New Laporan Kasus Cedera Kepala Berat OnClass Rev
New Laporan Kasus Cedera Kepala Berat OnClass Rev
Disusun Oleh
Kelas Tutorial “B”
S1 Ilmu Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
2018
Cedera Kepala Berat
(Severe Head Injury)
1. Pengertian
Cedera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga ari luar yang
mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perubahan kemamouan
kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).
Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskem ia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal
disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008).
Cedera Kepala Berat ditandai oleh nilai GCS ≤8. Commented [AWJ1]: Jadikan satu aja. Cidera kepala
berat adalah …….. yang ditandai dengan adanya enurunan
GCS kurang dari 8 dll
2. Klasifikasi
2.1 Berdasarkan GCS (Glassgow Coma Scale)
b. Perdarahan Intradural
1. Perdarahan subdural
Hematom yang terjadi pada jaringan otak. Sering terjadi pada lobus frontal
dan temporal.
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dapat terjadi pingsan (kurang dari 10
menit). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan
linglung.
Kontusio Serebri Commented [AWJ3]: Artinya apa?
4. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1. Airway
Perhatikan kepatenan jalan napas, apakah ada sumbatan, sputum/ sekret, benda
asing dan sebagainya
2. Breathing
Bagaimana pernapasan pasien, frekuensi pernapasan, irama pernapasan,
penggunaan otot bantu pernapasan
3. Circulation
Apakah mengalami cyanosis, diaporesis, mukosa bibir kering atau lembab, dan
turgor kulit, nadi teraba lemah/ kuat, frekuensi nadi, tekanan darah , CRT.
4. Disability and Drug Commented [AWJ6]: Pemerksaan pupil, glukosa.
Commented [u7R6]:
Commented [u8R6]:
Penilaian tanda lateralisasi: pupil (ukuran, simetris dan reaksi terhadap cahaya,
kekuatan tonus otot (motorik). Pemeriksaan pupil berperan dalam evaluasi fungsi
cerebral. Pupil yang normal dapat digambarkan dengan PEARL (Pupils, Equal,
Round Reactive to Light) atau pupil harus simetris, bundar dan bereaksi normal
terhadap cahaya.
Keterbatasan karena kondisi pasien, tingkat kesadaran, obat-obatan yang
digunakan sebelumnya, alat bantu yang digunakan.
Pengkajian AVPU
( 1 ) A : Siaga dan orientasi .
( a) Menandakan orientasi orang, tempat, waktu , dan acara. Mintalah
pasien Anda sederhana pertanyaan berakhir terbuka yang tidak bisa
dijawab dengan ya atau tidak untuk menentukan LOC . Misalnya, " Di
mana Anda sekarang ? "Dan "Apa waktu itu ? " Jangan tanya pasien
Anda , "Apakah Anda tahu yang Anda sekarang ? " Karena ini
bisadijawab dengan ya atau tidak .
( b ) Jika pasien waspada , Anda dapat melaporkan hasilAnda sebagai
skor berorientasi pasien dari 1 ( terendah )sampai 4 ( tertinggi ) ,
mencatat setiap daerah tidak berorientasi pada . Misalnya, Anda dapat
menyatakan pasien adalah " A dan O x 4 " ( penuh waspada
dan berorientasi ) atau " A dan O x 2 dan tidak tahu waktu dantempat . "
Pada kasus : Pasien merespon terhadap rasa sakit, yaitu dengan gerakan
menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang
nyeri
Pengkajian GCS Commented [AWJ9]: Masukkan avpu juga
Eye (Respon Membuka Mata)
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata)
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon
5. Exposure
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien. Perlakukan
setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
b. Pengkajian Sekunder
1. Data biografi
Identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, penanggung
jawab, status perkawinan.
2. Riwayat keperawatan
Riwayat medis dan kejadian masa lalu, riwayat kejadian cedera kepala,
penggunaan alcohol dan obat-obatan terlarang.
3. Pemeriksaan SAMPLE (Sign &Symptom, Alergi, Medikamentosa,
S (Sign and Symptom) : pupil 4mm bilateral, respon kornea negatif, cephalotoma di
parietal kanan, otorhea di sebelah kanan
A (Alergi) : di kasus tidak dijelaskan mengenai alergi pasien
M (Medikamentosa) : pasien mendapatkan suntikan atropin dan infus nicrdipin, intibasi
endotrakeal, 30 gram IV manitol
P (Pertinent medical or surgical history) : terpasang CVC, kraniotomi dekompresif kiri,
terpasang saluran ventrikel eksternal (EVD).
