Anda di halaman 1dari 12

NPM : 6091801115

Kelas : Penulisan Akademik - A


Nomor Ujian : 022
Panel : 1 – Security

Pengaruh Status PMC bagi Regulasi Internasional untuk Operasi


Blackwater di Irak
Abstract
The used of Private Military Company is keep increasing as the time goes, however its
regulation in global scale is still in a grey status. In this case, the operation of PMC from
United States in Iraq, Blackwater, has lead to many violations upon civilian, but many cases
are being neglected due to the blurred line in determining which law that would be used as the
legal basis for the operation. By using Structure-Agency Theory, this paper aims to illuminate
how the common definition of PMC could determine which legal basis that can be used so that
have clear sanction for each violation done by Blackwater in Iraq. Therefore, PMC status has
a big role in determining for who they are stand for and to what extend is their rights and
responsibility.
Keywords : Blackwater, PMC, legal basis, status, United States, Iraq, regulation, violation

Pendahuluan

Sejak abad ke-21, Private Military Companies atau PMC mulai dipercaya oleh negara-
negara untuk melakukan operasi militer dalam isu internasional karena dianggap lebih efektif
dan efisien. Hal ini ditunjukan, oleh Amerika Serikat yang mempercayai PMC untuk beroperasi
di Irak dan Afghanistan untuk menyediakan keamanan pasukan atau utusan Amerika yang
beroperasi pada daerah tersebut. Pada 31 Maret 2011, tercatat lebih dari 28,000 personel PMC
beroperasi di Afghanistan dan Irak, mewakili 18% kontraktor yang diutus oleh Department of
Defense Amerika Serikat pada kedua negara tersebut. 1 Harapannya, operasi PMC yang
berlangsung di Afghanistan dan Irak tersebut dapat menjadi lebih efektif dan efisien dibanding
pasukan militer negar yang ada dengan kemampuan yang setara, membantu operasi militer

1
Moshe Schwartz, “The Department of Defense’s Use of Private Security Contractors in Afghanistan and Irak:
Background, Analysis, and Options for Congress”, Congressional Research Service,
https://fas.org/sgp/crs/natsec/R40835.pdf (diakses pada 12 Maret 2019)
yang sudah ada pada daerah operasi, serta lebih mudah untuk beradaptasi dengan perubahan
situasi yang terjadi di dunia internasional.

Namun di sisi lain, pemakaian jasa kontraktor atau PMC ini menghasilkan banyak
pelanggaran, terutama mengenai hak asasi manusia, yang membuat banyak pihak
mempertanyakan legitimasi penggunaan jasa PMC. Selain itu, hal ini juga menciptakan
pemikiran bahwa pengutusan PMC untuk isu internasional bukanlah tindakan yang tepat. Pada
tahun 2005, salah satu PMC Amerika yang beroperasi di Irak, Blackwater, dilaporkan memiliki
partisipasi dalam meningkatkan tensi konflik. Tercatat sedikitnya ada 195 insiden yang
melibatkan Blackwater, dan Blackwater merupakan pihak yang melakukan tembakan pertama
dari 80% jumlah tersebut. 2 Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana peran status PMC
Blackwater di Irak dapat menentukan hukum yang menjadi dasar bagi operasi mereka?

Pertanyaan tersebut muncul karena terdapat banyak pihak yang memiliki pandangan
bahwa pelanggaran-pelanggaran dapat terjadi karena tidak adanya ketentuan hukum yang jelas
untuk operasi Blackwater di Irak. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan peran status PMC
dalam menentukan basis yang meregulasi operasi Blackwater di Irak agar dapat menentukan
sanksi yang tepat untuk setiap pelanggaran yang dilakukan oleh Blackwater dalam operasinya
di Irak.

