Anda di halaman 1dari 4

NPM : 6091801115

Kelas : Penulisan Akademik - A


Nomor Ujian : 022
Panel : 1 – Security

Pengaruh Regulasi Internasional untuk Operasi Blackwater di Irak

Pendahuluan

Sejak abad ke-21, Private Military Companies atau PMC mulai dipercaya oleh negara-
negara untuk melakukan operasi militer dalam isu internasional karena dianggap lebih efektif
dan efisien. Hal ini ditunjukan, oleh Amerika Serikat yang mempercayai PMC untuk beroperasi
di Irak dan Afghanistan untuk menyediakan keamanan pasukan atau utusan Amerika yang
beroperasi pada daerah tersebut. Pada 31 Maret 2011, tercatat lebih dari 28,000 personel PMC
beroperasi di Afghanistan dan Irak, mewakili 18% kontraktor yang diutus oleh Department of
Defense Amerika Serikat pada kedua negara tersebut. 1 Harapannya, operasi PMC yang
berlangsung di Afghanistan dan Irak tersebut dapat menjadi lebih efektif dan efisien dibanding
pasukan militer negar yang ada dengan kemampuan yang setara, membantu operasi militer
yang sudah ada pada daerah operasi, serta lebih mudah untuk beradaptasi dengan perubahan
situasi yang terjadi di dunia internasional.

Namun di sisi lain, pemakaian jasa kontraktor atau PMC ini menghasilkan banyak
pelanggaran, terutama mengenai hak asasi manusia, yang membuat banyak pihak
mempertanyakan legitimasi penggunaan jasa PMC. Selain itu, hal ini juga menciptakan
pemikiran bahwa pengutusan PMC untuk isu internasional bukanlah tindakan yang tepat. Pada
tahun 2005, salah satu PMC Amerika yang beroperasi di Irak, Blackwater, dilaporkan memiliki
partisipasi dalam meningkatkan tensi konflik. Tercatat sedikitnya ada 195 insiden yang
melibatkan Blackwater, dan Blackwater merupakan pihak yang melakukan tembakan pertama
dari 80% jumlah tersebut. 2 Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana regulasi konflik

1
Moshe Schwartz, “The Department of Defense’s Use of Private Security Contractors in Afghanistan and Irak:
Background, Analysis, and Options for Congress”, Congressional Research Service,
https://fas.org/sgp/crs/natsec/R40835.pdf (diakses pada 12 Maret 2019)
2
Henry A. Waxman dkk, “Additional Information about Blackwater USA”, Congress of the United States:
Committee on Oversight and Government Reform,
bersenjata internasional dibutuhkan dalam upaya mitigasi pelanggaran HAM oleh PMC
Blackwater di Irak?

Pertanyaan tersebut muncul karena terdapat banyak pihak yang memiliki pandangan
bahwa pelanggaran-pelanggaran dapat terjadi karena tidak adanya ketentuan hukum yang jelas
untuk operasi Blackwater di Irak. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan urgensi atas norma
dan peraturan yang tidak rancu untuk menjadi basis dalam meregulasi operasi Blackwater di
Irak agar dapat mencegah serta mengadili pelanggaran yang dapat terjadi lebih lanjut.

Kajian Literatur

Congressional Research Service menyatakan bahwa PMC dalam Irak beroperasi


dibawah tiga macam otoritas legal yang berbeda, yaitu Hukum Internasional-International Law
of Armed Conflict, Hukum Amerika Serikat, dan Hukum Irak. 3 Di bawah otoritas hukum
internasional, kontraktor dengan senjata merupakan warga sipil non-kombatan yang operasinya
berada di bawah kendali Amerika Serikat. Hukum Irak tidak memiliki jurisdiksi untuk
menuntut kontraktor atas operasi yang mereka lakukan terkait tugas mereka tanpa persetujuan
negara pengirim, namun hanya dapat memberikan tuntutan dengan menggunakan hukum
negara pengirim, yang pada kasus ini adalah Amerika Serikat.

Di sisi lain, Peter W. Singer percaya bahwa walaupun terdapat hukum yang menjadi
basis operasi Blackwater di Irak, hukum seperti Military Extraterritorial Jurisdiction Act
(MEJA) yang menjadi salah satu basis operasi Blackwater tetap tidak bisa dijadikan hukum
dasar yang dapat diterima oleh semua pihak. Singer mengatakan bahwa sejumlah kecil kasus
penuntutan memang berhasil menghasilkan efek jera yang kuat. Namun, terdapat banyak hal
praktis serta masalah hukum dengan banyak penuntutan pidana di pengadilan federal tentang
tindakan di zona perang yang akan membentuk perilaku perusahaan. 4 Kemudian, kondisi yang
terjadi di dalam Irak sendiri adalah hukum Irak yang tidak bisa diaplikasikan karena terblokir
oleh keberadaan dari Coalition Provision Authority (CPA) yang mengimunisasi kontraktor dari