L (Last oral intake) : di dalam kasus tidak dijelaskan mengenai makanan yang
dikonsumsi terakhir oleh pasien
E (Event leading up to illness or injury) :pasien tidak menggunakan helm saat
mengendarai motor dan kehilangan kendalinya hingga motornya keluar dari bahu jalan
4. Pemeriksaan fisik Commented [AWJ10]: Head to toe
a.4 Ekstremitas
Tanda-tanda injuri eksternal, nyeri (PQRST), pergerakan dan
kekuatan otot ekstremitas, sensasi keempat anggota gerak, warna kulit, denyut nadi perifer
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1 Foto Polos Kepala
Indikasi Pemeriksaan:
a. Hilang kesadaran , amnesia
b. Nyeri kepala menetap
c. Gejala neurologis fokal
d. Jejas pada kulit kepala
e. Kecurigaan luka tembus
f. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
g. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
h. Kesulitan dalam penilaian klinis ( mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak)
GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia > 50 tahun.
5.2`CT - Scan
Indikasi Pemeriksaan:
a. GCS< 13 setelah resusitasi.
b. Deteorisasi neurologis penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.
c. Nyeri kepala, muntah yang menetap
d. Tanda fokal neurologis
e. Fraktur (curiga)
f. Trauma tembus (curiga)
g. Evaluasi pasca operasi
h. Multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
5.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
EEG pada cedera kepala membantu dalam diagnosis status epileptikus non
konfulsif dan melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5.6 BBAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Digunakan untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak.
Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa pipa ke
dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk
mempertahankan jalan napas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan
ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung, dan untuk menghantarkan gas
anestesi langsung ke trakea.
Untuk pasien dengan cedera kepala berat atau GCS kurang dari 9 diperlukan
tindakan intubasi endotrakeal. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan
otak sekunder akibat hipoksemia dan hiperkapnea yang disebabkan oleh obstruksi
saluran pernapasan dan kompensasi pernapasan.
6.2 EVD (Extraventicular Drain)
EVD dikenal sebagai extraventicular drain atau ventriculostomy, merupakan alat
yang digunakan dalam bedah saraf berfungsi mengurangi tekan Intracranial yang
meningkat ketika aliran CSS disekitar otak terhambat. Saluran ventrikel eksternal
(EVD/Extra Venticular Drain) : pemasangan kateter kedalam ventrikel lateral otak,
dimana cairan serebrospinal berada. EVD digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial yang meningkat ketika aliran CSS disekitar otak terhambat.
6.3 Atropin Injeksi Commented [AWJ12]: Ini tindakan awal atau tindakan
permasalahan CKB nya
Atropin berfungsi untuk mengatasi bradikardia/ detak jantung lemah. Berdasarkan
kasus cedera kepala berat, dikatakan bahwa denyut jantung 28 bpm. Sedangkan nilai
normalnya 60-100 bpm. Maka, denyut jantung pasien cedera kepala berat berada
dibawah normal. Sehingga harus diberikan suntikan atropin untuk mengatasi denyut
jantungnya. Atropin bersifat antikolinergik yang berarti dapat mengurangi stimulasi
saraf parasimpatik dengan cara menghalangi kerja asetilkolin (neurotransmitter yang
membantu memindahkan impuls listrik di antara sel-sel saraf).
Kegunaan:
1. Mengatasi keracunan fosfor organik
2. Mengurangi sekresi kelenjar pada tubuh
3. Mengatasi kejang otot halus pada pencernaan, saluran empedu dan saluran urin
4. Mengatasi detak jantung lemah
Dosis:
1. Tablet: 600 mikrogram.
2. Injeksi: 1 mg/ 1 mL.
3. Tetes mata: Larutan 1%
4. Bradyarrythmia: 0,4-1 mg IV sekali waktu. Dosis efektif dalam kisaran ini
mungkin diulangi setiap 1-2 jam seperlunya agar mencapai detak jantung
memadai
5. Jantung tersumbat AV: 0,4-1 mg IV sekali waktu. Dosis efektif dalam kisaran
ini mungkin diulangi setiap 1-2 jam seperlunya agar mencapai detak jantung
memadai
6.4 Infus Nicardipine
Infus Nicardipine berfungsi untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Berdarkan
kasus, dikatakan bahwa adanya hipertensi dengan tekanan darah awal 172/118 mmHg
dan meningkat 221/105 mmHg dalam 30 menit. Tekanan darah ini berada diatas nilai
normal, sehingga diberikan infus nicardipine untuk menurunkan tekanan darah.