Kajian Literatur

Congressional Research Service menyatakan bahwa PMC dalam Irak beroperasi


dibawah tiga macam otoritas legal yang berbeda, yaitu Hukum Internasional-International Law
of Armed Conflict, Hukum Amerika Serikat, dan Hukum Irak. 3 Di bawah otoritas hukum
internasional, kontraktor dengan senjata merupakan warga sipil non-kombatan yang operasinya
berada di bawah kendali Amerika Serikat. Hukum Irak tidak memiliki jurisdiksi untuk
menuntut kontraktor atas operasi yang mereka lakukan terkait tugas mereka tanpa persetujuan
negara pengirim, namun hanya dapat memberikan tuntutan dengan menggunakan hukum
negara pengirim, yang pada kasus ini adalah Amerika Serikat.

2
Henry A. Waxman dkk, “Additional Information about Blackwater USA”, Congress of the United States:
Committee on Oversight and Government Reform,
https://web.archive.org/web/20080131113042if_/http://oversight.house.gov/documents/20071001121609.p
df, (diakses pada 8 Maret 2019)
3
Jennifer K. Elsea dkk, “Private Security Contractors in Irak: Background, Legal Status, and Other Issues”,
Congressional Research Service, https://fas.org/sgp/crs/natsec/RL32419.pdf (diaksess pada 8 Maret 2019)
Di sisi lain, Peter W. Singer percaya bahwa walaupun terdapat hukum yang menjadi
basis operasi Blackwater di Irak, hukum seperti Military Extraterritorial Jurisdiction Act
(MEJA) yang menjadi salah satu basis operasi Blackwater tetap tidak bisa dijadikan hukum
dasar yang dapat diterima oleh semua pihak. Singer mengatakan bahwa sejumlah kecil kasus
penuntutan memang berhasil menghasilkan efek jera yang kuat. Namun, terdapat banyak hal
praktis serta masalah hukum dengan banyak penuntutan pidana di pengadilan federal tentang
tindakan di zona perang yang akan membentuk perilaku perusahaan. 4 Kemudian, kondisi yang
terjadi di dalam Irak sendiri adalah hukum Irak yang tidak bisa diaplikasikan karena terblokir
oleh keberadaan dari Coalition Provision Authority (CPA) yang mengimunisasi kontraktor dari
sanksi yang akan menimpa mereka, walaupun pada akhirnya diakhiri oleh keberadaan Status
of Forces Agreement (SOFA) pada tahun 2009. 5 Namun pemblokiran ini ada pada saat
pelanggaran Blackwater terjadi (2003), membuat kontraktor yang melakukan pelanggaran
tidak bisa diadili oleh Irak sendiri. Hal ini membuat Peter W. Singer yang sudah melakukan
penelitian terhadap operasi PMC selama satu dekade beranggapan bahwa penggunaan PMC
pada akhirnya tidak muncul untul menolong dan mempermudah tugas pemerintah, namun
merugikan dan membahayakan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.6

Selain itu, Jeremy Scahill melihat walaupun 10.000 kontraktor sudah di utus ke Irak,
mereka tidak memiliki konsekuensi legal untuk setiap aksi mereka pada lima tahun pertamanya
di Irak. Hingga pada pertengahan 2008, tidak ada satu pun yang diadili atas pelanggaran
mereka di Irak, baik dari pengadilan Irak, maupun Amerika. 7 Selain itu, didalam bukunya,
Jeremy Scahill menyatakan bahwa pihak Amerika pun terus melakukan investigasi untuk
melihat potensi dan kesempatan untuk mengadili tindak pelanggaran-pelanggaran yang sudah
terjadi 8 membuatnya percaya bahwa kejadian-kejadian ini terjadi karena operasi yang
dilakukan oleh Blackwater berada di bawah basis legal yang masih buyar; tidak dapat dikatakan
hitam maupun putih.

4
Charles Tiefer, “No More Nisour Squares: Legal Control of Private Security Contractors in Irak and After”,
Oregon Law Review,
http://psm.du.edu/media/documents/reports_and_stats/journal_articles/reports_journal_author_t_tiefer_no
_more_nisour.pdf (diakses pada 12 Maret 2019)
5
Ibid.
6
Peter W. Singer, “The Dark Truth about Blackwater”, Brookings, https://www.brookings.edu/articles/the-
dark-truth-about-blackwater/ (diakses pada 13 Maret 2019)
7
Jeremy Scahill, “Blackwater-The Rise of The World’s Most Powerful Mercenary Army”, halaman 9
8
Ibid, halaman 35
Dari data serta pemikiran yang sudah disampaikan pada paragraf-paragraf sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hukum yang cukup kuat untuk menjadi basis operasi
Blackwater di Irak. Betul bahwa sudah ada basis legal untuk operasi tersebut, namun semua
basis legal yang dipunyai tidak berjalan secara beriringan. Bahkan beberapa diantaranya
bertentangan satu sama lain. Hal ini ditunjukan dengan Hukum Irak yang tidak dapat mengikat
kontraktor yang ada di dalam wilayahnya dikarenakan keberadaan hukum lain. Hal ini
membuat hukum tersebut tidak mampu melindungi masyarakatnya. Karenanya, akan jauh lebih
baik apabila ketika suatu operasi dilakukan pada negara tertentu, hukum negara tujuan harus
dapat menjamin keadilan untuk negaranya sendiri dari keberadaan pihak yang beroperasi.
Selain itu, untuk memberi hukuman atas dasar Hukum Amerika Serikat, dibutuhkan lebih dari
sekedar kehendak politik, namun juga tuduhan de facto dari seluruh sistem yang memiliki
tingkat probabilitas yang sangat kecil karena sangat mudah untuk dimanipulasi. Hal ini
dibuktikan dengan mudahnya pelanggaran yang dilakukan oleh kontraktor Blackwater
dijustifikasi dengan motif perlindungan diri.

Karena itu, untuk menjujung tujuan utama dari penggunaan PMC sebagai salah satu
utusan suatu negara dalam isu internasional (memberi keuntungan bagi pemerintah dalam segi
efektifitas, efesiensi, serta memberi perlindungan), dibutuhkan regulasi kuat yang dapat
diaplikasikan pada setiap kasus serta setiap negara, sehingga dapat terbentuk sebuah common
understanding bagi semua pihak. Tentunya hal ini juga diperlukan karena ada kecenderungan
penggunaan PMC yang semakin meningkat pada kemudian hari.

Kerangka Teori

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh status PMC dalam menentukan
regulasi bagi Blackwater dalam beroperasi. Dengan kata lain, target yang ingin dicapai adalah
terbentuknya analisa terhadap struktur dan status yang dapat membingkai tindakan Blackwater.
Berangkat dari tujuan tersebut, pendekatan konstruktivis diperlukan untuk menentukan logika
yang akan digunakan dalam meregulasi didasari oleh hukum internasional, definisi, serta status
yang diciptakan dengan membawa nilai subjektivitas individu dalam sebuah institusi. Selain
itu, pendekatan konstruktivis menyediakan bingkai teori untuk menganalisa pergeseran sudut
pandang yang diterima secara mentah dalam penggunaan Blackwater.

Stucture Agency Theory yang merupakan salah satu bagian dari teori konstruktivisme
mempunyai fokus pada bagaimana aktor yang menjadi tokoh utama dipengaruhi oleh struktur
dan agen yang berdinamika bersama. Ketika struktur yang ada dibentuk dan diproduksi
(kembali) dengan interaksi antar-agen sebagai basisnya, kerangka regulasi internasional
dibangun sebagai refleksi dari kumpulan individu yang memerintah. Karena itu, analisa ini
akan menggunakan kajian historis dan perkembangan institusi dalam kerangka legalitas dan
perubahan di dalam permasalahan politik di sekitar Blackwater. Sebagaimana Philip G. Cerny,
seorang profesor di Universitas Manchester, percaya bahwa struktur tidak akan ada tanpa
keberadaan sejarah, dan sejarah terjadi di dalamnya, serta memberikan reaksi balik.9

