Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(2) :184-191 (2013) ISSN : 2303-2960

PERSENTASE PENETASAN TELUR IKAN BETOK (Anabas testudineus)


DENGAN SUHU INKUBASI YANG BERBEDA

The Hatching Of Climbing Perch Eggs (Anabas testudineus)


With Different Incubation Temperatures.

Dwi Aprilianti Putri1, Muslim2 , Mirna Fitrani3


1
Mahasiswa Peneliti, 2Dosen Pembimbing I, 3Dosen Pembimbing II

Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian


Universitas Sriwijaya, Indralaya, Ogan Ilir 30662

ABSTRACT
The aims of this study was to know the effect of different temperatures on the
percentage of climbing perch eggs hatching. This study has been done from October
2012 to November 2012 at Fish Breeding Unit “Batanghari Sembilan” Indralaya. The
implementation of this study include selection of the brood, rearing of brood stock,
injection ovaprim, spawning, hatching eggs, larval rearing. The results indicate that the
most rapid hatching time obtained in P4 treatment (34° C) with a incubation time 964
minutes. Optimal incubation temperature to produce the maximum hatching percentage
was 98.66% at a temperature of 34 oC. Water quality of medium were 31-340C for
temperature, pH 6,7-7,6 and disolved oxygen 3,3-3,8 mg.L-1.

Keywords : temperature, hatching percentage hatching time, water quality.

PENDAHULUAN

Ikan betok (Anabas testudineus) adalah Kendala utama dalam


sejenis ikan air tawar yang hidup liar di pengembangan budidaya ikan betok
rawa banjiran serta sungai, dan masih adalah terbatasnya benih, baik dalam
jarang sekali dibudidayakan. Ikan betok kualitas maupun kuantitasnya.
termasuk golongan ikan omnivora yang Keberhasilan budidaya ikan betok sangat
cenderung karnivora (Mustakim, 2008). tergantung pada teknologi pembenihan
Selain harganya tinggi, ikan betok tahan dan pemeliharaan larva. Secara umum
terhadap perubahan lingkungan, penyakit. tingkat mortalitas benih pada fase larva
Ikan betok juga memiliki rasa daging sampai berumur satu bulan mencapai
yang enak sehingga banyak dikonsumsi 80% (Huet, 1994). Selain faktor
masyarakat (Lingga dan Susanto, 1996). kesediaan pakan yang sesuai selama

184
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

periode larva, faktor kualitas air terutama Masrizal et al., (2001), pada suhu 32oC
suhu merupakan faktor yang sangat diperoleh persentase daya tetas telur ikan
penting dalam kehidupan organisme. patin tertinggi yaitu 90,18%. Menurut
Perubahan temperatur memberikan Ariffansyah, (2007), suhu inkubasi 29-
pengaruh yang sangat kuat terhadap 31 oC menghasilkan persentase penetasan
proses fisiologis dan biologis. Menurut telur ikan gurame sebesar 90,90%. Dari
Houlihan et al., (1993), perubahan suhu beberapa informasi hasil penelitian
o
lingkungan sebesar 10 C secara akut tentang penetasan beberapa spesies ikan,
menyebabkan perubahan signifikan maka penelitian tentang penetasan telur
terhadap laju proses fisiologi. ikan betok dengan suhu inkubasi berbeda
Hasil penelitian Busroni (2008), ini penting untuk dilakukan.
menunjukkan bahwa pada suhu penetasan
METODE PENELITIAN
28oC menghasilkan persentase penetasan
yang tertinggi, yaitu sebesar 83% dan Tempat dan Waktu
persentase kelangsungan hidup tertinggi Penelitian dilaksanakan pada
sebesar 73,08% pada larva ikan kerapu bulan Oktober sampai November 2012,
sunu. Kemudian menurut Agustina di Unit Pembenihan Rakyat (UPR)
(2007), pada suhu 29-33 oC penetasan Batanghari Sembilan, Indralaya.
telur sebesar 68,52% menghasilkan
Alat dan Bahan
persentase kelangsungan hidup larva
Alat yang telah digunakan pada
patin jambal sebesar 76,58%. Sedangkan
penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat-alat yang telah digunakan
No Nama Spesifikasi Kegunaan
1. Akuarium 30cm x 30cm x 30cm Tempat pemijahan ikan betok
2. Akuarium 25cm x 25cm x 25cm Tempat penetasan larva betok
3. Termometer - Mengukur suhu air
4. DO meter 0,01 mg l-1 Mengukur oksigen terlarut air
5. pH meter 0,1 unit pH Mengukur pH air
6. Blower - Pemberian oksigen
7. Timbangan - Alat menimbang indukan ikan
8. Spuit suntik 1 ml betok
9. Heater - Untuk menyuntikan ovaprim
10. Baskom - Alat pengatur
11. Hand counter - Wadah penempatan telur
12. Pipet tetes Menghitung jumlah telur
Mengambil sampel telur