Tekanan Darah Sistolik (TDS) >230 mmHg atau Tekanan Darah Diastolik (TDD)
>140 mmHg, obat antihipertensi dengan nikardipin (5-15 mg/ jam infus kontinu),
diltiazem (5-40 mg/Kg/menit infus kontinu) atau nimodipin (60 mg/4 jam PO). TDS
180-230 mmHg, TDD 105-140 mmHg, MAP 130 mmHg pada 2X pengukuran selang
20 menit atau pada keadaan hipetensi emergensi dapat diberikan:
a. Labetalol 10-20 mg IVselama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan setiap 10 menit
(maksimum 300 mg). Atau berikan dosis awal bolus yang diikuti labetalol drip
2-8 mg/menit
b. Nikardipin
c. Diltiazem
d. Nimodipin
TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg tidak diberikan obat antihipertensi
6.5 CVC (Central Venous Catether) Commented [AWJ13]: Ini untuk pemeriksaan penunjang
atau yang tindakan
Vena sentral adalah vena-vena yang dekat dengan jantung sebagai pusat sirkulasi.
Semakin dekat ke jantung, ukuran vena semakin besar dan aliran darahnya semakin
tinggi. Vena yang berdiameter besar dan beraliran darah cepat seperti itu adalah vena
kava superior, vena kava inferior, vena brakiosefalika, vena subklavia, vena iliaka
komunis dan vena iliaka eksternal. CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari
vena tepi sehingga ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava.
CVP disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS)
Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan.
Secara tidak langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan
ventrikel kanan pada akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan
vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004)
nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.
Fungsi CVC:
1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS)
2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) makanan kalori tinggi
secara intravena
3. Untuk mengambil darah vena memberikan obat – obatan secara intra vena,
cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
4. Dilakukan pada penderita gawat
Indikasi Pemasangan CVC
1. Untuk menginfus cairan atau obat-obatan yang mungkin mengiritasi vena
perifer.
2. Kanulasi jangka panjang untuk obat-obatan dan cairan, contohnya total nutrisi
parenteral atau kemoterapi.
3. Penderita syok.
4. Kanulasi cepat ke jantung terutama untuk pemberian obat-obatan dalam situasi
resusitasi.
5. Bila kanulasi ke vena perifer sulit dilakukan akibat vena yang kolaps seperti
pada hipovolemia, ketika vena periper sulit ditemukan misalnya pada orang
gemuk atau tranfusi cairan dibutuhkan secara cepat.
6. Pada kerusakan vena, digunakan pada beberapa pasien dimana semua vena
perifer telah digunakan atau rusak.
7. Pengukuran tekanan vena sentral (Central Venous Pressure). Prosedur khusus,
contohnya pemacu jantung, hemofiltrasi atau dialisis.
Nilai normal:
1. Nilai rendah : < 4 cmH2O
2. Nilai normal : 4 – 10 cmH2O
3. Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O
4. Nilai tinggi : > 15 cmH2O
Tempat Pemasangan:
1. Vena subclavia (pendekatan infraclavicular dan supraclavicular) .
2. Vena jugularis, pada vena jugularis interna (VJI) dan eksterna (VJE)
3. Vena femoralis
4. Vena antecubital, pada vena basilica atau cephalica.
5. Vena umbilikalis, pada bayi baru lahir.
Akan tetapi tempat yang paling sering dilakukan insersi yaitu : vena subclavia
(pendekatan infraclavicular), vena jugularis interna, vena antecubital dan vena
femoralis.
Kontraindikasi Pemasangan:
1. Gangguan pada faal pembekuan darah. Dapat terjadi hema- tom yang
berbahaya pada pemasangan melalui vena subclavia dan jugularis, terutama
bila mengenai pembuluh arteri.
2. Bila daerah pemasangan ada infeksi atau tanda-tanda radang harus dicari
tempat lain yang lebih baik.
3. Kelainan anatomi dan taruma thoraks bagian atas misalnya fraktur clavicula,
meningkatkan resiko via clavicula
4. Penyakit paru yang kritis (COPD, asma) yang akan meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks pada pendekatan subclavia.
5. Penderita yang sementara di heparinisasi.
6. Trombosis da koagulopati
7. Penderita menolak atau tidak koperatif
8. Operator yang tidak berpengalaman yang tidak diawasi supervisor
6.6 Arterial Line
Suatu prodesur pemasangan minimal invasive untuk pengukuran tekanan darah
sistemik secara rutin dan analisa gas darah, terutama untuk keperluan hemodialisis.
Arterial line digunakan untuk monitor tekanan darah secara komprehensif. ketika
pasien diberi cairan/obat, perhatikan perubahan tekanan darahnya. Arterial line juga
bisa digunakan untuk pemeriksaan analisa gas darah. Arterial Line dapat dipasang di
Arteri radialis, arteri brachialis, tempat lain (femoral) terutama bila denyut nade arteri
perifer tidak dapat dipalpasi (pasien syok) setelah itu pindahkan ke arteri radialis atau
dossalis pedis secepatnya.