Selain itu, Cerny juga percaya bahwa untuk menganalisa bagaimana perilaku suatu
agen dalam struktur yang sudah ada dan mendeskripsikan kendala dari struktur tersebut,
10
penggunaan teori perubahan struktur menjadi sangat krusial. Teori Struktur Agen ini
dipercaya mampu dijadikan kerangka teori karena teori ini menganalisa bagaimana agen
berperilaku dalam konteks sosial serta mempertanyakan dan mendeskripsikan struktur implisit
dari kerangka yang dipercaya oleh agen tersebut memiliki posibilitas dan realistis. Terlebih,
karena hanya melihat kepada struktur yang ada tidak cukup untuk menganalisa kerangka untuk
Blackwater itu sendiri, teori ini juga mencoba menunjukan bagaimana Blackwater
mempengaruhi struktur yang ada. Karena setiap aksi memiliki konsekuensi terhadap struktur
sehingga menjadi memungkinkan apabila menggunakan teori ini untuk mendiskusikan
mengapa aksi dari PMC Blackwater dilihat berbeda dari pasukan militer dan mencoba mengerti
bagaimana ekspektasi mempengaruhi aksi dari Blackwater.

Analisa

1. Status Blackwater

Status setiap aktor merupakan hal yang sangat signifikan karena dapat menentukan hukum
yang mengikat aktor tersebut serta sanksi yang akan diberikan apabila aktor tersebut
melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, status Blackwater sering kali dipertanyakan,
apakah mereka termasuk sebagai kombatan, prajurit upahan, atau masyarakat sipil?

Mengacu pada Artikel 47 (2) Additional Protocol I to the Geneva Conventions 1977,
Prajurit upahan (mercenary) adalah individu yang direkrut baik secara nasional maupun
internasional untuk berjuang di konflik bersenjata. Artinya, para prajurit upahan akan terlibat
langsung dalam pertempuran dan bekerja dengan keuntungan, baik secara finansial maupun

9
Cerny, “The Changing Architecture of Politics – Structure, Agency, and the Future of the State”, halaman 27
10
Ibid, halaman xi
materi, sebagai tujuan utama.11 Namun, untuk menjadi kombatan, individu tidak bisa menjadi
bagian dari pasukan bersenjata dari pihak manapun di dalam konflik.12

Pada sisi lain, kombatan menurut Article 43 of the Additional Protocol I dan Aticle 4 of the
Geneva Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War adalahmereka yang
secara legal memiliki hak serta peran langsung pada pertempuran di konflik bersenjata.mereka
juga merupakan anggota dari militer atau relawan yang tergabung dalam pasukan, 13 sehingga
mempunyai pemimpin pasukan yang memberikan komando dan bisa membawa senjata secara
terang-terangan dalam area konflik. Pergerakan mereka pun mengacu kepada hukum yang ada.

Sedangkan masyarakat sipil merupakan individu yang tidak tergabung dalam Artikel 4A
dalam Konvensi Genevea ketiga dan Artikel 43 dalam Additional Protocol I.14 Mereka tidak
memiliki keterlibatan secara langsung dalam konflik, dan berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum agar tidak dilukai selama konflik berlangung.

Beberapa pihak percaya bahwa Blackwater tergolong sebagai prajurit upahan. Argumen
yang muncul adalah karena Blackwater merupakan perusahaan swasta, sehingga untuk
menggunakan jasa mereka, diperlukan upah yang sepadan. Bahkan Jeremy Scahill, seorang
penulis, investigator, dan pendiri berita online The Intercept, menulis buku yang berjudul “The
Rise of the World’s Most Powerful Mercenary Army”.15 Ia Blackwater merupakan perusahaan
swasta besar yang bergerak dalam bidang jasa militer dan keamanan, dengan Erik Prince
sebagai pimpinan perusahaan.

Hal ini menunjukan bahwa pandangan setiap orang dapat berbeda terhadap status aktor
tertentu, membuat status aktor tersebut berbeda di berbagai tempat. Dalam bukunya yang
berjudul “Thinking about Logistics – Increasing Reliance on Contractors on the Battlefield,
Air Force Journal of Logistics volume 28”, Blizzard S.M. , mengatakan bahwa permasalahan
terkait status legal para kontraktor muncul saat mereka mulai membawa senjata, walaupun
mereka disewa bukan sebagai kombatan.16 Dengan begitu, akan sangat sulit untuk menentukan

11
P.R. Kalidhass, “Determining the Status of Private Military Companies under International Law: A
Quest to Solve Accountability Issues in Armed Conflicts, Amsterdam Law Forum”,
amsterdamlawforum.org/article/download/337/505, (diakses pada 18 April 2019)
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Jeremy Scahill, “Blackwater-The Rise of The World’s Most Powerful Mercenary Army”
16
S.M. Blizzard, “Thinking about Logistics – Increasing Reliance on Contractors on the Battlefield, Air Force
Journal of Logistics volume 28”, 2004
sanksi yang diberikan kepada para kontraktor ini, Blizzard juga mengatakan bahwa saat
kombatan membunuh masyarakat sipil, mereka akan ditangkap dan dianggap sebagai tahanan
perang. Namun apabila non-kombatan yang membunuh, mereka akan ditangkap dan dianggap
sebagai criminal. 17 Hal-hal seperti ini membuat adanya kesenjangan dalam sistem legalitas
sehingga sulit untuk mengkategorikan subjek legal (Blackwater), dengan begitu muncul
pandangan buram terhadap subjek dan konsep yang berlaku.

Namun apabila melihat dari definisi yang ada, Blackwater patut untuk dikategorisasikan
sebagai kelompok kombatan. Pertama, karena mereka dikirim oleh suatu negara (Amerika
Serikat) untuk beroperasi di negara lain (Irak) dengan tujuan memenuhi kepentingan dari
Amerika Serikat itu sendiri. Selain itu, ada sekelompok orang yang memberi komando untuk
Blackwater dalam beroperasi, dengan tujuan membuat operasi Blackwater lebih terstruktur dan
teratur. Dengan dua fakta ini, Blackwater dapat dikategorikan sebagai kombatan.

2. Kesenjangan Hukum

Apabila status PMC (Blackwater) sudah ditentukan, langkah selanjutnya adalah melihat
dan menentukan hukum apa yang akan menjadi basis bagi operasi internasional Blackwater.
Dalam sejarahnya, dikatakan bahwa semua kekerasan yang terjadi diluar wilayah suatu negara
merupakan hal yang berada diluar perjanjian resmi yang ada dan tidak termasuk sebagai
kesalahan negara tersebut, sehingga yang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang
telah dilakukan adalah pihak yang melakukannya.18 Namun disisi lain, para individu maupun
kelompok yang melakukan kesalahan ini telah memberikan kontribusi untuk negara dalam
bentuk pekerjaan dan pajak yang telah dibayarkan, sebagai gantinya mereka akan menerima
perlindungan hukum dari negara tempat mereka bekerja, yang dalam konteks ini adalah negara
asal PMC (Blackwater). 19 Artinya, negara merupakan pihak yang berkewajiban untuk
mengatur dan menjamin ketertiban umum, baik di dalam negaranya serta di luar negaranya
(bersama negara lain) sehingga membentuk tatanan global. Perdebatan ini memunculkan
kesenjangan karena belum adanya regulasi yang menentukan pihak yang harus bertanggung
jawab untuk pelanggaran yang dilakukan oleh PMC. Permasalahan ini diperburuk dengan
adanya pernnyataan yang berasal dari UN Draft International Convention on the Regulation,

17
Ibid, halaman 24
18
J. Larkins, “Book Review: Mercenaries, Pirates, and Sovereigns: State-Building and Extraterritorial Violence in
Early Modern Europe, by Janice E. Thomson, Millennium – Journal of International Studies”, halaman 359
19
P.W. Singer, “Corporate Warriors: The Rise of the Privatized Military Industry”, 2003, Halaman 7
Oversight and Monitoring of Private Military and Security Companies. Dalam konvensi
tersebut dinyatakan bahwa Konvensi PBB tidak berlaku kepada perusahaan-perusahaan
internasional, namun konvensi ini mengharuskan negara untuk membuat dan memberlakukan
pertaturan terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki kontrak dengan pemerintah suatu
negara, terutama mereka yang beroperasi dalam skala internasional.

