Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Gaster

2.1.1 Anatomi gaster

(Netter, 2006)

Gambar 2.1
Anatomi gaster manusia

Gaster adalah rongga seperti kantong berbentuk J yang terletak

di antara esofagus dan usus halus. Organ ini dibagi menjadi tiga

bagian berdasarkan perbedaan struktur dan fungsi yaitu: fundus,

korpus, dan antrum. Fundus adalah bagian lambung yang terletak di

atas lubang esofagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah

korpus. Antrum adalah bagian lapisan otot yang lebih tebal di bagian

bawah lambung (Sherwood, 2014).

5
6

2.1.2 Fisiologi Gaster

Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrien,

air, dan elektrolit dari makanan yang kita telan ke dalam lingkungan

internal tubuh. Sistem pencernaan melakukan empat proses

pencernaan dasar yaitu: motilitas, sekresi, digesti, dan absorpsi

(Guyton, 2014).

Ketika tidak ada makanan, mukosa lambung berbentuk lipatan

yang besar, disebut rugae, dapat dilihat dengan mata telanjang. Pada

saat terisi makanan, rugae menghilang dengan lancar seperti alat

musik akordion dimainkan. Mukosa lambung terdiri dari tiga sel

sekresi: sel chief, sel parietal, dan sel mukus. Sel chief menyekresi

enzim pepsinogen, sel parietal menyekresi asam klorida yang

mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin, dan sel mukus menyekresi

mukus untuk melindungi gaster (Rizzo, 2016).

Gaster bekerja dengan memperkecil partikel makanan menjadi

larutan yang dikenal dengan nama kimus. Kimus tersebut

mengandung fragmen molekul protein dan polisakarida, butiran

lemak, garam, air, dan berbagai molekul kecil lain yang masuk

bersama makanan. Tidak ada ada molekul-molekul tersebut yang

dapat melewati epitel gaster kecuali air. Absorpsi paling banyak

terjadi di usus halus (Widmaier, Raff, dan Strang, 2014).

Faktor di lambung yang memengaruhi laju pengosongan gaster

yaitu volume kimus dan derajat fluiditas. Faktor di duodenum yang

memengaruhi laju pengosongan lambung antara lain:


7

a. Respon saraf melalui pleksus saraf intrinsik dan saraf autonom.

b. Respon hormon dikenal dengan enterogastron yang dibawa darah

dari mukosa usus halus ke gaster tempat mereka menghambat

kontraksi antrum. Enterogastron tersebut yang penting adalah

sekretin (dihasilkan sel S) dan kolesistokinin (dihasilkan sel I).

c. Lemak paling efektif dalam memperlambat pengosongan lambung

karena lemak memiliki nilai kalori yang tinggi. Selain itu,

pencernaan dan penyerapan lemak hanya berlangsung di usus

halus. Trigliserida sangat merangsang duodenum untuk melepaskan

kolesistokinin (CCK). Hormon ini menghambat kontraksi antrum

dan menginduksi kontraksi sfingter pilorus, yang keduanya

memperlambat pengosongan lambung.

d. Asam dari kimus yang di dalamnya terdapat HCl dinetralkan oleh

natrium bikarbonat di dalam lumen duodenum. Asam yang belum

dinetralkan akan menginduksi pelepasan sekretin, yaitu suatu

hormon yang akan memperlambat pengosongan lebih lanjut isi

gaster yang asam hingga netralisasi selesai.

e. Hipertonisitas. Pengosongan gaster secara refleks jika osmolaritas

isi duodenum mulai meningkat.

f. Peregangan. Kimus yang terlalu banyak di duodenum akan

menghambat pengosongan isi lambung (Costanzo, 2018).

Emosi juga dapat memengaruhi motilitas lambung. Meskipun

tidak berhubungan dengan pencernaan, emosi dapat mengubah

motilitas lambung dengan bekerja melalui saraf autonom untuk


8

memengaruhi derajat eksitasbilitas oto polos lambung. Efek emosi

pada motilitas lambung barvariasi dari orang ke orang lain dan tidak

selalu dapat diperkirakan, rasa sedih dan takut umumnya mengurangi

motilitas, sedangkan kemarahan dan agresi cenderung

meningkatkannya. Selain emosi, nyeri hebat dari bagian tubuh

manapun cenderung menghambat motilitas, tidak hanya di lambung

tetapi di seluruh saluran cerna. Respon ini ditimbulkan oleh

peningkatan aktivitas simpatis (Guyton, 2014).

2.2 Gastritis

2.2.1 Definisi

Gastritis atau dikenal dengan sakit maag merupakan peradangan

(pembengkakan) dari mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor

iritasi dan infeksi. Bahaya penyakit gastritis jika dibiarkan terus

menerus akan merusak fungsi lambung dan dapat meningkatkan risiko

untuk terkena kanker lambung hingga menyebabkan kematian.

