada banyak perempuan atonia uterus paling tidak dapat diantisipasi dengan baik

jauh sebelum pelahiran. Meskipun faktor resiko diketahui dengan baik,

kemampuan untuk mengidentifikasi perempuan mana yang akan mengalami

atonia masih terbatas. Rouse dkk., meneliti 23.900 perepmpuan yang menjalani

pelahiran caesar untuk pertama kalinya dan melaporkan bahwa separuh diantara

mereka yang mengalami atonia tidak memiliki faktor resiko.

 Faktor Resiko1

Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan menjadi hipotonus

setelah pelahiran. Jadi perempuan dengan janin besar, gemeli atau hidramnion
rentan mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai dengan

aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga

beresiko mengalami perdarahan masif akibat atonia pasca salin. Persalinan yang

dibantu dengan augmentasi oksitosin juga beresiko untuk atonia dan perdarahan.

Paritas yang tinggi juga merupakan faktor resiko atonia uterus. Fuchs dkk.,

menguraikan hampir 5800 perepuan dengan paritas 7 atau lebih insidensi

perdarahan pasca salin sebesar 2,7% adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan

dengan populasi obsetri umum. Babinski dkk melaporkan bahwa insidensi

perdarahan pasca salin dalah 0,3% pada perempuan dengan paritas rendah, tetapi

1,9% pada mereka dengan paritas 4 atau lebih.

Resiko lain adalah jika perempuan tersebut pernah mengalami perdarahan

pasca salin sebelumnya. Terakhir, upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta

dapat mencetuskan atonia. Pemijatan tanpa henti uterus yang telah berkontraksi

mungkin menghambat mekanisme fisiologis pelepasan plasenta, menyebabkan

pelepasan plasenta yang inkomplit dan bertambahnya perdarahan.

 Patofisiologi6

Secara fisiologis, dalam beberapa menit setelah kelahiran bayi, timbul

kontraksi uterus yang kuat dan pengurangan permukaan intrauterin yang

mengarah pada pemisahan plasenta dari tempat implantasinya pada desidua

maternal. Kehilangan darah sebesar 200-400 ml disebabkan terbukanya sinus-

sinus plasenta. Pada keadaan normal, jumlah perdarahan dibatasi oleh kontraksi

dari serabut miometrium karena pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai sinus

plasenta dikelilingi oleh serabut otot polos tersebut dan akan terkompresi bila
serabut otot berkontraksi sehingga suplai darah ke sinus menurun.

Pada keadaan tertentu, terdapat gangguan terhadap mekanisme tersebut

yang mengarah pada terjadinya atonia uteri. Beberapa faktor predisposisi yang

dapat menyebabkan atonia uteri adalah :

A. Berasal dari kehamilan sebelumnya

1. Paritas tinggi

2. Perdarahan post partum sebelumnya yang disebabkan oleh atonia uteri

3. Uterine fibroid

4. Luka parut pada uterus

5. Anomali pada uterus

6. Diskrasia darah

B. Berasal dari kehamilan sekarang

1. Uterus terlalu teregang (overdistention)

2. Kelainan persalinan

3. Tindakan anestetik

4. Kelainan plasenta

5. Infeksi uterus

6. Pembedahan Caesar

7. Laserasi traktus genitalia

 Tatalaksana1

Rongga uterus harus bersih atau kosong dari jaringan untuk kontraksi

uterus yang efektif. Langkah-langkah klinis dan mekanik awal meliputi:


