Disusun Oleh:
dr. Farissa Utami
Pembimbing:
dr. Lidya Yudith
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Cihandam RT/RW x/x Ds. Cisimeut Raya
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Tgl masuk RS : 12 Maret 2019
Tgl periksa : 12 Maret 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Penurunan Kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RS dr. Adjidharmo tanggal 12 Maret 2019 rujukan dari
Puskesmas Bojong Manik dengan penurunan kesadaran. Di puskesmas sudah di loading
cairan sebanyak 2 kolf namun tidak ada perbaikan. Keluarga mengatakan pasien mulai
tidak dapat berkomunikasi dengan normal, cenderung tidur sejak 17 jam SMRS (12 Maret
2019 pukul 04.00 WIB). BAB hitam sebelumnya disangkal, BAB pucat seperti dempul
disangkal, BAK berwarna seperti teh, banyak. Gejala yang didapatkan dari hasil
alloanamnesa yaitu pasien mengeluhkan demam selama seminggu, diikuti dengan keluhan
nyeri ulu hati, muntah-muntah dengan frekuensi 4-5x/hari, dan mual. Mata kuning diakui
keluarga pasien sejak pagi SMRS. Keluhan nyeri kepala, lemas sebagian tubuh, sesak, kaki
bengkak, kejang, intoksikasi obat dan alkohol disangkal. Kecelakaan atau trauma atau
benturan pada kepala yang mungkin dapat menyebabkan penurunan kesadaran disangkal.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, belum pernah menerima transfusi darah
sebelumnya. Pasien juga belum pernah mengalami Hepatitis B dan Hepatitis C.
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hepatitis : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan saat pertama datang ke IGD 12 Maret 2019 pukul 21.50
A. Status Present
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : E3M6V4 (13)
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : tidak terukur
b. Nadi : 112 x/menit lemah
c. Pernafasan : 24 x/menit
d. Suhu (peraksiller) : 37,7oC
e. SpO2 : 99%
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal
b. Rambut : alopesia (-), sebagian besar berwarna hitam
c. Venektasi temporal : (-)
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (+/+)
c. Edem palpebra : (-/-)
d. Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris
b. Kelainan betuk : (-)
c. Discharge : (-/-)
4. Pemeriksaan hidung
a. Discharge : (-/-)
b. Naafas cuping hidung : (-)
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis : (-)
b. Lidah sianosis : (-)
c. Lidah kotor : (-)
6. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-)
Palpasi : JVP 5+2 cmH2O
7. Pemeriksaan thorax
a. Pulmo
1) Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-
)
2) Palpasi : Vokal fremitus apex kanan sama dengan apex kiri
Vokal fremitus basal kanan sama dengan basal kiri
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V linea midclavicula dextra
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
Wheezing (-/-)
b. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI LMCS, pulsasi
epigastrium (-)
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI LMCS dan tidak kuat
angkat
3) Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri bawah SIC VI LMCS
4) Auskultasi : A1>A2, P1>P2, T1>T2, M1>M2
Reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, spider navi (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (-)
d. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
9. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
10. Pemeriksaan lien
Splenomegali (-)
11. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Kuku ikterik - - - -
Akral Dingin dingin dingin Dingin
Lateralisasi (-) (-)
RESUME
Pasien datang ke IGD RS dr. Adjidharmo dengan penurunan kesadaran sejak 17
jam SMRS (12 Maret 2019 pukul 04.00 WIB). BAB hitam sebelumnya disangkal, BAB
pucat seperti dempul disangkal, BAK berwarna seperti teh, volume banyak. Sebelumnya,
pasien mengeluhkan demam selama seminggu, diikuti dengan keluhan nyeri ulu hati,
mual, dan muntah-muntah dengan frekuensi 4-5x/hari. Mata kuning diakui keluarga pasien
sejak pagi. Keluhan nyeri kepala, lemas sebagian tubuh, sesak, kaki bengkak, kejang,
intoksikasi obat dan alkohol disangkal. Kecelakaan atau trauma atau benturan pada kepala
disangkal. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, belum pernah menerima transfusi
darah sebelumnya. Pasien juga belum pernah mengalami Hepatitis B dan Hepatitis C.