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa keluhan sakit pada penyakit

gastritis paling banyak ditemui akibat dari gastritis fungsional, yaitu

mencapai 70-80% dari seluruh kasus. Gastritis fungsional merupakan

sakit yang bukan disebabkan oleh gangguan pada organ lambung

melainkan lebih sering dipicu oleh pola makan yang kurang sesuai,

faktor psikis dan kecemasan (Saydam, 2011).

Gastritis adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa

lambung, dapat bersifat akut, kronik difus atau lokal, dengan

gambaran klinis seperti anoreksia, perasaan penuh di perut, tidak


9

nyaman pada epigastrium, mual, dan muntah (Suratun SKM, 2010).

Gastritis adalah peradangan permukaan mukosa lambung yang akut

dengan kerusakan-kerusakan erosi. Erosi karena perlukaan hanya pada

bagian mukosa (Inayah, 2004). Gastritis adalah inflamasi mukosa

lambung sering akibat diet yang sembarangan. Biasanya individu

ini makan terlalu banyak, terlalu cepat, makan-makanan yang

berbumbu atau mengandung mikroorganisme penyebab penyakit

(Smeltzer, 2006).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah

suatu peradangan yang terjadi pada mukosa lambung yang disebabkan

oleh faktor iritasi, infeksi dan ketidakteraturan dalam pola makan

yang menimbulkan kerusakan pada bagian mukosa lambung yang

dapat muncul gejala berupa ketidaknyamanan pada perut, mual,

muntah, dan anoreksia.

2.2.2 Etiologi

Penyebab gastritis dibedakan atas zat internal dan zat eksternal.

Zat internal yaitu adanya kondisi yang memicu pengeluaran asam

lambung yang berlebihan, dan zat eksternal adalah iritasi dan infeksi.

Gastritis biasanya terjadi ketika mekanisme perlindungan dalam

lambung mulai berkurang sehingga menimbulkan inflamasi.

Kerusakan ini ini bisa disebabkan oleh gangguan kerja fungsi

lambung, gangguan struktur anatomi yang bisa berupa luka atau

tumor, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi alkohol atau kopi

yang berlebih, gangguan stres, merokok, pemakaian obat penghilang


10

nyeri dalam jangka panjang dan secara terus menerus, stres fisik,

infeksi bakteri Helicobacter pylori (Sarasvati dkk, 2010).

Helicobacter pylori merupakan penyebab utama penyakit

gastritis. gastritis yang dipicu bakteri ini bisa menjadi gastritis

menahun karena Helicobacter pylori dapat hidup dalam waktu yang

lama dilambung manusia dan memiliki kemampuan mengubah

kondisi lingkungan yang sesuai dengan lingkungannya sehingga

Helicobacter pylori akan mengiritasi mukosa lambung serta

menimbulkan rasa nyeri di sekitar epigastrium. Menurut penelitian

Damayanti (2015), ekspresi H pylori dapat ditemukan pada gastritis

kronis(84,6%), bahwa H pylori berperan dalam pathogenesis gastritis

kronik, atrofi, metaplasia intestinal, displasia dan meningkatkan resiko

terjadinya karsinoma gaster. Faktor risiko dari infeksi Helicobacter

pylori diantaranya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) rendah,

tingkat pengetahuan rendah, anggota keluarga yang terinfeksi, status

sosioekonomi rendah, kekurangan air bersih, tempat tinggal kumuh,

pemeliharaan makanan buruk, dan akses pelayanan kesehatan yang

buruk (Zamani M et al, 2017). Peningkatan prevalensi Helicobacter

pylori juga dikaitkan dengan peningkatan konsumsi makanan dari

pedagang kaki lima yang mendukung kemungkinan terjadinya

peularan yaitu penyiapan makanan dalam kondisi yang tidak bersih

(Yvonne dan Rob de Jonge, 2011).

Makan yang terlalu cepat dan terlalu banyak dapat menginduksi

penyakit saluran pencernaan seperti gastritis. Pada orang-orang yang


11

makan dengan cepat cenderung merasa tidak terlalu kenyang daripada

orang yang makan dengan lambat sehingga mereka cenderung makan

lebih banyak. Prevalensi penyakit saluran pencernaan dengan lesi

pada mukosa seperti gastritis relatif lebih tinggi pada orang dengan

Body Mass Index (BMI) yang tinggi. Makan dengan jumlah banyak

juga mempengaruhi prevalensi gastritis. Hal tersebut terjadi karena

makanan dengan jumlah banyak tetap tinggal di gaster lebih lama,

sehingga durasi mukosa gaster terpapar asam lambung lebih lama.

Pada orang dengan durasi makan yang cepat (<5 menit dan 5-10

menit) menunjukkan risiko yang lebih tinggi menderita gastritis

daripada mereka yang makan dengan waktu lebih lama (≥15 menit)

(Kim MK et al, 2015).

Merokok dapat merusak lapisan mukosa lambung karena asap

rokok dipercaya menghalangi produksi zat prostaglandin tubuh, zat ini

merupakan pelindung lambung dari serangan asam lambung dan

pepsin sehingga perut peka terhadap radang lambung seperti ulkus dan

jika berlanjut bisa menyebabkan karsinoma (Yuliarti, 2009).