- Masase fundus uterus untuk merangsang kontraksi

- Menilai kebutuhan kompresi bimanual

- Periksa plasenta dan membran sudah lengkap

- Mengeluarkan gumpalan didalam uterus

- Masukkan kateter untuk mengosongkan kandung kemih

```

 Terapi farmakologis atonia uterus4

Lini pertama:

1. Oksitosin

Oksitosin diberikan secara intravena atau intramuskular setelah plasenta

lahir. Oksitosin dapat mencegah sebagia besar kasus atonia uterus.

Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical


Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2019.

2. Turunan Ergot

Jika oksitosin tidak efektif untuk memulihkan atonia uterus. Obat ini dapat

merangsang uterus untuk berkontraksi adekuat untuk mengendalikan


perdarahan. Penting diingat jika turunan ergot diberikan secara IV dapat

menyebabkan hipeertensi, khususnya pada perempuan yang mengalami

preeklamsia.

Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical


Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2019.

3. Misoprostol

Misoprostol telah diteliti untuk profilaksis perdarahan pasca salin. Dalam

suatu penelitian Derman dkk (2006) membandingkan misoprostol dalam dosis

oral 600μg dengan plasebo yang diberikan saat pelahiran. Perdarahan pasca salin

turun secara signifikan dari 12 menjadi 6% dan perdarahan hebat menurun dari

1,2% menjadi 0,2% bila diberikan misoprostol. Namun berdasarkan penelitian

mereka terhadap 325 perempuan, Gerstenfeld dan Wing (2001) menyimpulkan

bahwa 400μg misoprostol yang diberikan per rektal tidak lebih efektif

dibandingkan oksitosin intravena dalam mencegah perdarahan pasca salin. Selain

itu, dalam ulasan sistematis mereka Villar dkk., (2002) melaporkan bahwa sediaan

oksitosin dan ergot yang diberikan saat persalinan kala tiga lebih efektif

dibandingkan misoprostol dalam mencegah perdarahan pasca salin.


Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2019.

Lini kedua:

Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical


Guideline. Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland
Government; 2019.

 Perdarahan yang tidak berespon terhadap oksitoksik1

Perdarahan yang berlanjut setelah pemberian berulang oksitoksik dapat

disebabkan oleh robekan jalan lahir yang tidak disadari, termasuk dalam beberapa

kasus ruptur uterus. Jadi jika perdarahan berlanjut harus segera dilakukan

tindakan untuk mengendalikan perdarahan, langkah-langkah tatalaksana berikut


harus segera dimulai yaitu kompresi bimanual uterus, prosedur sederhana yang

dapat mengendalikan sebagian besar perdarahan uterus.

 Kompresi bimanual eksternal

Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling

mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran

darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan

hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehatan

rujukan. Bila belum berhasil, coba dengan kompresi bimanual internal.

 Kompresi bimanual internal

Teknik ini terdiri atas pemijatan sisi poterior uterus dengan tangan yang

diletakkan pada abdomen dan pemijatan dinding anterior uterus melalui vagina

dengan tangan lain yang dikepalkan.


 Segera meminta bantuan tim obstetri ke ruang bersalin dan meminta siapkan

labu darah

 Minta bantuan juga dari tim anestesi.

 Pasangkan setidaknya dua jalur intravena yaitu kristaloid dengan oksitosin

(10 unit
 oksitosin dalam
 500cc NaCL/RL IV 60 tetes/menit) Berikan dan

ergometrin 0,2 mg IV. dilanjutkan bersamaan dengan produk darah.

Masukkan kateter Foley yang ada untuk pemantauan output urin

 Mulai resusitasi volume dengan infus intravena cepat kristaloid

 Dengan sedasi, analgesia, atau anestesi lakukan mengeksplorasi rongga rahim

secara manual untuk mengetahui adakah fragmen plasenta yang tertinggal

termasuk laserasi atau ruptur.

 Periksa serviks dan vagina lagi dengan seksama untuk mencari lokasi yang

mungkin luput dari perhatian.

 Jika kondisi ibu masih tidak stabil atau jika ada perdarahan persisten, maka

transfusi darah diberikan


 Packing Uterus/Tamponade balloon1

Teknik ini harus dipertimbangkan pada perempuan dengan perdarahan

pasca salin yang berkaitan dengan atonia uterus dan berharap dapat

mempertahankan kesuburannya. Dapat dilakukan dengan cara :

 Ujung kateter Foley 24F dengan balon 30 mL dipandu ke dalam rongga

rahim dan diisi dengan 60 hingga 80 mL saline.

 Ujung terbuka memungkinkan drainase uterus terus menerus dari rahim.

Jika perdarahan mereda, kateter biasanya dilepas setelah 12 hingga 24 jam.

 Alternatif lain uterus atau pelvis dapat dipak secara langsung dengan kassa

Selain itu, sekarang ini juga dikenal balon intra uterin yaitu Bakri

Postpartum balloon (Cook Medical) atau BT-Cath (Utah Medical Product)

dapat dimasukkan kedalam uterus dan dipompa untuk memadatkan rongga

endometrium dan menghentikan pendarahan. Penyisipan membutuhkan

dua atau tiga anggota tim. Orang pertama melakukan USG abdomen

selama prosedur. Orang kedua menempatkan balon (yang belum

dikembangkan) ke dalam rahim dan menstabilkannya. Orang ketiga

memasukkan cairan untuk mengembangkan balon, setidaknya 150 mL

diikuti dengan penambahan lebih lanjut selama beberapa menit dengan

total 300 hingga 500 mL untuk menahan perdarahan.


Ada beberapa studi prospektif dengan balon ini, secara keseluruhan, lebih

dari 150 wanita dikelola untuk perdarahan postpartum. Untuk semua penyebab,

tingkat keberhasilan tercatat sekitar 85 persen. Kegagalan untuk semua ini

memerlukan berbagai metode bedah termasuk histerektomi.


 Tatalaksana Bedah Atonia Uterus1

Indikasi :

Pada atonia yang tidak terkendali dan tidak berespon terhadap tindakan-tindakan

diatas, intervensi bedan dapat menyelamatkan jiwa.

1. Ligasi Arteri Uterina

Beberapa prosedur bedah mungkin bermanfaat untuk menghentikan

perdarahan obstetrik. Karena hal tersebut, ligasi arteri uterina unilateral atau

bilateral digunakan terutama untuk laserasi pada bagian lateral sayatan

histerotomi. Namun dalam kenyataannya, prosedur ini kurang membantu untuk

perdarahan dari atonia uteri.

2. Penjahitan Kompresi Uterus

Hampir sejak 20 tahun yang lalu teknik bedah untuk menghentikan

perdarahan karena atonia postpartum digunakan teknik yang dikenalkan oleh B-

Lynch dkk (1997). Prosedur ini melibatkan penjahitan dengan benang kromik no.

2 untuk menekan dinding uterus anterior dan posterior secara bersama-sama.


3. Ligasi Arteri Iliaka Interna

Ligasi arteri iliaka interna dapat mengurangi perdarahan secara signifikan.

Namun teknik prosedur ini mungkkin sulit, dan menurut American College of

Obstetricians and Gynecologists tahun 2012 hanya berhasil pada sekitar

separuh psaien yang menjalani prosedur ini. Prosedur ini meliputi:


 Setelah membuka peritoneum yang menutupi arteri iliaka komunis dan

melakukan diseksi ke arah bawah hingga mencapai percabangan arteri

iliaka eksternal dan internal.

 Ligasi arteri iliaka internal 5 cm di distal bifurkasi iliaka komunis harus

menghindari cabang-cabang divisi posterior (Bleich, 2007).

 Selubung areolar yang mengubungkan arteri iliaka internal diinsisi secara

longitudinal dan dengan hati-hati dilewatkan klem tepat di bawah arteri

dari lateral ke sisi medial.

 Hati-hati jangan sampai melubangi vena besar yang berdekatan, terutama

vena iliaka interna.

 Benang biasanya tidak dapat diserap kemudian dimasukkan melalui klem

yang terbuka, lalu klem dikunci dan benang ditarik mengelilingi pembuluh

darah.

 Setelah ligasi, cek pulsasi arteri iliaka eksterna kembal. Jika ada sebelum

benang diikat maka harus ada pula setelahnya.

 Mekanisme kerja yang paling penting ligasi arteri iliaka interna adalah

pengurangan tekanan nadi pada arteria di distal ligasi sebesar 85%. Hal ini

mengubah sistem tekanan arteri menjadi sistem dengan tekanan yang

mendekati tekanan dalam sirkulasi vena, yang membuat pembuluh darah

lebih bisa dihemostasis melalui tekanan dan pembentukan bekuan darah.

 Bahkan ligasi arteri iliaka interna bilateral tampaknya tidak mengganggu

reproduksi selanjutnya. Nizard dan rekan (2003) melaporkan tindak lanjut

pada 21 kehamilan pada 17 wanita telah menjalani ligasi arteri iliaka

bilateral. Dari total 21 kehamilan, 13 adalah normal, tiga berakhir dengan


abosri, tiga keguguran, dan ada dua kehamilan ektopik.

4. Histerektomi

Bila prosedur-prosedur di atas tidak efektif atau bila waktu tidak

memungkinkan, haruslah dilakukan histerektomi. histerektomi dianggap

sebagai pengobatan definitif dan tidak hanya terkait dengan kemandulan

permanen tetapi juga potensi komplikasi bedah. Sebagai contoh, enam

penelitian kecil menunjukkan bahwa cedera kandung kemih berkisar antara

6% hingga 12% dan cedera ureter berkisar antara 0,4% hingga 41%. Kematian

setelah atau saat histerektomi dilakukan biasanya adalah sebagai akibat

keterlambatan melakukan operasi sampai keadaan pasien sudah sangat berat.

1.7.2 Trauma

a. Inversio Uterus

 Definisi4

Keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya ke dalam

cavum uteri.

 Faktor Resiko4

Inversio uterus dapat terjadi karena:

1. Implantasi plasenta pada fundus,

2. Terjadinya onset tertunda atau kontraktilitas uterus yang tidak memadai

setelah melahirkan janin, yaitu atonia uteri,

3. Traksi tali pusat dilakukan sebelum pemisahan plasenta, dan


4. Plasentasi yang tidak normal seperti pada plasenta akreta

 Epidemiologi1

Insiden inversi uterus bervariasi dan dalam tiga laporan yang berjumlah

sekitar 116.500 pelahiran, insidensi berkisar 1 dalam 3000. Hal yang mungkin

ironis, sebagian besar kasus inversio uterus justru terjadi pada pelahiran “resiko

rendah”

 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan1

- Inversio uteri ringan

Fundus uteri terbalik menonjol dalam cavum uteri, namun belum keluar dari

rongga rahim.

- Inversio uteri sedang

Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina.

- Inversio uteri berat

Uterus dan vagina semua terbalik dan sebagian sudah keluar dari vagina. Ada