Namun pernyataan PBB ini juga memperjelas bahwa pihak negara lah yang menjadi aktor
kunci dan mempunyai tanggung jawab dalam penegakan hukum bagi PMC itu sendiri, Hal ini
menandakan, dalam kasus Blackwater, Amerika Serikat sebagai negara asal dari perusahaan
tersebut dan pihak yang menyewa jasa kontraktor adalah pihak yang bertanggung jawab atas
setiap kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan ini. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa
apabila diciptakan regulasi internasional terkait PMC, pihak negara asal perusahaan dapat
dikategorisasikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala operasi PMC dalam skala
global.

Argumen ini pun dapat diperkuat dengan melihat latar belakang dari setiap operasi
Blackwater yang telah dijalankan. Pemerintah Amerika Serikat merupakan pihak yang telah
memutuskan untuk menggunakan jasa dari Blackwater dalam operasinya di Irak. Apabila
Amerika Serikat tidak memutuskan hal tersebut, Blackwater sendiri pun tidak memiliki akses
dan hak untuk melakukan intervensi dan beroperasi dalam konflik yang terjadi di Irak. Karena
keputusan ini, banyak pihak yang memandang Blackwater yang beroperasi di Irak sebagai
bagian dan utusan dari Amerika Serikat. Dengan begitu, mengacu kepada Structure-Agency
Theory ditambah dengan melihat latar belakang yang ada, Blackwater perlu dilihat sebagai
salah satu aktor internasional (kombatan) dengan Amerika Serikat sebagai pihak yang
bertanggung jawab.

3. Pergeseran dalam Legalisasi Internasional

Legalisasi yang ada dalam skala Internasional seringkali mendeskripsikan PMC sebagai
prajurit upahan. Namun deskripsi yang ada ini sudah tidak dianggap relevan bagi banyak pihak
dikarenakan fakta yang ada. Sebagai contoh, UN Convention on Mercenarism 1989
sebelumnya dipakai untuk menjadi basis dari PMC itu sendiri. Namun hal ini bertentangan
dengan pernyataan yang mengatakan bahwa aktor yang dapat dikategorikan sebagai Mercenary
adalah mereka yang berkontribussi langsung dalam pertempuran namun tidak dikirim oleh
negara yang terlibat secara resmi dari pertempuran tersebut.20 Dalam kasus ini, Blackwater
merupakan PMC yang diutus oleh Amerika Serikat, sehingga deskripsi tersebut sudah
dianggap tidak valid. Dari keadaan ini dapat dilihat bahwa ada pergeseran dari legalisasi yang
ada di level internasional. Argumen ini dapat didukung dengan pernyataan dari artikel 8 UN
Draft Convention, yang menyatakan bahwa negara patut membedakan definisi dari prajurit
upahan dengan PMC itu sendiri, dan PMC tidak dapat disatukan dengan pasukan militer suatu
negara.21

Selain itu, aktivitas yang dilakukan oleh pekerja PMC di area operasi pun menjadi salah
satu faktor penting dalam menentukan status mereka dalam dunia internasional. Sebagai contoh,
pekerja PMC yang membawa senjata di area berkonflik dan memenuhi tugas militer, terlepas
dari status mereka sebelumnya, tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat sipil.22 Hal ini
menunjukan bahwa aksi para pekerja Blackwater selama bekerja pun penting untuk dijadikan
konsiderasi dalam menentukan status mereka sehingga dapat menentukan hukum yang bisa
dijadikan basis bagi operasi mereka.

Kesimpulan

Dari semua pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan hukum yang
diberlakukan untuk Blackwater di Irak disebabkan oleh begitu banyaknya perspektif yang
muncul dalam mendefinisikan PMC. Dengan begitu, terjadi kerancuan dalam menentukan
hukum yang dapat menjadi basis bagi operasi PMC, termasuk bagi Blackwater. Karenanya,
ada begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Blackwater dalam operasinya di Irak yang
sulit untuk diadili.

Untuk dapat mengadili setiap pelanggaran PMC, dibutuhkannya regulasi internasional


yang bisa diterima oleh semua pihak. Mengacu ke tujuan tersebut, Structure-Agency Theory
dipercaya mampu menganalisa pemberian status bagi PMC itu sendiri, karena teori ini
menganalisa pengertian PMC yang ada sekarang dengan melihat ke latar belakang serta
perspektif yang ada dari banyak pihak. Dalam melakukan analisa tersebut, hal pertama yang
dilakukan adalah melihat definisi dari prajurit upahan, kombatan, dan masyarakat sipil untuk
melihat kategorisasi yang cocok untuk PMC dengan membawa pula fakta dari PMC. Kemudian

20
UN Convention on Mercenarism, 1989
21
P.R. Kalidhass, “Determining the Status of Private Military Companies under International Law: A Quest to
Solve Accountability Issues in Armed Conflicts, Amsterdam Law Forum,
amsterdamlawforum.org/article/download/337/505, (diakses pada 18 April 2019)
22
Ibid.
dari fakta yang ada, PMC dapat di kategorisasikan sebagai kombatan. Dengan begitu kita bisa
membedakan hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki PMC sebagai aktor kombatan. Namun
hal ini juga perlu di dukung dengan adanya definisi serta penggolongan PMC dalam konvensi
internasional. Dengan begitu, sanksi yang dapat diberikan kepada PMC, terkhusus Blackwater
di Iraq, dapat ditentukan sesuai dengan statusnya di mata hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Scahill, Jeremy. Blackwater-The Rise of the World’s Most Powerful Mercenary Army,
Nation Books, 2007

Cerny, The Changing Architecture of Politics – Structure, Agency, and the Future of the
State, Sage Publication, 1990

Blizzard, S.M. Thinking about Logistics – Increasing Reliance on Contractors on the


Battlefield, Air Force Journal of Logistics volume 28, USAF, 2004

Larkins, J. Book Review: Mercenaries, Pirates, and Sovereigns: State-Building and


Extraterritorial Violence in Early Modern Europe, by Janice E. Thomson, Millennium –
Journal of International Studies, Princeton University Press, Princeton, 1995

Singer, P.W. Corporate Warriors: The Rise of the Privatized Military Industry, Cornell
University Press, 2003

Jurnal

Schwartz, Moshe. “The Department of Defense’s Use of Private Security Contractors in


Afghanistan and Iraq: Background, Analyses, and options for the Congress

Waxman, Henry A. “Additional Information about Blackwater USA”, Congress of the United
States

Elsea, Jennifer K. “Private Security Contractors in Iraq: Background, Legal Status, and Other
Issues”, Congressional Research Service

Kalidhass, P.R. Determining the Status of Private Military Companies under International
Law: A Quest to Solve Accountability Issues in Armed Conflicts, Amsterdam Law Forum,
Amsterdam Law Forum

UN Convention on Mercenarism, 1989

Website

Tiefer, Charles. “No More Nisour Squares: Legal Control of Private Security Contractors in
Iraq and After”,
http://psm.du.edu/media/documents/reports_and_stats/journal_articles/reports_journal_author
_t_tiefer_no_more_nisour.pdf (diakses pada 12 Maret 2019)

Singer, Peter W. “The Dark Truth about Blackwater”, Brookings,


https://www.brookings.edu/articles/the-dark-truth-about-blackwater/ (diakses pada 13 Maret
2019)

Anda mungkin juga menyukai