Stockholm
Stockholm
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
Bab I PENDAHULUAN
Bab II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan 13
3.2 Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Konvensi stockholm tentang pencemar organik menetap atau stockholm convention on persistent
organic pollutants (POPs) adalah sebuah perjanjian internasional yang diprakarsai oleh The Govening
Council Of The United Nations Envirinment Prpogramme (UNEP) sebagai usaha utama dalam menyikapi
dan mewaspadai POPs sekaligus untuk meningkatkan taraf kesehatan manusia dan lingkungan.
Indonesia sebagai salah satu partisipan dalam penandatanganan konvensi tersebut memandang perlu
untuk melakukan ratifikasi stockholm ke dalam aturan perundangan nasional indonesia. Dengan adanya
suatu ratifikasi konvensi tetrsebut diharapkan akan menjadi slaah satu bagian dari pengikat dalam
penegakan perlindungan bagi lingkungan dan sekaligus perlindungan bagi masyarakat dan generasi
selanjutnya.
1.3.6 Untuk mengetahui apakah Indonesia berkomitmen atau tidak terhadap stockholm convention.
BAB II
PEMBAHASAN
Isu lingkungan sebagai isu kontemporer dalam ilmu hubungan internasional ada sejak setelah masa
Perang Dunia II.Pada masa tersebut masalah lingkungan meningkat secara signifikan, namun fokus isu
lingkungan masih dalam konteks kesepakatan saja. Kemudian pada tahun 1972 dibentuklah konferensi
tingkat internasional yakni Stockholm Conference oleh United Nations Conference on Human
Environment (UNCHE) sebagai respon atas munculnya permasalahan polusi dan isu lingkungan lainnya.
Konferensi ini merupakan awal mula munculnya isu lingkungan yang melembaga dan telah memiliki
prinsip-prinsip serta menyadari pentingnya peran negara dalam merespon permasalahan lingkungan.
Dalam Stockholm Convention ini isu lingkungan yang dibahas adalah tentang permasalahan polusi dan
isu lingkungan lainnya, khususnya Persistent Organic Pollutants (POPs).
Deklarasi Stockholm 1972 yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada dasarnya
mengandung 26 prinsip/kaidah yang dapat dikategorikan menjadi beberapa topik utama. Diantaranya
yaitu hak asasi manusia ,pengelolaan sumber daya manusia, hubungan antara pembangunan dan
lingkungan, kebijakan perencanaan pembangunan dan demografi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
tanggung jawab negara, kepatuhan terhadap standar lingkungan nasional dan semangat kerjasama
antar negara, dan ancaman senjata nuklir terhadap lingkungan.
Konvensi Stockholm bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan
POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta mengelola
timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan.karena Dalam beberapa dekade terakhir ini
masyarakat dunia telah secara luas mengembangkan 100.000 bahan kimia sintetis yang digunakan untuk
mengendalikan penyakit, meningkatkan produksi pangan, dan memberikan kenyamanan dalam
kehidupan sehari-hari. Angka tersebut belum termasuk pertambahan sekitar 1.500 bahan kimia baru
setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan perubahan pola perilaku ekonomi
berbasis karbohidrat (carbohydrate-based economy) ke arah pola perilaku ekonomi berbasis bahan
kimia (chemical-based economy)
3. Kapasitas Bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbaharui harus dilestarikan
5. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus dibagi dan tidak dihabiskan
6. Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami
10.Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola lingkungan
21.Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh membahayakan orang lain
Ungkapan ini menyadarkan banyak orang, bahwa kita memang berasal dari Negara yang berbeda, dari
bangsa yang berbeda, namun sejatinya kita tetap berada dalam satu rumah, yaitu Bumi. Maka dari itu,
tidak ada alasan lagi bagi umat manusia untuk tidak bersama sama menjaga keberaaan rumahnya agar
tidak runtuh, karena pada saat rumah tersebut runtuh, seluruh penghuni akan merasakan dampaknya
tanpa terkecuali.
Dalam hal itulah konferensi tersebut dilakukan. Persoalan lingkungan semakin menjadi
problematis. Disatu pihak terdapat masyarakat yang sejahtera dengan negaranya yang maju, dipihak
lain, terdapat masyarakat yang terbelakang yang masih berada dalam jurang kemiskinan. Konferensi
Stockholm membahas soal lingkungan melalui tiga komisi, yaitu : Komisi I menangani Hukum Settlement
dari Aspek Edukasi serta Informasi; Komisi II menangani masalah Penglolaan Sumber-sumber Alam,
Lingkungan dan pembangunan; Komisi III menangani masalah Organisasi, Identifikasi dan Pengendalian
Polutan.
Pada konferensi tersebut, hadir sekitar 113 perwakilan Negara, termasuk Indonesia, 21 organisasi PBB,
16 organisasi antar pemerintah, dan sejumlah 258 LSM (NGO’s) dari berbagai Negara. Konferensi ini
menandai sebuah langkah awal perhatian dunia terhadap persoalan lingkungan yang ternyata muncul
akibat dari ‘hobby’ Negara-negara pada saat itu, yaitu pembangunan.
Selain buku laporan berjudul One Earth, beberapa hal yang dihasilkan dalam konferensi tersebut adalah
resolusi khusus ditetapkannya tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia; 109 Rekomendasi
sebagai bagian dari Action Plan (Rencana Aksi Lingkungan); Deklarasi Stockholm yang mengandung 26
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup; dan sebuah kata kunci yang menandai adanya titik temu
antara pembangunan dan lingkungan yaitu Ecological Development.
Dalam Deklarasi Stockholm tercermin dua hal penting yaitu, pertama, upaya umat manusia dalam
mencapai taraf hidup yang lebih baik sebagai bagian dari pembangunan (development); kedua, sumber-
sumber alam dikelola dengan bijak dan arif melalui system yang direncanakan secara cermat. Artinya,
umat manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama,bebas,dan memiliki kesempatan yang sama pula,
umat manusia memiliki kewajiban untuk melestarikan dan melidungi mutu lingkungan hidup guna
kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat sekarang dan yang akan dating.
Ecological Development yang dihadirkan sebagai kata kunci dalam konferensi tersebut, diharapkan
mampu menjadi dasar bagi segala pendekatan baik yang bersifat global maupun regional dan nasional,
makro maupun mikro, teknik dan non-teknis, yang meliputi aspek ekonomi, kesejahteraan social,
kelestarian lingkungan serta kebudayaan. Di Indonesia, kata kunci Ecological Development ini lebih
dikenal dengan istilah Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa langkah untuk
memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan menerbitkan Undang-Undang No.
4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang
kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(“UU 23/1997”).
UU 4/1982 dan UU 23/1997 pada dasarnya memuat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sama
dengan Deklarasi Stockholm 1972, misalnya kewenangan negara, hak dan kewajiban masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan konsep lainnnya. Hal ini dapat dilihat dari pasal yang tercantum
dalam UU 23/1997, yaitu Pasal 4 yang berbunyi:
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas
berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.”
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai ha katas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan asas-asas yang tercantum
dalam Deklarasi Stockholm 1972.
Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten (POPs) merupakan komitmen
global untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari POPs dan menyerukan negara para
pihak untuk mengambil langkah-langkah guna mengurangi atau menghilangkan lepasan POPs ke dalam
lingkungan.
Indonesia sebagai salah satu negara pihak merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen tinggi
untuk membatasi dan menghapuskan penggunaan, produksi, impor, ekspor pencemar organik yang
persisten atau persistent organic pollutants (POPs). Selain itu pemerintah Indonesia juga menghentikan
emisi dari timbunan bahan dan limbah POPs. Saat itu Menteri Lingkungan Hidup Prof Bathasar
Kambuaya menyatakan bahwa pengesahan dan peluncuran dokumen Rencana Penerapan Nasional atau
National Implementation Plan (NIP) untuk Konvensi Stockholm tentang Pencemar Organik yang
Persisten atau Persistent Organic Pollutants (POPs) ini merupakan salah satu bentuk komitmen tersebut.
Sebagai salah satu negara para pihak Konvensi Stockholm yang telah meratifikasi konvensi tersebut
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun tentang Pengesahan Stockholm
Convention On Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang Bahan Pencemar Organik
Yang Persisten), Indonesia berkewajiban:
a) Melarang dan/atau menghapuskan produksi dan penggunaan, serta impor dan ekspor POPs
yang diproduksi secara sengaja
b) Membatasi produksi dan peggunaan, serta impor dan ekspor POPs yang dihasilkan secara tak
sengaja
c) Mengurangi atau menghapuskan pelepasan dari POPs yang dihasilkan secara tak sengaja
d) Memastikan bahwa timbunan bahan (stockpiles) dan limbah yang terdiri atas atau mengandung
POPs, dikelola dengan aman dan dengan cara yang ramah lingkungan
e) Ketetapan lain dari Konvensi yang berkait dengan pengembangan rencana pelaksanaan,
pertukaran informasi, informasi, penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat, penelitian,
pengembangan dan pemantauan, bantuan teknis, sumber dan mekanisme pembiayaan, pelaporan,
keefektifan evaluasi, dan ketidaktaatan.
Sebagai bagian untuk memenuhi kewajiban konvensi tersebut, Indonesia telah menyusun dokumen NIP
pada tahun 2008 untuk 12 POPs orisinal yaitu:
Berdasarkan Konferensi Para Pihak ke-4 pada tahun 2009, terdapat penambahan sembilan bahan POPs
baru dalam Lampiran Konvensi yaitu:
•Pestisida: chlordecone, alpha-hexachlorocyclohexane, beta-hexachlorocyclohexane, lindane,
pentachlorobenzene (PeCB);
Konferesi Para Pihak ke-5 pada tahun 2011 menambahkan satu pestisida yaitu technical endosulfan dan
isomer-isomernya ke dalam Lampiran Konvensi. Selanjutnya Konferensi Para Pihak ke-6 pada tahun
2013 memutuskan untuk menambahkan satu bahan kimia industry, yaitu hexabromocyclododecane
(HBCD) ke dalam Lampiran Konvensi dengan pengecualian dengan waktu terbatas untuk produksi dan
penggunaan dalam insulasi expanded polystyrene (EPS) dan extruded polystyrene (XPS) pada bangunan.
Sebagai implikasi dari penambahan bahan-bahan kimia POPs diatas, Indonesia berkewajiban untuk
melakukan penelaahan dan pemutakhiran Rencana Pelaksanaan Nasional (National Implementation
Plan, NIP). Dokumen ini merupakan hasil telaahan dan pemutakhiran NIP sebelumnya dengan
memasukkan POPs baru sebagai rujukan untuk pengelolaan POPs di Indonesia. Berkaitan dengan
pengelolaan POPs di Indonesia, pada dasarnya seluruh daur hidup sebagian bahan kimia POPs ini sudah
diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti keberadaannya, impor, penggunaan, lepasan dan
nasib di lingkungan, limbah mengandung POPs, sampai remediasi lahan tercemar. Namun, belum
seluruh bahan kimia POPs tercakup dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti PFOS,
PBDEs (mencakup : tetrabromodiphenyl ethers dan pentabromodiphenyl ethers (commercial penta-
BDEs), hexabromodiphenyl ethers dan heptabromodiphenyl ethers (commercialocta-BDEs)), termasuk
hexabromocyclododecanes (HBCDs) yang telah dimasukkan dalam daftar POPs baru pada Konferensi
Para Pihak ke-6 tahun 2013.
Instrumen penegakan hukum terkait POPs, seperti pengawas dan penyidik juga telah tersedia di
Indonesia, yakni melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Pestisida yang juga telah
mengatur tentang sanksi, baik sanksi pidana badan (penjara) maupun pidana denda. Demikian juga,
pemantauan bahan kimia POPs juga sudah diatur pada berbagai peraturan, meskipun belum mencakup
seluruh bahan kimia POPs.
Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa langkah untuk
memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan menerbitkan Undang-Undang No.
4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang
kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(“UU 23/1997”).
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Konvensi stockholm tentang pencemar organik menetap atau stockholm convention on persistent
organic pollutants (POPs) adalah sebuah perjanjian internasional yang diprakarsai oleh The Govening
Council Of The United Nations Envirinment Prpogramme (UNEP) sebagai usaha utama dalam menyikapi
dan mewaspadai POPs sekaligus untuk meningkatkan taraf kesehatan manusia dan lingkungan.
Diantaranya yaitu hak asasi manusia ,pengelolaan sumber daya manusia, hubungan antara
pembangunan dan lingkungan, kebijakan perencanaan pembangunan dan demografi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, tanggung jawab negara, kepatuhan terhadap standar lingkungan nasional dan semangat
kerjasama antar negara, dan ancaman senjata nuklir terhadap lingkungan. Hasil dari perundingan
stockholm convention memiliki 26 poin-poin mengenai isu lingkungan.\
3.2 saran
Penerapan dari hasil stockholm convention di Indonesia maupun di beberapa negara masih perlu
adanya evaluasi dan perbaikan demi terselenggaranya kehidupan bernegara yang lebih baik lagi.
Pembuatan makalah stockholm convention memerlukan banyak sumber yang mendukung. Banyak
sumber yang mencantumkan perbedaan pendapat, namun masih dalam pokok yang sama, maka
diperlukan kecermatan dalam memilah materi bagi penulis.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/4692/bab%20iii.pdf?sequence=4&isAllowed=
y#page=3&zoom=auto,-99,768
https://www.zonareferensi.com/deklarasi-stockholm-1972/
Nancy K. Kubasek - Gary S. Silverman, Environmental Law (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall)
Penelaahan dan Pemutakhiran Rencana Penerapan Nasional untuk Konvensi Stockholm tentang Bahan
Pencemar Organik yang Persisten (Persistent Organic Pollutant,POPs)di Indonesia. REPUBLIK INDONESIA,
2014