Anda di halaman 1dari 21

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA

OTENTIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI


PENGADILAN

AMRINA KHAIRI ILMA


1706126566

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembuktian dimuka persidangan memiliki peranan penting bagi para pihak


yang bersengketa serta hakim dalam memutuskan suatu perkara. Dalam sengketa
yang berlangsung di muka hakim, masing-masing pihak biasanya mengajukan dalil
yang biasanya saling bertentangan.1 Hakim selaku penengah diantara pihak yang
bersengketa, bertugas menyelidiki apakah suatu hubungan hukum dan dalil-dalil para
pihak benar-benar adanya atau tidak.2 Untuk dapat menentukan kebenaran dalil-dalil
yang dikemukakan para pihak bersengketa, baik dalil yang menjadi dasar gugatan,
maupun dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal kebenaran dalil yang
dikemukakan pihak lawan, para pihak yang bersengketa harus membuktian atas dalil
yang disampaikannya tersebut kepada hakim. Maka dari itu, diperlukan alat bukti atas
dalil-dalil yang disampaikan para pihak yang bersengketa, guna sebagai kunci dan
dasar bagi hakim dalam memberikan putusannya.

Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata, alat-alat bukti terdiri atas Bukti tulisan,
bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, serta sumpah. Salah
satu alat bukti yang sering digunakan dimuka hakim dan persidangan pada acara
perdata adalah alat bukti tulisan. Alat bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan
bukti yang utama.3 Hal ini dikarenakan dalam lalu lintas keperdataan, alat bukti
tulisan dibuat oleh para pihak secara sengaja untuk menyediakan bukti, yang dapat
dipakai bilamana dikemudian hari timbul suatu perselisihan. Tulisan tersebut
kemudian ditandatangani sebagai bentuk pengakuan dan pengesahan oleh

1
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 6
2
Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan
praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 2009, hlm. 58.
3
Subekti, Op. Cit., hlm. 25.
penandatangan yang bersangkutan, bahwa benar adanya terjadi sebuah peristiwa
hukum yang dimaksud. Suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan
bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani tersebut itulah yang disebut sebagai
akta.4

Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata, bahwa alat bukti


tulisan atau akta, dapat berupa akta otentik dan akta dibawah tangan. Menurut Pasal
1868 KUHPerdata, yang dimaksudkan dengan akta otentik yaitu suatu akta yang
didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Dengan demikian, untuk dapat dinyatakan otentik atau sah, maka sebuah akta tersebut
harus dibuat dihadapan pejabat yang memang diberikan kewenangan oleh Negara
untuk membuat alat bukti tulisan tersebut.5

Pejabat yang berwenang dalam membuat akta otentik yang dimaksudkan


dalam Pasal 1868 KUHPerdata yakni salah satu diantaranya adalah Notaris.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris), dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dengan undang-undang ini,
atau berdasarkan undang-undang lainnya. Keberadaan Notaris dalam kehidupan
bermasyarakat adalah sesuai dengan perkembangan kebutuhan akan alat bukti yang
memiliki kepastian hukum antara para pihak di masyarakat dalam mengadakan
hubungan hukum, yaitu dalam hal ini alat bukti yang dimaksud adalah pembuatan
akta otentik.

Akta otentik yang dibuat oleh notaris dan dihadapan notaris menurut tata cara
dan ketentuan dalam undang-undang jabatan Notaris disebut pula sebagai akta

4
Subekti, Ibid.
5
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1983, hlm. 3.
Notaris. Sebagai salah satu akta otentik, akta notaris merupakan alat bukti terkuat dan
terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam
kehidupan masyarakat. Seperti dalam hubungan bisnis, pertanahan, perbankan,
kegiatan social, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis menjadi sangat
dibutuhkan seiring dengan perkembangan tuntutan atas kepastian hukum dalam
berbagai hubungan ekonomi dan social.

