Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

“ENSEFALOPATI HEPATIKUM GRADE III-IV dengan


SYOK SEPSIS”

Disusun Oleh:
dr. Farissa Utami

Pembimbing:
dr. Lidya Yudith

Peserta Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)


Angkatan II Periode Juni 2018 – Juni 2019
RSUD Adjidarmo
Banten
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Cihandam RT/RW x/x Ds. Cisimeut Raya
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Tgl masuk RS : 12 Maret 2019
Tgl periksa : 12 Maret 2019

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Penurunan Kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RS dr. Adjidharmo tanggal 12 Maret 2019 rujukan dari
Puskesmas Bojong Manik dengan penurunan kesadaran. Di puskesmas sudah di loading
cairan sebanyak 2 kolf namun tidak ada perbaikan. Keluarga mengatakan pasien mulai
tidak dapat berkomunikasi dengan normal, cenderung tidur sejak 17 jam SMRS (12 Maret
2019 pukul 04.00 WIB). BAB hitam sebelumnya disangkal, BAB pucat seperti dempul
disangkal, BAK berwarna seperti teh, banyak. Gejala yang didapatkan dari hasil
alloanamnesa yaitu pasien mengeluhkan demam selama seminggu, diikuti dengan keluhan
nyeri ulu hati, muntah-muntah dengan frekuensi 4-5x/hari, dan mual. Mata kuning diakui
keluarga pasien sejak pagi SMRS. Keluhan nyeri kepala, lemas sebagian tubuh, sesak, kaki
bengkak, kejang, intoksikasi obat dan alkohol disangkal. Kecelakaan atau trauma atau
benturan pada kepala yang mungkin dapat menyebabkan penurunan kesadaran disangkal.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, belum pernah menerima transfusi darah
sebelumnya. Pasien juga belum pernah mengalami Hepatitis B dan Hepatitis C.
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hepatitis : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat sosial dan exposure


a. Community
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk bukan perumahan. Hubungan
pasien dengan tetangga sekitar baik, pasien aktif dalam kegiatan sosial setempat.
b. Home
Pasien tinggal berdua dengan suaminya.
c. Occupational
Pasien seorang ibu rumah tangga.
d. Personal habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum-minuman beralkohol. Pasien
terbiasa masak makanan sendiri untuk dikonsumsi oleh dirinya dan suaminya. Jenis
makanan yang dimakan oleh pasien dan suaminya termasuk makanan yang berlemak
seperti goreng-gorengan, bersantan dan makanan dengan bahan penguat rasa.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan saat pertama datang ke IGD 12 Maret 2019 pukul 21.50
A. Status Present
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : E3M6V4 (13)
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : tidak terukur
b. Nadi : 112 x/menit lemah
c. Pernafasan : 24 x/menit
d. Suhu (peraksiller) : 37,7oC
e. SpO2 : 99%

C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal
b. Rambut : alopesia (-), sebagian besar berwarna hitam
c. Venektasi temporal : (-)
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (+/+)
c. Edem palpebra : (-/-)
d. Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris
b. Kelainan betuk : (-)
c. Discharge : (-/-)
4. Pemeriksaan hidung
a. Discharge : (-/-)
b. Naafas cuping hidung : (-)
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis : (-)
b. Lidah sianosis : (-)
c. Lidah kotor : (-)
6. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-)
Palpasi : JVP 5+2 cmH2O
7. Pemeriksaan thorax
a. Pulmo
1) Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-
)
2) Palpasi : Vokal fremitus apex kanan sama dengan apex kiri
Vokal fremitus basal kanan sama dengan basal kiri
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V linea midclavicula dextra
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
Wheezing (-/-)

b. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI LMCS, pulsasi
epigastrium (-)
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI LMCS dan tidak kuat
angkat
3) Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri bawah SIC VI LMCS
4) Auskultasi : A1>A2, P1>P2, T1>T2, M1>M2
Reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, spider navi (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (-)
d. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
9. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
10. Pemeriksaan lien
Splenomegali (-)
11. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Kuku ikterik - - - -
Akral Dingin dingin dingin Dingin
Lateralisasi (-) (-)

RESUME
Pasien datang ke IGD RS dr. Adjidharmo dengan penurunan kesadaran sejak 17
jam SMRS (12 Maret 2019 pukul 04.00 WIB). BAB hitam sebelumnya disangkal, BAB
pucat seperti dempul disangkal, BAK berwarna seperti teh, volume banyak. Sebelumnya,
pasien mengeluhkan demam selama seminggu, diikuti dengan keluhan nyeri ulu hati,
mual, dan muntah-muntah dengan frekuensi 4-5x/hari. Mata kuning diakui keluarga pasien
sejak pagi. Keluhan nyeri kepala, lemas sebagian tubuh, sesak, kaki bengkak, kejang,
intoksikasi obat dan alkohol disangkal. Kecelakaan atau trauma atau benturan pada kepala
disangkal. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, belum pernah menerima transfusi
darah sebelumnya. Pasien juga belum pernah mengalami Hepatitis B dan Hepatitis C.
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E3M6V4 (13)
Tanda vital
a. Tekanan darah : tidak terukur
b. Nadi : 112x/menit lemah
c. Pernafasan : 24 x/menit
d. Suhu (peraksiller): 37,7oC
e. SpO2 : 99%
Status generalis
 Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (+/+)
c. Edem palpebra : (-/-)
d. Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
12. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, spider navi (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (-)
d. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
e. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
f. Pemeriksaan lien
Splenomegali (-)
g. Pemeriksaan ekstremitas
Akral dingin
1.5 DIAGNOSA KERJA (Pukul 21.50)
 Penurunan kesadaran e.c susp. Ensefalopati hepatikum
 Syok sepsis dd/ syok hipovolemik
1.6 PENATALAKSANAAN (Pukul 21.50)
Tindakan :
 Loading NaCl 0.9% 500 cc
 O2 3 lpm NK
 IVFD Aminolebam/12 jam dan NaCl 0.9%/8 jam
 NGT
 DC
Mm/
 Inj. OMZ 1x40 mg
 Inj. Ceftriaxon 1x2gr
 Dobutamin
 Vascon
 Po Laxadyn syr 3x2 cth

1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium (pukul 22.22)
Indikator Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Lekosit 20620 H 3,800 - 11,000 uL

Eritrosit 4.58 4.40 - 5.90 10 Jt/uL

Hemoglobin 10.3 L 13.20 - 17.30 g/dL

Hematokrit (Ht) 30.8 L 40.0 - 52.0 %

MCV 67.2 L 80.0 - 100.0 fL

MCH 22.5 L 26.0 - 34.0 Pg

MCHC 33.4 N 32.0 - 36.0 g/dl

Trombosit 208000 N 150,000 - 400,000 /ul

Hitung Jenis
Leukosit 0-1 %
- Basofil 0N 2-4 %
- Eosinofil 0L 3-5 %
- Batang 0L 50-70 %
- Segmen 94 H 25-40 %
- Limfosit 5L 2-8 %
- Monosit 1L
KIMIA DARAH

FUNGSI HATI
SGOT 184 H < 50 U/L
SGPT 249 H < 50 U/L

DIABETES
Glukosa Sewaktu 88 N 70-140 mg/dL

FUNGSI GINJAL
Ureum 44.30 H 20.00 – 40.00 mg/dL
Kreatinin 2.07 H 0.62 – 1.17 mg/dL

ELEKTROLIT
Natrium 136 N 135-147 mEq/L
Kalium 2.4 LL 3.5-5.0 mEq/L
Clorida 102 N 95-105 mEq/L

Bilirubin Total 11.25 H <1


Bilirubin Direk 8.96 H <= 0.2
Bilirubin Indirek 2.29 H <0.8
IMUNOLOGI
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

1.8 DIAGNOSIS (Pukul 23.00)


 Penurunan Kesadaran e.c Ensefalopati Hepatikum grade IV
 Syok Sepsis
 Hipokalemia (2,4)
 AKI
1.9 PENATALAKSANAAN (Pukul 23.00)
Konsul ke dr. Irfan, Sp.PD
Jawaban Konsul:
 Dobutamin dan Vascon lanjut
 NaCl 0.9% 500 cc + KCl 25 meq/8 jam
 Inj. Meropenem 3x1
 Inj. OMZ 2x1
 Inj. Ondansentron 3x4 mg
 Drip LOLA 2 amp/hari

Lembar Observasi Pasien


Tanggal/ Keadaan Umum Laboratorium Terapi Keterangan
Jam dan Tanda Vital
12-03-2019 GCS = E3M4V4 Dobutamin 10 mcg/kgbb
22.30 TD 50 perpalpasi Vascon 0,5 mcg/kgbb
HR 124 x/m O2 10 lpm NRM
lemah
RR 24
SpO2 91%
23.30 GCS = E3M4V4 Dobutamin 10 mcg/kgbb
TD 70/50 Vascon 0,55 mcg/kgbb
HR 120 x/m
lemah
RR 24
SpO2 95%
00.30 GCS = E2M4V3 Dobutamin 10 mcg/kgbb
TD 70/50 Vascon 0,6 mcg/kgbb
HR 120 lemah
RR 25
SpO2 93%
01.30 GCS = E2M4V2
TD 78/38
HR 126 lemah
RR 25
SpO2 74%
02.30 GCS = E2M4V2
TD 105/84
HR 130 lemah
RR 25
SpO2 97%
03.30 GCS = E1M2V1
TD 90/60
HR 120 lemah
RR 25
SpO2 95%
04.30 GCS = E1M1V1
TD tidak terukur
HR lemah
RR 10
SpO2 70%

1.10 Prognosis
Ad vitam : malam
Ad sanationam : malam
Ad functionam : malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. ENSEFALOPATI HEPATIKUM


A. Definisi
Ensefalopati hepatikum (EH) didefinisikan sebagai sekumpulan kelainan
neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hati setelah dipastikan tidak ada kelainan otak
(Butterworth, 2015). Ensefalopati hepatikum muncul dengan tanda seperti perubahan
kepribadian, penurunan kecerdasan, dan penurunan kesadaran (Shawcross, 2015).
Terdapat tiga tipe EH terkait kelainan hati yang mendasarinya. Tipe A berhubungan
dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminant, tipe B berhubungan dengan
jalur pintas porta dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C
berhubungan dengan sirosis dan hipertensi porta sekaligus merupakan tipe yang paling sering
ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

B. Etiologi
Terjadinya ensefalopati hepatikum adalah karena adanya pengalihan darah sistem porta
ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah kolateral portosistemik. Ensefalopati hepatikum
muncul pada pasien dengan sirosis hepatis dan dapat muncul pada pasien tanpa sirosis hepatis
dengan portosystemic shunt yang terbentuk secara spontan maupun akibat operasi.
Perkembangan ensefalopati hepatikum disebut sebagai efek zat neurotoksik yang muncul pada
perkembangan sirosis hepatis dan hipertensi portal (Shawcross, 2015).

C. Epidemiologi
Ensefalopati hepatikum ditemukan pada 70% penderita sirosis hepatis. Gejala yang
muncul dapat menyebabkan perburukan keadaan yang signifikan pada sebagian pasien.
Sebanyak 30% pasien dengan end-stage liver disease mengalami ensefalopati yang ditunjukkan
dengan keadaan koma (Ferenci, 2014).
D. Patogenesis
Beberapa teori hipotesis patogenesis EH yang sering dijadikan acuan penatalaksanaan
adalah : 1) Hipotesis amonia, 2) Hipotesis neurotoksi sinergis, 3) Hipotesis neurotransmiter
palsu, 4) Hipotesis GABA/benzodiazepin (Budihusodo, 2002). Faktor tersering yang
mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal
berupa pecahnya varises esofagus (Wakim, 2011). Terjadinya EH merupakan akumulasi
berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Proses ini merupakan
proses intoksikasi otak akibat isi saluran cerna yang tidak dimetabolisme oleh hepar karena
kerusakan hepar. Proses selanjutnya adalah intoksikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme
protein oleh bakteri dalam usus tersebut. Amonia merupakan molekul toksik yang dihasilkan
oleh usus terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya
juga meningkat pada pasien sirosis hati (Riggio, 2010; Frederick, 2011).

Gambar 1. Patofisiologi EH (Frederick, 2011).

Amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil metabolisme bakteri
usus dengan aktivitas enzim urase, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriae,
Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan
karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase
usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Pada
individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis amonia akan
dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi
amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme
amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase (Frederick, 2011).
Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan
asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah
glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali
ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan
mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis,
penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi.
Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme
amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena
sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin (Wakim, 2011; Frederick,
2011). Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan
menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang
membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati
(Chatauret, 2004). Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia.
Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan
toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui
kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat
edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan
pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif
pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi
mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk
mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi
sehingga mengganggu aktivitas sinyal intraselular (Norenberg, 2009).

E. Gejala dan Tanda


Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan
psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes
psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan
berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan perubahan tingkah laku dan
kepribadian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi
motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat
memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai
dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke
dalam koma (Vilstrup, 2014). Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya
(Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam
EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi derajat EH menurut West Haven (Zhan, 2012)
Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular
0 (subklinis Asimtomatik Tidak ada
minimal)
1 Gangguan tidur, penurunan Suara monoton, tremor,
konsentrasi, depresi, ansietas penurunan kemampuan menulis,
dan iritabilitas apraksia
2 Letargi, disorientasi, Ataksia, disartria, asteriksis
penurunan daya ingat
3 Somnolen, kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot, hiper
amnesia, gangguan emosi atau hiporeflek
4 Koma Pupil dilatasi, reflex patologis
dijumpai

Pasien EH seringkali merupakan pasien dengan sirosis hepatis. Penentuan diagnosis


sirosis hepatis juga dapat menentukan derajat keparahan serta prognosis dan angka mortalitas
dari penyakit sirosis hepatis. Berikut merupakan tabel klasifikasi sirosis hepatis menurut Child-
Turcotte-Pugh (CTP) (Cholongitas, 2012):
Tabel 2. Klasifikasi sirosi hepatis Child-Turcottte-Pugh (CTP)
Parameter/Skor 1 2 3
Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0
Albumin serum (gr/dl) > 3,5 3,0 – 3,5 < 3,5
Protrombin time (detik) 1,0 – 4,0 4,0 – 6,0 > 6,0
atau INR* <1,7 1,7 – 2,3 > 2,3
Asites Tidak ada Minimal-sedang Banyak
Ensefalopati hepatikum Tidak ada Stage I-II Stage III-IV
*INR : International Normalised Ratio
Skor atau poin digunakan dan dijumlah berdasarkan klinis dan laboratoris pada pasien.
Jumlah poin 5-6 merupakan kelas A menurut klasifikasi CTP yang artinya memiliki one-year-
survival rate 100% dan two-year-survival rate 85% atau 15-20 tahun harapan hidup. Skor 7-9
termasuk dalam kelas B yang berarti memiliki one-year-survival rate 80% dan two-year-
survival rate 60% atau harapan hidup 4-14 tahun. Sedangkan skor 10-15 dikategorikan kelas C
dengan one-year-survival rate 45% dan two-year-survival rate 35% atau harapan hidup 1-3
tahun (Cholongitas, 2012).

F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit hati
b. Riwayat kemungkinan adanya faktor pencetus
c. Perubahan neuropsikiatri, intelektual, kemampuan bicara
2. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda-tanda penyakit hati
c. Kelainan neurologi seperti inkoordinasi, tremor, refleks patologi, kekakuan
d. Kejang
e. Disartria
f. Gejala infeksi berat
g. Perdarahan gastrointestinal
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, hematokrit
b. Faal hepar
c. Ureum serum
d. Kreatinin serum
e. Kadar amonia darah
f. Petanda infeksi dah sirosis hepar
g. Urin rutin
h. Elektroensefalogram (EEG) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) untuk
menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada pasien dengan sirosis
i. CT scan kepala untuk menyingkirkan lesi pada otak