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E3M6V4 (13)
Tanda vital
a. Tekanan darah : tidak terukur
b. Nadi : 112x/menit lemah
c. Pernafasan : 24 x/menit
d. Suhu (peraksiller): 37,7oC
e. SpO2 : 99%
Status generalis
Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (+/+)
c. Edem palpebra : (-/-)
d. Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
12. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, spider navi (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (-)
d. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
e. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
f. Pemeriksaan lien
Splenomegali (-)
g. Pemeriksaan ekstremitas
Akral dingin
1.5 DIAGNOSA KERJA (Pukul 21.50)
Penurunan kesadaran e.c susp. Ensefalopati hepatikum
Syok sepsis dd/ syok hipovolemik
1.6 PENATALAKSANAAN (Pukul 21.50)
Tindakan :
Loading NaCl 0.9% 500 cc
O2 3 lpm NK
IVFD Aminolebam/12 jam dan NaCl 0.9%/8 jam
NGT
DC
Mm/
Inj. OMZ 1x40 mg
Inj. Ceftriaxon 1x2gr
Dobutamin
Vascon
Po Laxadyn syr 3x2 cth
HEMATOLOGI
Hitung Jenis
Leukosit 0-1 %
- Basofil 0N 2-4 %
- Eosinofil 0L 3-5 %
- Batang 0L 50-70 %
- Segmen 94 H 25-40 %
- Limfosit 5L 2-8 %
- Monosit 1L
KIMIA DARAH
FUNGSI HATI
SGOT 184 H < 50 U/L
SGPT 249 H < 50 U/L
DIABETES
Glukosa Sewaktu 88 N 70-140 mg/dL
FUNGSI GINJAL
Ureum 44.30 H 20.00 – 40.00 mg/dL
Kreatinin 2.07 H 0.62 – 1.17 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 136 N 135-147 mEq/L
Kalium 2.4 LL 3.5-5.0 mEq/L
Clorida 102 N 95-105 mEq/L
1.10 Prognosis
Ad vitam : malam
Ad sanationam : malam
Ad functionam : malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Etiologi
Terjadinya ensefalopati hepatikum adalah karena adanya pengalihan darah sistem porta
ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah kolateral portosistemik. Ensefalopati hepatikum
muncul pada pasien dengan sirosis hepatis dan dapat muncul pada pasien tanpa sirosis hepatis
dengan portosystemic shunt yang terbentuk secara spontan maupun akibat operasi.
Perkembangan ensefalopati hepatikum disebut sebagai efek zat neurotoksik yang muncul pada
perkembangan sirosis hepatis dan hipertensi portal (Shawcross, 2015).
C. Epidemiologi
Ensefalopati hepatikum ditemukan pada 70% penderita sirosis hepatis. Gejala yang
muncul dapat menyebabkan perburukan keadaan yang signifikan pada sebagian pasien.
Sebanyak 30% pasien dengan end-stage liver disease mengalami ensefalopati yang ditunjukkan
dengan keadaan koma (Ferenci, 2014).
D. Patogenesis
Beberapa teori hipotesis patogenesis EH yang sering dijadikan acuan penatalaksanaan
adalah : 1) Hipotesis amonia, 2) Hipotesis neurotoksi sinergis, 3) Hipotesis neurotransmiter
palsu, 4) Hipotesis GABA/benzodiazepin (Budihusodo, 2002). Faktor tersering yang
mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal
berupa pecahnya varises esofagus (Wakim, 2011). Terjadinya EH merupakan akumulasi
berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Proses ini merupakan
proses intoksikasi otak akibat isi saluran cerna yang tidak dimetabolisme oleh hepar karena
kerusakan hepar. Proses selanjutnya adalah intoksikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme
protein oleh bakteri dalam usus tersebut. Amonia merupakan molekul toksik yang dihasilkan
oleh usus terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya
juga meningkat pada pasien sirosis hati (Riggio, 2010; Frederick, 2011).
Amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil metabolisme bakteri
usus dengan aktivitas enzim urase, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriae,
Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan
karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase
usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Pada
individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis amonia akan
dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi
amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme
amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase (Frederick, 2011).
Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan
asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah
glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali
ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan
mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis,
penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi.
Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme
amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena
sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin (Wakim, 2011; Frederick,
2011). Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan
menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang
membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati
(Chatauret, 2004). Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia.
Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan
toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui
kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat
edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan
pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif
pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi
mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk
mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi
sehingga mengganggu aktivitas sinyal intraselular (Norenberg, 2009).