Meski dinyatakan sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh, kedudukan
akta notaris yang dinyatakan sebagai akta otentik, tidak selalu merupakan pembuktian
yang kuat di hadapan pengadilan. Untuk dapat dikatakan sebagai akta yang memiliki
kekuatan pembuktian terkuat dan terpenuh dimuka pengadilan, perlu diperhatikan
lagi terpenuhinya unsur-unsur dan syarat-syarat otentisitas suatu akta sebagaimana
yang diatur dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris. Maka dari itu,
berdasarkan latar belakang ini, penulis dalam tertarik untuk mengkaji dan menyusun
penelitian hukum terkait kekuatan pembuktian akta notaris dengan mengetengahkan
judul “KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA
OTENTIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI
PENGADILAN”

B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana kekuatan pembuktian akta notaris dimuka pengadilan?
2. Bagaimana prosedur pembuatan akta otentik?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian akta notaris di muka
pengadilan; dan
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pembuata akta otentik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH NOTARIAT

Kehadiran lembaga notariat dalam kehidupan bermasyarakat pada


dasarnya timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang
menghendaki adanya alat bukti mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada
dan/atau terjadi diantara mereka.6 Hal tersebut bermula atas kebutuhan
perdagangan, dimana dalam melakukan perbuatan hukum para pengusaha
membutuhkan sebuah surat yang memiliki kekuatan hukum. Kemudian,
terbentuklah golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis
menulis tertentu untuk membuat surat pembuktian, yang disebut sebagai Notarius.
Pada mulanya, golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk
pekerjaan tulis menulis tidak selalu menghasilkan produk akta yang digunakan
untuk pembuktian, atau bahkan menghasilkan produk akta untuk pembuktian,
akan tetapi kedudukannya hanya sekadar akta dibawah tangan. Hal ini seperti
dalam lembaga Notarii pada abad ke-2 dan abad ke-3 Sesudah Masehi, dan
Tabeliones pada permulaan abad ke-3. Lembaga Notarii merupakan orang-orang
yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat
didalam menjalankan pekerjaan mereka. Mula-mula “Notarii” merupakan orang-
orang yang mencatat atau menulis pidato yang diucapkan oleh Cato dalam senaat
Romawi.7 Kemudian, istilah jabatan “Notarii” berkembang pada abad ke 5 dan
abad ke-6, jauh dari pengertian semulanya, yakni sebagai para penulis pribadi dari
para kaisar, yang kemudian berkembang lagi dengan diartikan sebagai pejabat-
pejabat istana, yang melakukan berbagai ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan

6
G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980, hlm. 5.
7
Ibid.
merupakan pekerjaan administratif.8 Hal ini sangat berbeda jauh dengan
pengertian Notaris yang dimaksudkan saat ini. Sementara, Tabeliones ditugaskan
untuk membuat akta-akta dan surat-surat lainya, untuk kepentingan masyarakat
umum. Namun, dalam jabatan Tabeliones ini tidak ditunjuk atau diangkat oleh
kekuasaan umum ataupun tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan
formalitas yang ditentukan undang-undang.9 Oleh sebab hal ini, produk akta-akta
yang dibuat oleh tabeliones bukan pula merupakan akta otentik yang memiliki
kekuatan pembuktian yang kuat, melainkan merupakan akta yang dibuat dibawah
tangan.10
Selain Tabeliones, dikenal pula Tabularii, yakni golongan orang-orang
yang menguasai teknik menulis dan memberikan bantuan kepada masyarakat
dalam pembuatan akta-akta dan surat-surat. Tabularii ini merupakan pegawai
negeri yang pada dasarnya mempunyai tugas mengadakan dan memelihara
pembukuan keuangan kota-kota dan juga diugaskan untuk melakukan
pengawasan atas arsip magistrate kota-kota dibawah resort mana mereka berada.11
Setelah mengalami berbagai perkembangan, tabeliones dan notariat (golongan
para notaris yang diangkat) menggabungkan diri dalam suatu badan yang
dinamakan collegium. Para notaris yang tergabung dalam collegium ini dapat
dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya berhak untuk membuat akta-
akta baik didalam maupun di luar pengadilan.12
Perkembangan jabatan notariat di Italia Utara tersebut, yang dahulu kala
merupakan pusat perdagangan, merupakan titik dimana awal lembaga notariat
yang kita kenal saat ini. Daerah tersebut merupakan tempat asal dari notariat yang
kita kenal saat ini yang dinamakan “Latijnse Notariaat”. Hal tersebut tercermin