G. Tata Laksana
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar
penatalaksanaan EH adalah identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan
keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi
ensefalopati hepatik.
1. Tata laksana faktor presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi,
infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan
terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa
dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian
antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi
tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan
sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi EH. Ligasi sumber perdarahan,
observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat
bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan
elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan
penanganan yang adekuat (Frederick, 2011; Cordoba, 2010). Ditemukannya faktor
presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat
diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan.
2. Tatalaksana farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan
penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya.
a. Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang
laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH
kolon dan juga mengurangi uptake glutamin (Frederick, 2011; Zhan, 2012; Sanyal,
2010). Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang
digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat
dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul
dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia
dari darah menuju lumen. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa laktulosa tidak
lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik
(Frederick, 2011). Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri
pada pasien dengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml
sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa
adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara
berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi
lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia (Zhan, 2012).
b. Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan
bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor
presipitasi EH (Riggio, 2010; Frederick, 2011; Zhan, 2012). Selain itu, antibiotik juga
memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase (Frederick,
2011). Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan
diserap secara minimal (Perazzo, 2012; Ahmad, 2008). Dosis yang diberikan adalah 2 x
550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan (Frederick, 2011; Wright, 2011). Rifaximin
dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya,
seperti neomisin, metronidazole, paromomisin, dan vancomisin oral karena rifaximin
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya (Frederick,
2011).
c. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) merupakan garam stabil tersusun atas dua
asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi
urea dan glutamin. Obat ini meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot,
sehingga menurunkan amonia di dalam darah (Riggio, 2010). Selain itu, LOLA juga
mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH. Sebagai subtrat perantara pada
siklus urea, LOLA dapat menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-
ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate menjadi
glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase
(AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk
menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan
amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-
activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia kembali. Suatu RCT
(Randomized Clinical Trial) double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari
pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental.
Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan
hanya sementara (Zhan, 2012). Beberapa penelitian RCT (Kirchets, 1997; Ahmad,
2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat
memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada (Kircheis, 1997; Ahmad, 2008). Studi
metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009; Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada
pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi
amonia serum.
d. Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang
bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama
dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora
dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH.
Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan
substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang
berguna untuk bakteri baik (Solga, 2003; Bongaerts, 2005). Liu, et al. melakukan studi
terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan pemberian suplementasi sinbiotik
(serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik
Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan pada
Lactobacillus penghasil nonurease. Penelitian metaanalisis dari 9 laporan penelitian
menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH
(Shukla, 2011). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan dalam
penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi sekunder EH overt (Sharma, 2013).
3. Terapi potensial lainnya
Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain amonia scavenger,
activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Amonia scavenger (natrium
benzoat, natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea
yang telah tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada
pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk
digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, diantaranya
amonia, lipopolisakarida dan sitokin. L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan
kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pembentukan glutamin dari amonia pada
otot rangka (Wakim, 2011).
H. Prognosis
Progonis penderita EH tergantung dari :
1. Penyakit hati yang mendasarinya
2. Faktor-faktor pencetus
3. Usia
4. Keadaan gizi
5. Derajat kerusakan parenkim hati
6. Kemampuan regenerasi hati

II. 2. SYOK SEPSIS


A. Definisi
Syok sepsis adalah keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/ metabolik
yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria klinis untuk
mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang
membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan
kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat (Mehta dan
Kochar, 2017)

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi.
Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi
menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria
SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS
sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi
(Singer et al., 2016).

Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis berat
sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon
tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA
≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk
mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU (Mehta dan Kochar, 2017). Walaupun penggunaan
qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang.
Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi
organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi (Singer et al., 2016).

Gambar 2. Skor SOFA

Gambar 3. Status qSOFA

B. Patofisiologi
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon
pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh (Singer et al., 2016). Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah
perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang
akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok (Rivers et al., 2001). Presentasi
pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,
anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda
awal syok dan memulai penanganan awal (Dries, 2014).
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel
endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari
aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit
oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid (Nguyen et al., 2006).
Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan
mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang
teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan
meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi (Bernard et
al., 2001).
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai
hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini
akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global (Nguyen et al., 2006).
Gambar 4.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis,
dan fibrinolisis terhadap infeksi (Bernard et al., 2016)

Respon tubuh terhadap infeksi yaitu inflamasi dan


prokoagulan merupakan hal yang saling terkait. Agen
penginfeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor α (TNF- α) dan interleukin-1 akan mengaktifasi
rantai koagulasi dengan menstimulasi pelepasan tissue
factor dari monosit dan endotelium yang akan memicu
pembentukan trombin dan fibrin clot

Sitokin inflamasi dan thrombin dapat Protein C yang teraktifasi dapat mengambil peran
menganggu proses fibrinolisis dengan pada berbagai jalur pada respon sistemik terhadap
menstimulasi pelepasan plasminogen- infeksi dengan menghasilkan efek antitrombotik
activator inhibitor 1 (PAI-1) dari platelet dan melalui penghambatan faktor Va dan VIIIa yang
endotelium. PAI-1 merupakan inhibitor poten akan membatasi produksi dari thrombin.
dari tissue plasminogen activator yang
berperan untuk menghancurkan fibrin clot.

