Anda di halaman 1dari 2

DILEMA IKHTILAT

Oleh: Zahrah Faradisi

Tidak ada sesuatu yang di dalamnya sering tercampur antara yang benar dan batil,
terjebak antara sikap ghuluw (terlalu berlebihan), dengan sikap acuh tak acuh selain
persoalan yang terkait dengan wanita dalam kehidupan masyarakat Islam dewasa ini. Padahal
Islam telah memuliakan wanita dan memberi keadilan baginya sebagai seorang manusia,
sebagai seorang perempuan, sebagai seorang anak, sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu,
dan sebagai seorang anggota masyarakat.

Salah satu persoalannya misalnya adalah “ikhtilath”. Yang dimaksud ikhtilat di sini
adalah bercampur baurnya perempuan dengan para lelaki. Sejauh manakah perempuan boleh
berbaur dengan lelaki? Sebagaimana yang kita ketahui ada beberapa pendapat ulama yang
mewajibkan wanita tinggal di rumahnya saja, memakruhkan mereka pergi ke mesjid, bahkan
ada yang mengharamkannya karena khawatir fitnah dan kerusakan zaman. Apakah seluruh
ikhtilat itu diharamkan? Lalu bagaimana kaum wanita bisa hidup tanpa bersinggungan
dengan kaum lelaki di zaman yang perlu konektifitas yang sangat kompleks ini? Apakah
memang sepantasnya wanita itu dipenjara saja di sangkar rumahnya? Walaupun sangkar itu
terbuat dari emas, namun ia tetaplah penjara.

Masalah utama kita memang dalam ranah sosial masyarakat dan pemikiran sering
tidak sadar berdiri di salah satu kutub ekstrim. Ekstrim terlalu ketat dan ekstrim terlalu
longgar. Padahal Islam datang dengan ciri khas “tawasuth”-pertengahan, dalam artian
menentukan hukum sesuatu didasarkan maslahat yang lebih besar yang akan didapat, baik
pribadi maupun masyarakat. Pada masa Rasulullah SAW, wanita menghadiri shalat jama’ah
dan shalat jum’at. Beliau mengatakan bahwa semakin akhir shaf wanita dari shaf lelaki maka
itu lebih baik. Hal itu dikarenakan khawatir akan tampak sesuatu dari aurat lelaki, di mana
pada saat itu banyak dari mereka belum mengenal celana dan belum ada di masjid itu
penghalang atau batas yang menutupi antara shaf lelaki dan perempuan. Begitu juga para
wanita diperintahkan Rasulullah untuk keluar pada hari raya, ikut serta dalam perayaan islam
di mana di sana berkumpul setiap orang dari segala umur dari lelaki dan perempuan. Para
wanita juga menghadiri majelis ilmu Rasulullah bersama para lelaki dan bertanya kepada
Rasul secara langsung. Bahkan dalam medan perangpun sejarah telah membuktikan
keikutsertaan para wanita di dalamnya.
Ada satu riwayat dari Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa ada 6 wanita dari
kaum muslim yang ikut bersama pasukan muslim mengepung Khaibar. Mereka
mempersiapkan busur panah, memberi pasukan makan, mengobati yang terluka, melantunkan
sya’ir-sya’ir untuk menyemangati pasukan, membantu dalam jihad di jalan Allah, dan
Rasulpun memberi jatah mereka terhadap ghanimah (harta rampasan perang). Kesimpulan
dari semua ini adalah, bahwasanya pertemuan antara lelaki dengan perempuan pada hukum
dasarnya adalah boleh bukan haram, asalkan dalam koridor islami dengan tujuan yang mulia
dan syar’i dalam berserikat atau bertemu itu.

Lalu, apa saja koridor islami yang menjadi batasan ketika bertemu dengan lawan jenis
atau berserikat bersamanya? Kita lanjutkan di pembahasan selanjutnya...

TO BE CONTINUED

Anda mungkin juga menyukai