185
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

Bahan yang telah digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan-bahan yang telah digunakan
No Nama Spesifikasi Kegunaan
1. Induk ikan betok - betina (27 gram) Sumber telur
- jantan (25 gram)
2. Hormon GnRH Ovaprim Perangsang ovulasi induk

Rancangan Percobaan (YBHS) Indralaya. Induk yang sudah


Rancangan percobaan yang diseleksi dipelihara selama dua minggu
digunakan adalah Rancangan Acak dan diberi pakan berupa pellet dengan
Lengkap (RAL) dengan menggunakan frekuensi pemberian sebanyak tiga kali
empat perlakuan, tiga kali ulangan. dalam satu hari secara adsatiation.
Perlakuan adalah suhu air dalam media
c. Penyuntikan Ovaprim
penetasan yang berbeda : Hormon yang digunakan dalam
o o
P1 : 31 C ± 0,3 C penyuntikan yaitu hormon gonadotropin
P2 : 32oC ± 0,3oC
P3 : 33oC ± 0,3oC yang terkandung dalam ovaprim dengan
P4 : 34oC ± 0,3oC
dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan dilakukan
secara intramuscular pada otot punggung
Cara Kerja
induk. Induk betina sebanyak 2 kali
a. Seleksi Induk penyuntikan dan induk jantan 1 kali
Seleksi dilakukan untuk memilih penyuntikan. Interval waktu penyuntikan I
induk yang benar-benar telah siap untuk
ke penyuntikan II adalah 6 jam.
dipijahkan atau telah matang gonad. Ikan
Penyuntikan induk jantan bersamaan pada
betina yang matang gonad ditandai dengan
saat penyuntikan II induk betina. Setelah
perut yang gendut dan lunak serta di dilakukan penyuntikan antara induk ikan
sekitar lubang urogenitalnya berwarna jantan dan induk ikan betina maka induk
merah. Induk ikan jantan dan betina ikan tersebut dimasukkan dalam akuarium
sebelum dipijahkan harus diletakkan pada
pemijahan untuk melakukan proses
tempat yang terpisah.
pemijahan.
b. Pemeliharaan Induk d. Pemijahan
Induk yang digunakan untuk proses Pemijahan dilakukan di akuarium
pemijahan didapatkan dari alam dan sudah berukuran 30x30x30cm3 yang diisi air
didomestikasi di kolam pemeliharaan sebanyak 10 liter. Rasio jantan dan betina
induk di Yayasan Batanghari Sembilan adalah 2 : 1 (2 jantan 1 betina). Akuarium

186
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

diberi aerasi dengan kecepatan sedang dan 1. Persentase penetasan


diberi penutup pada bagian atasnya. Proses Persentase penetasan telur adalah
terjadinya perkawinan dan ovulasi persentase jumlah telur yang menetas
dilakukan secara alami. menjadi larva dari telur yang telah dibuahi
Ikan memijah 4 jam setelah dengan mengunakan rumus Slamet et al.,
penyuntikan kedua. 1 jam setelah selesai (1989),
memijah, induk segera diangkat dengan
Persentase = ∑ telur menetas x 100%
hati-hati dan dipindahkan. Telur yang
penetasan ∑ telur inkubasi
terbuahi akan berwarna transparan, jika
berwarna putih susu berarti telur tidak 2. Waktu penetasan telur
dibuahi dan harus segera dipisahkan. Waktu penetasan diketahui dengan
e. Penetasan telur cara mencatat waktu terjadi ovulasi atau
Telur ikan yang telah dibuahi terjadi pembuahan dan waktu telur
dimasukkan ke dalam 12 akuarium yang menetas. To adalah waktu penetasan awal
sudah diatur sesuai dengan perlakuan larva betok sedangkan Tn adalah waktu
masing-masing yang diisi air dengan keseluruhan larva betok menetas.
ketinggian 19,5 cm (sebanyak 10 liter) dan
dilengkapi dengan sistem aerasi. 3. Kualitas air
Pengamatan terhadap telur ikan betok Kualitas air yang dilakukan selama
terus dilakukan hingga telur menetas. penetasan telur dan pemeliharaan larva
Telur ikan betok yang digunakan dalam adalah pH dan oksigen terlarut (DO).
penelitian ini sebanyak 1.200 butir telur
Pengambilan Data
yang ditebar dalam 12 akuarium, jumlah
telur tiap akuarium 100 butir telur. Telur Data yang diperoleh dari hasil
yang digunakan adalah telur-telur yang penelitian meliputi data primer dan data
terbuahi, yang ditandai dengan ciri-ciri sekunder. Data primer adalah data yang
berwarna transparan. didapat secara langsung dari kegiatan
penelitian meliputi data waktu penetasan
Parameter yang Diamati telur, persentase penetasan telur dan data
Parameter yang diamati dalam kualitas air. Sedangkan data sekunder
pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai didapatkan dari hasil penelitian terdahulu
berikut : studi literatur yang menunjang.

187
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

Analisis Data ikan betok. Menurut Yamagami (1988),


Data persentase penetasan telur, peningkatan temperature dapat
waktu penetasan dianalisa dengan analisa menstimulasi sekresi enzim penetasan,
sidik ragam (uji F). Apabila hasil uji F sekali enzim disekresikan maka
menunjukkan pengaruh berbeda nyata pencernaan korion menjadi lebih cepat
dilakukan dengan uji beda rerata BNJ. pada temperature yang tinggi
dibandingkan temperatur yang rendah,
HASIL DAN PEMBAHASAN sehingga penetasan lebih cepat.
Dalam penelitian ini suhu tidak
Persentase Penetasan Telur
berpengaruh terhadap persentase penetasan
Hasil penelitian yang telah
telur ikan betok, tetapi berpengaruh
dilakukan bahwa penetasan telur ikan
terhadap waktu penetasan telur ikan betok.
betok dengan suhu inkubasi yang berbeda
Menurut Tang dan Affandi (2001) kualitas
menghasilkan persentase penetasan yang
telur dipengaruhi beberapa factor yaitu
tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat
factor internal dan factor eksternal. Factor
pada Tabel 3. sebagai berikut :
internal meliputi umur induk dan genetika.
Tabel 3. Rerata persentase penetasan telur
ikan betok (Anabas testudineus) Sedangkan factor eksternal meliputi paka,
Perlakuan Rerata (%) suhu, cahaya, kepadatan dan polusi. Setiap
organisme akuatik memiliki kisaran suhu
P1 (31 oC) 97 tertentu yang disukai bagi
P2 (32 oC) 97,33
pertumbuhannya. Sedangkan menurut
P3 (33 oC) 97,33
P4 (34 oC) 98,66 Blaxter (1969) selama
penginkubasian telur, aktivitas-aktivitas
Berdasarkan hasil penelitian yang terjadi dalam telur lebih dipengaruhi
diperoleh nilai rerata persentase penetasan oleh kondisi lingkungan terutama suhu,
telur ikan betok sebanyak 97%, 97,33%, selain itu juga dipengaruhi oleh pH,
97,33%, 98,66% masing-masing untuk karbondioksida, intensitas cahaya, dan
perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Hasil analisa penyerapan oksigen.
sidik ragam menunjukkan bahwa
penetasan telur ikan betok dengan suhu Waktu Penetasan Telur
inkubasi yang berbeda tidak berpengaruh Waktu penetasan telur ikan betok
nyata terhadap persentase penetasan telur selama penelitian disajikan pada Tabel 4.