Prokoagulan thrombin juga dapat Akibatnya, proses inflamasi, prokoagulan, dan respon
menstimulasi berbagi macam jalur inflamasi antifibrinolitik yang diinduksi oleh trombin akan
dan menekan sistem fibrinolitik endogen menurun. Protein C yang teraktifasi akan
dengan mengaktifkan thrombin-activatable menghasilkan efek antiinflamasi dengan menghambat
fibrinolysis produksi dari sitokin proinflamasi (TNF-α,
interleukin-1, interleukin-6) oleh monosit dan
menghambat pengikatan monosit dan neutrofil
dengan selectins.

Hasil akhir dari respon tubuh terhadap infeksi adalah


terjadinya kerusakan endotelial menyeluruh,
trombosis mikrovaskular, iskemia organ, disfungsi
multiorgan, dan kematian

Gambar 5. Rantai koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan fibrinolisis
terhadap infeksi (Irvan et al., 2018).
C. Penatalaksanaan
Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi
awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal,
kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana
suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi (Mehta dan Kochar,
2017).
Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT
telah dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan
kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan
dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini
menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan
kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial) (Howell dan
Davis, 2017).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol
sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan
vena sentral secara spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat
terbatas untuk menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini
menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk
mengevaluasi efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status
hemodinamik membaik dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut
dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan apabila
respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari
itu, protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi
resusitasi yang fokus terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu
pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut (Backer dan
Dorman, 2017).
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan
komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat
dengan adanya penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan
keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas

23
sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman
(Howell dan Davis, 2017). Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol
terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus diberikan
maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian
yang meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan
dengan peningkatan resiko kematian (Backer dan Dorman, 2017).
Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin
untuk mencapai target MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan
diberikan dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan
status hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi,
variasi volum sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin α (Human
Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis.
Protein C yang teraktivasi akan menghambat pembentukan thrombin dengan
menginaktifasi factor Va, VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi (Bernard
et al., 2001).

24
BAB III
PEMBAHASAN

A. Analisa Diagnosis Kasus


Kasus Teori
Anamnesis - Mual muntah - Ada riwayat penyakit
- Mata kuning hati
- Demam - Ada riwayat
- BAK keruh seperti teh kemungkinan faktor
- Tidak terdapat riwayat pencetus
Hepatitis B dan - Perubahan
Hepatitis C neuropsikiatri,
- Pasien sulit intelektual, kemampuan
berkomunikasi dan bicara
cenderung tidur sejak
17 jam SMRS
Pemeriksaan Fisik Somnolen - Penurunan tingkat
TD tidak terukur kesadaran
Nadi lemah - Tanda penyakit hati
Urin berwarna seperti teh - Inkoordinasi
Sklera ikterik - Tremor
Tremor ekstremitas - Reflek patologi
superior (-) - Kekakuan
Hepar tidak teraba - Kejang
Asites (-) - Disartria
Kaki bengkak (-) - Perdarahan
gastrointestinal
Pemeriksaan Penunjang Lekosit 20620 H - Hemoglobin turun
Hemoglobin 10.3 L - Hematokrit

25
Hematokrit 30.8 L - Faal hepar meningkat
Trombosit 208000 N - Ureum serum
Segmen 94 H meningkat
SGOT 184 H - Kreatinin serum
SGPT 249 H meningkat
Ureum 44.30 H - Kadar amonia darah
Kreatinin 2.07 H meningkat
Kalium 2.4 LL - Petanda infeksi sirosis
Bilirubin Total 11.25 H hepar
Bilirubin Direk 8.96 H - Urin rutin
Bilirubin Indirek 2.29 H - EEG
Anti HCV dan HbsAg - CT scan kepala
Non Reaktif