F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit hati
b. Riwayat kemungkinan adanya faktor pencetus
c. Perubahan neuropsikiatri, intelektual, kemampuan bicara
2. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda-tanda penyakit hati
c. Kelainan neurologi seperti inkoordinasi, tremor, refleks patologi, kekakuan
d. Kejang
e. Disartria
f. Gejala infeksi berat
g. Perdarahan gastrointestinal
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, hematokrit
b. Faal hepar
c. Ureum serum
d. Kreatinin serum
e. Kadar amonia darah
f. Petanda infeksi dah sirosis hepar
g. Urin rutin
h. Elektroensefalogram (EEG) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) untuk
menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada pasien dengan sirosis
i. CT scan kepala untuk menyingkirkan lesi pada otak
G. Tata Laksana
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar
penatalaksanaan EH adalah identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan
keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi
ensefalopati hepatik.
1. Tata laksana faktor presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi,
infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan
terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa
dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian
antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi
tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan
sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi EH. Ligasi sumber perdarahan,
observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat
bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan
elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan
penanganan yang adekuat (Frederick, 2011; Cordoba, 2010). Ditemukannya faktor
presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat
diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan.
2. Tatalaksana farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan
penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya.
a. Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang
laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH
kolon dan juga mengurangi uptake glutamin (Frederick, 2011; Zhan, 2012; Sanyal,
2010). Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang
digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat
dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul
dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia
dari darah menuju lumen. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa laktulosa tidak
lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik
(Frederick, 2011). Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri
pada pasien dengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml
sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa
adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara
berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi
lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia (Zhan, 2012).
b. Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan
bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor
presipitasi EH (Riggio, 2010; Frederick, 2011; Zhan, 2012). Selain itu, antibiotik juga
memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase (Frederick,
2011). Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan
diserap secara minimal (Perazzo, 2012; Ahmad, 2008). Dosis yang diberikan adalah 2 x
550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan (Frederick, 2011; Wright, 2011). Rifaximin
dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya,
seperti neomisin, metronidazole, paromomisin, dan vancomisin oral karena rifaximin
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya (Frederick,
2011).
c. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) merupakan garam stabil tersusun atas dua
asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi
urea dan glutamin. Obat ini meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot,
sehingga menurunkan amonia di dalam darah (Riggio, 2010). Selain itu, LOLA juga
mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH. Sebagai subtrat perantara pada
siklus urea, LOLA dapat menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-
ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate menjadi
glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase
(AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk
menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan
amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-
activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia kembali. Suatu RCT
(Randomized Clinical Trial) double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari
pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental.
Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan
hanya sementara (Zhan, 2012). Beberapa penelitian RCT (Kirchets, 1997; Ahmad,
2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat
memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada (Kircheis, 1997; Ahmad, 2008). Studi
metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009; Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada
pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi
amonia serum.
d. Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang
bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama
dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora
dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH.
Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan
substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang
berguna untuk bakteri baik (Solga, 2003; Bongaerts, 2005). Liu, et al. melakukan studi
terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan pemberian suplementasi sinbiotik
(serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik
Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan pada
Lactobacillus penghasil nonurease. Penelitian metaanalisis dari 9 laporan penelitian
menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH
(Shukla, 2011). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan dalam
penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi sekunder EH overt (Sharma, 2013).
3. Terapi potensial lainnya
Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain amonia scavenger,
activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Amonia scavenger (natrium
benzoat, natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea
yang telah tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada
pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk
digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, diantaranya
amonia, lipopolisakarida dan sitokin. L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan
kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pembentukan glutamin dari amonia pada
otot rangka (Wakim, 2011).
H. Prognosis
Progonis penderita EH tergantung dari :
1. Penyakit hati yang mendasarinya
2. Faktor-faktor pencetus
3. Usia
4. Keadaan gizi
5. Derajat kerusakan parenkim hati
6. Kemampuan regenerasi hati
Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi.
Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi
menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria
SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS
sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi
(Singer et al., 2016).
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis berat
sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon
tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA
≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk
mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU (Mehta dan Kochar, 2017). Walaupun penggunaan
qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang.
Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi
organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi (Singer et al., 2016).
B. Patofisiologi
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon
pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh (Singer et al., 2016). Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah
perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang
akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok (Rivers et al., 2001). Presentasi
pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,
anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda
awal syok dan memulai penanganan awal (Dries, 2014).
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel
endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari
aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit
oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid (Nguyen et al., 2006).
Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan
mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang
teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan
meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi (Bernard et
al., 2001).
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai
hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini
akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global (Nguyen et al., 2006).
Gambar 4.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis,
dan fibrinolisis terhadap infeksi (Bernard et al., 2016)
Sitokin inflamasi dan thrombin dapat Protein C yang teraktifasi dapat mengambil peran
menganggu proses fibrinolisis dengan pada berbagai jalur pada respon sistemik terhadap
menstimulasi pelepasan plasminogen- infeksi dengan menghasilkan efek antitrombotik
activator inhibitor 1 (PAI-1) dari platelet dan melalui penghambatan faktor Va dan VIIIa yang
endotelium. PAI-1 merupakan inhibitor poten akan membatasi produksi dari thrombin.
dari tissue plasminogen activator yang
berperan untuk menghancurkan fibrin clot.
Prokoagulan thrombin juga dapat Akibatnya, proses inflamasi, prokoagulan, dan respon
menstimulasi berbagi macam jalur inflamasi antifibrinolitik yang diinduksi oleh trombin akan
dan menekan sistem fibrinolitik endogen menurun. Protein C yang teraktifasi akan
dengan mengaktifkan thrombin-activatable menghasilkan efek antiinflamasi dengan menghambat
fibrinolysis produksi dari sitokin proinflamasi (TNF-α,
interleukin-1, interleukin-6) oleh monosit dan
menghambat pengikatan monosit dan neutrofil
dengan selectins.
Gambar 5. Rantai koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan fibrinolisis
terhadap infeksi (Irvan et al., 2018).
C. Penatalaksanaan
Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi
awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal,
kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana
suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi (Mehta dan Kochar,
2017).
Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT
telah dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan
kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan
dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini
menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan
kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial) (Howell dan
Davis, 2017).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol
sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan
vena sentral secara spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat
terbatas untuk menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini
menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk
mengevaluasi efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status
hemodinamik membaik dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut
dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan apabila
respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari
itu, protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi
resusitasi yang fokus terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu
pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut (Backer dan
Dorman, 2017).
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan
komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat
dengan adanya penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan
keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas
23
sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman
(Howell dan Davis, 2017). Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol
terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus diberikan
maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian
yang meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan
dengan peningkatan resiko kematian (Backer dan Dorman, 2017).
Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin
untuk mencapai target MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan
diberikan dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan
status hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi,
variasi volum sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin α (Human
Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis.
Protein C yang teraktivasi akan menghambat pembentukan thrombin dengan
menginaktifasi factor Va, VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi (Bernard
et al., 2001).
24
BAB III
PEMBAHASAN
25
Hematokrit 30.8 L - Faal hepar meningkat
Trombosit 208000 N - Ureum serum
Segmen 94 H meningkat
SGOT 184 H - Kreatinin serum
SGPT 249 H meningkat
Ureum 44.30 H - Kadar amonia darah
Kreatinin 2.07 H meningkat
Kalium 2.4 LL - Petanda infeksi sirosis
Bilirubin Total 11.25 H hepar
Bilirubin Direk 8.96 H - Urin rutin
Bilirubin Indirek 2.29 H - EEG
Anti HCV dan HbsAg - CT scan kepala
Non Reaktif
26
survival rate 45% dan two-year-survival rate 35% atau harapan hidup 1-3 tahun
(Cholongitas, 2012).
Pada kasus ini didapatkan kadar bilirubin serum 8,89 mg/dl (poin 3),
albumin serum, prothrombin time dan/atau INR belum diperiksa, asites tidak ada
(poin 1), ensefalopati hepatikum grade IV (poin 3) sehingga jumlah poin belum
bisa dihitung.
Penentuan derajat EH menurut klasifikasi West Haven (Perazzo, 2012):
Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular
0 (subklinis Asimtomatik Tidak ada
minimal)
1 Gangguan tidur, penurunan Suara monoton, tremor,
konsentrasi, depresi, ansietas penurunan kemampuan menulis,
dan iritabilitas apraksia
2 Letargi, disorientasi, Ataksia, disartria, asteriksis
penurunan daya ingat
3 Somnolen, kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot, hiper
amnesia, gangguan emosi atau hiporeflek
4 Koma Pupil dilatasi, reflex patologis
dijumpai
Saat diperiksa pada tanggal 31 Mei 2016 pasien menunjukkan gejala yang
diberi warna hijau sehingga diagnosis saat itu adalah EH grade 1. Pasien ini
menunjukkan perbaikan derajat EH sehingga memperbaiki prognosis.
27
pasien kurang. Asupan nutrisi yang kurang dapat memperlambat proses
penyembuhan. Sehingga diberikan glukosa secara parenteral.
2. Drip LOLA
L-Ornithine L-Aspartate pada pasien ini digunakan untuk mengurangi amonia
dalam darah. Amonia dalam darah merupakan faktor pencetus terjadinya
ensefalopati hepatikum. LOLA akan meningkatkan metabolisme amonia dalam
darah di hati dan otot dengan hasil akhir berkurangnya amonia dalam darah.
3. Injeksi Ceftriaxon
Ceftriaxon sebagai antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga digunakan
untuk mengurangi jumlah bakteri dalam tubuh. Bakteri dalam tubuh berperan
menghasilkan amonia yang dapat memicu EH.
4. Injeksi Omeprazole
Pemberian obat-obatan terlalu banyak dan kuat dapat berbahaya bagi saluran
cerna terutama lambung. Omeprazole diberikan untuk menurunkan asam
lambung yang mungkin akan meningkat karena konsumsi obat-obatan dan
mencegah stress ulcer.
5. Lactulac
Lactulac atau laktulosa digunakan sebagai lini pertama penatalaksanaan EH
untuk menurunkan sintesis amonia dan uptake amonia dengan menurunkan pH
kolon.
28
DAFTAR PUSTAKA
Chatauret, N., Butterworth RF. 2004. Effects of liver failure on inter-organ traficking
of amonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy. J
Gastroenterol Hepatol 19: 219-223.
Liu, Q., Duan, ZP.. 2004. Synbiotic modulation of gut flora : Effect on minimal
hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology 39 : 1441-
1449.
Norenberg., Rama Rao., Jayakumar. 2009. Signaling factors in the factors in the
mechanism of amonia neurotoxicity. Metab Brain Dis 24(1) : 103-117.
29
Perazzo, JC., Tallis S. 2012. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple
pathopfysiological features. World J Hepatol 4(3): 50-65.
Sanyal, A., Bass, N., Mullen, K. 2010. Recent advances in the diagnosis and
treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol 6(7) : 5-13.
Sharma, V., Garg, S. 2013. Probiotics and liver disease. Perm J 17(4) : 62-67.
Shukla, S., Shukla, A., Mehboob, S., Guha, S. 2011. Meta-analysis: the effects of gut
flora modulation using prebiotics, probiotics, and synbiotics on minimal
hepatic encepahlopathy. Aliment Pharmacol Ther 33(6): 66-71.
Solga, SF. 2003. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses 61 :
307-313.
Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, J. 2014. Hepatic encephalopathy in chrocnic liver
isease: 2014 practice guideline by the European Association for the Study of
the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J
Hepatol.
Wakim, FJ. 2011. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis.
Cleve Clin J Med 78 (9) : 597-605).
Zhan, T., Stremmel W. 2012. The diagnosis and treatment of minimal hepatic
encephalopathy. Dtsch Arztebl Int 109(10) : 180-187.
Mehta, Y., Kochar G. 2017. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical
Care TSS; 1(1): 3-5.
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. 2016.
The third international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3).
JAMA. 315 (8): 801-10.
30
Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al.
2001. Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis.
N Eng J Med. 344 (10): 699-709.
Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al.
2006. Severe sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny
department management guidelines. Annals of Emergency Medicine. 48(1): 28-50.
Howell MD, Davis AM. 2017. Management of sepsis and septic shock. JAMA.
317(8): 847-8.
Backer, D., Dorman, T. 2017. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward
better care of patients with sepsis. JAMA. 317(8): 807-8.
Irvan., Febyan., Suparto. 2018. Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline Terbaru.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Vol X (1): 62-73
31