Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Tinjauan Pustaka.
1. Kejang Demam Sederhana
Kejang demam simplex/sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15
menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dilaukukan
untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B). (Wanigasinghe, 2017). Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran
tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang. (American Academy of Pediatrics, 2013)
Algoritma tatalaksana kejang demam (IDAI, 2016)

a. Pemberian Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam
(level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi anak di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
b. Pemberian Obat Profilaksis Kejang
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko
berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat rekomendasi B). Dosis asam valproat adalah 15-40
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam (Dipiro, 2017).
2. Bronchitis Akut
Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas
sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin
terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi
penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin,
hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi udara, dan rokok. Penyebab bronkhitis akut
umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A dan B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory
synctial virus (RSV). Ada pula bakteri atypical yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia
pneumoniae ataupun Mycoplasma pneumoniae yang sering dijumpai pada anak-anak, remaja dan
dewasa. Bakteri atypical sulit terdiagnosis, tetapi mungkin menginvasi pada sindroma yang lama
yaitu lebih dari 10 hari.
Terapi Bronkitis Akut
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri, bronkhitis akut akan sembuh dengan
sendirinya, sehingga tujuan penatalaksanaan hanya memberikan kenyamanan pasien, terapi
dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak
dianjurkan kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai
adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. Influenzae. Untuk batuk yang
menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan
antibiotika disarankan. Lama terapi 5- 14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama
14 hari. Pilihan antibiotik yang dapat digunakan yaitu :
3. Diare Akut Non-Dehidrasi
Menurut WHO Pengertian diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret) sebanyak 3
kali atau lebih dalam satu hari (24 jam). Pengertian Diare didefinisikan sebagai inflamasi pada
membran mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare, muntah muntah yang
berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Diare Akut tidak ada dehidrasi adalah kondisi diare tanpa dehidrasi dan bila terdapat dua
tanda atau lebih, yaitu : keadaan umum baik, sadar, mata tidak cekung, minum biasa, tidak haus,
cubitan kulit perut/turgor kembali segera (World Health Organization, 2010).
Tatalaksana terapi Diare Akut Non-Dehidrasi adalah (Dipiro, 2017)
a. Non-Farmakologi : cairan tambahan, sebagai berikut: Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu
untuk menyusui anaknya lebih sering dan lebih lama pada setiap pemberian ASI. Jika anak
mendapat ASI eksklusif, beri larutan oralit atau air matang sebagai tambahan ASI dengan
menggunakan sendok. Setelah diare berhenti, lanjutkan kembali ASI eksklusif kepada anak,
sesuai dengan umur anak. Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, dapat diberikan larutan
oralit atau cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah sayuran) atau air matang
b. Farmakologi : zinc dengan dosis :
- Di bawah umur 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
- Umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM
INSTALASI FARMASI

Nama : An.A Nomor RM : 020148XX


Tgl lahir/Umur :2 tahun BB : 8,7 kg; TB : 79 cm; Kamar : Aster
RPM : demam, kejang 2 menit, batuk grok grok sejak seminggu lalu RPD : Kejang Demam
DPJP : dr. Dhian SPA
Diagnosis : Kejang Demam Sederhana, Bronchitis Akut, Anemia Mikrositik Normkromik, Diare Akut Tidak
Dehidrasi
Alergi : -

RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN


Diisi oleh Apoteker yang merawat :
Parameter Penyakit / Nilai Normal 14/09 15/09 16/09 17/09
Tanda Vital

Tanggal
Tekanan Darah (mm Hg) 86-106/42-63
Nadi (kali per menit) 98-140 110 120 100 90
Suhu Badan (oC) 36-37,50C 38 37,5 36 37
Respirasi (kali per menit) 22-37 22 28 22 22
Kejang - - - -
KELUHAN

Batuk +++ ++ ++ +
Demam + + - -
Sesak + + - -
Diare + +
Laboratorium Rutin / Nilai Normal 14/09
Tanggal
Hemoglobin 10.8 – 15.8 8.9
Laboratorium Rutin

MCV 73-101 54,6


MCH 23-31 16.3
MCHC 26-34 29,9
Hematokrit 35-43 30
Batang 3–6 0.8
segmen 25-60 45
Leukosit 5500-15500 25.820
Eosinofil 1–5 0,8
Limfosit 25 – 50 35,2
Basofil 0-1 0,2
Kalium 3.4 – 4,5 5
RDW 11,5-14,5 20,7
Monosit 1-6 18
Terapi (Nama Obat, Aturan Pakai 14/09 15/09 16/09 17/09
Kekuataan)
IV Diazepam jika kejang 3 mg √ √
IV