pula yang membagi menjadi inversio uteri inkomplet (1), (2) dan komplit (3).
 Manifestasi Klinis4

 Tiba-tiba timbulnya PPS

 Fundus uterus yang teraba bentuknya tidak teratur atau tidak teraba

 Inverted terus yang sempurna dapat muncul sebagai massa abu-abu

kebiruan pada introitus vagina

 Ketidakstabilan hemodinamik

 Nyeri luar biasa dan dapat menyebabkan syok hipovolemik

 Tatalaksana1

Inversio uterus paling sering dikaitkan dengan perdarahan segera yang

mengancam nyawa. Penundaan tatalaksana meningkatkan angka kematian secara

nyata. Sejumlah langkah harus dilakukan secara segera, yaitu :

 Panggil bantuan segera termasuk bagian obstetrik dan anastesi

 Darah dibawa ke ruang bersalin jika diperlukan.


 Uterus yang baru mengalami inversi, bila plasenta sudah terlepas, sering

dapat dikembalikan ke posisinya dengan mendorong fundus ke atas

menggunakan telapak tangan dan jemari sesuai arah sumbu panjang

vagina

 Pasang infus intravena, berikan kristaloid dan darah untuk mengatasi

hipovolemia

 Jika masih melekat, plasenta tidak dilepas hingga infus diberikan dan

berikan obat tokolitik, diberikan secara intravena seperti terbutaline,

magnesium sulfate, atau nitrogliserin untuk relaksasi dan reposisi rahim.

Jika ini gagal untuk memberikan relaksasi yang cukup, maka agen oral

terhalogenasi cepat diberikan.

 Setelah mengeluarkan plasenta, berikan tekanan konstan pada fundus yang

mengalami inversi menggunakan kepalan tangan, dalam upaya mendorong

fundus keatas. Lakukan dengan hati-hati agar tekanan yang diberikan

dengan ujung jari tangan tidak sampai menyebabkan perforasi uterus.

 Setelah rahim dikembalikan ke posisi normal, tokolitik dihentikan.

Oksitosin kemudian diinfuskan, dan uterotonik lainnya dapat diberikan

seperti yang dijelaskan untuk atonia. Sementara itu, operator

mempertahankan fundus dalam posisi anatomi yang normal sambil

menerapkan kompresi bimanual untuk mengontrol perdarahan lebih lanjut

sampai rahim berkontraksi dengan baik. Operator terus memantau uterus

secara transvaginal untuk mencegah terjadinya inversio berulang.


 Intervensi Bedah1

Umumnya, uterus yang mengalami inversi dapat dikembalikan ke posisi

normalnya dengan teknik yang sudah diuraikan diatas. Kadang-kadang, hal

tersebut dapat gagal. Salah satu penyebabnya adalah kepadatan konstriksi

cincin miometrium. Pada keadaan ini, laparotomi dilakukan. Pemberian agen


tokolitik diperlukan dikombinasikan dengan usaha untuk mereposisi uterus

dengan mendorong uterus bagian bawah ke arah atas sambil menarik uterus

dari bawah keatas. Penggunaan klem dibagian round ligamen dapat membantu

traksi dari uterus (prosedur huntington).

b. Laserasi Traktus Genitalis1

Persalinan selalu dikaitkan dengan trauma pada jalan lahir, yang meliputi

uterus, serviks, vagina, dan perineum. Cedera yang terjadi selama persalinan

karena adanya robekan mukosa minor hingga laserasi yang menyebabkan

perdarahan atau hematoma yang dapat mengancam jiwa.

I. Laserasi Vulvovaginal1

Robekan kecil dari dinding vagina anterior dekat uretra relatif umum. Hal

tersebut seringkali dangkal dengan sedikit atau tanpa perdarahan, dan penjahitan

biasanya tidak perlukan. Laserasi perineum superfisial dan vagina minor kadang-

kadang juga membutuhkan jahitan untuk menghentikan perdarahan. Laserasi yang

cukup besar biasanya keluhannya terkait dengan kesulitan berkemih, dan

dibutuhkan pemasangan kateter.

Perlukaan pada dinding depan vagina sering terjadi di sekitar orifisium

urethrae eksternum dan klitoris. Perlukaan pada klitoris dapat menimbulkan

perdarahan banyak. Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya merupakan

lanjutan robekan serviks uteri. Robekan vagina umumnya terjadi sebagai akibat

regangan jalan lahir yang berlebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Secara

klinis akan terdapat darah dari jalan lahir setelah melahirkan dan diagnosis

ditegakkan dengan pemeriksaan langsung menggunakan spekulum. Penjahitan


secara simpul dilakukan dengan benang katgut kromik No.0 atau 00, dimulai dari

ujung luka terus sampai luka terjahit rapi.

Laserasi perineum yang lebih dalam biasanya disertai dengan berbagai

tingkat cedera pada sepertiga bagian luar vagina. Beberapa meluas melibatkan

sfingter anal atau kedalaman bervariasi dari dinding vagina. Dalam lebih dari

87.000 dalam database Consortium on Safe Labour, frekuensi laserasi perineum

derajat ketiga atau keempat adalah 5,7 persen pada nulipara dan 0,6 persen pada

multipara. Perdarahan meskipun uterus berkontraksi dengan kuat adalah bukti

kuat laserasi saluran genital. Laserasi jalan lahir sering terjadi pada persalinan

spontan tetapi yang merupakan hasil dari cedera yang terjadi selama persalinan

per vaginam operatif dengan forsep atau ekstraktor vakum. Sebagian besar

melibatkan jaringan dasar yang lebih dalam dan dengan demikian biasanya

menyebabkan perdarahan yang signifikan. Pendarahan biasanya dikendalikan oleh