188
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

Tabel 4. Lama waktu penetasan telur ikan waktu penetasan paling cepat terdapat
betok (Anabas testudineus)
pada perlakuan P4 (34 oC) dan waktu
Perlakuan Rerata waktu BNJ
penetasan paling lama terdapat pada
penetasan telur 5%
(menit) perlakuan P1 (31 oC). Hal ini didukung
o
P1 (31 C) 1073,33 B
oleh pernyataan (Sukendi, 2003), bahwa
P2 (32 oC) 1028,33 B
P3 (33 oC) 1012,67 A penetasan telur akan lebih cepat pada suhu
P4 (34 oC) 964 A
tinggi karena pada suhu tinggi proses
Berdasarkan analisa sidik ragam, metabolisme akan terjadi lebih cepat
pada suhu inkubasi yang berbeda sehingga perkembangan embrio juga akan
memberikan pengaruh yang sangat nyata lebih cepat dan pergerakan embrio dalam
terhadap waktu penetasan telur ikan betok cangkang akan lebih intensif sehingga
(Anabas testudineus). Berdasarkan hasil penetasan lebih cepat.
uji lanjut waktu penetasan telur ikan betok
yang paling cepat terdapat pada perlakuan Kualitas Air Media
P4 (34 oC ± 0,3 oC) telur mulai menetas
Kualitas air merupakan salah satu
setelah 964 menit dan berpengaruh nyata
faktor penting yang sangat diperhatikan
dengan semua perlakuan.
dalam budidaya, parameter yang umumnya
Hasil pengamatan waktu awal
berpengaruh terhadap persentase penetasan
penetasan sampai akhir penetasan telur
telur, kelangsungan hidup larva adalah
ikan betok, menunjukkan perlakuan suhu
suhu, oksigen terlarut dan pH. Hasil
yang berbeda menghasilkan waktu
pengukuran kualitas air selama penelitian
penetasan telur yang berbeda dimana
dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut :
Tabel 5. Kualitas air selama penelitian
Perlakuan Kisaran
Parameter
P1 P2 P3 P4 toleransi
Suhu (oC) 31-31,3 32-32,3 33-33,3 34-34,3 30-33 1)
pH (unit) 6,8-7,2 6,8-7,6 6,7-7,4 6,9-7,1 6,5-7,5 2)
DO (mg/l) 3,32-3,68 3,31-3,78 3,36-3,47 3,46-3,84 >3 3)
Sumber : 1) Akbar dan Sudaryanto, 2001
2) Djarijah, 2001
3) Slembrouck et al, 2005