https://web.archive.org/web/20080131113042if_/http://oversight.house.gov/documents/20071001121609.p
df, (diakses pada 8 Maret 2019)
3
Jennifer K. Elsea dkk, “Private Security Contractors in Irak: Background, Legal Status, and Other Issues”,
Congressional Research Service, https://fas.org/sgp/crs/natsec/RL32419.pdf (diaksess pada 8 Maret 2019)
4
Charles Tiefer, “No More Nisour Squares: Legal Control of Private Security Contractors in Irak and After”,
Oregon Law Review,
http://psm.du.edu/media/documents/reports_and_stats/journal_articles/reports_journal_author_t_tiefer_no
_more_nisour.pdf (diakses pada 12 Maret 2019)
sanksi yang akan menimpa mereka, walaupun pada akhirnya diakhiri oleh keberadaan Status
of Forces Agreement (SOFA) pada tahun 2009. 5 Namun pemblokiran ini ada pada saat
pelanggaran Blackwater terjadi (2003), membuat kontraktor yang melakukan pelanggaran
tidak bisa diadili oleh Irak sendiri. Hal ini membuat Peter W. Singer yang sudah melakukan
penelitian terhadap operasi PMC selama satu dekade beranggapan bahwa penggunaan PMC
pada akhirnya tidak muncul untul menolong dan mempermudah tugas pemerintah, namun
merugikan dan membahayakan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.6

Selain itu, Jeremy Scahill melihat walaupun 10.000 kontraktor sudah di utus ke Irak,
mereka tidak memiliki konsekuensi legal untuk setiap aksi mereka pada lima tahun pertamanya
di Irak. Hingga pada pertengahan 2008, tidak ada satu pun yang diadili atas pelanggaran
mereka di Irak, baik dari pengadilan Irak, maupun Amerika. 7 Selain itu, didalam bukunya,
Jeremy Scahill menyatakan bahwa pihak Amerika pun terus melakukan investigasi untuk
melihat potensi dan kesempatan untuk mengadili tindak pelanggaran-pelanggaran yang sudah
terjadi 8 membuatnya percaya bahwa kejadian-kejadian ini terjadi karena operasi yang
dilakukan oleh Blackwater berada di bawah basis legal yang masih buyar; tidak dapat dikatakan
hitam maupun putih.

Dari data serta pemikiran yang sudah disampaikan pada paragraf-paragraf sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hukum yang cukup kuat untuk menjadi basis operasi
Blackwater di Irak. Betul bahwa sudah ada basis legal untuk operasi tersebut, namun semua
basis legal yang dipunyai tidak berjalan secara beriringan. Bahkan beberapa diantaranya
bertentangan satu sama lain. Hal ini ditunjukan dengan Hukum Irak yang tidak dapat mengikat
kontraktor yang ada di dalam wilayahnya dikarenakan keberadaan hukum lain. Hal ini
membuat hukum tersebut tidak mampu melindungi masyarakatnya. Karenanya, akan jauh lebih
baik apabila ketika suatu operasi dilakukan pada negara tertentu, hukum negara tujuan harus
dapat menjamin keadilan untuk negaranya sendiri dari keberadaan pihak yang beroperasi.
Selain itu, untuk memberi hukuman atas dasar Hukum Amerika Serikat, dibutuhkan lebih dari
sekedar kehendak politik, namun juga tuduhan de facto dari seluruh sistem yang memiliki
tingkat probabilitas yang sangat kecil karena sangat mudah untuk dimanipulasi. Hal ini

5
Ibid.
6
Peter W. Singer, “The Dark Truth about Blackwater”, Brookings, https://www.brookings.edu/articles/the-
dark-truth-about-blackwater/ (diakses pada 13 Maret 2019)
7
Jeremy Scahill, “Blackwater-The Rise of The World’s Most Powerful Mercenary Army”, halaman 9
8
Ibid, halaman 35
dibuktikan dengan mudahnya pelanggaran yang dilakukan oleh kontraktor Blackwater
dijustifikasi dengan motif perlindungan diri.

Karena itu, untuk menjujung tujuan utama dari penggunaan PMC sebagai salah satu
utusan suatu negara dalam isu internasional (memberi keuntungan bagi pemerintah dalam segi
efektifitas, efesiensi, serta memberi perlindungan), dibutuhkan regulasi kuat yang dapat
diaplikasikan pada setiap kasus serta setiap negara, sehingga dapat terbentuk sebuah common
understanding bagi semua pihak. Tentunya hal ini juga diperlukan karena ada kecenderungan
penggunaan PMC yang semakin meningkat pada kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai