5. Faktor yang memperberat penurunan kesadaran pada skenario?
Tujuan utama protocol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya
kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat berfungsi normal kembali. Namun, bila suasananya dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka bisa menyebabkan kematian. Sehingga perlu diwaspadai factor- faktor yang dapat memperberat kondisi penurunan kesadaran pada pasien, diantaranya:
1. Hipotensi (penurunan tekanan darah)
Semua pasien koma karena cedera otak harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di Unit Gawat Darurat. Segera setelah tekanan darah dinormalkan, pemeriksaan neurologis dapat dilakukan (GCS dan refleks pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa >100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya dengan pemeriksaan neurologis menjadi prioritas kedua. Pada kasus seperti itu, dilakukan DPL atau ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk laparatomi. CT scan kepala dilakukan setelah laparatomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu massa intracranial maka dilakukan burr hole diagnostic atau kraniotomi di kamar operasi sementara laparatomi sedang berlangsung. Bila tekanan darah systole >100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intracranial (pupil anisokor, hemiparesis) maka prioritas utama adalah CT scan kepala. DPL dapat dilakukan di UGD, ruang CT scan atau kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda. Hipotensi menurunkan tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemia jaringan dan infark otak. Keadaan ini sangat berbahaya pada tekanan intracranial yang meningkat. 2. Hipoksia Pada kasus cedera kepala terdapat mekanisme patologis yang mengakibatkan perburukan kondisi otak yakni hipoksia otak. Jika telah terjadi keadaan ini, maka respon yang terjadi adalah pembengkakan (edema) otak sehingga hipoksia semakin memburuk dan pada akhirnya menimbulkan kerusakan otak sekunder. Akibat lebih fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetative yang persisten (persisten vegetative state/ PVS) atau kematian. PVS terjadi karena masih adanya reflex batang otak tetapi hilangnya sebagian besar reflek korteks. 3. Hipoventilasi dan hipoksemia Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya secondary brain damage sehingga perlu dicegah. Dari berbagai gangguan sistemik hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipoksia arteri biasanya dijumpai pada waktu penderita masuk rumah sakit dan biasanya karena periode apnea yang berkepanjangan. Pada saat kejadian terjadi pergeseran dan perubahan bentuk otak, bergesernya batang otak mengakibatkan kehilangan kesadaran karena bagian vital ini juga mengendalikan pernafasan maka terjadi hipoventilasi dengan apnea yang berkepanjangan yang berakibat hipoksemia, hiperkarbia dan dapat pula terjadi atelectasis. Hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas yaitu neuronal loss yang akan memicu atopi korteks pada pasien. 4. Peningkatan Tekanan Intrakranial Peningkatan tekanan intracranial menyebabkan trauma sekunder oleh karena iskemia atau penekanan langsung bagian-bagian vital otak (herniasi otak). Herniasi otak selanjutnya dapat memperberat iskemia dengan adanya penekanan pada pembuluh darah arteri. Kerusakan iskemik pada otak cenderung fokal, tetapi jika peningkatan TIK terjadi terus menerus maka akan memicu terjadinya penurunan aliran darah serebral, sehingga selanjutnya akan terjadi kerusakan otak yang luas. 5. Peningkatan suhu tubuh Kerusakan bagian otak pada pasien cedera kepala dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh sangat umum terjadi pada pasien dengan cedera kepala diakibatkan karena adanya gangguan pada set point di hipotalamus. Selain itu, peningkatan suhu pada pasien cedera kepala juga bisa disebabkan oleh inflamasi otak, kerusakan hipotalamus secara langsung atau infeksi sekunder. Pasien cedera kepala yang mengalami peningkatan suhu tubuh dapat mengalami perburukan yaitu resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan pasien dengan suhu tubuh normal. Pasien cedera kepala dengan peningkatan suhu tubuh memiliki tekanan intracranial yang lebih tinggi dan angka mortalitas 78% serta hari rawat yang lebih lama dibandingkan dengan pasien normothermia. 6. Hiperglikemia Upaya mempertahankan kadar gula atau memberikan gula untuk mencapai tingkat dibawah 200 mg/dl direkomendasikan saat iskemia otak mungkin dapat terjadi. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. 7. Hyponatremia Hyponatremia pasca cedera kepala sering disebabkan karena sekresi antidiuretic hormone (ADH) berlebih sehingga terjadi hypovolemia akibat restriksi cairan karena perdarahan atau cedera lain. Sekresi ADH berlebih sesuai untuk kondisi hypovolemia tetapi tidak sesuai dengan kondisi hyponatremia. Restriksi cairan dapat memperburuk kondisi dengan terus meningkatkan produksi ADH. Hyponatremia yang tidak terkoreksi dapat memicu penurunan kesadaran disertai kejang. Hyponatremia juga dapat terjadi karena kelebihan penggunaan solusi dekstrosa tanpa pemberian suplementasi sodium. 8. Hiperkapni Hiperkapni menyebabkan peningkatan volume dan aliran darah serebral dengan menyebabkan vasodilatasi serebral. Pada penurunan regulasi intracranial, hiperkapni menyebabkan peningkatan TIK secara signifikan dan penuruan perfusi serebral. Pada keadaan penurunan aliran darah dan hantaran oksigen , hiperkapni menyebabkan peningkatan aliran darah serebral.
Referensi:
1) Moppet K I. Traumatic Brain Injury: Assesment, Resuscitation and Early
Management. BJA. 2007. 2) Marik PE, Varon J, Trask T. Management of Head Trauma. CHEST. 2002. 3) American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support (ATLS). Edisi 8. Jakarta: IKABI. 2015.