Gastritis biasa diawali dengan kebiasaan yang tidak baik

seperti tidak sarapan pagi. Sarapan bagi anak remaja sangatlah

penting, karena saat sekolah adalah penuh aktivitas yang

membutuhkan energi dan kalori yang cukup besar. Dampak

negatif dari tidak sarapan pagi dapat terjadi ketidakseimbangan

sistem saraf pusat yang diikuti rasa pusing, gemetar, atau rasa

lelah. Hal ini juga dapat memicu terjadinya gastritis karena


12

selama tidur 12 jam tubuh puasa sepanjang malam, dan di pagi

hari berada dalam tahap pertama merasa lapar sehingga lambung

yang masih dalam tahap kelaparan dapat meningkatkan kadar asam

lambung naik sehingga dapat memicu terjadinya gastritis (Riani,

2015).

Gastritis umumnya terjadi akibat asam lambung yang tinggi atau

terlalu banyak makan makanan yang bersifat merangsang diantaranya

makanan yang pedas dan asam. Gastritis dapat disebabkan pula dari

hasil makanan yang tidak cocok. Makanan tertentu yang dapat

menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih mentah,

daging mentah, kari, dan makanan yang banyak mengandung krim

atau mentega (Iskandar, 2016).

Kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan dan

senyawa kimia, termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam

nabati yang disebut dengan fenol, vitamin dan mineral. Kopi diketahui

merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga

menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi

mukosa lambung. Kafein di dalam kopi dapat mempercepat proses

terbentuknya asam lambung. Hal ini membuat produksi gas dalam

lambung berlebih sehingga sering mengeluhkan sensasi kembung di

perut (Selviana, 2015).

Menurut Brunner & Suddarth (2002) Penyebab timbulnya

gastritis diantaranya :
13

1) Konsumsi obat-obatan kimia digitalis (Asetamenofen/Aspirin,

steroid kortikosteroid). Asetamenofen dan kortikosteroid dapat

mengakibatkan iritasi pada mukosa lambung. NSAID (Non

Steroid Anti Inflamation Drugs) dan kortikosteroid menghambat

sintesis prostaglandin, sehingga sekresi HCL meningkat dan

menyebabkan suasana lambung menjadi sangat asam dan

menimbulkan iritasi mukosa lambung.

2) Konsumsi alkohol dapat menyebabkan kerusakan mukosa lambung.

3) Terapi radiasi, refluk empedu, zat-zat korosif (cuka dan

lada) dapat menyebabkan kerusakan mukosa gaster dan

menimbulkan edema serta pendarahan.

4) Kondisi stres atau tertekan merangsang peningkatan produksi

HCL lambung.

5) Infeksi oleh bakteri, seperti Helicobakter pylori, Esobericia Coli,

Salmonella, dan lain-lain.

6) Jamur dari spesies Candida, seperti Histoplasma capsulaptum dapat

menginfeksi mukosa gaster hanya pada pasien

immunocompromais. Pada pasien yang sistem imunnya baik,

biasanya tidak dapat terinfeksi oleh jamur. Sama dengan

jamur, mukosa lambung bukan tempat yang mudah terkena

infeksi parasit.

2.2.3 Manifestasi klinis

Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan

biasanya berupa keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-
14

hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai

mual kadang-kadang sampai muntah (Hirlan, 2009).

Gastritis merupakan gangguan yang paling sering ditemui diklinik

karena diagnosisnya hanya berdasarkan gejala klinis. Penyakit ini sering

dijumpai timbul secara mendadak yang biasanya ditandai dengan rasa mual

dan muntah, nyeri, perdarahan, rasa lemah, nafsu makan menurun, atau sakit

kepala (Hariwijaya dan Sutanto, 2007).

Manifestasi klinis gastritis dapat bervariasi dari keluhan abdomen

yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, mual, nyeri epigastrum,

muntah, perdarahan dan hematemesis. Pada beberapa kasus, bila gejala-

gejala menetap dan resisten terhadap pengobatan, maka diperlukan tindakan

diagnostik tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa, dan analisa cairan

lambung untuk memperjelas diagnosis (William dan wilkins, 2010) .

2.2.4 Diagnosis

Gastritis merupakan diagnosis histologik. Prasyaratnya terdiri atas

biopsi dua antrum, masing-masing diambil pada 3 cm bagian proksimal

sfingter pilori dari kurvatura mayor dan minor dan dua biopsi dari korpus

gaster dekat kurvatura mayor. Diagnosis tersebut sangat sering dilakukan

pada abad ke-19 tetapi belakangan ini berkembang menjadi diagnosis klinis

untuk menggambarkan keluhan di abdomen bagian atas. Sistem Sydney

terbaru merupakan sistem klasifikasi dan tingkatan klasik untuk

mendiagnosis gastritis. Sistem tersebut pertama kali diperkenalkan pada


15

tahun 1990 dan direvisi pada tahun 1994. Sebelum 1990, tidak ada standar

untuk mendiagnosis gastritis (Michael, 2014).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan

histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sistematis sesuai dengan

update Sydney System yang mengharuskan mencantumkan topografi.

Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-

erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-

perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering

juga dapat menggambarkan proses yang mendasari, misalnya auotimun atau

respon adaptif mukosa lambung. Perubahan-perubahan yang terjadi berupa

degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamasi sel

mononuklear, folikel limfoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel

endokrin, kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga

menyertakan pemeriksaan kuman Helicobacter pylori (Hirlan, 2009).

2.2.5 Patofisiologi

Absorpsi makanan dari lambung langsung ke dalam darah normalnya

sangat rendah. Derajat absorpsi yang rendah ini terutama disebabkan oleh

dua gambaran yang spesifik dari mukosa lambung:

a. Lambung dilapisi oleh sel-sel mukosa yang sangat resisten, yang

menyekresi mukus yang sangat kental dan lengket.

b. Mukosa lambung mempunyai taut yang sangat rapat (tight junctions)

antara sel-sel epitel yang berdekatan.


16

Dua hal tersebut bersama-sama ditambah dengan hambatan-hambatan

absorpsi lambung yang lain disebut “sawar lambung”. Secara normal sawar

lambung cukup resisten terhadap difusi sehingga ion hidrogen

berkonsentrasi tinggi dari cairan lambung sekalipun (rata-rata sekitar

100.000 kali konsentrasi ion hidrogen dalam plasma) jarang berdifusi

bahkan untuk jarak yang sangat berdekatan, melalui mukus di sepanjang di

sepanjang membran epitel. Pada gastritis, permeabilitas sawar sangat

meningkat. Ion hidrogen kemudian berdifusi ke dalam sel epitel lambung,

mengakibatkan kerusakan tambahan dan menimbulkan suatu lingkaran setan

kerusakan dan atrofi progresif mukosa lambung. Peristiwa ini juga

mengakibatkan mukosa lambung rentan terhadap pencernaan oleh enzim

peptik pencernaan (Guyton, 2014).

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi dari gastritis dibagi menjadi dua yaitu: gastritis akut dan

gastritis kronik. Komplikasi gastritis akut ditunjukkan dengan perdarahan

saluran cerna bagian atas berupa hematemesis dan melena. Komplikasi

tersebut dapat berakhir syok hemoragik. Komplikasi gastritis kronis

ditunjukkan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi

dan anemia (Mansjoer, 2001). Gastritis yang tidak diterapi dengan benar

akan menimbulkan masalah di kemudian hari seperti munculnya ulkus

peptikum, gastritis atrofi, anemia, anemia pernisiosa dan defisiensi vitamin

B12, serta meningkatkan risiko pertumbuhan tumor dan kanker (NIDDK,

2014).
17

2.3 Determinan Faktor Sehat-Sakit

Faktor determinan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi atau

faktor penyebab masalah kesehatan. Mempelajari hal tersebut bertujuan

untuk mengetahui bagaimana dan mengapa masalah kesehatan tersebut

terjadi (Alamsyah, 2013).

2.3.1 Definisi sehat-sakit

Sehat dan sakit adalah suatu kejadian yang merupakan suatu

rangkaian proses yang berjalan terus-menerus yang berada dalam

kehidupan masyarakat. Sehat menurut WHO (1974) adalah suatu

keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial, serta

tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Menurut UU nomor

36 tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah

keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis.

Sakit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berasa

tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu

(demam, sakit perut, dan sebagainya). Perkins (1937) menyatakan

bahwa sakit adalah suatu keadaan yang menimpa seseorang sehingga

menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik aktivitas jasmani,

rohani, dan sosial.

2.3.2 Model determinan

Ada berbagai macam model determinan faktor sehat-sakit yang

dapat menjelaskan suatu faktor risiko, diantaranya adalah:


18

1. Model Segitiga Epidemiologi (The Epidemiologic Triangle)

Menurut John Goron, model ini menggambarkan interaksi

tiga komponen penyebab penyakit, yaitu manusia (host), penyebab

(agent), dan lingkungan (environment). Untuk memprediksi pola

penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman

masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya

ketidakseimbangan antara ketiga komponen tersebut.

Model ini cocok untuk menerangkan penyebab penyakit

infeksi karena peran agent (mikroba) mudah diisolasikan dengan

jelas dari lingkungannya (Kasjono dan Kristiawan, 2009). Namun

dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses timbulnya

penyakit tidak menular dengan memperluas pengertian agent

(Hikmawati, 2011).

Bila digambarkan seperti sebuah timbangan atau ayunan,

kriterianya sebagai berikut:

a. Dikatakan sehat apabila terjadinya keseimbangan antara host(H),

agent(A), dan environment(E).

H A

b. Dikatakan sakit apabila adanya peningkatan agen infeksius. Contoh:

mutasi influenza virus, resistensi meningkat.