IV Ceftriaxon 2x 250 mg √ √ √ √
PO Paracetamol sirup 3x 1 cth √ √ √ -
PO Ambroxol sirup 3 x ¾ cth √
ORAL

PO Ambroxol sirup 3 x ½ cth √ √ √


IVFD KAEN 3A 9 tpm √ √ √ √
I.V.F.D.
O2 2 lpm NK √ √

Obat Pulang :
Cefixime 2 x 2 ml
Zink 1 x 1 cth
Sangobion 1 x 1 cth
Asam valproate 2 x 1,5 ml
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM : 020148XX
INSTALASI FARMASI

Nama : An.A Nomor RM : 020148XX


Tanggal lahir / Umur : 2 tahun Berat Badan : 8,7 kg Tinggi Badan : 79 cm

PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Diisi oleh Apoteker yang merawat :

Tanggal Asuhan Kefarmasian


Nama & Paraf Apoteker
& Jam Subyektif Obyektif Assesment (DRP) Planning
14/09 Kejang (-) Diagnosa : - Infus yang diberikan - Infus dapat diganti dengan KAEN IB yang tidak
Demam (+) Kejang Demam sederhana mengandung kalium mengandung kalium
Batuk grok Bronchitis Akut - Anemia belum diterapi - Anemia dapat diterapi dengan Besi 3 x 8-17 mg
grok (+) Anemia - Dosis Ambroxol berlebih perhari
Data Lab : Leukosit : 25820 (H) Hb : 8,9 MCV - Disarankan penurunan dosis ambroxol menjadi 3
:54,6 (L) MCH : 16,3 (L) MCHC : 29,9 K : 5 (H) x1/2 cth ( 3 x 7,5 mg)
Terapi sesuai instruksi DPJP - Monitor leukosit, suhu tubuh

15/09 Kejang (-) Diagnosa : - Infus Infus yang diberikan - Infus dapat diganti dengan KAEN IB yang tidak
Demam (+) Kejang Demam sederhana mengandung kalium mengandung kalium
Batuk grok Bronchitis Akut - Anemia belum diterapi - Anemia dapat diterapi dengan Besi 3 x 8-17 mg
grok (+) Anemia perhari
Diare 3 x (+) Data Lab : Leukosit : 25820 (H) Hb : 8,9 MCV : - Edukasi ibu pasien untuk memberikan zink
54,6 (L) MCH : 16,3 (L) MCHC : 29,9 (N) K : 5 (H) diberikan 1 x 20 mg diberikan selama 10-14 hari
Terapi sesuai dengan instruksi DPJP - Monitor leukosit, suhu tubuh, dan frekuensi BAB
Pembahasan