189
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

Secara umum kisaran kualitas air DAFTAR PUSTAKA


selama penelitian masih dalam kisaran
Agustina, A.T. 2007. Optimasi suhu untuk
normal artinya kualitas air untuk penetasan penetasan telur dan kelangsungan
hidup larva ikan patin jambal
telur dan pemeliharaan larva ikan betok
(Pangasius djambal). Skripsi.
masih dalam kisaran toleransi untuk Program Studi Budidaya Perairan.
Fakultas Pertanian. Universitas
kehidupan larva. Derajat keasaman (pH)
Sriwijaya. Indralaya. (tidak
selama penelitian masih dalam kisaran dipublikasikan)
toleransi untuk penetasan telur dan Akbar, S dan Sudaryanto. 2001.
Pembenihan dan Pembesaran Ikan
pemeliharaan larva ikan betok.
Kerapu Bebek (Cromilepties
Nilai pH pada penelitian ini berkisar altivelis). Penebar Swadaya. Jakarta
antara 6,7 – 7,6 dimana kisaran ini masih Ariffansyah. 2007. Perkembangan embrio
dan penetasan telur ikan gurame
dalam batas toleransi untuk penetasan telur (Osphronemus gouramy) dengan
dan pemeliharaan larva. Menurut Djarijah, suhu inkubasi yang berbeda Skripsi.
Program Studi Budidaya Perairan.
(2001) kisaran pH untuk penetasan telur Fakultas Pertanian. Universitas
dan pemeliharaan larva ikan betok adalah Sriwijaya. (tidak dipublikasikan)
6,5 – 7,5. Kandungan oksigen terlarut Blaxter, J.H.S. 1969. Development : Eggs
and Larva in Fish Physiology, Vol III
selama penelitian berkisar antara 3,31 – Reproduction and Growth,
3,84 mg/l. Oksigen terlarut selama Bioluminescent, Pigmen and Poisons.
Academic Press. New York.
penelitian ini relative rendah akan tetapi
Busroni. 2008. Penetasan telur ikan kerapu
masih dalam kisaran toleransi.walaupun sunu (Plectropomus sp) pada suhu
masih dalam batas toleransi oksigen yang berbeda. Skripsi. Program Studi
Budidaya Perairan. Fakultas
terlarut ternyata semakin menurun Pertanian. Universitas Sriwijaya.
dengan meningkatnya suhu, sedangkan pH Indralaya. (tidak dipublikasikan)

relatif stabil. Djarijah, S.A. 2001. Budidaya Ikan Patin


Secara Intensif. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
KESIMPULAN DAN SARAN Houlihan, D.F., E. Mathers, and A. Foster.
1993. Biochemical correlates of
Dari penelitian yang telah dilakukan growth in fish. In Fish ecophysiology.
(eds.) J.C. Rankin and F.J. Jensen.
dapat diambil kesimpulan bahwa suhu (31- Chapman and Hall, London. P 45-71
o
34 C) berpengaruh terhadap waktu Huet, M. 1994. Textbook of Fish Culture
Breeding and Cultivation of Fish.
penentasan telur ikan betok tetapi tidak
Fishing News Book. 438 pp.
berpengaruh nyata terhadap persentase
Lingga, P dan Susanto,H. 1996. Ikan Hias
penetasan telur ikan betok. Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

190
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Aprilianti, et al. (2013)

Masrizal, Wahizi.,A dan Azhar. 2001. Slamet, B. P.T. Imanto dan S. Diani. 1989.
Pengaruh suhu yang berbeda terhadap Pengamatan pada pemijahan
hasil penetasan telur ikan patin rangsangan, perkembangan telur dan
(Pangasius pangasius). Jurusan larva kakap putih. Jurnal Penelitian
Produksi Ternak Fakultas Peternakan Perikanan Indonesia. Terbit Khusus
Universitas Andalas. No. 01, 1990 :1-5
Mustakim, M. 2008. Kajian kebiasaan Sukendi. 2003. Vitelogenesis dan
makanan dan kaitannya dengan aspek Manipulasi Fertilisasi pada Ikan.
reproduksi ikan betok (Anabas Bagian bahan matakuliah reproduksi
testudineus) pada habitat yang ikan Jurusan Budidaya Perairan
berbeda dilingkungan danau Faklutas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau.
melintang Kutai Karta Negara
Kalimantan Timur. Tesis. Sekolah Pekanbaru.
Pasca Institut Petanian Bogor. Bogor Tang, M.U. dan R. Affandi. 2001. Biologi
(tidak dipublikasikan) Reproduksi Ikan. UNRI Press.
Slembrouck, J. Komarudin, O. Maskur dan Pekanbaru
M. Legendre. 2005. Petunjuk Teknik Yamagami, K. 1988. Mechanisme of
Pembenihan Ikan Patin Indonesia, hatching in fish. P : 447-499. In Hoar,
Pangasius djambal. Badan Riset W.S. and D.J. Randall (Eds) Fish
Kelautan dan Perikanan. Jakarta Physiology Volume XI, The
Physiology of Developing Fish, Part
A, Egg and Larvae. Academic Press,
Inc.

191

Anda mungkin juga menyukai