19

c. Dikatakan sakit apabila adanya peningkatan suspectibility pada

populasi. Contoh: peningkatan jumlah anak yang rentan terhadap

campak.

d. Dikatakan sakit apabila adanya perubahan lingkungan yang

mempermudah atau menguntungkan penyebaran agent. Contoh:

akibat banjir, gempa bumi, tanah longsor, atau bencana alam

lainnya.

E
20

e. Dikatakan sakit apabila adanya perubahan lingkungan yang

merugikan atau menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh.

Contoh: polusi udara, kepadatan penduduk di daerah kumuh.

Host (pejamu)

Faktor host yang merupakan faktor risiko timbulnya suatu

penyakit antara lain:

a. Umur, jenis kelamin, ras, kelompok etnik/suku, hubungan keluarga

b. Bentuk anatomis tubuh

c. Fungsi fisiologis atau faal tubuh

d. Status kesehatan, termasuk gizi

e. Keadaan imunitas dan respon imunitas

f. Kebiasaan hidup dan kehidupan sosial

g. Pekerjaan

Agent (penyebab/bibit peyakit), terdiri dari biotis dan abiotis.

a. Agent Biotis, khususnya pada penyakit-penyakit menular, yaitu

terdiri dari lima golongan:

1) Protozoa: Plasmodium, Amoeba

2) Metazoa: Arthropoda, Helminthes

3) Bakteri: Salmonella, Shigella


21

4) Virus: Dengue, Polio, Measles

5) Jamur: Candida, Hystoplasmosis

Agent biotis mempunyai sifat:

1)Patogenisitas: adalah kemampuan bibit penyakit untuk

menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul penyakit

(disease stimulus). Jika kemampuan ini tidak dimiliki, penyakit

tidak akan muncul dan bibit penyakit ini disebut apathogen.

2)Virulensi: adalah ukuran keganasan atau derajat kerusakan yang

ditimbulkan oleh bibit penyakit. Jika kerusakan yang ditimbulkan

hebat, maka agent tersebut termasuk dalam golongan bibit penyakit

yang virulen.

3)Antigenisiti: adalah kemampuan bibit penyakit merangsang

timbulnya mekanisme pertahanan tubuh(antigen) pada diri pejamu

atau host. Apabila antigen ini banyak dihasilkan, maka bibit

penyakit tersebut memiliki antigenisiti yang tinggi.

4) Infektivitas: adalah kemampuan bibit penyakit mengadakan invasi

dan menyesuaikan diri, bertempat tinggal dan berkembang biak

dalam diri pejamu.

b. Agent Abiotis, terdiri dari:

1) Nutrient agent: kekurangan atau kelebihan gizi(karbohidrat, lemak,

mineral, protein, dan vitamin).

2) Chemical agent: pestisida, logam berat, obat-obatan, dll.

3) Physical agent: suhu, kelembapan, panas, radiasi, kebisingan, dll.


22

4) Mechanical agent: pukulan tangan, kecelakaan, benturan, gesekan,

getaran.

5) Physic agent: gangguan psikologis, stres, depresi.

6) Physiologis agent: gangguan faali tubuh.

7) Genetic agent: gangguan genetik.

Environment (lingkungan)

Environment atau lingkungan adalah agregat dari seluruh

kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan

dan perkembangan suatu organisme. Faktor lingkungan sangat

menentukan dalam hubungan interaksi antara host dengan faktor

agent. Lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian utama:

a. Lingkungan Biologis (flora dan fauna di sekitar manusia), bersifat

biotik:

1) Mikroorganisme penyebab penyakit.

2) Reservoir penyakit infeksi (binatang, tumbuhan).

3) Vektor pembawa penyakit.

4) Tumbuhan dan binatang sebagai sumber bahan makanan, obat,

dan lainnya.

b. Lingkungan Fisik, bersifat abiotik:

1.) Udara, keadaan tanah, geografi

2.) Air

3.) Zat kimia, polusi, dll.


23

c. Lingkungan Sosial adalah semua bentuk kehidupan sosial politik

dan sistem organisasi serta institusi yang berlaku bagi setiap

individu yang membangun masyarakat tersebut, antara lain:

1) Sistem ekonomi yang berlaku.

2) Bentuk organisasi masyarakat.

3) Sistem pelayanan kesehatan setempat.

4) Keadaan kepadatan penduduk dan kepadatan rumah.

5) Kebiasaan hidup masyarakat, dll.

2. Model Roda (The Wheel)

Model ini menggambarkan bahwa penyakit timbul akibat

hubungan manusia dan lingkungannya sebagai roda. Roda tersebut

terdiri atas manusia dengan substansi genetik pada bagian intinya, dan

komponen lingkungan biologi, sosial, fisik mengelilingi manusia.

Ukuran komponen model roda bersifat relatif, tergantung problem

spesifik penyakit bersangkutan. Pada penyakit herediter proporsi inti

genetik relatif besar, sedang pada penyakit campak status imunitas

pejamu serta lingkungan biologik lebih berperan daripada faktor

genetik. Peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada

stres mental, dan peranan lingkungan biologis lebih besar dari yang

lainnya pada penyakit malaria.