8
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 6.
9
Ibid.
10
Ibid..
11
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 7.
12
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 8.
dari adanya pengangkatan notaris oleh penguasa umum, untuk kepentingan
masyarakat umum, dan menerima uang jasanya dari masyarakat umum pula.
Lembaga Latijnse Notariat ini kemudian meluas dan berkembang ke
daerah-daerah lainnya, terkecuali Kerajaan Inggris dan sebagaian besar dari
Negara Skandinavia yang mana pengertian notaris pada daerah tersebut memiliki
arti yang lain. Di Perancis, lembaga Notariat, dilembagakan melalui peraturan
perundang-undangan, dan diangkat oleh Negara sebagai pejabat umum. Hal ini
memberikan konsekuensi bahwa akta yang dibuat menjadi akta otentik.
Selanjutnya, Lembaga notariat kemudian sampai pula di Indonesia melalui
Belanda yang melakukan penjajahan di Indonesia, yang juga menyerap lembaga
notariat dari Perancis yang sempat menjajahnya. Diserapnya lembaga notariat
dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia tidak lain berdasarkan azas
konkordasi, yang mana peraturan peraturan dari Belanda diberlakukan di
Indonesia dengan disertai dengan penyesuaian dan perubahan.

B. JABATAN NOTARIS DAN AKTA NOTARIS

Sebelum memasuki materi terkait kekuatan pembuktian akta notaris sebagai


akta otentik, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai jabatan notaris dan akta
notaris.
1. Pengertian Notaris
Notaris merupakan jabatan pelaksana dari Pasal 1868 KUHPerdata
yang mensyaratkan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan
pejabat yang berwenang untuk itu ditempat dimana itu dibuat. Dalam
rangka melaksanakan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut,
dibentuklah peraturan jabatan Notaris. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
undang Jabatan Notaris, yang dimaksud sebagai Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki
kewenangan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa Notaris
merupakan pejabat umum. Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh
Negara yakni melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Negara dalam hal ini memberikan kepercayaan kepada notaris untuk
melaksanakan sebagian tugas pemerintahan, dalam memberikan jaminan
kepastian hukum bagi masyarakat dan demi kepentingan umum.
Kepastian hukum yang dimaksud ini yakni adalah dalam membuat akta
otentik guna sebagai alat bukti dimuka persidangan.

2. Wewenang Notaris
Kewenangan yang dimiliki Notaris pada prinsipnya lahir karena
adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu
kewenangan, baik secara langsung maupun melalui pendelegasian atau
mandat. Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris,
Notaris berwenang dalam membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat kita ketahui pada
dasarnya, wewenang utama dari Notaris utamanya adalah untuk membuat
akta otentik.13

13
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 41.
Dalam membuat akta otentik oleh Notaris juga harus dalam kerangka
wewenang yang harus dipunyai oleh Notaris, yakni diantaranya : 14
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang
dibuatnya
Yang dimaksud bahwa notaris harus berwenang menyangkut akta
yang dibuatnya adalah bahwa Notaris memang benar adanya menurut
undang-undang berwenang dalam membuat jenis akta tersebut. Bahwa
akta tersebut telah ditentukan oleh undang-undang bahwa pejabat yang
berwenang membuatnya adalah Notaris, bukan pejabat lain. Seperti
misalnya, dalam pembuatan Akta Jual Beli, Akta Sewa Menyewa, dan
lain sebagainya. Disamping itu, akta yang dibuatnya tersebut,
merupakan akta yang didasari kehendak para pihak, bukan
berdasarkan kehendak notaris semata. Peran Notaris dalam hal ini,
hanya untuk mengkonstantir kebutuhan dan kehendak para pihak
dalam pemenuhan alat bukti yang kuat.
b. Sepanjang mengenai orang-orang, untuk siapa akta dibuat
Pada dasarnya, Notaris berwenang dalam membuat akta notaris bagi
semua orang. Namun, terdapat pengecualian apabila akta otentik
terebut dibuat untuk kepentingan bagi diri sendiri, istri/suami, serta
orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan Notaris.
c. Sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat
Sebagaimana pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Jabatan
Notaris, Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten
atau kota, dan wilayah jabutan meliputi selurluh wilayah provinsi dari
tempat kedudukannya tersebut. Kewenangan Notaris dalam membuat
akta notaris, tidak boleh diluar jabatan kedudukannya tersebut. Bahwa,