perbaikan jahitan yang tepat. Laserasi vulvovaginal yang luas juga maka harus

dilakukan eksplorasi intrauterin untuk kemungkinan robekan uterus. Untuk

laserasi vulvovaginal yang dalam, perbaikan jahitan biasanya diperlukan, dan

analgesia atau anestesi yang efektif, penggantian darah yang hilang dan meminta

bantuan asisten juga diperlukan.


Klasifikasi ruptur perineum5 :

Tingkat I : Laserasi epitel kulit vagina atau perineum

Tingkat II : Robekan mencapai otot perineum tetapi tidak mencapai sfingter ani

Tingkat III : Robekan otot sfingter ani :

<50% ketebalan sfingter eksterna

>50% ketebalan sfingter eksterna

Robekan mencapai otot sfingter interna

Tingkat IV : robekan tingkat III sampai seluruh anus

Tatalaksana5 :

Ruptur perineum dan robekan dinding vagina

 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber

perdarahan

 Lakukan irigasi pada tempat luka dan berikan antiseptik

 Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan

benang yang dapat diserap

 Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari

operator

 Bila perdarahan masih berlanjut,berikan 1g asam traneksamat IV

(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit)


Khusus pada ruptur perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum)

dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:

 Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga

ujung robekan

 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul

submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl)

hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit

dengan benang no. 2/0

 Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan

benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur

 Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan

subkutikuler

 Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per

oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak

kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau

 terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas

II. Cedera muskulus levator ani1

Cedera muskulus levator ani terjadi akibat distensi berlebihan jalan lahir.

Serat otot yang terpisah dan penurunan tonus otot dapat cukup berat sehinga

mengganggu fungsi diafragma pelvis. Pada kasus-kasus ini dapat timbul relaksasi

pelvis. Jika cedera melibatkan muskulus pubokoksigeus dapat juga menyebabkan

inkontinensia urin.
III. Laserasi Serviks1

Laserasi superfisial serviks dapat diketahui dengan inspeksi yang terjadi

pada lebih dari setengah dari semua persalinan pervaginam. Sebagian besar

kurang dari 0,5 cm dan jarang perlu diperbaiki. Laserasi yang lebih dalam jarang

terjadi, bahkan mungkin tidak diperhatikan. Misalnya, dalam database

Konsorsium, insiden laserasi serviks adalah 1,1 persen pada nulipara dan 0,5

persen pada multipara. Tetapi insiden keseluruhan yang dilaporkan oleh Melamed

dkk (2009), dalam sebuah penelitian terhadap lebih dari 81.000 wanita Israel,

hanya 0,16 persen. Parikh dkk (2007) melaporkan kejadian laserasi 0,2 persen

yang perlu diperbaiki.

Laserasi serviks biasanya tidak bermasalah kecuali jika menyebabkan

perdarahan atau meluas ke sepertiga atas vagina. Cidera ini kadang-kadang terjadi

setelah rotasi forceps yang sulit atau persalinan yang dilakukan melalui serviks

yang tidak berdilatasi lengkap dengan forceps yang dipasang di atas serviks. Pada

beberapa wanita, robekan serviks mencapai segmen uterus bawah dan melibatkan

arteri uterina dan cabang-cabang utamanya, kadang-kadang meluas ke rongga

peritoneum. Laserasi yang lebih parah biasanya bermanifestasi sebagai

perdarahan eksternal atau sebagai hematoma. Dalam penelitian besar Israel yang

dilaporkan oleh Melamed dan rekan (2009), hampir 11 persen wanita dengan

laserasi serviks membutuhkan transfusi darah.

Diagnosis dengan pemeriksaan in spekulo. Bibir serviks dijepit dengan

cunam atraumaik, kemudian diperiksa secara cermat. Bila sifat robekan

memanjang, maka luka dijahit dari ujung yang paling atas, terus ke bawah. Pada

robekan serviks bentuk melingkar, periksa jika sebagian besar serviks telah lepas
maka bagian tersebut dipotong. Jika hanya sebagian kecil yang terlepas maka

cukup dijahit. Lalu perlukaan dirawat untuk menghentikan perdarahan

 Faktor Resiko4

 Persalinan yang cepat (precipitous labour)

 Persalina pervaginam dengan bantuan

 Jahitan serviks

Laserasi serviks dapat pula terjadi tanpa faktor resiko diatas.

 Manifestasi Klinis4

 Perdarahan hebat selama dan setelah kala tiga persalinan, robekan serviks

yang dalam harus selalu dicurigai pada wanita dengan perdarahan hebat

selama dan setelah persalinan kala tiga, terutama jika rahim berkontraksi

dengan kuat.

 Diagnosis diperkuat dengan mengesampingkan penyebab PPS lainnya

 Tatalaksana1

Secara umum, laserasi serviks 1 bahkan 2 cm tidak diperbaiki kecuali

berdarah. Robekan yang minimal dapat sembuh dengan cepat. Robekan serviks

yang dalam biasanya membutuhkan perbaikan bedah. Ketika laserasi terbatas

pada serviks atau bahkan ketika meluas ke bagian vagina, hasil yang memuaskan

diperoleh dengan menjahit serviks setelah membuat serviks terlihat di vulva

seperti digambarkan pada gambar berikut.


Sementara laserasi serviks dijahit jika terdapat laserasi pada bagian vagina

juga dapat di-tampon dengan kasa untuk menahan perdarahannya. Karena

perdarahan biasanya berasal dari sudut atas luka, jahitan pertama menggunakan

bahan yang dapat diserap ditempatkan di jaringan di atas sudut. Selanjutnya,

jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke

arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.

IV. Ruptur Uterus1

Merupakan robekan yang paling berat dan biasa terjadi saat persalinan.

Mekanismenya dapat spontan atau karena ruda paksa(persalinan buatan). Lokasi

dapat di korpus uteri atau segmen bawah uterus. Robekan dapat terjadi pula di

luka parut yang lemah bekas seksio sesarea. Robekan dapat pula terjadi tanpa

didahului luka parut, jika memang segmen bawah uterus tipis sekali dan renggang

karena janin mengalami kesulitan untuk melalui jalan lahir.

Ruptur uterus diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Ruptur

primer adalah ruptur yang terjadi pada rahim yang sebelumnya utuh. Ruptur

sekunder adalah ruptur yang berhubungan dengan adanya insisi miometrium,


cedera, atau anomali yang sudah ada sebelumnya atau disebabkan karena adanya

suatu tindakan. Selain itu ruptur uterus juga diklasifikasikan menjadi komplit dan

inkomplit. Ruptur yang komplit ketika semua lapisan dinding rahim terpisahkan,

sedangkan inkomplit ketika otot uterus dipisahkan tetapi peritoneum visceral

masih utuh. Ruptur yang tidak lengkap juga sering disebut dehiscence uterus.

 Etiologi1

Selain sayatan histerotomi sesar sebelumnya, risiko untuk ruptur uterus

termasuk operasi lain sebelumnya contohnya adalah kuretase atau perforasi

uterus, ablasi endometrium, miomektomi, atau histeroskopi. Dalam studi oleh

Porreco dkk (2009) yang dikutip sebelumnya, tujuh dari 21 wanita tanpa

persalinan sesar yang mengalami ruptur uteri sebelumnya telah menjalani operasi

rahim.

Di negara-negara maju, kejadian ruptur uteri dikutip oleh Getahun dkk

(2012) yaitu 1 dari 4800. Frekuensi ruptur primer kira-kira 1 dari 10.000 hingga
15.000 kelahiran. Faktor lain adalah stimulasi uterus dengan oksitosin yang

berlebihan atau tidak sesuai yang sebelumnya sering menjadi penyebab.

 Epidemiologi1

Kontribusi masing-masing penyebab mendasar ini telah berubah selama

50 tahun terakhir. Khususnya, sebelum tahun 1960, ketika angka kelahiran sesar

jauh lebih rendah daripada saat ini dan ketika wanita banyak dengan paritas

tinggi, ruptur uterus primer mendominasi. Ketika insiden kelahiran sesar

meningkat, ruptur uteri melalui bekas luka histerotomi sesar menjadi lebih tinggi.

Kedua jenis ruptur tersebut sekarang mungkin memiliki insiden yang setara.

Memang, dalam penelitian tahun 2006 terhadap 41 kasus ruptur uteri dari

Hospital Corporation of America, setengahnya terjadi pada wanita dengan

persalinan sesar sebelumnya.

 Manifestasi Klinis1

Sebelum ruptur, biasanya adaa tanda-tanda pendahualuan yang terkenal dengan

istilah gejala-gejala ancaman robekan rahim. Gejala-gejala tersebut meliputi:

 lingkaran retraksi patologis/lingkaran bandl yang tinggi, mendekati pusat

dan naik terus

 kontraksi rahim kuat dan terus menerus

 penderita gelisah, nyeri perut dibagian bawah, juga diluar his

 palpasi segmen bawah rahim, tepatnya diatas simfisis, menimbulkan rasa

nyeri

 ligamen rotundum tegang, bahkan ketika tidak ada his


 bunyi jantung anak biasanya tidak terdengar atau tidak baik karena anak

mengalami asfiksia berat akibat kontraksi dan retraksi rahim berlebih

 air kencing mengandung darah karena kandung kencing teregang atau

tertekan

Bila keadaan ini berlarut-larut, terjadilah ruptur uteri. Oleh sebab itu, gejala gejala

ancaman robekan rahim merupakan indikasi segera menyelesaikan persalinan.

Baik dengan perforasi atau dekapitasi bila anak meninggal, maupun SC bila anak

hidup.

Selain itu, berikan juga morfin 20mg untuk mengurangi kekuatan his. Bila sudah

terjadi ruptur uterus gejalanya sebagai berikut :

 dalam kontraksi kuat, pasien tiba-tiba merasa sangat nyeri pada perut

bagian bawah

 segmen bawah rahim terasa sangat nyeri ketika dipalpasi

 his berhenti/hilang

 ada perdarahan pervaginam, walaupun biasanya tidak banyak

 bagian-bagian anak mudah diraba

 terkadang disamping anak teraba tumor, yaitu rahim yang telah mengecil

 bunyi jantung anak tidak ada/tidak terdengar

 gejala-gejala syok

 bila sudah lama terjadi, seluruh perut nyeri dan kembung

 kencing berdarah
 Tatalaksana1

Penanganannya ialah dengan pemberian transfusi darah segera, lalu

laparotomi. Jenis operasi yang dilakukan ialah penjahitan luka pada dinding

uterus atau histerektomi. Histerektomi adalah terapi definitif untuk mengontrol

perdarahan pasca salin. Dalam laporan oleh McMahon (1996) dan Miller (1997)

dkk, 10-20% wanita membutuhkan histerektomi untuk hemostasis. Namun, dalam

kasus-kasus tertentu, perbaikan dengan jahitan uterus dapat dilakukan. Sheth

(1968) menggambarkan hasil dari serangkaian 66 wanita di mana perbaikan ruptur

uterus dipilih daripada histerektomi. Ruptur uterus berulang pada empat di

antaranya — sekitar 25 persen. Usta dkk (2007) mengidentifikasi 37 wanita

dengan ruptur uterus komplit, histerektomi dilakukan pada 11, dan pada 26 wanita

yang tersisa, ruptur diperbaiki. Dalam penelitian lain, bagaimanapun, wanita

dengan dehiscence uterus tidak lebih mungkin untuk mengalami ruptur uterus

dengan kehamilan berikutnya.

 Prognosis1

Untuk anak buruk, karena biasanya anak akan meninggal. Prognosis bagi

ibu juga kurang baik. Penyebab kematian ibu ialah perdarahan atau infeksi, seperti

peritonitis atau sepsis.

1.7.3 Tissue

a. Retensio Plasenta5

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga

atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar
gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.

- Etiologi :

a. Plasenta belum dapat terlepas dari dinding rahim karena tumbuh

melekat di dalam (adhesive, inkreta, akreta, perkreta).

 Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari vili korion

plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi

fisiologis.

 Plasenta akreta adalah implantasi vili korion plasenta hingga

memasuki sebagian lapisan myometrium.

 Plasenta inkreta adalah implantasi vili korion plasenta hingga

mencapai atau memasuki myometrium.

 Plasenta perkreta adalah implntasi vili korion plasenta yang

menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding

uterus.

b. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan

akan menyebabkan perdarahan yang banyak

c. Adanya lingkaran kontriksi pada bagian bawah rahim akibat

kesalahan penanganan kala III yang akan menghalangi plasenta

keluar (Plasenta inkarserata)


Tatalaksana5 :

 Pastikan kandung kemih sudah kosong, bila perlu lakukan pemasangan

kateterisasi kandung kemih.

 Jika plasenta belum keluar berikan oksitosin 10 unit im (jika belum

dilakukan pada penanganan aktif kala 3).

 Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin

dan uterus terasa kontraksi lakukan penarikan tali pusat terkendali.

 Jika traksi tali pusat belum berhasil, coba untuk melakukan

pengeluaran plasenta secara manual.

 Untuk melepaskan plasenta yang melekat kuat mungkin merupakan

plasenta akreta, sehingga usaha pelepasan plasenta dapat menyebabkan

perdarahan berat atau perforasi uterus yang biasanya membutuhkan

tindakan histerektomi.
b. Plasenta/Rest Placenta1,5

Perdarahan postpartum yang dini maupun yang lanjut dapat terjadi karena

tidak keluar dengan komplitnya plasenta setelah janin lahir sehingga inspeksi

plasenta setelah persalinan harus dilakukan secara rutin.

Pada sebagian besar kasus plasenta terlepas secara spontan dari tempat

implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. Dengan

terlepasnya plasenta, arteri-arteri dan vena-vena uteri yang mengangkut dari dan

ke plasenta terputus secara tiba-tiba. Di tempat implantasi plasenta, yang paling

penting untuk hemostasis adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk

menekan pembuluh dan menutup lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah

besar yang melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang

efektif sehingga hemostasis di tempat implantasi terganggu.

Faktor penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun sekunder

adalah multipara, pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan

oleh dukun/paraji, persalinan dengan tindakan paksa, usia kehamilan dini,

pengeluaran plasenta tidak hati- hati.

Pada pasien dengan sisa plasenta dapat dilakukan manual plasenta atau

kuretase, Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer

Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin

20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40

tetes/menit hingga perdarahan berhenti. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks

terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat

dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum

manual atau dilatasi dan kuretase. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal
(ampisillin 2 g IV DAN metronidazole 500 mg).

1.7.4 Thrombin7

Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet

biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada

kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat

perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam

hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat

menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari

sebab lain, terutama trauma. 7

Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat

persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya,

seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis.

Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar

merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis. 7

Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang

berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang

didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang

berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air

ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar

fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus

mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah

perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan

transfusi PRC. 7
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi

jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan.

Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen

yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time). 7

 Manifestasi klinis4

- Kontraksi uterus baik

- Tidak ada perlukaan jalan lahir

- Tidak ada sisa jaringan

- Terdapat gangguan faktor perdarahan

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan lab:

- Hemoglobin & Hematokrit

- Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT)


- Waktu pembekuan (Clotting Time/CT)


- Prothrombin time (PT)


- Activated partial thromboplastin time (APTT)

- Hitung trombosit

- Fibrinogen


 Penatalaksanaan

- Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat dicegah

jika volume darah dipulihkan segera.


- Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta, eklampsia).


- Berikan darah lengkap segar, jika tersedia, untuk menggantikan faktor

pembekuan dan sel darah merah.


- Jika darah lengkap segar tidak tersedia, pilih salah satu dibawah ini:

 Plasma beku segar untuk menggantikan faktor pembekuan (15 ml/ kg

berat badan) jika APTT dan PT melebihi 1,5 kali kontrol pada perdarahan

lanjut atau pada keadaan perdarahan berat walaupun hasil dari pembekuan

belum ada. 


 Sel darah merah (packed red cells) untuk penggantian sel darah merah. 


 Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen. 


 Konsentrasi trombosit (perdarahan berlanjut dan trombosit < 20.000). 


 Apabila kesulitan mendapatkan darah yang sesuai, berikan darah


golongan O untuk penyelamatan jiwa. 


 Heparin

Pemberian infus heparin akan menghambat DIC baik oleh abruptio placenta

maupun penyebab lain dengan syarat keadaan vaskularisasi tidak terganggu

 Epsilon-Aminocaproic Acid

Pemberian asam epsilon-aminocaproic telah digunakan untuk mengontrol

fibrinolisis melalui penghambatan konversi plasminogen menjadi plasmin dan

aktifitas proteolitik dari plasmin terhadap fibrinogen, monomer fibrin, dan

polimer fibrin (bekuan darah). Kegagalan untuk membersihkan polimer fibrin dari

sirkulasi mikro dapat menyebabkan iskemi organ dan infark, seperti nekrosis

corteks ginjal. Pemberian terapi ini tidak direkomendasikan pada hampir semua
tipe koagulopati obstetris.

1.8 Pencegahan8

Banyak organisasi merekomendasikan manajemen aktif dari persalinan

kala tiga sebagai metode untuk mengurangi kejadian perdarahan postpartum. Tiga

komponen manajemen aktif adalah sebagai berikut:

1) Pemberian oksitosin

2) Peregangan tali pusat terkendali

3) Masase fundus uterus

Oxytocin profilaksis, dengan infus intravena (dosis bolus 10 unit), atau

injeksi intramuskuler (10 unit), tetap menjadi obat yang paling efektif dengan efek

samping paling sedikit. Oksitosin ditambah metilergonovin atau oksitosin dalam

kombinasi dengan misoprostol tampaknya tidak lebih efektif daripada oksitosin

yang digunakan sendirian untuk profilaksis.

1.9 Tatalaksana Awal PPS8


1.10 Algoritma Penatalaksanaan PPS2
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.

Obsetrical Hemorrhage. In: Dashe JS, et.al. (eds). Williams Obstetrics

24th Ed. New York: McGraw-Hill.2010; 780 – 821.

2. Perkumpulan Obstetri Ginekologi (POGI) & Himpunan Kedokteran Feto

Maternal (HKFM). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK):

Perdarahan Pasca Salin. Indonesia: POGI & HKFM. 2016 .

3. Reddi Rani P, Begum Jasmina. Recent Advances in the Management of

Major Postpartum Haemorrhage. Journal Clinical & Diagnostic Research.

2017.

4. Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.

Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland Government;

2019.

5. Fakultas Kedokteran Unpad. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan

Reproduksi. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2012.

6. DeCherney AH, Nathan L. Current Diagnosis and Treatments in

Obstetrics and Gynecology : Postpartum Hemorrhage. Edisi 11. McGraw-

Hill. Amerika Serikat. 2013.

7. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2018, Postpartum Hemorrhage. Available at

: https://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#a7

8. Laurence E. Shields, MD; Dena Goffman, MD; and Aaron B. Caughey,

MD, PhD. Postpartum Hemorrhage. The American College of Obstetrician

and Gynecologist. 2017

Anda mungkin juga menyukai