Pada model roda (The Wheel), diperlukan identifikasi dari

berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak

menekankan pada pentingnya faktor agent. Hal yang penting adalah

hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya, baik lingkungan


24

fisik, biologis, maupun lingkungan sosial. Besarnya peran masing-

masing lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.

Perang lingkungan sosial sangat berperan dalam menyebabkan stres

mental. Peranan lingkungan biologis akan lebih besar dari yang lain

dalam menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui vektor. Peranan

lingkungan genetik akan lebih besar dalam menimbulkan penyakit

keturunan (Alamsyah, 2013).

Lingkungan Sosial

Host

Inti
Inti genetik
genetik

Lingkungan Lingkungan
Fisik Biologis
Lingkungan fisik

(Adnani, 2011)

Gambar 2.2
Model roda

Keterangan:

a. Apabila peranan inti genetik ukurannya lebih besar daripada yang

lainnya, maka penyakit atau masalah kesehatan yang

memungkinkan adalah penyakit keturunan.


25

b. Apabila peranan lingkungan sosial ukurannya lebih besar daripada

yang lainnya, maka penyakit atau masalah kesehatan yang

memungkinkan adalah stres mental, dll.

c. Apabila peranan lingkungan fisik ukurannya lebih besar daripada

yang lainnya, maka penyakit atau masalah kesehatan yang

memungkinkan adalah sun burn, kebisingan, dll.

d. Apabila peranan lingkungan biologis ukurannya lebih besar

daripada yang lainnya, maka penyakit atau masalah kesehatan yang

memungkinkan adalah malaria, DBD, dll.

3. Konsep HL Blum

Kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

dalam perkembangannya secara kompleks dikemukakan oleh H.L.

Blum pada tahun 1978 mengenai faktor-faktor yang memengaruhi

status kesehatan. H.L. Blum merupakan seorang Profesor Emeritus

administrasi kesehatan dan perencanaan kesehatan di University of

California Barkeley, dan pelopor dalam reformasi perawatan

kesehatan. H.L. Blum lahir pada tanggal 11 November 1915 di San

Fransisco sebagai penggagas teori faktor-faktor yang mempengaruhi

status kesehatan masyarakat.

Menurut H.L. Blum, faktor-faktor yang menentukan seseorang

menjadi sakit atau sehat meliputi faktor herediter (genetika), perilaku,

lingkungan, serta aspek pelayanan kesehatan. Faktor determinan

kesehatan dan penyakit semakin berkembang seiring dengan transisi

besar yang terjadi pada pola infeksi yang semakin rentan terhadap
26

penyakit yang bersifat epidemik baik yang terjadi pada kasus lama

maupun baru. Selain itu, kasus penyakit tidak menular menunjukkan

kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun.

Untuk menganalisis program kesehatan di lapangan, paradigma

H.L. Blum dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan

mengelompokkan masalah sesuai dengan faktor-faktor yang

berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Analisis tersebut perlu

dilakukan secara cermat sehingga masalah kesehatan masyarakat dan

masalah program dapat dirumuskan dengan jelas. Analisis ini bagian

dari analisis situasi (bagian dari fungsi perencanaan) untuk

pengembangan program kesehatan di suatu wilayah tertentu

(Budiman, 2015).

Keturunan

Lingkungan Status Kesehatan Pelayanan


Kesehatan

Perilaku

(Alamsyah, 2013)

Gambar 2.3
Determinan faktor sehat-sakit menurut HL Blum

a. Faktor Genetik

Faktor ini paling kecil pengaruhnya terhadap kesehatan

perorangan atau masyarakat dibandingkan dengan faktor yang lain.


27

Pengaruhnya pada status kesehatan perorangan terjadi secara

evolutif dan paling sukar dideteksi. Untuk itu, perlu dilakukan

konseling genetik. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat atau

keluarga, faktor genetik perlu mendapatkan perhatian di bidang

pencegahan penyakit. Misalnya seorang anak yang lahir dari orang

tua penderita diabetes melitus akan mempunyai risiko lebih tinggi

dibandingkan dengan anak yang lahir dari orang tua bukan

penderita diabetes melitus. Untuk upaya pencegahan, anak yang

lahir dari penderita diabetes melitus harus diberi tahu dan selalu

mewaspadai faktor genetik yang diwariskan orang tuanya. Oleh

karena itu, ia harus mengatur dietnya, teratur berolahraga dan

upaya pencegahan lainnya sehingga tidak ada peluang faktor

genetiknya berkembang menjadi faktor risiko terjadinya diabetes

melitus pada dirinya.

Jadi dapat diumpamakan, genetik adalah peluru, tubuh

manusia adalah pistol, dan lingkungan atau perilaku manusia

adalah pelatuknya. Semakin besar penduduk yang memiliki risiko

penyakit bawaan akan semakin sulit upaya meningkatkan derajat

kesehatan. Oleh karena itu, perlu adanya konseling perkawinan

yang baik untuk menghindari penyakit bawaan yang sebenarnya

dapat dicegah munculnya. Akhir-akhir ini teknologi kesehatan dan

kedokteran semakin maju. Teknologi dan kemampuan tenaga ahli

harus diarahkan untuk meningkatkan upaya mewujudkan derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya.