Derajat keparahan dan prognosis sirosis hepatis dapat dihitung dengan


kriteria Child-Turcotte-Pugh (CTP) sebagai berikut (Cholongitas, 2012) :
Parameter/Skor 1 2 3
Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0 - 3,0 > 3,0
Albumin serum (gr/dl) > 3,5 3,0 - 3,5 < 3,5
Protrombin time (detik) 1,0 – 4,0 4,0 – 6,0 > 6,0
atau INR < 1,7 1,7 – 2,3 > 2,3
Asites Tidak ada Minimal-sedang Banyak
Ensefalopati hepatikum Tidak ada Stage I-II Stage III-IV
Skor atau poin digunakan dan dijumlah berdasarkan klinis dan laboratoris
pada pasien. Jumlah poin 5-6 merupakan kelas A menurut klasifikasi CTP yang
artinya memiliki one-year-survival rate 100% dan two-year-survival rate 85%
atau 15-20 tahun harapan hidup. Skor 7-9 termasuk dalam kelas B yang berarti
memiliki one-year-survival rate 80% dan two-year-survival rate 60% atau harapan
hidup 4-14 tahun. Sedangkan skor 10-15 dikategorikan kelas C dengan one-year-

26
survival rate 45% dan two-year-survival rate 35% atau harapan hidup 1-3 tahun
(Cholongitas, 2012).
Pada kasus ini didapatkan kadar bilirubin serum 8,89 mg/dl (poin 3),
albumin serum, prothrombin time dan/atau INR belum diperiksa, asites tidak ada
(poin 1), ensefalopati hepatikum grade IV (poin 3) sehingga jumlah poin belum
bisa dihitung.
Penentuan derajat EH menurut klasifikasi West Haven (Perazzo, 2012):
Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular
0 (subklinis Asimtomatik Tidak ada
minimal)
1 Gangguan tidur, penurunan Suara monoton, tremor,
konsentrasi, depresi, ansietas penurunan kemampuan menulis,
dan iritabilitas apraksia
2 Letargi, disorientasi, Ataksia, disartria, asteriksis
penurunan daya ingat
3 Somnolen, kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot, hiper
amnesia, gangguan emosi atau hiporeflek
4 Koma Pupil dilatasi, reflex patologis
dijumpai

Saat diperiksa pada tanggal 31 Mei 2016 pasien menunjukkan gejala yang
diberi warna hijau sehingga diagnosis saat itu adalah EH grade 1. Pasien ini
menunjukkan perbaikan derajat EH sehingga memperbaiki prognosis.

B. Analisa Terapi Kasus


1. Infus Aminoleban
Infus Aminoleban berisi Asam amino rantai cabang dengan kadar tinggi dan
asam amino aromatik dengan kadar rendah (tanpa tyrosine), Na, Cl, dan asam
amino penting lainnya. Pada pasien ini digunakan karena asupan nutrisi enteral

27
pasien kurang. Asupan nutrisi yang kurang dapat memperlambat proses
penyembuhan. Sehingga diberikan glukosa secara parenteral.
2. Drip LOLA
L-Ornithine L-Aspartate pada pasien ini digunakan untuk mengurangi amonia
dalam darah. Amonia dalam darah merupakan faktor pencetus terjadinya
ensefalopati hepatikum. LOLA akan meningkatkan metabolisme amonia dalam
darah di hati dan otot dengan hasil akhir berkurangnya amonia dalam darah.
3. Injeksi Ceftriaxon
Ceftriaxon sebagai antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga digunakan
untuk mengurangi jumlah bakteri dalam tubuh. Bakteri dalam tubuh berperan
menghasilkan amonia yang dapat memicu EH.
4. Injeksi Omeprazole
Pemberian obat-obatan terlalu banyak dan kuat dapat berbahaya bagi saluran
cerna terutama lambung. Omeprazole diberikan untuk menurunkan asam
lambung yang mungkin akan meningkat karena konsumsi obat-obatan dan
mencegah stress ulcer.
5. Lactulac
Lactulac atau laktulosa digunakan sebagai lini pertama penatalaksanaan EH
untuk menurunkan sintesis amonia dan uptake amonia dengan menurunkan pH
kolon.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I., Khan, AA., Alam, A. 2008. L-ornithine-L-aspartate infusion efficacy in


hepatic encephalopathy. Journal of the College of Physicians and Surgeons-
Pakistan 18(11) : 684-687.

Bai, M., Yang, Z. 2013. L-ornithine-l-aspartate for hepatic encephalopathy in patients


with cirrhosis: a meta-analysis of randomized cotrolled trials. J Gastroenterol
Hepatol 28(5) : 783-792.

Bongaerts, G., Severijnen, R. 20055. Effect of antibiotics, prebiotics and probiotics in


the treatment for hpatic encephalopahy. Med Hypothesses 64 : 64-68.

Chatauret, N., Butterworth RF. 2004. Effects of liver failure on inter-organ traficking
of amonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy. J
Gastroenterol Hepatol 19: 219-223.

Cholongitas, E., Papatheodoridis, BV., Vangeli, M., Terreni, N. 2012. Systematic


review: The model for end-stage liver disease should it replace Child-Pugh’s
Classiification for assessing prognosis in chirrosis?. Alimentary
pharmacology&Therapeutics 22: 1079-1089.

Cordoba, J. 2010. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol 54(5) :


1030-1040.

Frederick, RT. 2011. Current concepts in the patophysiology and management of


hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol 7(4) : 222-233.

Jiang, Q., Jiang, XH. 2009. L-Ornithine-L-Aspartate in the management of hepatic


encepahlopathy: a meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol 24(1) : 9-14.

Kircheis, G., Nilius, R. 1997. Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-laspartate


infusions in patients with cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a
placeebo-controlled, double -blind study. Hepatology 25(6) : 1351-1360.

Liu, Q., Duan, ZP.. 2004. Synbiotic modulation of gut flora : Effect on minimal
hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology 39 : 1441-
1449.

Norenberg., Rama Rao., Jayakumar. 2009. Signaling factors in the factors in the
mechanism of amonia neurotoxicity. Metab Brain Dis 24(1) : 103-117.

29
Perazzo, JC., Tallis S. 2012. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple
pathopfysiological features. World J Hepatol 4(3): 50-65.

Riggio, O., Ridola L., Pasquale. 2010. Hepatic encephalopathy theraphy: An


overview. World J gastrointest Pharmacol Ther 1(2) : 54-63.

Sanyal, A., Bass, N., Mullen, K. 2010. Recent advances in the diagnosis and
treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol 6(7) : 5-13.

Sharma, V., Garg, S. 2013. Probiotics and liver disease. Perm J 17(4) : 62-67.

Shukla, S., Shukla, A., Mehboob, S., Guha, S. 2011. Meta-analysis: the effects of gut
flora modulation using prebiotics, probiotics, and synbiotics on minimal
hepatic encepahlopathy. Aliment Pharmacol Ther 33(6): 66-71.

Solga, SF. 2003. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses 61 :
307-313.

Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, J. 2014. Hepatic encephalopathy in chrocnic liver
isease: 2014 practice guideline by the European Association for the Study of
the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J
Hepatol.

Wakim, FJ. 2011. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis.
Cleve Clin J Med 78 (9) : 597-605).

Wright, G., Chatree, A. 2011. Management of hepatic encephalopathy. Int J Hepatol.

Zhan, T., Stremmel W. 2012. The diagnosis and treatment of minimal hepatic
encephalopathy. Dtsch Arztebl Int 109(10) : 180-187.

Mehta, Y., Kochar G. 2017. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical
Care TSS; 1(1): 3-5.
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. 2016.
The third international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3).
JAMA. 315 (8): 801-10.

Rivers, E, Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. 2001. Early


goal directed therapy in the treatmenr of severe sepsis and septic shock. N Eng J
Med.345 (19): 1368-77.
Dries JD, editors. 2014. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect:
Third Printing.

30
Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al.
2001. Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis.
N Eng J Med. 344 (10): 699-709.
Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al.
2006. Severe sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny
department management guidelines. Annals of Emergency Medicine. 48(1): 28-50.

Howell MD, Davis AM. 2017. Management of sepsis and septic shock. JAMA.
317(8): 847-8.

Backer, D., Dorman, T. 2017. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward
better care of patients with sepsis. JAMA. 317(8): 807-8.

Irvan., Febyan., Suparto. 2018. Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline Terbaru.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Vol X (1): 62-73

31

Anda mungkin juga menyukai