14
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 42 – 43.
notaris hanya berwenang membuat akta otentik yang sesuai dengan
tempat kedudukannya dan wilayah provinsinya.
d. Sepanjang mengenai waktu akta itu dibuat
Perlu diperhatikan apakah Notaris yang membuat akta tersebut sudah
memiliki kewenangan dalam membuat akta tersebut. Hal ini
dikarenakan, berwenangnya notaris dalam membuat akta adalah
terhitung sejak sumpah jabatan telah dilakukannya, bukan berdasarkan
keluarnya Surat Keputusan pengangkatan Notaris yang dikeluarkan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

C. KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA


OTENTIK

Kekuatan pembuktian akta otentik, termasuk pula dalam hal ini akta
notaris, merupakan akibat langsung dari adanya ketentuan peraturan perundang-
undangan, bahwa harus adanya akta-akta otentik sebagai alat pembuktian serta
tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-
orang tertentu.15
Akta notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan
sempurna. Dianggap mengikat, oleh karena bahwa apa yang ditulis dalam akta
tersebut harus dipercaya oleh hakim, dan harus dianggap benar, selama tidak
terdapat bukti lain yang menyatakan sebaliknya.16 Akta notaris dianggap sebagai
alat bukti yang sempurna, dinyatakan sebagaimana menurut Pasal 1870
KUHPerdata, bahwa suatu akta otentik memberikan para pihak beserta ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.17 Yang dimaksudkan sempurna
dalam hal ini adalah bahwa dengan adanya alat bukti berupa akta otentik, maka

15
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 47.
16
Subekti, Op. Cit., hlm. 27.
17
Ibid.
tidak diperlukan lagi penambahan pembuktian. Cukup dengan akta otentik
tersebut saja, maka sebuah dalil harus langsung dianggap benar apabila tidak ada
bukti yang membuktikan lain.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana sebuah akta
notaris, dapat dianggap menjadi alat bukti yang mengikat dan sempurna? Apabila
ditarik kembali mengenai hakikat dari jabatan Notaris, Notaris merupakan jabatan
yang dilembagakan melalui undang-undang, dan pengangkatan oleh pemerintah.
Kekuasaan eksekutif secara langsung memberikan kepercayaan kepada Notaris
untuk melaksanakan tugas dalam memberikan keterangan dari semua apa yang
disaksikannya, atau merelatirkan secara otentik semua yang diterangkan oleh para
penghadap kepada notaris, dengan permintaan agar keterangan-keterangan
mereka itu dicantumkan dalam suatu akta dan menugaskan mereka untuk
membuat akta mengenai hal itu.18

Akta Notaris yang dibuat oleh atau dihadapan notaris tersebut, tidak hanya
membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang tertuliskan di
dalam akta tersebut, tetapi juga menyatakan bahwa apa yang diterangkan tersebut
adalah benar. Penafsiran tersebut dapat diambil dari Pasal 1871 KUHPerdata,
yang mana menyebutkan bahwa suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang
sempurna tetang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka,
selainnya sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok
isi akta. Berdasarkan pasal tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa akta
otentik memberikan bukti yang sempurna mengenai segala apa yang menjadi
pokok isi akta tersebut, yaitu segala apa yang dengan tegas, baik secara sepihak
maupun bertimbal balik, dikemukakan atau dinyatakan oleh para penandatangan
akta.

18
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 47.
Secara umum, kekuatan pembuktian pada suatu akta otentik, termasuk
pula akta notaris, terdapat tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:19

1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsracht)


Yang dimaksud kekuatan pembuktian lahiriah yaitu akta notaris mempunyai
kemampuan sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta yang sah.
Bahwasanya, akta notaris sebagai akta otentik diakui sebagai akta yang dapat
dipercaya kebenarannya, dan menyatakan bahwa segala keterangan yang
tertuang dalam akta tersebut adalah benar adanya dan diakui oleh para
penghadap yang dibuktikan melalui penandatanganan oleh Notaris, para
penghadap dan saksi-saksi. Hal ini berbeda dengan akta dibawah tangan.
sebagaimana menurut Pasal 1875 KUHPerdata, akta dibawah tangan baru
dianggap sah dan dianggap benar, apabila yang menandatanganinya itu
mengakui kebenaran dari tandatangan tersebut.20 Sementara, pada prakteknya,
ketika timbulnya sengketa, diantara para pihak dalam akta dibawah tangan
tersebut, tidak selalu mengakui kebenaran akta ataupun tandatangan tersebut.
Sehingga, apabila dilakukan penyangkalan terhadap akta tersebut, maka pihak
yang memanfaatkan akta tersebut harus membuktikan kembali
kebenarannya.21

2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)


Dalam arti formal, akta notaris, membuktikan kebenaran dari apa yang
disaksikan, dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai
pejabat umum dalam menjalankan jabatannya.22 Akta notaris dalam kekuatan
pembuktian formal memiliki arti bahwa terjaminnya kebenaran/kepastian
tanggal dari akta tersebut, kebenaran tandatangan yang terdapat dalam akta

19
Ibid.
20
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 48.
21
A. Kohar, Op. Cit., hlm. 31.
22
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 49.
itu, identitas dari orang-orang yang hadir, dan juga mengenai tempat dimana
akta itu dibuat. Berbeda halnya dengan akta dibawah tangan, yang untuk
membuktikan kebenaran akta tersebut aalah harus diakui oleh kedua belah
pihak yang menandatangani, atau telah diakui sedemikian menurut hukum.

3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)


Menurut kekuatan pembuktian material, bahwa Akta Notaris membuktikan
antara para pihak yang bersangkutan bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang
tercantum dalam akta tersebut telah terjadi.23 Misalnya dalam hal akta
mengenai jual beli barang antara A sebagai penjual dan B sengbagai pembeli.
Akta Notaris tersebut membuktikan bahwa benar A menjual barang miliknya
kepada B, dengan syarat-syarat tertentu yang dicantumkan dalam akta
tersebut, seperti terkait harga penjualan, benda yang dijual, dan lain-lainnya.
Akta Notaris tidak hanya menerangkan suatu perbuatan hukum dihadapan
notaris, akan tetapi juga membuktikan bahwa para pihak telah mencapai
persetujuan mengenai perjanjian yang dimuat dalam akta itu. Hal ini
sebagaimana dalam Arrest dari Hoge Raad tanggal 19 Desember 1921 (N.J.
1922, 272, W. 10862).

Dengan demikian, Akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah selalu
dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Akta Notaris ini memiliki
derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan akta dibawah tangan. Hal ini
dikarenakan dalam hal akta dibawah tangan dijadikan sebagai alat bukti tertulis di
muka pengadilan, apabila tidak diakui oleh salah satu pihak, maka di muka
pengadilan akta tersebut tidak mengikat, kecuali dikuatkan dengan alat bukti
lainnya. Begitu pula dengan alat bukti lainnya, seperti kesaksian para saksi. Alat
bukti tersebut tidak mengikat hakim untuk menjadikannya sebagai dasar
keyakinannya dalam membuat keputusan. Sementara, akta Notaris dimuka

23
Subekti, Op. Cit., hlm. 31.
pengadilan merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, dan bahwa hakim
tidak diperkenankan meminta tanda pembuktian lainnya disamping itu.24 Hal ini
dikarenakan kedudukan jabatan Notaris yang merupakan jabatan yang amanah
dan dipercaya secara langsung ditunjuk oleh undang-undang, ditugaskan untuk
membuat sebuah alat bukti yang sah mengenai keterangan-keterangan yang benar
dari penghadap. Sehingga, Akta Notaris tersebut, selama tidak dibuktikan
sebaliknya, harus dipercaya dan memberikan kepastian hukum tidak hanya
kepada pihak yang bersangkutan, tetapi juga bagi hakim dalam memutuskan suatu
perkara.

D. PROSEDUR PEMBUATAN AKTA NOTARIS

Terkait pembuatan akta notaris, terdapat prosedur serta persyaratan-


persyaratan yang harus dipenuhi agar akta tersebut terpenuhi sebagai akta otentik.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7, yang disebut sebagai Akta Notaris
adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan
tersebut, terdapat dua macam akta otentik yang dibuat Notaris, yaitu akta otentik
yang dibuat oleh Notaris, dan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris. Akta
otentik yang dibuat oleh Notaris, yang disebut juga sebagai akta relaas atau akta
pejabat, dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara
otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau
disaksikan oleh pembuat akta itu sendiri, yakni dalam hal ini adalah Notaris,
didalam menjalankan jabatannya.25 Sementara, akta otentik yang dibuat
dihadapan Notaris, yang disebut juga sebagai akta partij yaitu akta otentik yang
memuat perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris.26
Dalam hal ini, pihak lain dengan sengaja datang dihadapan notaris, dan

24
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 52.
25
G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 14.
26
Ibid
memberikan keterangan atau melakukan perbuatan hukum dihadapan notaris, agar
keterangan atau perbuatan itu dikonstantir oleh notaris dalam suatu akta otentik.27

Berdasarkan pasal 1 angka 7 pula, disebutkan bahwa akta notaris haruslah


dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Mengenai bentuk akta diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris.
Bahwa, setiap akta Notaris terdiri atas tiga bagian, yakni:

1. awal akta atau kepala akta,


2. badan akta, dan
3. akhir atau penutup akta.

Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris ditentukan awal akta


memuat Judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun, serta nama
lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Kemudian, dalam ayat (3) diatur bahwa
Badan akta memuat komparisi, yakni nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, serta tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili. Badan akta juga memuat, premis,
yaitu keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap, isi akta yang
memuar kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan, serta
identitas dari tiap-tiap saksi pengenal. Dalam akhir akta memuat terkait uraian
tentang pembacaan akta, uraian penandatanganan dan tempat penandatangan
atau penerjemanan akta jika ada, identitas saksi akta, serta uraian tentang tidak
adanya perubahan yang terjadi dalam pebuatan akta, baik berupa penambahan,
pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

Disamping terkait bentuk akta, dalam Undang-Undang Jabatan Notaris


diatur pula mengenai persyaratan pembuatan akta Notaris. Pada pokoknya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 15, Notaris dalam membuat akta otentik

27
Ibid
mengenai segala perbuatan, perjanjian, dan penetapan ini adalah berdasarkan
diperintah oleh peraturan perundang-undangan, ataupun berdasarkan kehendak
para pihak yang berkepentingan, untuk dinyatatakan dalam Akta Otentik. Untuk
dapat dibuat akta otentik, Para penghadap harus menghadap Notaris untuk
menyatakan kehendaknya untuk dibuatkan akta otentik. Dengan demikian,
Notaris hanya berperan dalam mengkonstatir segala keterangan-keterangan baik
yang disampaikan para penghadap, maupun yang disaksikannya untuk dibuatkan
dalam akta otentik. Kemudian, Dalam Pasal 39 ditentukan bahwa penghadap
yang akan menghadap ke Notaris harus memunhi syarat telah berumur minimal
18 (delapan belas) tahun, atau telah menikah, dan cakap melakukan perbuatan
hukum. Selain itu, penghadap haruslah dikenal oleh Notaris ataupun apabila
tidak dikenal, maka harus diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi pengenal atau
diperkenalkan (2) dua penghadap lainnya. Saksi pengenal juga harus memenuhi
persyaratan sudah berumur minimal 18 (delapan belas) tahun, atau telah
menikah, dan cakap melakukan perbuatan hukum. Pengenalan ini harus pula
dinyatakan secara tegas di dalam akta. Mengenai pengenalan penghadap ini
adalah penting, hal ini dikarenakan akta notaris harus lah mengkonstantir
keyakinan bahwa pihak yang berhadapan dengan Notaris, adalah benar
merupakan orang yang dimaksud dalam akta yang dibuat tersebut.

Prosedur lainnya yang harus dipenuhi pula dalam pembuatan akta notaris
ini adalah mengenai pembacaan Akta. Menurut pasal 16 ayat (1) huruf m
Undang-Undang Jabatan Notaris, setiap akta wajib dibacakan oleh Notaris
dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh minimal 2 (dua) orang saksi, atau 4
(empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan.
persyaratan saksi akta diatur dalam Pasal 40 ayat (2), yakni:

a. minimal berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah,


b. cakap melakukan perbuatan hukum,
c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta
d. dapat membubuhkan tandatangan dan paraf,
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis
lurus ke atas, atau ke bawah, tanpa pembatasan derajat, dan garis kesamping
sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

Terhadap saksi-saksi tersebut juga harus dikenal oleh Notaris, atau


diperkenalkan kepada notaris, atau diterangkan tentang identittas dan
kewenangannya kepada notaris oleh penghadap. Pengenalan atau pernyataan
tentang identitias dan kewenangan saksi tersebut, harus dinyatakan secara tegas
dalam akta.

