Anda di halaman 1dari 19

SERTIFIKASI HALAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah GMP

Disusun oleh :
HENDRIK SEPTIADI
11161191
3 FA 4

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG


2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
1.3. Tujuan ...........................................................................................
BAB 2. PEMBAHASAN .................................................................................
2.1. SERTIFIKASI HALAL ................................................................
2.2. SEDIAAN FARMASI .................................................................
2.3. TITIK KRITIS KEHALALAN.....................................................
BAB 3. PENUTUPAN....................................................................................
3.1. KESIMPULAN ............................................................................
3.2. SARAN ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat. Jumlah
populasi muslim telah mencapai seperempat dari total populasi dunia dan diperkirakan
akan meningkat 30% di tahun 2025 (Roberts 2010). Kondisi ini mendorong banyak
negara mulai mengembangkan paradigma baru yang memberikan perhatian terhadap
halal product, halal treat, dan sistem syariah. Hal ini menjadikan produk bersertifikat
halal memiliki peluang pasar yang besar. Potensi pasar pangan halal global dapat tumbuh
hingga 500 miliar USD di tahun 2010 (Dagha dalam Salman dan Siddiqui 2011). Jumlah
pemeluk agama Islam juga terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan kemajuan teknologi yang juga turut andil dalam mendistribusikan berita
dan informasi mengenai umat Muslim kepada masyarakat yang masih memeluk agama
lain. Pangan merupakan kebutuhan primer yang menunjang aktifitas fisik manusia.
Makanan tidak saja berfungsi sebagai pemasok tenaga, ia juga sebagai sumber pengatur
dan pelindung tubuh terhadap penyakit, dan sumber pembangun tubuh, baik untuk
pertumbuhan atau perbaikan tubuh. Melalui makanan yang mengandung kalori dan gizi
tubuh manusia dapat bertahan dengan baik.
Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara
sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi oleh perusahaan telah
memenuhi ketentuan halal atau tidak. Kemudian hasil dari kegiatan sertifikasi halal
adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi
ketentuan sebagai produk halal. Di Indonesia lembaga yang berwenang melaksanakan
Sertifikasi Halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani
oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM). Sertifikat
Halal MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat
untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi
pemerintah yang berwenang (MUI, 2001).
Sikap pemerintah terhadap label halal juga penting karena meskipun negara
Indonesia memiliki penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam, sikap pemerintah
yang positif terhadap labelisasi halal dapat menimbulkan kenyamanan dan keamanan
masyarakat untuk mengonsumsi produk halal di Indonesia tanpa merasa was-was.
Keadaan saat ini, masyarakat di Indonesia dikelilingi penduduk dengan mayoritas
pemeluk Islam, mereka merasa nyaman dan aman karena lingkungan masyarakat terbiasa
menyediakan makanan atau minuman yang halal untuk dijual bebas. Namun hal ini tidak
bertahan demikian secara terus menerus. Dampak dari globalisasi kemudian
menghadirkan banyaknya produk dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Kerap kali
produk yang masuk ke Indonesia belum memiliki label halal, namun sudah
diperdagangkan secara bebas padahal mengkonsumsi produk pangan bukan hanya halal
tetapi juga thayyib (baik).
Berdasarkan uraian kondisi dan permasalahan diatas, maka penulis menganggap
perlu dilakukannya pembahasan mengenai sertifikat halal yang kemudian dituliskan ke
dalam makalah ‘Sertifikasi Halal’ ini

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Apakah diperlukan adanya sertifikasi halal di Indonesia?
2. Apakah BPJPH itu sendiri?
3. Bagaimana proses pembuatan sertifikat halal oleh LPPOM-MUI dan oleh BPJPH?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mengetahui pentingnya sertifikasi halal di Indonesia
2. Mengetahui lembaga BPJPH dan LPPOM-MUI
3. Mengetahui proses pembuatan sertifikasi halal menurut LPPOM-MUI dan BPJPH
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Sertifikasi Halal
2.1.1 Produk Halal
a. Definisi
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa
genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh
masyarakat (UU JPH, No 33/2014, Pasal 1).
Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan
Syariat Islam. Status kehalalan suatu produk dinyatakan dalam bentuk
Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kewajiban bersertifikat halal untuk semua produk yang beredar dan
diperdagangkan di Indonesia akan dilaksanakan lima tahun setelah
diundangkannya UU JPH (tahun 2019).

b. Syarat Kehalalan Produk


Yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi
kehalalan sesuai syariat Islam, yaitu:
- Tidak mengandung babi atau produk – produk turunannya serta tidak
menggunakan alcohol sebagai bahan dengan sengaja
- Daging dari hewan halal yang disembelih menurut syariat Islam
- Minuman yang tidak beralkohol
- Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, dan pengelolaan
tidak digunakan untuk babi atau barang haram lainnya. Semuanya harus
lebih dahulu dibersihkan (disucikan) dengan tata cara menurtu syari’at
islam.
2.1.2 Sertifikasi Halal
a. Definisi Sertifikat Halal
Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuaidengan syariat Islam. Di dalamnya
tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan
syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk
pangan, obat-obatan, dan kosmetika.
Sertifikat halal MUI diberikan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-
obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagai lembaga otonom bentukan
MUI yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan
apakah produk-produk baik pangan dan turunannya,obat-obatan dan
kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari segi kesehatan dan dari sisi
agama Islam yakni halal atau baik dikonsumsi umat Muslim khususnya di
wilayah Indonesia, selain itu juga memberikan rekomendasi,merumuskan
ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.

b. Sejarah Sertifikasi Halal


- 1998, Prof. Dr. Tri Susanto, M.App.,Sc (Universitas Brawijaya)
menemukan produk turunan dari babi seperti gelatin, lemak babi dalam
makanan dan minuman
- Problem nasional, penjualan produk mengalami penurunan 20 – 30%
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan LPPOM MUI. Partisipasi
pelaku usaha melakukan sertifikasi halal dilakukan secara sukarela
- 2001, Skandal Ajinomoto

c. Manfaat Sertikat Halal


Sertifikat halal dapat digunakan untuk pembuatan label bagi produk
yang bersangkutan dengan mengikuti prosedur Departemen Kesehatan. Selain
itu pemegang sertifikat halal LPPOM MUI bertanggung jawab memelihara
kehalalan produk yang diproduksinya dan sertifikat tidak dapat dipindah
tangankan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada sertifikasi halal yang telah
diberikan adalah:
- Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya termasuk
fotokopinya tidak
- Jika sertifikat hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LPPOM-
MUI.
- Sertifikat halal yang dikeluarkan LPPOM-MUI adalah milik LPPOM-
MUI
- Jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh LPPOM MUI, pemegang
sertifikat wajib menyerahkannya.
2.1.3. LPPOM-MUI
a. Definisi LPPOM-MUI
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia atau yang disebut LPPOM MUI adalah lembaga yang
bertugas kuat untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah
produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan
produk kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari
sisi pengajaran agama Islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi
bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan
rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada layanan
masyarakat.
Lembaga ini didirikan atas keputusan mendukung Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berdasarkan surat keputusan perizinan nomor
018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6
Januari1989.

b. Prosedur Sertifikasi Halal Berdasarkan LPPOM-MUI


Produsen yang menginginkan sertifikat halal mendaftarkan ke sekretariat
LPPOM MUI Jawa Timur dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Industri Pengolahan
 Produsen harus mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi di lokasi
yang sama dan/atau yang memiliki merek/brand yang sama.
 Produsen harus mendaftarkan seluruh lokasi produksi termasuk maklon
dan pabrik pengemasan
 Ketentuan untuk tempat maklon harus dilakukan di perusahaan yang
sudah mempunyai produk bersertifikat halal atau yang bersedia
disertifikasi halal
2. Restoran dan Katering
 Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh menu yang dijual
termasuk produk-produk titipan, kue ulang tahun serta menu musiman.
 Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh gerai, dapur serta
gudang.
3. Rumah Potong Hewan
Produsen harus mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan yang
berada dalam satu perusahaan yang sama
Langkah – langkah prosedur pendaftaran sertifikasi halal produk baru:
1. Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi
produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut
berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-
bahan yang digunakan
2. Formulir yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya dikembalikan ke
sekretariat LPPOM MUI Jawa Timur untuk diperiksa kelengkapannya, dan
bila belum memadai perusahaan harus melengkapi sesuai dengan ketentuan.
3. Jika sudah lengkap biaya akan ditentukan dan perusahaan akan menerima
pemberitahuan biaya Sertifikasi Halal. Biaya tersebut diluar akomodasi,
transportasi dan konsumsi auditor LPPOM MUI Jawa Timur. Akomodasi,
transportasi dan konsumsi auditor ditanggung oleh perusahaan.
4. Setelah pembayaran biaya Sertifikasi Halal, LPPOM MUI Jawa Timur akan
memberitahukan perusahaan mengenai jadwal audit. Tim Auditor LPPOM
MUI Jawa Timur akan melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen dan
pada saat audit, perusahaan harus dalam keadaan memproduksi produk yang
disertifikasi.
5. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan) dievaluasi
dalam Rapat Gabungan Komisi Fatwa dan Auditor LPPOM MUI Jatim.
6. Sidang Komisi Fatwa MUI ini dapat menolak laporan hasil audit jika
dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, dan
hasilnya akan disampaikan kepada produsen pemohon sertifikasi halal melalui
Memo Sidang Komisi Fatwa MUI dan Auditor LPPOM MUI Jawa Timur.
7. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan
status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
8. Sertifikat Halal berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan fatwa.
9. Tiga bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir, produsen harus
mengajukan perpanjangan sertifikat halal sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan LPPOM MUI.

2.1.4. BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)


a. Definisi BPJPH
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya
disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan JPH (DPR RI, Jaminan Produk Halal. Pasal 1).
Penyelenggaraan JPH berdasarkan:
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Kepastian hokum;
d. Efektivitas dan efisiensi; dan
e. Profesionalitas. (DPR RI, Jaminan Produk Halal. Pasal 2)
Penyelenggaraan JPH bertujuan:
a. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan produk; dan
b. Meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan
menjual produk halal (DPR RI, Jaminan Produk Halal. Pasal 3)

b. Wewenang BPJPH
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
3. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk;
4. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri;
5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal;
6. Melakukan akreditasi terhadap LPH;
7. Melakukan registrasi auditor halal;
8. Melakukan pengawasan terhadap JPH;
9. Melakukan pembinaan auditor halal; dan
10. Melakukan kerjasama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH.

c. Proses Sertifikasi Halal Menurut BPJPH


Penyiapan Sertifikasi Halal:
1. Menyiapkan dokumen: Organisasi, Tim Manajemen Halal dan Penyelia
Halal terlatih, Bahan-bahan, Produk, Prosedur, Suplier, Bangunan,
Fasilitas : produksi, kontrol, penyimpanan, SOP semua kegiatan, dll.
2. Menyusun Sistem Manajemen Halal.
3. Pendaftaran Sertifikasi Halal: langsung atau on line.
4. Menerima Visitasi dan Audit dari LPH yang ditunjuk BP JPH.
Pentahapan Sertifikasi Halal:
1. Sediaan Farmasi beragam klasifikasi dan fungsi.
2. Sesuai dengan pasal 67 ayat 2, maka sertfikasi obat diusulkan dilakukan
secara bertahap dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan dan fungsi
obat sesuai klasifikasinya .
3. Obat-obat yang bersifat live saving, tapi bahan haramnya belum bisa
digantikan dengan yang halal maka diusulkan tetap iproduksi dengan
catatan khusus sesuai aturan.
2.1.5. Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)
1. Sertifikasi Auditor Halal
2. Penetapan Fatwa Kehalalan Produk
3. Akreditasi LPH

2.2.1. Sediaan Farmasi


a. Definisi Sediaan Farmasi
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik
(UU RI No 36 tahun 2009, Kesehatan). Obat adalah bahan atau paduan bahan-
bahan termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat
maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar
dan mutu sebagai bahan baku farmasi (UU Kesehatan).
Sediaan Farmasi (pharmaceutical dosage forms) adalah bentuk produk
farmasi hasil manufaktur suatu formulasi obat seperti tablet, kapsul, suspensi,
larutan, salep, krim, supositoria, ovula, dll. Komposisi Sediaan Farmasi
diantaranya:
a. Bahan Aktif Farmasi
Bahan Aktif Farmasi (Active Pharmaceutical Ingredient)
adalah zat atau bahan yang digunakan dalam pembuatan sediaan
farmasi yang memberikan aktivitas farmakologi pada sediaan farmasi
tersebut, atau zat yang memberikan aktivitas farmakologi atau efek
langsung pada diagnosis, penyembuhan, mitigasi, pengobatan atau
pencegahan suatu penyakit atau yang mempengaruhi struktur dan
fungsi tubuh.
b. Eksipien (Bahan tambahan)
Bahan Eksipien adalah bahan-bahan selain bahan aktif farmasi
yang terdapat dalam sediaan farmasi dan telah dievaluasi keamanannya
yang digunakan dalam suatu sistem penghantaran obat untuk:
 Membantu dalam proses manufaktur sediaan farmasi.
 Melindungi, mendukung atau meningkatkan stabilitas, ketersediaan
hayati atau keberterimaan pasien.
 Membantu dalam identifikasi sediaan farmasi
 Meningkatkan sifat keamanan dan keefektifan sediaan selama
penyimpanan atau penggunaan.
Penggolongan BTP yang diijinkan digunakan dalam pangan
Menurut Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88/ adalah
sebagai berikut:
 Pewarna
 Pemanis buatan
 Pengawet
 Antioksida
 Penyedap rasa dan aroma
 Pengatur keasaman
 Pemutih dan pematang tepung
 Pengemulsi
 Pengeras
 Sekuestran
b. Jenis Eksipien Farmasetik
 Bahan Pengasam
 Bahan Pengeras
 Bahan Pembasa
 Bahan Pemanis
 Bahan Penjerap
 Bahan Pensuspensi
 Propelan Aerosol
 Bahan Penghancur Tablet
 Bahan Pengawet
 Bahan Perekat Tablet
 Antioksidan
 Bahan Pengisi Tablet
 Bahan Pendapar
 Bahan Penyalut
 Bahan Pengkhelat
 Bahan Pelincir Tablet
 Bahan Pengemulsi
 Bahan Pelumas
 Bahan Pewarna
 Bahan Pengkilap
 Bahan Perisa
 Bahan Pengisotoni larutan
 Bahan Pelembab
 Pelarut/Pembawa
 Bahan Pelembut
 Bahan Enkapsulasi
 Bahan dasar Salep
 Pengganti Udara

c. Fatwa MUI No: 30 Tahun 2013 Tentang Obat dan Pengobatan


1. Islam mensyariatkan pengobatan karena bagian dari perlindungan dan
perawatan kesehatan yang merupakan bagian dari menjaga al-Dharuriyat Al-
Khamsah.
2. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan, wajib menggunakan metode yang tidak
melanggar Syariat.
3. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan, wajib menggunakan
bahan yang suci dan halal.
4. Penggunaan bahan najis dan haram dalam obat-obatan, hukumnya haram
5. Penggunaan obat yang berbahan najis dan haram untuk pengobatan hukumnya
haram, kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dharurat) yaitu kondisi yang
apabila tidak dilakukan dapat menancam jiwa manusia, atau kondisi
keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat, yaitu kondisi
keterdesakan yang apabila tidak dilaksanakan maka akan dapat
mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.
b. Belum diketemukan bahan yang halal dan suci,
c. Adanya rekomendasi dari para tenaga medis yang kompeten dan
terpercaya bahwa tidak ada obat yang halal.
Alasan Keberatan Sertifikasi Halal Untuk Obat
1. Karena sekitar 96% bahan baku obat diimport dari luar negeri (Tiongkok,
Korea, India dan USA), maka akan mendapatkan kesulitan dalam
mendapatkan Sertifikat Halal.
2. Penekanan pada kriteria untuk obat yang aman, berkhasiat dan bermutu
sudah menjamin keefektifan dalam pengobatan.
3. Penambahan kriteria kehalalan tidak akan meningkatkan keamanan,
khasiat dan mutu obat.
4. Penambahan kriteria kehalalan, akan meningkatkan biaya produksi yang
akhirnya akan meningkatkan harga obat.
5. Proses sertifikasi halal untuk obat memakan waktu lama, dapat
menyebabkan kekosongan persediaan obat yang dibutuhkan dan akibatnya
akan mengancam kesehatan dan keselamatan pasien.
6. Kewajiban untuk melakukan pemisahan fasilitas dan peralatan
manufakturing antara obat halal dan obat haram, akan menimbulkan
penambahan biaya yang signifikan.
7. Penggantian salah satu komponen dalam formulasi (terutama sediaan
Biofarmasetika), akan berdampak pada proses produksi, karena harus
melakukan pengulangan uji stabilitas, uji kinerja sediaan, uji klinik dan
revalidasi proses.

2.2.5. Pedoman Produksi Obat Halal


Pedoman Produksi Obat Halal secara khusus belum ada (masih
menggunakan SISTEM JAMINAN HALAL/HAS 23000-MUI). Pedoman
tersebut seharusnya dibuat dan dikembangkan melalui suatu konsensus oleh suatu
Komite yang dibentuk BP JPH, yang terdiri atas produser, user, konsumen,
regulator nasional di bidang Farmasi, Kementerian terkait dan BP JPH. Pedoman
harus terkait dan dapat mengadopsi sebagian atau seluruhnya pedoman produksi
obat halal internasional yang sudah berlaku. Pedoman harus kompatibel dengan
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Pedoman Umum Produksi Obat Halal


1. Semua bahan yang digunakan dalam produksi (bahan aktif, eksipien,
bahan tambahan, bahan penolong dan bahan kemasan) tidak berasal atau
turunan dari bahan haram.
2. Bahan atau produk obat tidak bercampur atau terkontaminasi dengan
bahan haram atau najis yang berasal dari bahan tambahan, bahan penolong
dan dari fasilitas produksi.
3. Fasilitas produksi, penyimpanan dan transportasi bahan tidak bercampur
dengan bahan yang haram dan najis.
4. Bahan yang berasal dari khewan harus berasal dari khewan halal yang
disembelih dengan cara yang sesuai dengan syariah Islam.
5. Bahan yang berasal dari mikroba harus berasal dari mikroba yang medium
pertumbuhannya tidak mengandung bahan yang berasal dari babi atau
turunannya. Jika berasal dari bahan haram dan najis yang bukan babi,
maka harus dilakukan pensucian yang sesuai syariah (tathhir syar’an).
6. Bahan yang berasal dari mikroba rekombinan tidak boleh menggunakan
gen yang berasal dari gen babi atau manusia.
7. Bahan yang berasal dari bahan haram bukan babi, dapat digunakan jika
dihasilkan dari proses transformasi kimiawi dan biotransformasi
menggunakan enzim atau mikroba (proses Istihalah).
8. Bila menggunakan etanol, maka tidak berasal dari alkohol produksi
industri khamr (minuman beralkohol). Kadar alkohol pada produk akhir
tidak membahayakan pemakai atau lingkungan sesuai dengan
pertimbangan dari akhlinya.
9. Bahan padat yang berasal dari hasil samping industri khamr boleh
digunakan asal telah dilakukan pemisahan dan pensucian. Sedangkan
bahan padatnya boleh digunakan setelah dilakukan proses transformasi
kimiawi atau biotransformasi.
10. Fasilitas produksi hanya digunakan untuk produksi bahan atau produk
halal saja , yang dilengkapi dengan cara pencegahan kontaminasi bahan
yang haram.

2.3 Titik Kritis Kehalalan

2.3.1 Titik Kritis Kehalalan


a. Definisi Titik Kritis Kehalalan
Titik kritis atau titik kontrol kehalalan (HCP= Halal Critical/Control
Point) produk adalah suatu tahapan dalam proses pengolahan atau produksi yang
dapat diduga menggunakan atau dapat terkontaminasi bahan-bahan haram. Titik
kritis kehalalan dapat ditentukan dari sumber bahan, alur proses produksi bahan
atau produk olahannya.
b. Sumber Asal Bahan dalam Obat
Bahan-bahan yang digunakan dalam obat meliputi bahan aktif,
bahan eksipien dan bahan pengemas dapat berasal dari:
1. Tumbuhan
2. Hewan
3. Mineral
4. Mikroorganisme
5. Laboratorium (Sintesis kimia, semi sintesis dan rekayasa genetik).

Sumber dari sintesis kimia dan semi sintesis merupakan yang


paling banyak menghasilkan bahan yang digunakan dalam produksi bahan
obat. Bahan yang diharamkan meliputi (UU JPH, Pasal 18):
a. Bangkai;
b. Darah;
c. Babi; dan/atau
d. Hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
e. Bahan selain di atas yang ditetapkan oleh ketetatapan Menteri Agama
berdasarkan atas fatwa MUI.

a. TITIK KRITIS KEHALALAN PRODUKSI OBAT


 Bahan aktif , bahan eksipien dan bahan penolong yang digunakan harus halal.
 Fasilitas produksi hanya digunakan untuk produk halal saja.
 Tidak ada peluang tercampur dan terkontaminasi dengan bahan yang haram
dari bahan tambahan, bahan penolong atau dari fasilitas yang digunakan.
 Bahan pengemas yang digunakan harus halal.
 Pencucian dan pensucian peralatan harus sesuai syariat.
 Proses akan diaudit langsung oleh Auditor halal untuk menetapkan
kehalalannya.

JENIS SEDIAAN TITIK KRITIS BAHAN ATAU


PROSES
Aerosol Bahan aktif, surfaktan dan pelarut
Sirup Bahan aktif, bahan pengental, pemanis,
pelarut, etanol
Eliksir Bahan aktif, bahan pelarut (etanol,
gliserol, dll)
Emulsi Bahan aktif, minyak/lemak, surfaktan dan
pengawet
Suspensi Bahan aktif, bahan pensuspensi, pengawet
dan pengental
Lotio Bahan aktif, sama dengan emulsi dan
suspensi
Injeksi Bahan aktif, titik kritis larutan, emulsa,
suspensi dan serbuk
Salep Bahan aktif, minyak/lemak, surfaktan,
pengawet
Larutan Sejati Bahan aktif, pelarut, perisa, pewarna dan
pemanis
Obat tetes (mata, hidung, dan Bahan aktif, sama seperti pada larutan,
telinga) emulsi, dan suspensi
Serbuk Bahan aktif, bahan pengisi, perisa,
pewarna dan pemanis
Tablet dan kapsul Bahan aktif, bahan pengisi, bahan
pengikat, lubrikan, asam lemak, penyalut,
pemanis, etanol, pewarna, cangkang
kapsul gelatin
Suppositoria Bahan aktif, sumber gelatin, gliserin,
surfaktan
Gel Bahan aktif, kosolven, surfaktan,
humektan, minyak, pengawet
Krim Bahan aktif minyak, malam, asam lemak,
kosolven, surfaktan, pengawet, pewarna,
pewangi.

2.3.2 Sistem Manajemen Halal


Sistem manajemen halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi yang
disusun, diterapkan dan dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi,
produk, sumber daya manusia dan prosedur dalam menjaga kesinambungan
proses produksi halal sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Dikenal
Sistem Jaminan Halal (SJH) yang tertera di dalam Halal Assurance System (HAS)
23000 (LPPOM MUI) dan Sistem Manajemen Halal ISO 99001:2016 (BSN) serta
General guidelines for Halal Pharmaceutical MS 2424.2012 (Malaysia)

Perbedaan system manajemen halal


No. SJH/HAS 23000 SMH ISO 99001 MS 2424.2012
1 Kebijakan halal Organisasi Quality Management
2 Tim Manajemen Halal kepemimpinan Responsibility
3 Training dan Edukasi Perencanaan Halal Assurance System
4 Bahan Dukungan Dukungan Halal Pharma in
GMP
5 Produk Operasional Halal Qualty Control
6 Fasiltas Evaluasi Kerja Personal & Training
7 Prosedur Kritis Peningkatan Premise &
Equipment
8 Ketertelusuran Materials
9 Penanganan tidak Production Process
Halal
10 Audit Internal Production &
Storage Areas
11 Kaji ulang manajemen Documentation

Yang terlibat dalam sertifikasi halal adalah:


1. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BP JPH).
2. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dengan Auditor Halal (yang sudah
operasional adalah LPPOM-MUI).
3. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan status kehalalan obat
melalui sidang komisi fatwa.
4. Industri Farmasi dengan Penyelia Halal (yang mendaftarkannya ke BPJPH).
5. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) dan Kementerian
Kesehatan RI.
6. Pihak lain yang terkait
Bab 3
PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN
1. Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuaidengan syariat Islam. Di dalamnya
tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat
Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan,
obat-obatan, dan kosmetika.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH
adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan JPH
3. Titik kritis atau titik kontrol kehalalan (HCP= Halal Critical/Control Point)
produk adalah suatu tahapan dalam proses pengolahan atau produksi yang dapat
diduga menggunakan atau dapat terkontaminasi bahan-bahan haram. Titik kritis
kehalalan dapat ditentukan dari sumber bahan, alur proses produksi bahan atau
produk olahannya
3.2 SARAN
Makanan dan minuman tidak dapat sembarangan di produksi dan di konsumsi.
Sebaiknya harus di pastikan terlebih dahulu apakah makanan itu halal ataukah haram.
Saran agar masyarakat tidak mengkonsumsi makanan haram yaitu;menindak lanjuti
produsen yang produksi makanan haram

1. memberi sanksi terhadap orang yang mengkonsumsi makanan dan minuman haram
2. memberi label halal terhadap yang halal,dan tidak member label halal terhadap yang
haram.
3. lebih berhati-hati dalam memilih ataupun mengkonsumsi produk pangan.
DAFTAR PUSTAKA
hasan, s. (2014).sertifikasi halal dalam hukum positif, regulasi dan implementasinya di
indonesia.yogyakarta: aswaja pressindo.hidayat.
Asep syarifuddin; siradj, mustolih;. (2015, july 2). sertifikasi halal dan sertifikasi non halal
padaproduk pangan industry.
sikap manusia terhadap perubahan serta pengukurannya. jakarta: ghalila indonesia.
ramlan; nahrowi;. (2014, january 01). sertifikasi halal sebagai penerapan etika bisnis islami
dalam upayaperlindungan bagi konsumen muslim. ahkam, XIV, 147.
ramlan; nahrowi;. (2014, january 1). sertifikasi halal sebagai penerapan etika bisnis islami dalam
upayaperlindungan bagi konsumen muslim. ahkam, XIV , 150-151.

Anda mungkin juga menyukai