 An.A ( 2 thn; 8,7 kg) masuk IGD dengan keluhan demam dan kejang selama 2 menit batuk grok-grok sejak
2minggu yang lalu. Tanda tanda vital di IGD menunjukkan bahwa pasien demam dan tanda-tanda vital
lainnya juga normal. Pasien juga menjalani pemeriksaan darah lengkap dengan hasil leukosit, basophil diatas
normal, Hb, MCV, MCH dibawah normal dan kadar kalium diatas normal. An.A diberikan beberapa obat diIGD
antara lain Inf.KAEN 3A 9 tpm, inj luminal IM klp 80 mg, pamol syrup 3 x 1 cth, inj Diazepam 3 mg, dan inj
dexametason ½ ampl. Pasien dipindahkan keruang Aster bed pada tanggal yang sama dengan diagnosa
Kejang demam sederhana, bronchitis akut dan status gizi kurang.
 An A didiagnosa kejang Demam Sederhana . Kejang demam dapat dilihat ketika pasien mengalami demam
tinggi dan kemudian mengalami kejang selama kurang lebih 2 menit. Kejang demam dapat diberikan
diazepam intravena jika pasien mengalami kejang. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Dosis untuk
pemberian diazepam untuk anak An.A sudah sesuai. Untuk menurunkan suhu tubuh An.A dapat digunakan
paracetamol jika demam dengan dosis Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). An. A diberikan asam valproate 2 x 1,5 ml. Tujuan
diberikan asam valproate adalah untuk mencegah terjadinya kejang demam. (IDAI, 2016)
 An A didiagnosa Bronkitis akut. Penyebab Bronkitis akut adalah virus tetapi jika batuk lebih dari 14 hari dapat
diberikan antibiotik. Obat batuk yang digunakan adalah ambroxol. Pada saat masuk dari IGD, dosis ambroxol
berlebih yaitu sebanyak 3 x 10 mg, tetapi setelah dikomunikasikan dengan dokter dosis sudah sesuai menjadi
3 x 7,5 mg. Pada kasus ini anak mengalami batuk grok-grok dan demam serta terjadi peningkatan leukosit
yang tinggi (25820) sehingga dapat diiindikasikan penggunaan antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah
ceftriaxone dengan dosis 2 x 250 sudah tepat, tetapi pilihan pertama untuk bronchitis akut pada anak
diantaranya adalah golongan penicillin. Dapat digunakan Ampicilin 4 x 250 mg atau amoxicillin 3 x 250 mg.
Untuk keamanan dan efektivitas ceftriaxone pada anak-anak yaitu menurut penelitian perbandingan
ceftriaxone dan amoxicillin oral pada anak-anak diperoleh hasil yaitu menunjukkan bahwa seftriakson lebih
baik efektivitasnya dengan amoksisilin tetapi ada faktor lain yang dipertimbangkan yaitu ada kekhawatiran
potensi pengembangan bakteri resistensi dengan terlalu sering menggunakan obat ini pada anak-anak.
Ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien. Efek samping yang terkait dengan
ceftriaxone adalah: reaksi hipersensitivitas (sekitar 2% pasien), diare (2%), eosinofilia (6%), trombositosis
(5%), leukopenia (2%), peningkatan tes fungsi hati (4%), dan disfungsi ginjal dalam 1 hingga 2% dari pasien ke
kasus yang jarang (Peiser, 2012).
 An A didiagnosa Diare Akut Tanpa dehidrasi . Diare akut dapat dilihat dari frekuensi BAB pasien lebih dari 5 x
dan cair tidak berlendir dan tidak berdarah. Dalam hal ini pasien didiagnosa diare akut tanpa dehidrasi
dikarenakan pasien masih mengalami keadaan umum baik, sadar, mata tidak cekung, minum biasa, tidak
haus, cubitan kulit perut/turgor kembali segera. Terapi diare akut dapat menggunakan zink selama 10-14
hari. Penggunaan zink pada usia anak-anak > 6 bulan seperti pada usia pasien dapat diberikan dengan dosis
20 mg perhari. Zink harus digunakan selama 10-14 hari bertujuan untuk menggantikan Zink alami didalam
tubuh yang hilang ketika anak mengalami diare sehingga dapat mencegah berulangnya diare selama 2-3
bulan kedepan. Zink juga meningkatkan penyerapan air dan elektrolit, meningkatkan regenerasi epitel usus,
dan meningkatkan respons imun dan dapat membersihkan patogen yang ada didalam usus. (Guarino dkk.,
2014)
 Anemia Mikrositik Normokromik. An. A didiagnosa Anemia Mikrositik Normokromik dapat dilihat dari hasil
laboratorium yang menunjukkan bahwa nilai MCV menurun (54,6) , MCH menurun (16,3) dan MCHC yang
normal. Pada kasus ini pasien menderita anemia dan dokter belum memberikan terapi untuk hal tersebut,
sehingga dapat disarankan pemberian Besi (Fe), dikarenakan anemia mikrositik dapat disebabkan oleh
kekurangan besi sehingga terapi Fe pada kasus ini sangat diperlukan. Terapi besi tidak diberikan saat dirumah
sakit tetapi untuk obat pulang sudah diberikan.
 Infus yang diberikan pada pasien adalah infus KAEN 3A, kandungan dari infus KAEN 3A mengandung kalium
10 meq/L. Pada kasus ini kalium tinggi yaitu 5, sehingga lebih baik tidak digunakan infus yang mengandung
kalium dan dapat diberikan infus maintenance lain seperti KAEN 1 B yang tidak mengandung kalium.
Daftar Pustaka
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016, Rekomendasi Penatalaksaan Kejang Demam, Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Subcommittee Febrile Seizure, 2013, Clinical Practice Guideline—Febrile Seizures: Guideline for the
Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a Simple Febrile Seizure, American Academy of Pediatrics,
Pediatrics, vol 127:389–394. Wanigasinghe, 2017, Management of simple febrile seizures, Sri Lanka Journal of
Child Health, 2017; 46(2): 165-171
Dipiro, 2017. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approarch 10 Th Edition. Mc.Graw Hill.
Guarino, A., Ashkenazi, S., Gendrel, D., Lo Vecchio, A., Shamir, R., dan Szajewska, H., 2014. European Society for
Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition/European Society for Pediatric Infectious Diseases
Evidence-Based Guidelines for the Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe: Update 2014.
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 59: 132–152.
Peiser, C., 2012. Bronchitis in Children, dalam: Irusen, E. (Ed.), Lung Diseases - Selected State of the Art Reviews.
InTech.
World Health Organization (Ed.), 2010. WHO Recommendations on the Management of Diarrhoea and Pneumonia
in HIV-Infected Infants and Children. World Health Organization, Departments of Child and Adolescent Health
and Development (CAH) and HIV/AIDS, Geneva?

Anda mungkin juga menyukai