Terkait pembacaan akta ini, menurut Pasal 16 ayat (7) juncto Pasal 16
ayat (8) Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat tidak wajib dilakukan, kecuali
terhadap pembacaan kepala akta, komparisi, penjelasan pokok akta secara
singkat dan jelas, serta penutup akta, jika penghadap menghendaki agar akta
tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan
memahami isinya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa hal
tersebut dinyatakan dalam penutup akta, serta pada setiap halaman Minuta Akta
diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris. Apabila hal tersebut diatas tidak
dipenuhi, maka menurut Pasal 16 ayat (9), akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

Terkait bahasa akta, menurut Pasal 43 Undang-Undang Jabatan Notaris,


adalah wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Apabila penghadap tidak mengerti
bahasa yang digunakan dalam Akta, maka notaris itu sendiri wajib
menerjemahkan atau menjelaskan isi akta ke dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap, maupun menggunakan penerjemah resmi.

Setelah akta dibacakan, menurut ketentuan Pasal 44 Undang-Undang


Jabatan Notaris, segera dilakukan penandatangan akta oleh setiap penghadap,
saksi dan Notaris, kecuali terdapat penghadap yang tidak dapat membubuhkan
tandatangan. Alasan atas tidak dapatnya membubuhkan tandatangan harus lah
dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Apabila ketentuan-ketentuan diatas
dilanggar, maka menurut Pasal 41 dan Pasal 44 Undang-Undang Jabatan
Notaris, akta tersebut menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan, dan terhadap pelanggaran penandatanganan akta, pihak
yang menderita kerugian atas pelanggaran tersebut dapat menuntut penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Pada mulanya produk dari lembaga notariat yang kehadirannya dalam


kehidupan bermasyarakat timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama
manusia yang menghendaki adanya alat bukti mengenai hubungan hukum
keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka, adalah dalam bentuk
akta dibawah tangan. Hal ini dikarenakan, sebelumnya jabatan tersebut tidak
dilembagakan maupun dilakukan pengangkatan oleh pemerintah pada saat itu.
Pasca masuknya notariat di Perancis, notariat kemudian dilembagakan melalui
peraturan perundang-undangan tentang jabatan notaris dan dilakukan
pengangkatan oleh pemerintah, sehingga produk yang dihasilkan berupa akta
yang otentik;
2. Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh Negara yakni melalui
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Negara dalam hal ini
memberikan kepercayaan kepada notaris untuk melaksanakan sebagian tugas
pemerintahan, dalam memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat
dan demi kepentingan umum. Kepastian hukum yang dimaksud ini yakni
adalah dalam membuat akta otentik guna sebagai alat bukti dimuka
persidangan
3. akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Hakim
tidak diperkenankan meminta tanda pembuktian lainnya disamping itu. Hal ini
dikarenakan kedudukan jabatan Notaris yang merupakan jabatan yang amanah
dan dipercaya secara langsung ditunjuk oleh undang-undang, ditugaskan
untuk membuat sebuah alat bukti yang sah mengenai keterangan-keterangan
yang benar dari penghadap. Sehingga, Akta Notaris tersebut, selama tidak
dibuktikan sebaliknya, harus dipercaya dan memberikan kepastian hukum
tidak hanya kepada pihak yang bersangkutan, tetapi juga bagi hakim dalam
memutuskan suatu perkara.
4. Akta Notaris sebagai akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan
prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu harus
dibuat oleh atau dihadapan Notaris, sesuai dengan bentuk yang ditentukan
dalam Pasal 38 UUJN, dibacakan oleh Notaris, dan ditandatangani oleh para
penghadap, saksi-saksi, dan Notaris yang bersangkutan, sebagaimana yang
diatur dalam UUJN. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta tersebut
hanya mengikat sebagai akta dibawah tangan.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Kohar. A., Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1983.

Tobing, G. H. S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Penerbit Erlangga,


1980.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.
Sutantio, Retnowulan, dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata dalam
teori dan praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Anda mungkin juga menyukai