28

b. Faktor Pelayanan Kesehatan

Ketersediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas akan

berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat. Pengetahuan

dan keterampilan petugas kesehatan yang diimbangi dengan

kelengkapan sarana/prasarana dan dana yang akan menjamin

kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan seperti akan mampu

mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan yang berkembang di

suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Midalnya jadwal

imunisasi yang teratur dan penyediaan vaksin yang cukup sesuai

dengan kebutuhan, serta informasi tentang pelayanan imunisasi

yang memadai kepada masyarakat akan meningkatkan cakupan

imunisasi. Cakupan imunisasi yang tinggi akan menekan angka

kesakitan akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi.

Saat ini pemerintah telah berusaha memenuhi tiga aspek yang

sangat terkait dengan upaya pelayanan kesehatan, yaitu upaya

memenuhi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dengan

membangun puskesmas, pustu, bidan desa, pos obat desa, dan

jejaring lainnya. Pelayanan rujukan juga ditingkatkan dengan

munculnya rumah sakit baru di setiap kabupaten atau kota.

Menurut Riskesdas (2007), pelayanan kesehatan mencakup

variabel:

1) Akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk untuk upaya

kesehatan berbasis masyarakat.

2) Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan.


29

3) Ketanggapan pelayanan kesehatan.

c. Faktor Perilaku/Gaya Hidup

Perilaku adalah suatu aktifitas manusia baik yang dapat

diamati secara langsung maupun tidak. Perilaku adalah hasil dari

segala macam pengalaman dan interaksi manusia dan lingkungan.

Perilaku merupakan bagian dari stimulus, dimana stimulus tersebut

terdiri dari sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan

lingkungan. Perilaku dipengaruhi oleh pengetahuan, persepsi, dan

sikap seseorang tentang merespon (Notoadmodjo, 2010).

Faktor ini paling besar pengaruhnya terhadap munculnya

gangguan kesehatan atau masalah kesehatan masyarakat di negara

berkembang. Tersedianya jasa pelayanan kesehatan (health service)

tanpa disertai perubahan tingkah laku atau peran serta masyarakat

akan mengakibatkan masalah kesehatan tetap potensial

berkembang di masyarakat. Perilaku individu atau kelompok

masyarakat yang kurang sehat juga akan berpengaruh pada faktor

lingkungan yang memudahkan timbulnya suatu penyakit. Perilaku

yang sehat akan menunjang meningkatnya derajat kesehatan, hal

ini dapat dilihat dari banyaknya penyakit berbasis perilaku dan

gaya hidup. Kebiasaan pola makan yang sehat dapat

menghindarkan diri kita dari banyak penyakit.

Perilaku dalam menjaga kesehatan memegang peranan yang

sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2025. Hal ini

dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat


30

dimunculkan dari dalam diri masyarakat untuk menjaga

kesehatannya. Perilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan

budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat. Pembuatan

peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan

pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat.

Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan

masyarakat (Endra, 2016).

Menurut Riskesdas(2007) faktor perilaku mancakup variabel:

1) Perilaku merokok/konsumsi tembakau dan alkohol.

2) Perilaku konsumsi sayur dan buah.

3) Perilaku aktivitas fisik.

4) Perilaku gosok gigi.

5) Perilaku hygiene (cuci tangan, buang air besar)

6) Pengetahuan, sikap, dan perilaku

Secara lebih operasional, perilaku dapat diartikan sebagai

suatu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek, dan

respon ini terbagi menjadi dua:

1) Respon bentuk pasif

Respon bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi

dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat diamati oleh

orang lain. Respon bentuk pasif ini antara lain: berpikir, tanggapan

atau sikap batin, dan pengetahuan. Misalnya, seorang ibu tahu

bahwa imunisasi itu bermanfaat untuk mencegah suatu penyakit

tertentu, tetapi ibu tersebut tidak pernah membawa anaknya ke


31

posyandu atau ke puskesmas untuk diimunisasi. Perilaku tersebut

masih terselubung atau covert behaviour (Endra, 2016).

2) Respon bentuk aktif

Respon bentuk aktif adalah perilaku seseorang dapat secara

langsung dilihat atau diamati. Misalnya, seorang ibu yang sudah

manfaat dari imunisasi terhadap kesehatan anaknya, akan

membawa anaknya ke posyandu atau puskesmas untuk diimunisasi.

Perilaku tersebut sudah nyata atau overt behaviour (Endra, 2016).

Perilaku terhadap lingkungan menurut Notoadmojo (2007)

dalam kesehatan masyarakat ilmu dan seni adalah sebagai berikut:

1) Perilaku sehubungan dengan air bersih.

2) Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotoran.

3) Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat dan

limbah cair.

4) Perilaku sehubungan dengan rumah yang berperilaku hidup

bersih dan sehat (ventilasi, pencahayaan, kelembapan, lantai,

dan sebagainya).

5) Perilaku yang terkait dengan pembersihan sarang nyamuk.

Menurut Alamsyah (2013) klasifikasi perilaku yang

berhubungan dengan kesehatan adalah sebagai berikut:

1) Perilaku kesehatan (Health Behaviour) yaitu terkait dengan

perilaku dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan.

Contoh: memilih makanan yang bersih, hygiene perseorangan


32

(mandi, menggosok gigi, cuci tangan dengan sabun), dan tidak

merokok.

2) Perilaku sakit (The Sick Behaviour) yaitu tindakan individu yang

merasa sakit. Contoh: bagaimana mengidentifikasikan penyakit,

penyebab penyakit, serta usaha-usaha preventif atau mencegah

agar tidak terjadi sakit.

3) Perilaku peran sakit (The Sick Role Behaviour)

d. Faktor Lingkungan

Lingkungan yang mendukung gaya hidup bersih dalam

meningkatkan derajat kesehatan. Dalam kehidupan di sekitar kita

dapat kita rasakan, daerah yang kumuh dan tidak dirawat biasanya

banyak penduduknya yang mengidap penyakit seperti: gatal-gatal,

infeksi saluran pernafasan, dan infeksi saluran pencernaan (Budiman,

2015). Faktor lingkungan mencakup variabel berikut:

1) Konsumsi gizi, meliputi konsumsi energi, protein, vitamin, dan

mineral. Status gizi merupakan keseimbangan antara asupan dan

kebutuhan zat gizi. Asupan gizi yang seimbang atau sesuai dengan

kebutuhan tubuh akan meningkatkan status gizi. Makanan dan gizi

sangat penting dan mempengaruhi kesehatan anak usia sekolah

(Jumadil, 2010). Kebiasaan makan dalam rumah tangga juga

penting untuk diperhatikan karena kebiasaan makan mempengaruhi

pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi

tinggi rendahnya mutu makanan rumah tangga.

2) Lingkungan fisik, meliputi air minum, sanitasi, polusi, dan sampah.


33

3) Lingkungan sosial-ekonomi, meliputi tingkat pendidikan dan

tingkat sosial-ekonomi. Pendapatan merupakan faktor yang

terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga.

Pendapatan keluarga memengaruhi daya beli dalam penyediaan

makanan (Farida dan Ida, 2007). Semakin tinggi penghasilan,

semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk

membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya.

Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk

membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

4) Lingkungan budaya, meliputi kebiasaan masyarakat setempat

4. Model Jaring-jaring Sebab Akibat (The Web of Causation)

Model ini menerangkan terjadinya sakit atau masalah

kesehatan yang disebabkan oleh banyak faktor. Suatu penyakit

tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan

sebagai akibat dari serangkaian proses “sebab” dan “akibat”.

Dengan demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau

dihentikan dengan memotong rantai pada berbagai titik (Adnani,

2011).

Misalnya kasus gizi buruk pada balita disebabkan dua hal:

penyakit infeksi dan konsumsi zat gizi yang kurang. Konsumsi zat

gizi kurang disebabkan oleh pengetahuan ibu balita tentang gizi

kurang, pendapatan ibu yang rendah, jumlah anggota keluarga yang

banyak, jarak kelahiran anak yang terlalu dekat, adanya tabu

terhadap makanan yang bergizi dalam keluarga, salah paham


34

pengasuhan anak, dan sanitasi lingkungan yang buruk. Penyakit

infeksi yang terjadi disebabkan karena fasilitas kesehatan di daerah

tersebut kurang dalam segala hal seperti: keterjangkauan ke lokasi,

fasilitas pelayanan, biaya pelayanan, dll. Berikut ini merupakan

contoh web causation dari status gizi buruk:

Karakteristik
keluarga:
1. Tingkat pength ibu
2. Pendapatan
keluarga
3. Pendidikan ibu
4. Jumlah anggota
keluarga
5. Jarak kelahiran
anak
6. Tabu makanan Konsumsi zat gizi
dalam keluarga
kurang
1. Daya beli
masyarakat yang
Status
rendah
gizi
2. Produksi bahan
buruk
makanan yang kurang

Fasilitas kesehatan Penyakit infeksi


kurang

(Alamsyah, 2013)

Gambar 2.4
Web causation pada status gizi

2.4 Upaya Kesehatan

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan

yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan

pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan

penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan

rehabilitatif, yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan


35

berkesinambungan. Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur

dalam Pasal 52 ayat (2) UU Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

yaitu:

a. Promotif

Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau

serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan

kegiatan yang bersifat promosi kesehatan

b. Preventif

Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan

terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

c. Kuratif

Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian

kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,

pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit,

pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal

mungkin.

d. Rehabilitatif

Pelayanan kesehatan rehabilitatif, kegiatan dan/atau serangkaian

kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat

sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna

untuk dirinya dan masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan

kemampuannya.

Anda mungkin juga menyukai