Indikasi operasi:
1. Pengukuran tekanan darah sistemik di ICU
2. Analis gas darah
Kontraindikasi:
1. Sepsis lokal (semua route)
2. Diathesa hemorrhagik atau pengobatan antikoagulan (vena subclavia & vena
jugularis interna)
3. Penyakit paru berat (vena subclavia)
4. Aneurysma arteria carotis (vena jugularis interna)
6.7 Manitol
30 gr IV Manitol: mengurangi tekanan dalam otak. Jika didapatkan tekanan
intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30
menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol) sebagai alternative dapat diberikan larutan
hipertonik Nacl 3% atau furosemide.
6.8 Larutan hipertonik 23%
NaCl : mampu menstabilkan tekanan darah.
6.9 Kraniotomi dekompresif kiri Commented [AWJ14]: Ini bisa diperjelas lagi.
Pembedahan otak sebelah kiri akibat dekompresi/ tekanan ke sebelah kiri. Hal ini
dibuktikan dengan hasil CT scan kepala menunjukkan subarachnoid hemorrhage
dengan frontal kiri dan temporal subdural hemorrhage, hematoma frontal/ temporal
dan parietal kiri, dan pergeseran garis tengah kiri ke kanan 5,38 mm.
7. Triage
Berdasarkan kasus, pasien mengalami perdarahan dikepalanya (Cephalohematoma
diparental kanan) , kesadaran pasien juga menurun menjadi Koma (GCS E1M3V1),
Denyuk nadi pasien juga menurun menjadi 28 bpm, dan pasien juga mengalami kesulitan
bernafas sehingga diberikan intubasi endotrakea. Sesuai dengan kasus pasien diatas pasien
termasuk kedalam triase merah, karena pasien dengan berlebel merah adalah semua pasien
yang memiliki gangguan airway, breathing, circulation, disability dan exposure.
I. DATA FOKUS
N o . Data Subjektif Data Objektif
Data Objektif :
1. Pasien dibawa ke IG
D dengan ambulans.
2. Pemeriksaan fisik me
nunjukkan GCS E1
M4V1, pupil 4 mm b
ilateral, respon korne
a negatif
3. Pasien bradycardiac,
dengan denyut jantun
g terendahnya tercatat
pada 28 bpm, dan hi
pertensi dengan tekan
an darah awal 172/11
8 mmHg dan mening
kat 221/105 mmHg d
alam 30 menit
4. Pasien mendapatkan s
untikan atropin dan i
nfus nicardipine
5. Terpasang CVC untu
k pemberian cairan d
an obat dan arterial l
ine
6. Pasien mendapatkan
manajemen terapi em
ergensi untuk sindro
m herniasi termasuk i
ntubasi endotrakeal, 3
0 gram IV Mannitol,
larutan hipertonik 23
% (berat/volume) natr
ium klorida (NaCl) d
an kraniotomi dekom
presif kiri
Data Objektif :
1. Pemeriksaan fisik me
nunjukkan GCS E1
M4V1, pupil 4 mm b
ilateral, respon korne
a negatif
2. Cephalohematoma di
parietal kanan, dan ot
orhea di sebelah kana
n
3. CT kepala menunjuk
kan subarachnoid he
morrhage dengan fro
ntal kiri dan temporal
subdural hemorrhage
, hematoma frontal/te
mporal dan parietal k
iri, pergeseran garis t
engah kiri ke kanan
5,38mm
4. Tampak pula fraktur
dasar tengkorak front
al, dan fraktur komin
ut non-displaced kom
pleks dari tulang tem
poral.
5. Pascaoperasi, pasien t
erpasang saluran vent
rikel eksternal (EVD)
; tekanan intrakanial
awal (ICP) adalah 14
mmHg
IV. INTERVENSI
Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after stroke onset.
In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Toronto Notes 2008, Neurosurgery,
Herniation Syndrome
McGraw-Hill. 2000. pp. 53-87. 2. Cohen SN. The subacute stroke patient: Preventing recurrent
stroke. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. 2000. pp. 89-109.
NSW Ministry of Health. 2011. Adult Trauma Clinical Initial Management of Closed Head
Injury in Adults
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia. 2007. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Misbach J. Clinical pattern of hospitalized strokes in 28 hospitals in Indonesia. Med J Indonesia
2000; 9: 29-34. 8.
PERDOSSI. 2007. Pedoman Penatalaksanaan Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI)