Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepatitis Virus


2.1.1 Hepatitis A virus (HAV)
Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global. Prevalensi
infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibody anti-HAV telah diketahui secara
universal dan erat hubungannya dengan standar sanitasi/kesehatan daerah yang
bersangkutan. Meskipun virus hepatitis A ditularkan melalui air dan makanan yang
tercemar, namun hampir sebagian besar infeksi HAV didapat melalui transmisi
endemic atau sporadic yang sifatnya tidak begitu dramatis.8
a) Etiologi
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer
dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk
golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat
menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus
tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri
khas dari antigen virus hepatitis A.8
Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini disebut
viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel
hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi dalam tubuh
dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang
ditemukan di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati setelah
replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis
A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat dan tahan terhadap
panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH yang

3
rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA melalui
lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu.8
b) Masa inkubasi
Penelitian pada sukarelawan memperlihatkan masa inkubasi hepatitis A akut
bervariasi antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-rata 30 hari. Penularan
hepatitis A yang paling dominan adalah melalui faecal-oral. Umumnya penularan
dari orang ke orang. Kemungkinan penularannya didukung oleh faktor higienis
pribadi penderita hepatitis.Penularan hepatitis A terjadi secara faecal-oral yaitu
melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A. Untuk
kelompok homoseksual amat mungkin cara penularan adalah fecal-anal-oral.
Ditinjau dari kelompok umur, makin bertambah usia making tinggi kemungkinan
sudah memiliki antibody secara alamiah terjadi baik setelah terinfeksi dengan
bergejala maupun yang asimtomatik.8
c) Gejala klinis
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan dewasa
muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau bentuk yang
ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus. Pada anak manifestasinya sering
kali asimtomatk dan anikterik. Gejala dan perjalanan klinis hepatitis virus akut
secara umum dapat dibedakan dalam 4 stadium :
1. Masa Tunas. Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu.
2. Fase pra-ikterik/prodromal.
Keluhan umumnya tidak spesifik, dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat
bervariasi secara individual seperti ikterik, urin berwarna gelap, lelah/lemas,
hilang nafsu makan, nyeri & rasa tidak enak di perut, tinja berwarna pucat, mual
dan muntah, demam kadang-kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada sendi,
pegal-pegal pada otot, diare dan rasa tidak enak di tenggorokan. Dengan keluhan
yang beraneka ragam ini sering menimbulkan kekeliruan pada waktu

4
mendiagnosis, sering diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun
arthritis.
3. Fase Ikterik.
Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah demam turun
penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning pekat seperti air teh ataupun
tanpa disadari, orang lain yang melihat sclera mata dan kulitnya berwarna
kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya akan meningkat, menetap, kemudian
menurun secara perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada
stadium ini gejala klinis sudah mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik.
Pada usia lebih tua dapat terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan
bisa berlangsung lama dan
4. Fase penyembuhan.
Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan sisa gejala tersebut diatas,
ikterus mulai menghilang, penderita merasa segar kembali walau mungkin masih
terasa cepat capai. Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan
biokimia memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa
kasus dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan
perjalanan yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan
SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis
timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali bilirubin
serum yang baru menghilang 2-4 bulan kemudian (prolonged cholestasis)
hepatitis fulminant, merupakan komplikasi yang sangat jarang kurang dari 1%,
kematiannya yang tinggi tergantung dari usia penderita.
d) Patogenesis
Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera sebelum
hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun setelah timbul
manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV spesifik. Kerusakan sel-
sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi dalam waktu sangat pendek

5
dan terjadi pada masa inkubasi. Serngan antigen virus hepatitis A dapat
ditemukan dalam tinja 1 minggu setelah ikterus timbul.
Kerusakan sel hati disebabkan oleh aktifasi sel T limfosit sitolitik terhadap
targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. Pada keadaan ini ditemukan HLA-
Restricted Virus specific cytotoxic CD8+ T Cell di dalam hati pada hepatitis virus
A yang akut. Gambaran histologis dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya
nekrosis sel hati berkelompok, dimulai dari senter lobules yang diikuti oleh
infiltrasi sel limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan neutrofil. Ikterus terjadi
sebagai akibat hambatan aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati,
terdapat peningkatan bilirubin direct dan indirect dalam serum. Ada 3 kelompok
kerusakan yaitu di daerah portal, di dalam lobules, dan di dalam sel hati. Dalam
lobules yang mengalami nekrosis terutama yang terletak di bagian sentral.
Kadang-kadang hambatan aliran empedu ini mengakibatkan tinja berwarna pucat
seperti dempul (faeces acholis) dan juga terjadi peningkatan enzim fosfatase
alkali, 5 nukleotidase dan gama glutamil transferase (GGT).
Kerusakan sel hati akan menyebabkan pelepasan enzim transminase ke dalam
darah. Peningkatan SGPT memberi petunjuk adanya kerusakan sel parenkim hati
lebih spesifik daripada peningkatan SGOT, karena SGOT juga akan meningkat
bila terjadi kerusakan pada myocardium dan sel otot rangka. Juga akan terjadi
peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH) pada kerusakan sel hati. Kadang-
kadang hambatan aliran empedu (cholestasis) yang lama menetap setelah gejala
klinis sembuh.
e) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dan dibantu dengan
sarana penunjang pemeriksaan laboratorium. Anamnesa : gejala prodromal,
riwayat kontak. Pemeriksaan jasmani : warna kuning terlihat lebih mudah pada
sclera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang berat (fulminant).
Didapatkan mulut yang berbau spesifik (foeter hepaticum). Pada perabaan hati

6
membengkak, 2 sampai 3 jari di bawah arcus costae, konsistensi lunak, tepi tajam
dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen kuadran kanan atas, menimbulkan
rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar, teraba lunak. Pemeriksaan
laboratorium : tes fungsi hati (terdapat peninggian bilirubin, SGPT dan
kadangkadang dapat disertai peninggian GGT, fosfatase alkali), dan tes serologi
anti HAV, yaitu IgM anti HAV yang positif.

2.1.2 Hepatitis B virus (HBV)


Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di
Indonesia karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah dengan
endemic tinggi, infeksi VHB biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada
awal masa kanak-kanak. VHB sendiri biasanya tidak sitopatik. Infeksi kronik VHB
merupakan suatu proses dinamis dengan terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan
sistem imun manusia.8 Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui
darah (penerima produk darah, pasien hemodialisa, pekerja kesehatan atau terpapar
darah). Virus hepatiitis B ditemukan di cairan tubuh yang memiliki konsentrasi
virus hepatitis B yang tinggi seperti semen, sekret servikovaginal, saliva, dan cairan
tubuh lainnya sehingga cara transmisi hepatitis B yaitu transmisi seksual. Cara
transmisi lainnya melalui penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa yaitu alat-
alat yang tercemar virus hepatitis B seperti sisir, pisau cukur, alat makan, sikat gigi,
tato, akupuntur, tindik, alat kedokteran, dan lain-lain. Cara transmisi lainnya yaitu
transmisi maternal-neonatal, maternal-infant, akan tetapi tidak ada bukti penyebaran
fekal-oral.1
a) Etiologi8
Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm
memiliki lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60
sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu :

7
(1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja
dan jumlahnya lebih banyak dari partikel lain.
(2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen
selubung.
(3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan
berselubung, diameter 42 nm. Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik
serta memberi gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas)
adalah :
 Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira
2 minggu sebelum terjadinya gejala klinis.
 Core antigen atau HBcAg yang merupakan nukleokapsid virus hepatitis B.
 E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus
yang merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B.

b) Patogenesis8
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran
darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya
sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel
HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel
virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yaitu respon imun non-spesifik dan
respon imun spesifik. VHB merangsang pertama kali respon imun non-spesifik
ini (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek,
dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini
terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk prosese eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik yaitu
dengan mengaktivasi limfosit T dan sel limfosit B.
Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor T tersebut dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati

8
dan pada permukaan dinding APC (Antigen Precenting Cell) dan dibantu dengan
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang
ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon
imun adalah peptida kapsid, yaitu HBcAg atau HBeAg.
Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada dalam neksrosis
sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik.
Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati
yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan TNF alfa (Tissue
Necroting Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah
netralisasi partikel VHB bebas akan mencegah masuknya virus ke dalam sel.
Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya
pada pasien Hepatitis B Kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang
tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs
bersembunyi dalam kompleks dengan HBsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB
yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat
disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu. Setelah terinfeksi VHB,
penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum adalah HBsAg. HBsAg
dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas aminotransferase serum dan
gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus atau
simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg
tidak terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang
menetap lebih dari 6 bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg

9
(Anti-HBs) terdeteksi dalam serum dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak
terbatas sesudahnya. Karena HBcAg terpencil dalam mantel HBsAg, maka
HBcAg tidak terdeteksi secara rutin dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di
lain pihak, antibodi terhadap HBcAg (anti-HBC) dengan cepat terdeteksi dalam
serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama setelah timbulnya HBsAg dan
mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa bulan. Karena terdapat
variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi, kadang terdapat suatu
tenggang waktu beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HBsAg
dan timbulnya anti-HBs. Selama “periode jendela” (window period) ini, anti-HBc
dapat menjadi bukti serologi pada infeksi VHB yang sedang berlangsung, dan
darah yang mengandung anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan anti-HBs telah
terlibat pada perkembangan hepatitis B akibat transfusi.
Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan yang terjadi di masa lalu
dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari anti-HBc. AntiHBC
dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan pertama setelah infeksi
akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut yang baru terjadi,
termasuk mereka yang terdeteksi anti-HBc dalam periode jendela memilik IgM
anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang menderita VHB kronik, antiHBc
terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum. Umumnya orang yang telah
sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap untuk waktu yang
tidak terbatas.
c) Gejala klinis8
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan
apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa
demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing
berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi
berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian.

10
Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya
asimtomatik dan dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi
hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus dan pada
0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95% kasus
akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg dan
timbul anti HBs. Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg dan anti HBc dan
serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan menggunakan
pemeriksaan non PCR.
Pada hepatitis kronik B ada 3 fase yaitu fase imunotoleran, fase replikatif, dan
fase integrasi. Pada fase imunotoleran akan didapatkan HBsAg serta HBeAg di
dalam serum serta titer HBV DNA nya tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase
ini gejala bisa timbul dan terjadi peningkatan aminotransferase yang nantinya
akan diikuti dengan terdapatnya anti-HBe (serokonversi). Pada fase non replikatif
akan ditemukan HBV DNA yang rendah dan anti-HBe positif. Fase non replikatif
ini sering pula disebut dengan keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula terjadi
pada keadaan ini resolusi hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada
beberapa pasien dapat pula ditemukan serokonversi HBeAg yang diakibatkan
oleh karena mutasi dari virus. Pada kelompok pasien ini mungkin pula akan
ditemukan peningkatan kadar HBV DNA yang disertai pula peninggian ALT.
Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut biasanya gejala
peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada fase nonreplikatif
masih dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan tetapi sangat sedikit sekali
karena ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian pasien dengan antigen
negative dapat menjadi aktif kembali akan tetapi dengan e antigen tetap negatif.
Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan HBeAg negative.
Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi hepatitis kronik
dengan HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT akan tetapi sesudah

11
waktu yang cukup lama (10-20/tahun). Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti
membaiknya keadaan biokimiawi dan histology. Serokonveri e antigen menjadi e
antibody dapat terjadi pada 50-70% pasien yang mengalami peninggian ALT
dalam waktu 5-10 tahun setelah terdiagnosis. Biasanya hal ini akan terjadi pada
orang dengan usia yang lebih lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi. Pada
umumnya apabila terjadi serokonversi, maka gejala hepatitisnya juga menjadi
tidak aktif walaupun pada sebagian kecil masih ada gangguan biokimiawi dan
aktivitas histology serta peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi HBsAg inaktif
ditandai oleh HBsAg-positif, anti HBe dan tidak terdeteksinya HBV DNA serta
ALT normal. Meskipun demikian kadang-kadang masih didapatkan sedikit tanda
peradangan pada pemeriksaan patologi anatomic. Apabila serokonversi terjadi
sesudah waktunya cukup lama dapat pula ditemukan gejala kelainan pada sediaan
patologi anatomik.
d) Diagnosis8
Diagnosis hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologic
dan apabila diperlukan dengan pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut
akan ditemukan peningkatan ALT yang lebih besar dibandingkan dengan
peningkatan AST dengan kadar ALT nya 20-50 kali normal. Ditemukan pula IgM
anti HBc di dalam darah selain HBsAg, HBeAg dan HBV DNA. Pada hepatitis
kronik peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal (BANN)
dengan ratio de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih. Disamping itu IgM anti-
HBc juga negative. Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan dengan pemeriksaan
patologi anatomik, disamping mungkin pula dengan pemeriksaan fibrotest.
Pencitraan dengan USG atau CT scan dapat membantu bila proses sudah lanjut.

2.1.3 Hepatitis C virus (HCV)

Sejak berhasil ditemukannya virus hepatitis C dengan teknik cloning


molekuler di tahun 1989, sejumlah perkembangan yang bermakna telah terjadi dalam

12
pemahaman mengenai perjalanan alamiah, diagnosis dan terapi infeksi virus hepatitis
C. Dahulu kita hanya mengenal infeksi ini sebagai infeksi virus hepatitis non-A,non-
B, namun saat ini telah diketahui bahwa infeksi yang hanya memiliki tanda-tanda
subklinis ringan ini ternyata memiliki tingkat kronisitas dan progresifitas kearah
sirosis yang tinggi.3 Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan
global. Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik
oleh HCV.

a) Etiologi
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal
berselubung glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang
dapat diproduksi secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal
ini dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif).8
b) Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV masih belum
jelas karena terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa bukti
menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan selsel
hati.9 Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan radikal
oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi pada
mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi
imunologik dan apoptosis.9 Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera
mencari hepatosit dan mengikat suatu reseptor permukaan yang spesifik (reseptor
ini belum diidentifikasi secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu
HCV binding protein yang memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus
virus yaitu protein E2 nenempel pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus
dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri.
Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih
banyak lagi hepatosit yang terinfeksi.4 Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik
yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut.

13
Reaksi inflamasi yang dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan
menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi menjadi
aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen
sehingga terjadi fibrosis dab berperan aktif menghasilkan sitokin pro-inflamasi.
Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga dapat menimbulkan kerusakan
hati lanjut dan sirosis hati.9 Sama seperti virus hepatitis lainnya, HCV dapat
menyebabkan suatu hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus
akut lain. Gejala hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus, sehingga diagnosa
harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan
HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibodi anti-
HCV (serokonversi). Dari semua individu dengan infeksi hepatitis C akut, 75-
80% akan berkembang menjadi infeksi kronik.2
c) Gejala klinis
Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan suatu
penyakit hepatitis akut yang kemungkinannya, sulit dibedakan dengan hepatitis
virus akut lain. Akan tetapi gejala-gejalanya hanya dilaporkan terjadi pada 15%
kasus sehingga, diagnosisnya harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan
anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal
sebelum munculnya antibody anti-HCV (serokonversi) Masa inkubasi hepatitis C
umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2- 26 minggu) pada beberapa
pasien yang menunjukkan gejala malaise dan jaundice dialami oleh sekitar 20-
40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati (SGPT > 5-15 kali rentang normal)
terjadi pada hampir semua pasien. Selama masa inkubasi ini, HCV RNA pasien
bisa positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain itu juga bisa
muncul gejala-gejala fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas.

14
Dari semua individu dengan hepatitis C akut, 75- 80% akan
berkembangmenjadi infeksi kronis. Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada
saat infeksi fase akut. Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8
minggu (dengan kisaran 2-26 minggu) setelah terpapar dengan HCV, namun
sebagian besar penderita umumnya tidak menunjukkan gejala atau kalaupun ada
hanya menunjukkan gejala yang ringan. Pada kasus-kasus infeksi akut HCV yang
ditemukan, gejala-gejala yang dialami biasanya jaundice, malaise, dan nausea.
Infeksi berkembang menjadi kronik pada sebagian besar penderita dan infeksi
kronik biasanya tidak menunjukkan gejala. Hal ini menyebabkan sangat sulitnya
menilai perjalanan alamiah infeksi HCV.
d) Diagnosis
Tidak seperti pada hepatitis B, pemeriksaan konvesional untuk mendeteksi
keberadaan antigen-antigen HCV tidaklah tersedia, sehingga pemeriksaan untuk
mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi untuk memeriksa
antibody dan pemeriksaan molekuler untuk partikel virus. Uji serologi yang
berdasarkan pada deteksi antibody telah membantu mengurangi resiko infeksi
terkait transfuse. Sekali seseorang pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil
pemeriksaan serologi akan tetap positif. Namun demikian, kadar antibody
antiHCV nya akan menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian
pasien yang infeksinya mengalami resolusi spontan.
Pemeriksaan anti-HCV Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan
metode enzyme immunoassay yang sangat sensitive dan spesifik. Enzyme
immunoassay generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung
protein core dan proteinprotein struktural yang dapat mendeteksi keberadaan
antibody dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat
terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi
yang dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali
apabila sudah pernah dilakukan sebelumnya. Uji immunoblot rekombinan

15
(recombinant immunoblat assay, RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
hasil uji enzyme immunoassay yang positif. Penggunaan RIBA untuk
mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting populasi low-risk
seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme
immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini,
maka konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan.
2.1.4 Hepatitis D virus (HDV)
Definisi hepatitis secara umum adalah proses inflamasi pada hati. Hepatitis
dapat disebabkan oleh virus hepatitis. Pada saat ini setidaknya sudah dapat
diidentifikasi beberapa jenis virus hepatitis. Sesuai dengan urutan saat diidentifikasi,
virus-virus tersebut diberi sebutan sebagai virus hepatitis A,B,C,D, dan E. Semua
virus hepatitis diidentifikasi berdasarkan pada hasil pemeriksaan serologi. Pada tahun
1997, ditemukan antigen inti virus yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada
hepatosit pasien hepatitis kronik B. Antigen tersebut ternyata hanya dijumpai bila
bersama dengan infeksi virus hepatitis B, tetapi sangat jarang bersama HBcAg.
Selanjutnya antigen tersebut disebut antigen delta. Seperti banyak antigen
virus yang lain, antigen delta juga dapat memacu pembentukkan antibodi anti-Delta.
Pada tahun 1986, cloning dan sequencing VHD berhasil dilakukan. Dapat dibuktikan
bahwa antigen delta merupakan komponen virus yang unik bila dibandingkan dengan
virus hepatitis yang lain. Virus ini bersifat defektif, untuk melakukan replikasi,
membentuk virus baru, ia harus berada bersama dengan HBsAg. Disebut hepatitis
delta bila dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh virus hepatitis
delta (VHD).3 Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan resiko infeksi HBV
(koinfeksi atau superinfeksi). Tranmisi virus ini mirip dengan HBV yaitu melalui
darah, permukosal, perkutan parenteral, seksual dan perinatal walaupun jarang. Pada
saat terjadi superinfeksi, titer VHD serum akan mencapai puncak, sekitar 2-5 minggu
setelah inokulasi, dan akan menurun setelah 1-2 minggu kemudian.3

16
a) Etiologi
Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang merupakan
virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion VHD hanya
berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single stranded dan kira-kira
60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis protein di kode oleh
VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan small (S) Virion VHD
mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan oleh VHB. Dinding luar
tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang
mendominasi adalah small HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini
sangat berbeda dengan proporsi yang terdapat pada VHB. Selain menjadi
komponen utama dinding VHD, HBsAg juga diperlukan VHD untuk transmisi
dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan melindungi virion VHD tetapi secara
langsung tidak mempengaruhi replikasi VHD.8
b) Patogenesis
Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar.
Masih diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung
terhadap hepatosit. Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi pertumuhan
sel, karena replikasu VHD memerlukan enzim yang diambil dari sel inang.
Diduga kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi akibat jumlah HDAg-S
yang berlebihan di dalam hepatosit. VHB juga berperan penting sebagai kofaktor
yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit yang lebih lanjut.2
c) Gejala klinis
Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB.
Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi, superinfeksi dan
laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan
dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien
infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis akut B
maupun hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh

17
spontan. Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa inkubasi
hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu.
Keluhan pada masa preikterik biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual,
keluhan-keluhan seperti flu. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine
berwarna gelap dan bilirubin serum meningkat. Keluhan kelemahan umum dan
mual dapat bertahan lama bahkan pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD
pada hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan
masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut menjadi hepatitis
kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat, progresif, dan
sering berlanjut menjadi sirosis hati.8
d) Diagnosis8
Diagnosis secara serologis:
- Pasien HBsAg positif dengan:
 Anti HDV dan atau anti HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan belum
mendapat persetujuan)
 IgM anti HDV dapat muncul sementara.
- Koinfeksi HBV/HDV
 HBsAg positif
 IgM anti HBc positif
 Anti HDV dan atau HDV RNA
- Superinfeksi
 HBsAg positif
 IgG anti HBc positif
 Anti HDV dan atau HDV RNA
- Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya perbaikan
infeksi.

18
2.1.5 Hepatitis E virus (HEV)
HEV RNA terdapat dalam serum dan tinja selama fase akut. Hepatitis
sporadik sering terjadi pada anak dan dewasa muda di negara sedang berkembang.
Penyakit ini epidemi dengan sumber penularan melalui air. Pernah dilaporkan adanya
tranmisi maternal-neonatal dan di negara maju sering berasal dari orang yang kembali
pulang setelah melakukan perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik.
Viremia yang memanjang atau pengeluaran di tinja merupakan kondisi yang tidak
sering dijumpai. Penyebaran virus ini diduga disebarkan juga oleh unggas, babi,
binatang buas dan binatang peliharaan yang mengidap virus ini. Kekebalan sepanjang
hidup terjadi setelah fase pemulihan.1,10

a) Etiologi
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia hanya
terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama. Genome
RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode protein struktural
dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi HEV. Virus dapat
menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi replikasi hanya terjadi pada
hepatosit.1
b) Patogenesis
Pada keadaan biasa, tak satupun virus hepatitis bersifat sitopatik langsung
terhadap hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi
morfologik dari semua tipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN pan
lobuler, terjadi nekrosis sel hati, hiperplasia dari sel-sel kupffer dan membentuk
derajat kolestasis yang berbeda-beda. Regenerasi sek hati terjadi, dibuktikan
dengan adanya gambaran mitotik, sel-sel multinuklear dan pembentukan rosette
atau pseudoasinar. Infiltrasi mononuklear terjadi terutama oleh limfosit kecil,
walaupun sel plasma dan sel eosinofil juga sering tampak. Kerusakan sel hati
terdiri dari degenerasi dan nekrosis sel hati, sel dropout, ballooning dan

19
degenerasi asidofilik dari hepatosit. Masih belum jelas peranan antibodi IgM dan
lama waktu antibodi IgG yang terdeteksi dalam kaitannya dengan imunitas.2
c) Gejala klinis
Pada infeksi yang sembuh spontan:
1. spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai
kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
2. Sindrom klinis mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal
yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual
dan muntah. Gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala dan myalgia. 3. Gejala awal
cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV
4. Demam jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV.
5. Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia,
malaise, dan kelemahan dapat menetap.
6. Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya
ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus meningkat.
7. Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati.
8. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.
d) Diagnosis
Diagnosis hepatitis E pada pemeriksaan serologis dengan metode ELISA
seperti anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran untuk
mendeteksi HEV-RNA serta immunofluorescent terhadap antigen HEV di serum
dan sel hati.2
2.1.6 Laboratorium dan pencitraan pada Hepatitis3

Ditemukan peningkatan alanin aminotransferase dan aspartat


aminotransferase dan hal ini akan menggambarkan tingkat inflamasi parenkimal.
Alkali phospatase, 5α-nukleotidase, dan bilirubin total dan direk mengindikasikan
tingkat kolestasis, yang terjadi karena kerusakan hepatoselular dan saluran empedu.

20
Waktu protrombin merupakan prediktor yang baik untuk melihat kerusakan
hepatoselular dan progresi kegagalan hati yang fulminan.

Diagnosis hepatitis virus dikonfirmasi dengan tes serologik. Adanya antibodi


IgM spesifik untuk HAV yang disertai dengan tidak adanya atau rendahnya kadar
antibodi IgG untuk HAV merupakan bukti dugaan HAV. Tidak ada kondisi karier
kronik HAV. Adanya HBsAg menandakan infeksi HBV akut atau kronik.
Antigenemia terlihat pada awal penyakit dan biasanya bersifat sementara, namun
merupakan karakteristik dari infeksi kronik. Status HBsAg maternal juga harus selalu
ditentukan ketika diagnosis infeksi HBV pada anak kurang dari 1 tahun karena
memungkinkan transmisi vertikal. Antigen awal hepatitis B (HBeAg) terlihat pada
saat tidak ditemukan antibodi terhadap antigen e (anti HBe) mengindikasi risiko
penularan yang tinggi yang berhubungan dengan adanya replikasi virus yang sedang
berlangsung. Hilangnya HbsAg dari serum sebelum periode jendela (Window period)
kemudian diikuti dengan munculnya antibodi terhadap antigen permukaan (anti HBs).
Anti HBe berguna untuk memprediksi tingkat inefektivitas yang rendah selama fase
akrier. Serokonversi setelah infeksi HCV dapat terjadi 6 bulan setelah infeksi. Hasil
positif dari ELISA untuk HCV harus dikonfirmasi dengan recombinant immunoblot
assay yang lebih spesifik, yang dapat mendeteksi RNA dengan polymerase chain
reaction (PCR) merupakan marker yangsensitif terhadap infeksi aktif dan hasil dari
tes ini bisa positif dalam 3 hari setelah inokulasi.

2.1.7 Diagnosis banding hepatitis3

Banyak virus lain yang dapat menyebabkan hepatitis sebagai bagian dari
infeksi sistemik antara lain Epstein-Barr Virus (EBV), sitomegalovirus (CMV),
varisela herpes zoster virus (VZV) (chickenpox), herpes simpleks virus, dan
adenovirus. Infeksi bakteri yang dapat menyebabkan hepatitis adalah sepsis E-Coli
dan leptospirosis. Pasien dengan kolesistitis, kolangitis dan koledokolitiasis dapat
terlihat dengan gejala akut dan ikterik. Penyebab lainnya dari penyakit hati akut pada

21
anak-anak adalah penggunaan obat (Isoniazid, fenitoin, asam valproat, karbamazepin,
kontrasepsi oral, asetominofen), toksin (etanol, jamur beracun), penyakit wilson,
penyakit metabolik (galaktosemia, tirosinemia), defisiensi α1-antitripsin, tumor, syok,
anoksia, dan penyakit ketidak cocokan donor dan resipien.

2.1.8 Tatalaksana hepatitis3


Terapi hepatitis akut sebagian besar merupakan terapi suportif meliputi
istirahat, hidrasi dan asupan makanan yang adekuat. Rawat inap diindikasikan untuk
pasien dengan muntah dan dehidrasi yang berat, memanjangnya waktu protrombin,
atau tanda ensefalopati hepatik. Manakala diagnosis hepatitis virus sudah ditegakkan
maka harus diperhatikan pencegahan penularannya terhadap kontak terdekat pasien.
Untuk HAV, dilakukan pemantauan terhadap kebersihan meliputi cuci tangan dan
pembuangan kotoran tinja, popok atau pakaian yang terkontaminasi, jarum dan
barang-barang lain yang terkontaminasi darah, semua dilakukan dengan hati-hati.
Infeksi HBV kronik dapat diterapi dengan interferon alfa-2b atau lamivudinir,
sedangkan HCV dapat diterapi dengan interferon alfa saja atau umumnya
dikombinasikan dengan ribavirin oral. Pengalaman penggunaan regimen ini paling
banyak didapat pada pasien dewasa. Keputusan untuk memberikan terapi berdasarkan
usia pasien, usia pasien saat perolehan HBV, perkembangan mutasi virus saat terapi
dan tingkat infeksi virus. Transmisi HBV karena infeksi vertikal atau infeksi pada
awal kehidupan yang sering mengakibatkan HBV kronik pada fase imun-toleran dan
pada saat demikian interferon biasanya tidak efektif.

2.1.9 Komplikasi dan prognosis Hepatitis3

Kasus yang berkepanjangan atau kasus yang relaps dapat terjadi pada 10%
sampai 15% dari kasus HAV pada dewasa, berlangsung sampai 6 bulan dengan klinis
yang fluktuatif sebelum resolusi klinis yang sebenarnya. Hepatitis fulminan dengan
ensefalopati, perdarahan gastrointestinal dari varises esofagus atau koagulopati dan

22
ikterik yang berat jarang ditemui, tetapi berkaitan dengan angka mortalitas yang
tinggi.
Sebagian besar kasus hepatitis virus sembuh tanpa terapi spesifik, dengan
kurang dari 0,1% kasus yang berkembang menjadi hepatitis nekrosis fulminan. HAV
dan HEV hanya menyebabkan infeksi akut. HBV, HCV dan HDV dapat bertahan
menjadi infeksi kronik dengan inflamasi kronik, fibrosis dan sirosis dan risiko yang
berhubungan dengan karsinoma hepatoseluler.
Pada dewasa 5% sampai 10% penderita HBV berkembang menjadi infeksi
persisten, ditandai dengan HbsAg di dalam darah selama lebih dari 6 bulan;
sedangkan pada anak yang mendapat HBV dari transmisi vertikal, 90% akan menjadi
infeksi persisten. Karier HBsAg kronik umumnya memiliki HBe-Ag yang negatif dan
tidak memiliki gejala klinis, biokimia atau bukti serologik hepatitis aktif, kecuali
terdapat superinfeksi dengan HDV. Sekitar 10% sampai 15% karier HBsAg pada
akhirnya HBsAg nya akan menghilang.
Sekitar 85% dari orang yang terinfeksi HCV tetap terinfeksi secara kronik
yang ditandai dengan tingkat transaminase yang fluktuatif. Terdapat korelasi yang
rendah antara gejala dengan kerusakan hati yang sedang berlangsung. Sekitar 20%
dari orang dengan infeksi kronik berkembang menjadi sirosis dan sekitar 25% dari
kelompok tersebut berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Infeksi HIV dan
penggunaan etanol meningkatkan risiko progresifitas HCV.

2.1.10 Pencegahan3
Higiene yang baik akan mengurangi risiko transmisi fekal oral HAV dengan
signifikan. Skrining hepatitis pada darah dari donor juga secara signifikan
mengurangi risiko transmisi dari darah. Penanganan spesifik pasca pajanan
dianjurkan untuk mencegah kasus sekunder pada individu yang rentan.
Vaksin HAV direkomendasikan untuk imunisasi rutin pada semua anak
dimulai pada usia 12 bulan, dan untuk anak yang lebih dewasa dan belum divaksinasi
didaerah yang ditargetkan untuk vaksinasi. Keluarga yang belum divaksinasi dan

23
kontak dengan orang dengan HAV harus diberi profilaksis pasca paparan secepatnya
dan dalam 2 minggu dari paparan terakhir. Vaksin HAV dosis tunggal dengan dosis
sesuai umur diperuntukkan bagi orang dengan umur 12 bulan sampai 40 tahun.
imunoglobulin (0,02 mL/kg) secara intramuskular diperuntukkan bagi anak dengan
umur dibawah 12 bulan, dewasa diatas umur 40 tahun, dan pasien imunokompromais.
Wisatawan yang belum divaksin dan akan bepergian ke daerah endemis harus
mendapatkan dosis tunggal vaksin HAV yang diberikan kapan saja sebelum waktu
keberangkatan.
Vaksin HBV direkomendasikan sebagai imunisasi rutin untuk semua bayi
yang dimulai pada saat kelahiran dan untuk semua anak dan remaja sampai usia 18
tahun yang belum diimunnisasi sebelumnya. Vaksin HBV juga direkomendasikan
sebagai vaksinasi sebelum paparan untuk anak yang lebih tua dan dewasa pada saat
peningkatan risiok paparan HBV, meliputi orang yang menjalani hemodialisa,
resipien konsentrat faktor pembekuan darah, penghuni dan staf institusi untuk orang
dengan gangguan perkembangan, pria yang berhubungan dengan sesama pria,
penggunaa obat-obatan suntik, narapidana pada penjara maupun lembaga
pemasyarakatan lainnya dan pekerja kesehatan. Vaksin HBV telah menunjukkan
efikasi untuk mengurangi insidens karsinoma hepatoseluler pada populasi berisiko
tinggi. Skrining HBsAg prenatal secara rutin direkomendasikan untuk semua wanita
hamil di Amerika Serikat. Bayi yang lahir dari ibu yang HBsAg positif harus
mendapat vaksinasi HBV dan imunoglobulin hepatitis B (0,5 mL) didalam waktu 12
jam setelah lahir, dengan dosis berikutnya pada usia 1 bulan dan 6 bulan diikuti
dengan pemeriksaan HbsAg dan anti HBs pada usia 9 bulan sampai 15 bulan. Bayi
yang lahir dari ibu yang HBsAg tidak diketahui harus menerima vaksin 12 jam
setelah lahir. Jika ibu HbsAg positif maka bayi harus menerima HBIG secepatnya
(tidak lebih dari umur 1 minggu). Kombinasi HBIG dan vaksinasi 99% efektif dalam
mencegah transmisi HBV vertikal. Vaksinasi sendiri tanpa HBIG dapat mencegah

24
75% kasus dengan transmisi HBV perinatal dan sekitar 95% kasus anak dengan
infeksi HBV simptomatik.

Profilaksis pasca paparan untuk orang yang tidak divaksinasi menggunakan


HBIG dan vaksindirekomendasikan pada kejadian tertusuk jarum dengan darah dari
pasien dengan HbsAg positif dan untuk anggota keluarga yang berkontak intim,
meliputi pasangan seksual.

2.2 Sirosis Hepatis


2.2.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat adanya nekrosis hepatoselular.12

2.2.2 Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas penderita
sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hepar kronis yang disebabkan
oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan
kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit
hepar kronis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis), penyakit
autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hepar bawaan,
penyakit metabolik seperti Wilson’s disease, kondisi inflamasi kronis
(sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan hipervitaminosis A), dan
kelainan vaskular, baik yang didapat ataupun bawaan.13 Komplikasi sirosis pada
dasarnya tidak terlepas dari etiologi. Meskipun demikian, hal ini berguna untuk
mengklasifikasikan pasien dengan penyebab penyakit liver yang diderita.14

25
Penyebab Sirosis Hepatis

2.2.3 Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Diseluruh
dunia sirosis hepatis menempati urutan ketujuh penyebab kematian Penderita
sirosis hepatis lebih banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya
sekitar 1.6 : 1. Umur rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30 – tahun
dengan puncaknya sekitar umur 40 – 49 tahun, Insidens sirosis hepatis di
Amerika diperkirakan 360 per-100.000 penduduk. Penyebab sirosis hepatis
sebagaian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis
serta hepatitis C. Di Indonesia data prevalensi penderita sirosis hepatis secara
keseluruhan belum ada. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama sirosis
hepatis adalah hepatitis B (HBV dan C (HCV). Angka kejadian sirosis hepatis di
Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2 – 46,9% dan hepatitis C
berkisar 38,7-73,9%.14

26
2.2.4 Faktor Resiko
Penyebab pasti dari sirosis hepar sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :13
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi
memegang penting untuk timbulnya sirosis hepar. Dari hasil laporan Hadi di
dalam simposium Patogenesis sirosis hepar di Yogyakarta tanggal 22 Nopember
1975, ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita
kekurangan protein hewani, dan ditemukan 85 % penderita sirosis hepar yang
berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli,
petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah.
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hepar, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun
1965 dalam darah penderita dengan penyakit hepar kronis, maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hepar sehingga
terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus
A.1
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hepar secara akut dan kronis. Kerusakan hepar akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis
hepar. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol.
Tumbuhan obat seringkali terkontaminasi oleh berbagai cendawan, yang akan
mengakibatkan pembusukan dan memproduksi mikotoksin. Beberapa tumbuhan

27
obat yang dipakai sebagai bahan campuran jamu di Malaysia dan Indonesia
(seperti jahe, kunyit, kencur, kayu rapat, sambiloto, dll), dideteksi mengandung
aflatoksin. Aspergillus flavus, A. parasiticus.12
Infeksi Hepatitis B kronis dan paparan aflatoksin (AFB1) berperan dalam
terjadinya Hepatocellular carcinoma (HCC) di negara-negara berkembang. 4,6-
28,2% dari semua kasus HCC mungkin disebabkan paparan AFB1. Apalagi jika
individu yang terkena virus hepatitis B kronis (hbV) dan AFB1 bersama-sama,
risiko kanker menjadi lebih serius melalui peningkatan risiko 30 kali lebih
besar.14
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai sirosis hepar, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hepar.14
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:11
1. Sejak dilahirkan penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hepar alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hepar.

f. Sebab-Sebab Lain13
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak. Perubahan fibrotik dalam hepar terjadi sekunder terhadap reaksi
dan nekrosis sentrilobuler

28
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu
akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hepar yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
4. Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis
40-50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40 % . sejumlah 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang
bukan B atau C.

2.2.5 Klasifikasi Sirosis Hepatis


Secara klinis sirosis hepar dibagi menjadi:6
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis,
hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar.

Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya


nodul, yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

29
Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis hepar atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau
sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
Untuk mempermudah pembagian apakah seseorang berada di dalam stadium
sirosis hepatis kompensata ataupun dekompensata, terdapat pembagian tingkatan
sirosis hepatis menjadi 4 stadium. Pembagian ini sesuai dengan konsensus
Baveno IV, dimana klasifikasi sirosis hepatis ini berdasarkan ada tidaknya
varises, asites dan perdarahan varises:
 Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites
 Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites
 Stadium 3 : asites dengan atau tanpa perdarahan varises
 Stadium 4 : perdarahan varises dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis kompensata, sementara
stadium 3 dan 4 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis hepatis dekompensata.15

2.2.6 Patogenesis
Sirosis hepatis tejadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada
parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera
fibrosis), pembentukan nodul de-generatif ukuran mikronodul sampai
makronodul. Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya
jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi
jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh

30
darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika),dan
regenerasi nodular parenkim hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati.
Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel
Kupfter. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM)
setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya
pembentuk jaringan mirip fibroblast dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh
beberapa yang sitokin seperti transforming growth factor β (GF- β) dan tumor
necrosis factors (TNF α).
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk
dan memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian
mengubah pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga
material yang seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langusng masuk ke
aliran darah sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke
darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi
hepatoselular.3

2.2.7 Manifestasi Klinis


Sirosis hepar, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu
kegagalan fungsi hepar dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda -
tanda klinis ini pada penderita sirosis hepar ditentukan oleh seberapa berat
kelainan fundamental tersebut. Kegagalan fungsi hepar akan ditemukan
dikarenakan terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hepar menjadi
jaringan fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hepar sehingga mengakibatkan
nekrosis pada hepar. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan
resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem
porta.

31
Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik
dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada
sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai
efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk
mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik
diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan
trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti
nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik
disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator
yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan
vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta ditandai
dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vascular sistemik.2

32
2.2.8 Diagnosis
Keluhan utama pada pasien dengan sirosis hepatis umumnya tidak khas. Berikut
adalah beberapa contoh gejala dan keluhan yang sering timbul pada pasien
dengan sirosis:
 Kulit kuning
 Mudah lelah
 Lemah
 Nafsu makan menurun
 Gatal
 Mual
 Penurunan berat badan
 Nyeri perut
 Mudah berdarah
 Berak hitam/ muntah darah
Pada pasien dengan sirosis hepatis kompensata, umumnya mereka dapat
bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan tanpa gejala sehingga ketika
pasien datang berobat ke dokter dengan salah satu keluhan diatas, umumnya
pasien sudah berada di dalam stadium dekompensata. Pada pasien dengan sirosis
diikuti fase kronis dengan pengembangan hipertensi portal dan trombositopenia;
penampilan pembesaran limpa; asites, ensefalopati, dan / atau esophagus varises
dengan atau tanpa pendarahan. Pada pasien yang tidak terdiagnosis sebelumnya,
harus segera evaluasi lebih lanjut untuk menentukan kehadiran hipertensi portal
dan penyakit hepar. Varises harus diidentifikasi oleh endoskopi. Pencitraan
abdomen, baik dengan CT atau MRI, dapat membantu dalam menunjukkan
nodular hepar dan perubahan dari hipertensi portal.5
Pada Pemeriksaan fisik, didapatkan penderita yang tampak kesakitan
dengan nyeri tekan pada regio epigastrium. Terlihat juga tanda - tanda anemis
pada kedua konjungtiva mata dan ikterus pada kedua sklera. Tanda - tanda

33
kerontokan rambut pada ketiak tidak terlalu signifikan. Pada pemeriksaan
jantung dan paru, masih dalam batas normal, tidak ditemukan tanda - tanda efusi
pleura seperti penurunan vokal fremitus, perkusi yang redup, dan suara nafas
vesikuler yang menurun pada kedua lapang paru. Pada daerah abdomen,
ditemukan perut yang membesar pada seluruh regio abdomen dengan tanda-
tanda asites seperti pemeriksaan shifting dullness dan gelombang undulasi yang
positif. Hepar, lien, dan ginjal sulit untuk dievaluasi karena besarnya asites dan
nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pada ekstremitas juga ditemukan adanya
edema pada kedua tungkai bawah.2
Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperiksa tes fungsi hepar yang
meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase,
bilirubin, albumin, dan waktu protombin. Nilai aspartat aminotransferase (AST)
atau serum glutamil oksaloasetat transaminase (SGOT) dan alanin
aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) dapat
menunjukan peningkatan. Gamma - glutamil transpeptidase (GGT) juga
mengalami peningkatan, dengan konsentrasi yang tinggi ditemukan pada
penyakit hepar alkoholik kronik. Konsentrasi bilirubin dapat normal pada sirosis
hepar kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis hepar yang lanjut.
Pemeriksaan waktu protrombin akan memanjang karena penurunan
produksi faktor pembekuan pada hepar yang berkorelasi dengan derajat
kerusakan jaringan hepar. Konsentrasi natrium serum akan menurun terutama
pada sirosis dengan asites, dimana hal ini dikaitkan dengan ketidakmampuan
ekskresi air bebas. Selain dari pemeriksaan fungsi hepar, pada pemeriksaan
hematologi juga biasanya akan ditemukan kelainan seperti anemia, dengan
berbagai macam penyebab, dan gambaran apusan darah yang bervariasi, baik
anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer, maupun hipokrom
makrositer. Selain anemia biasanya akan ditemukan pula trombositopenia,

34
leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan
dengan adanya hipertensi porta.
Pemeriksaan USG abdomen pada pasien ini didapatkan kesan berupa
adanya hepatosplenomegali dengan tanda - tanda penyakit heparkronis yang
disertai asites yang merupakan salah satu tanda dari kegagalan fungsi hepar dan
hipertensi porta.
Pemeriksaan Endoskopi dengan menggunakan
esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk menegakkan diagnosa dari varises
esophagus dan varises gaster sangat direkomendasikan ketika diagnosis sirosis
hepatis dibuat. Melalui pemeriksaan ini, dapat diketahui tingkat keparahan atau
grading dari varises yang terjadi serta ada tidaknya red sign dari varises, selain
itu dapat juga mendeteksi lokasi perdarahan spesifik pada saluran cerna bagian
atas. Di samping untuk menegakkan diagnosis, EGD juga dapat digunakan
sebagai manajemen perdarahan varises akut yaitu dengan skleroterapi atau
endoscopic variceal ligation (EVL).10
2.2.9 Komplikasi
Perjalanan klinis pasien dengan sirosis tidak terlepas dari penyebab yang
mendasari penyakit hepar. Ini termasuk Portal hipertensi dan efek dari
gastroesophageal varises perdarahan, splenomegali, asites, ensefalopati hepar,
spontan peritonitis bakteri (SBP), sindrom hepatorenal, dan karsinoma
hepatoseluler.5

35
2.2.10 Tatalaksana3
Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas:
1. Sirosis hati kompensata
2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda- tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal.
Penanganan sirosis hepatis kompensata ditujukan pada penyebab hepatitis
kronis. Hal ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit sirosis hepatis
agar tidak semakin lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular.
Di Asia Tenggara penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV
kronis bisa diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan
preparat analog nukleosida jangka panjang Preparat nukleosida analog ini juga
bisa diberikan pada sirosis hepatis dekompensata akibat HBV kronis selain
penanganan untuk komplikasinya Sedang untuk sirosis hepatis akibat HCV

36
kronis bisa diberikan preparat Interferon. Namun pada sirosis hepatis
dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak direkomendasikan.
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonisis
bacterial spontan, perdarahan varises esophagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum, dan kanker hati.
1. Hipertensi Portal
Definisi hipertensi portal (HP adalah peningkatan hepatic Venous pressure
gradient (HVPG) lebih 5 mmHg. Hipertensi portal merupakan suatu
sindromaklinis yang sering terjadi. Bila gradien tekanan portal (perbedaan
tekanan antara vena porta dan vena cava inferior) di atas 10-12 mmHg
komplikasi HP dapat terjadi. Hipertensi porta teradi akibat adanya 1)
Peningkatan resistensi intra hepatik terhadap aliran darah porta akibat adanya
nodul degeneratif dan 2). Peningkatan aliran darah splanchnic sekunder akibat
vasodilatasi pada splanchnic vascularbed.
2. Asites
Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis adalah HP,
disamping adanya hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati dan
disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam
peritoneum. Penanganan asites yaitu tirah baring diit rendah garam yaitu
konsumsi garam 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Bila tidak berhasil dapat
dikombinasikan dengan spironolakton 100-200 mg/hari. Respons diuretik bisa
dimonitor dengan adanya penurunan berat badan 0.5 kg/hari tanpa edema dan
1 kg/hari bila ada edema. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari, dengan dosis
maksimal 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan blia asites sangat besar.
Pengeluaran asites sampai 4-6 liter perlu disertai dengan pemberian albumin.

37
3. Varises Gastroesofagus
Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistermik yang paling
penting. Pecahnya varises esophagus mengakibatkan perdarahan varises yang
borakibat fatal. Varises ini terdapat sekitar 50% penderita sirosis hepatis dan
berhubungan dengan derajat keparahan sirosis hepatis. Empat puluh persen
penderita sirosis hepatis dan 85% penderita sirosis hepatis dengan Child C
mempunyai VE. Diagnosis VE ditegakkan dengan
esofagogastroduodenoskopi, sehingga perlu dilakukan skrining untuk
mengetahui adanya VE pada semua penderita sirosis hepatis yang didiagnosis
pertama kali.
Pencegahan untuk terjadinya perdarahan VE adalah dengan pemberian obat
golongan β blocker (propranolol) maupun ligasi varises. Bila sudah terjadi
perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi dengan cairan
kristalod/koloid/penggantian produk darah Untuk menghentikan perdarahan
digunakan preparat vasokonstriktorsplanchnic, stomatostatin atau Octreotide.
Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 μg/h dengan infus kontinyu.
Setelah itu dilakukan skleroterapi atau ligasi varises Tindakan endoskopi
terapeutik ini juga dilakukan untuk menghentikan perdarahan berulang.
Transjugular intrahepatic portosystemic (TIPS) pembedahan shunt bisa
dilakukan namun sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatic.
4. Peritonitis Bakterial Spontan
Portonitis bakterial spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering
terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa
adanya fokus nfeksi intraabdominal. Pada penderita sirosis hepatis dan asites
berat, frekuensi SBP berkisar 30% dan angka mortalitas 25%. Escheria coli
merupakan bakteri usus yang sering menyebabkan SBP, namun bakteri gram
positif seperti Streprococcus viridians, Staphylococcus amerius bisa

38
ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites
ditemukan angka sel netrofil 250/mm3.
Untuk penanganan SBP diberikan antibiotika golongan sefalosporin generasi
kedua atau cefotaxime, dengan dosis 2 gram intravena tiap 8 jam selama 5
hari.
5. Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita sirosis hepatis dapat mengalami komplikasi
ensefalopati hepatikum. Mekanisme terjadinya ensefalopati hepatikum adlaah
akibat hiperammonia, terjadi penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari
intrahepatic portal-systemic shunts dan/atau penurunan sintesis urea dan
glutamik. Beberapa faktor merupakan presipitasi timbulnya ensefalopati
hepatikum diantaranya infeksi, perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit,
pemberian obat-obat sedatif dan protein porsi tinggi. Dengan mencegah
ataupun menangani faktor-faktor presipitasi, ensefalopati hepatikum dapat
diturunkan risikonya. Disamping itu pemberian lactulose, neomisisn
(antibiotka yang tidak diabsorbsi mukosa usus) cukup efektif mencegah
terjadinya ensefalopati hepatikum.
6. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan
organik ginjal, yang ditemukan pada sirosis hepatis tahap lanjut. Sindroma ini
sering dijumpai pada penderita sirosis hepatis dengan asites refrakter.
Sindroma Hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal
dan penurunan klirens kreatinin secara bermakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2
ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum
kreatinin. Tipe 2 ini lebih baik prognosisnya daripada tipe 1.
Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan transplantasi hati. Belum
banyak penelitian yang menguji efektifitas pemberian preparat somatostatin,
terlipressin. Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya

39
hipovolemia pada penderita sirosis hepatis, dengan menghentikan pemberian
diuretik, rehidrasi dan infus albumin.

2.2.11 Prognosis
Untuk menentukan prognosis yang diperlukan untuk transplantasi hepar dan
menilai prognosis serta staging secara klinis pada sirosis hepatis.2

40
Indeks Hati
Dapat juga digunakan indeks hati untuk menentukan prognosis pasien15
0 1 2
Albumin /> 3.6 3.0 - 3.5 < 3.0
Bilirubin < 2.0 2.0 - 3.0 > 3.0
Gangguan
- Minimal +
Kesadaran
Asites - Minimal +
Kegagalan hati ringan : indeks hati 0-3
Kegagalan hati sedang : indeks hati 4-6
Kegagalan hati berat : indeks hati 7-10

41

Anda mungkin juga menyukai