Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INFERTILITAS

2.1.1 Defenisi

Infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan yang aktif

secara seksual tanpa-kontrasepsi untuk mencapai kehamilan

spontan dalam satu tahun (WHO).2

2.1.2 Epidemi dan Etiologi

Sekitar 25% dari pasangan tidak mencapai kehamilan

dalam 1 tahun, sekitar 15% pasangan mencari pengobatan

untuk masalah infertilitas meskipun akhirnya kurang dari 5%

pasangan tetap tidak memperoleh anak. Ketidaksuburan/

infertilitas dapat terjadi pada pria dan wanita. Ketidaksuburan

pria ditemukan pada 50% pasangan infertil ini. Pada

kebanyakan pasangan faktor infertilitas juga dapat dijumpai

secara bersamaan pada pria dan wanita.

Menurunnya kesuburan pria dapat terjadi karena kelainan

urogenital kongenital maupun didapat seperti infeksi kelenjar

seks aksesoris pada pria. Peningkatan suhu scrotum

(varicocele), gangguan endokrin, kelainan genetik dan faktor

imunologi.

5
Kelainan yang dapat menjadi faktor menurunnya kesuburan

pria terangkum dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1. Faktor yang berhubungan dengan infertilitas pria


dan persentase distribusinya pada 10.469 pasien.2

Faktor yang Berhubungan Distribusi


dengan Infertilitas Pria (%)
Infertilitas pria idiopatik 31
Maldescendens testis 7,8
Infeksi urogenital 8,0
Gangguan semen deposition dan 5,9
faktor seksual
Penyakit sitemik 3,1
Varicocele 15,6
Endokrin (hypogonadism) 8,9
Faktor imunologi 4,5
Sumbatan 1,7
Abnormalitas lainnya 5,5

2.1.3 Investigasi / Penjajakan

Analisa semen sesuai petunjuk guidelines of the World

Health Organisation (WHO) Laboratory Manual for Human

Semen and Sperm-Cervical Mucus Interaction, edisi kelima.2

2.1.3.1 Investigasi Hormonal

Malfungsi endokrin merupakan penyebab utama

infertilitas pria. Skrining hormonal dapat digunakan

misalnya pemeriksaan Follicle Stimulating Hormone

6
(FSH), Luteinizing Hormon (LH) dan testosteron. Pada

pria dengan diagnosa azoospermia atau ekstrim OAT,

pemeriksaan ini diperlukan untuk membedakan kasus

obstruktif atau non obstruktif.2

2.1.3.2 Penilaian Mikrobiologi

Indikasi untuk penilaian mikrobiologi meliputi

sampel urin yang abnormal, infeksi saluran kemih,

prostatitis, epididymitis, silent ejaculate infection, Male

Accessory sex Glands Infection (MAGI) dan infeksi

menular seksual.2

2.1.3.3 Ultrasonography (USG)

USG skrotum sangat membantu dalam

penilaian ukuran testis, melihat tanda tanda obstuksi

seperti dilatasi rete testis, pembesaran epididymis

dengan cystic lesions dan tidak adanya vas deferens,

untuk menyingkirkan tanda testicular dysgenesis

seperti inhomogeneous testicular architecture dan

microcalcifications dan juga untuk menilai reflux aliran

darah pada pria dengan varicocele .2

2.1.3.4 Biopsi Testis

Biopsi testis untuk diagnostik dapat dilakukan

pada pria dengan azoospermia dengan ukuran testis

normal dan FSH juga normal, biopsi ini untuk

7
membedakan obstruktif dan non obstruktif

azoospermia.2

2.1.3.5 MRI

Pemeriksaan dengan MRI pada sella turcica

misalnya pada kasus- kasus dengan defisiensi LH dan

FSH.2

2.1.4 Prognosa.2

Faktor utama yang mempengaruhi prognosa infertilitas

adalah:

− Durasi/ lamanya infertilitas.

− Umur dan Status kesuburan pasangan wanita.

− Infertilitas primer atau sekunder

− Hasil analisa semen

2.2 ANALISA SPERMA2,10

2.2.1 Analisa Sperma Secara Makroskopis

2.2.1.1. Pengukuran Volume

Sperma ditampung seluruhnya dalam botol penampung

yang bermulut lebar untuk sekali ejakulasi. Volume diukur

dengan gelas ukur yang mempunyai skala volume 0,1 ml,

kemudian baca hasil. Volume yang normal menurut WHO >

8
1,5 ml. WHO merekomendasikan untuk menentukan volume

dengan menimbang botol sebelum dan setelah pengumpulan

sperma. Spesifik berat semen lebih kurang 1 g per ml. Volume

yang lebih dari 8 ml disebut Hyperspermia, Sedangkan yang

kurang dari 1 ml disebut Hypospermia. Kesan volume ini

menggambarkan kerja kelenjar prostat dan vesika seminalis.

2.2.1.2. pH

pH sperma yang normal tidak banyak berbeda dengan pH

darah, untuk mengukur pH dapat dengan menggunakan

kertas pH atau pH meter. Sperma yang normal menunjukan

pH yang bersifat basa yaitu 7,2 – 7,8. pH yang rendah terjadi

karena peradangan yang kronis dari kelenjar prostat,

Epididimis, vesika seminalis atau kelenjar vesika seminalis

kecil, buntu maupun rusak.

2.2.1.3. Bau Sperma

Spermatozoa yang baru keluar mempunyai bau yang khas

atau spesifik. Bau Sperma yang khas tersebut disebabkan

oleh oksidasi spermin (suatu poliamin alifatik) yang

dikeluarkan oleh kelenjar prostat.

2.2.1.4. Warna Sperma

Memeriksa warna sperma sekaligus memeriksa

kekeruhan. Sperma yang normal biasanya berwarna putih

keruh seperti air kanji kadang-kadang agak keabu-abuan.

9
Adanya leukosit yang disebabkan oleh infeksi traktus genitalia

dapat menyebabkan warna sperma menjadi putih kekuningan.

Adanya perdarahan menyebabkan sperma berwarna

kemerahan.

2.2.1.5. Likuifaksi

Likuifaksi diperiksa 20 menit setelah ejakulasi (setelah

dikeluarkan). Dapat dilihat dengan jalan melihat koagulumnya.

Bila setelah 20 menit belum homogen kemungkinan ada

gangguan pada kelenjar prostat. Bila sperma yang baru

diterima langsung encer tidak mempunyai koagulum mungkin

karena saluran pada kelenjar vesica seminalis buntu atau

memang tidak mempunyai vesika seminalis.

2.2.1.6. Viskositas (Kekentalan)

Kekentalan atau viskositas sperma dapat diukur setelah

likuifaksi sperma sempurna. Semakin kental sperma tersebut

semakin besar viskositasnya. Hal ini mungkin disebabkan

karena :

− Spermatozoa terlalu banyak

− Cairannya sedikit

− Gangguan likuifaksi

− Perubahan komposisi plasma sperma

− Pengaruh obat-obatan tertentu.

10
2.2.1.7. Fruktosa Kualitatif

Fruktosa sperma diproduksi oleh vesica seminalis. Bila

tidak didapati fruktosa dalam sperma, hal ini dapat disebabkan

karena :

− Azospermia yang disebabkan oleh agenesis vas deferens.

− Bila kedua duktus ejakulatorius tersumbat.

− Kelainan pada kelenjar vesika seminalis.

2.2.2 Analisa Sperma Secara Mikroskopik

2.2.2.1. Motilitas/ Pergerakan Sperma

Penilaian motilitas sperma dilakukan segera setelah

likuifaksi semen sempurna. Motilitas sperma diperiksa dengan

pembesaran 200-400 x. Sebanyak 200 spermatozoa dinilai

dan diklasifikasikan menjadi :

− Progressive motility (PR) : Gerakan aktif kedepan atau

sedikit melengkung

− Non-progressive motility (NP) : Tidak ada gerakan maju

atau gerak maju melingkar

− Immotility (IM) : Tidak ada gerakan yang terlihat.

Setidaknya dua slide dengan 200 spermatozoa di

klasifikasikan menggunakan kriteria diatas harus mempunyai

nilai sebanding. Hasil kedua penghitungan dirata ratakan dan

dinyatakan dalam persentase. Nilai acuan untuk motilitas


11
adalah >40% sperma motil (PR+NP), >32% motilitas progresif

(PR).

Asthenozoospermia adalah istilah dimana persentase

motilitas sperma yang motil progresif di bawah 32%.

Asthenozoospermia dapat terjadi akibat likuifaksi yang tidak

sempurna, autoantibodi, peradangan dan gangguan dari ekor

sperma. False-negative asthenozoospermia dapat terjadi bila

sperma dingin, sperma tua atau kontaminasi pada saat

pengumpulan sperma (misalnya kontaminasi dengan sabun).

2.2.2.2. Menilai Vitalitas

Bila lebih dari 40% spermatozoa tidak bergerak maka

harus dilakukan pewarnaan dengan eosin. Jika banyak

sperma immobile yang hidup (> 58%), kemungkinan ini suatu

cacat flagela. Bila banyak sperma yang mati

(necrozoospermia) lebih dari 42% ini merupakan indikator

penyakit epididimis.

2.2.2.3. Perhitungan Jumlah Sperma

Perhitungan konsentrasi spermatozoa dapat ditentukan

dengan mengunakan metode hemositometer atau ”electronic

coulter counter”. Metode hemositometer lebih sering

digunakan untuk sperma yang mempunyai perkiraan

spermatozoa yang sangat rendah (misalnya 10 juta/ml) atau

12
bila pemeriksaan sperma yang memerlukan penentuan jumlah

dengan segera.

Sperma yang telah diaduk dengan baik diencerkan 1:10,

1:20 Sebagai pengencer berisi 50 gr NaHCO3, 10 ml formalin

35 %, 5 ml cairan gentian violet pekat dan aquadestilita

sampai 1000 ml. Sperma yang diencerkan harus diaduk lebih

dahulu dan segera dipindahkan ke kamar hitung/ inprove

Neubauer yang telah ditutup dengan kaca penutup (deck

glass).

Inprove Neubauer ini diletakkan di kamar lembab selama

15 menit agar semua sel mengendap, kemudian dihitung

dibawah mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras

dengan lensa objektip 10 (pembesaran 100x), spermatozoa

(sel benih) yang matang dan mempunyai ekor yang dihitung.

Konsentrasi sperma adalah jumlah spermatozoa/ ml semen.

Sedangkan jumlah spermatozoa total ialah jumlah

spermatozoa dalam ejakulat.

Perhitungan :

Luas = 1 mm2

Tinggi = 0,1 mm

Vol = 0,1 mm3

Jumlah sperma dlm 1 mm3 = 1/0,1 x N x pengenceran

= 10 x N x pengenceran

13
= 10 x N x pengenceran/mm3

Jumlah spermatozoa/cc = 10 N x Pengenceran x 1000

Keterangan :

N = Jumlah sperma yang dihitung dalam kotak kamar

hitung.

2.2.2.4. Morfologi Sperma

Penilaian morfologi sperma dilakukan dengan sediaan

hapus sperma yang diwarnai dengan giemsa di baca dengan

pembesaran 1000 ×. Kriteria untuk klasifikasi morfologi normal

dan patologis dapat dilihat pada tabel kriteria morfologi

sperma.

14
Table 2.2. Kriteria normal dan abnormal Morfologi
sperma (WHO, 2010)
Normal Pathological
morphology morphology
Regular oval shape, Too big, too small, too
well-defined thin and long, pear-
acrosome region shaped, round,
without vacuoles amorphous, with
Head and a volume of 40– acrosome vacuoles
70% of the head (>2 or more than 20%),
post-acrosomal
vacuoles, too small or
too large acrosomes.
Narrow, regular, Asymmetric
about as long as the connection to the
head. The main axis head, middle piece
Midpiece of the head and irregularly, too thick,
middle piece should bent or too thin.
be in line. Cytoplasmatic droplets
Cytoplasmatic >30%.
droplets of the
midpiece should be
<30% of the head
size.
The tail should be Too short, multiple
thinner than the tails, kinks, irregular
midpiece, the thickness, spiral-
caliber should be shaped.
Tail uniform and the
length about 10
times the length of
the head length.
The tail may be
curved, but without
abrupt kinks.
Sumber : Guidelines on Male Infertility. European
Association of Urology update

15
Morfologi normal spermatozoa biasanya kurang dari 25%.

Dikatakan sebagai Teratozoospermia bila dijumpai

spermatozoa dengan morfologi normal kurang dari 4% .

Pemeriksaan Andrologi yang komprehensif diindikasikan

jika analisis semen menunjukkan kelainan dibandingkan

dengan nilai acuan (Tabel 2.3).

WHO Laboratory Manual for the Examination and Processing

of Human Semen (edisi ke-5).2 merupakan konsensus yang

menjadi panduan yang harus di ikuti oleh spermatology

modern.

Tabel 2.3. Batas referensi terendah untuk karakteristik

semen (WHO, 2010)

Batas Referensi
Parameter
Terendah (Range)
Volume semen 1,5 ( 1,4 – 1,7 )
Jumlah sperma total (106 per 39 (33 – 46 )
ejakulasi)
Konsentrasi sperma ( 106 per mL ) 15 ( 12 – 16 )
Jumlah motilitas (PR + NP) 40 (38-42)
Progresif motilitas (PR,%) 32 (31-34)
Vitalitas (spermatozoa hidup,%) 58 (55-63)
Morfologi sperma (bentuk normal,%) 4 (3,0-4,0)
Konsensus ambang nilai lainnya
Ph > 7,2
Peroksidase-positif leukosit ( 106 per <1,0
mL)
MAR test (motile spermatozoa with <50
bound particles, %)
Immunobead test (motile spermatozoa <50
with bound beads, %)
Seminal zinc (μmol/ejaculate) > 2,4
Seminal fructose (μmol/ejaculate) > 13
Seminal neutral glucosidase > 20
(mU/ejaculate)

16
PR = progressive; NP = non-progressive; MAR = Mixed
antiglobulin reaction.
Sumber :Guidelines on Male Infertility. European Association
of Urology update

2.3 LEUKOSITOSPERMIA

Leukositospermia atau pyospermia adalah suatu keadaan

peningkatan jumlah leukosit pada ejakulat. Leukositospermia

didefinisikan bila jumlah leukosit > 1 juta leukosit / ml ejakulat

(semen).

Menurut Shefi dan Turek (2006) secara signifikan

leukositospermia menyebabkan infertilitas pada pria.11 Pada pria

infertile prevalensi pyospermia berkisar dari 3% sampai 23%.

Telah diketahui bahwa Infeksi saluran urogenital merupakan

salah satu penyebab kelainan/ abnormalitas semen yang

mempengaruhi kesuburan pria, hal ini ditunjukkan dengan

dijumpainya leukosit dalam semen . Parameter pada analisa semen

seperti jumlah sperma, motilitas sperma, kecepatan sperma dan

jumlah sperma yang motil secara signifikan akan menurun dengan

adanya leukosit.12 Leukositospermia sebagai akibat meningkatnya

aktivitas sistem imun tidak hanya disebabkan infeksi urogenital .13

Infeksi di luar saluran genital yang mungkin tanpa gejala namun

masih dapat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas imun

somatik dan meningkatkan masuknya leukosit ke saluran genital.


17
Banyak mekanisme yang telah dikemukakan untuk menjelaskan

tentang bagaimana keadaan inflamasi saluran genital dapat

menyebabkan infertilitas pria.14 Produk leukosit seperti limfokin,

monokin, dan Reactive Oxygen Species (ROS) telah terbukti

mengurangi kemampuan fertilisasi sperma.15

Leukositospermia juga dikaitkan dengan morfologi spermatozoa

yang abnormal, termasuk kepala memanjang dan kecil, kelainan

ekor dan leher juga morfologi akrosom abnormal.16

Leukositospermia juga dapat mempengaruhi hiperaktivitas dari

spermatozoa selama kapasitasi.17

Peningkatan leukosit dan granulosit diyakini melepaskan

berbagai sitokin proinflamasi/ bioaktif, hidrogen peroksida dan

Reactive Oxygen Spesies (ROS) lainnya.18 Lamirande dan Gagnon

menyatakan bahwa peroksidasi lipid membran sperma dianggap

sebagai mekanisme utama dari kerusakan sperma yang diinduksi

ROS yang menyebabkan infertilitas.19

2.4 INFEKSI SALURAN GENITAL

Secara umum Infeksi saluran urogenital pria merupakan salah

satu penyebab penting infertilitas pria. Peran Infeksi dan inflamasi

saluran genital telah dikaitkan dengan 8-35% kasus infertilitas laki-

laki.3,4 Bakteriospermia asimtomatik memainkan peran utama.5,6

18
Infeksi kelenjar seks aksesoris pria merupakan faktor risiko utama

dalam infertilitas.7 Pentingnya patofisiologi bakteriospermia telah

dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa patomekanisme

yang mungkin dalam perkembangan infertilitas terkait dengan infeksi

dianggap berefek secara langsung pada fungsi sperma (motilitas dan

morfologi), penurunan spermatogenesis, proses autoimun yang

disebabkan oleh peradangan dan disfungsi kelenjar seks aksesori.4,6

Oleh karena itu, investigasi mikrobiologi bagi pria dari pasangan

infertil berguna untuk mendeteksi infeksi saluran urogenital pria,

khususnya infeksi yang tanpa gejala (asimptomatik).

Efek berbahaya dari bakteri pada spermatozoa tergantung

pada jenis dan spesies mikroorganisme, kolonisasi, atau infeksi

saluran kelamin pria yang berhubungan dengan stres oksidatif yang

menyertainya.20 Infeksi genital dapat mempengaruhi fungsi sekretorik

dalam vesikula seminalis dan prostat.

Male Accessory Glands Infection (MAGI) juga dapat

menurunkan sekresi alpha-glucosidase epididimis yang telah terbukti

memiliki efek positif pada kemampuan spermatozoa binding capacity

dan inseminasi intrauterine.21,22 Infeksi mikroba telah dikaitkan

dengan masalah infertilitas dalam berbagai studi.8,23

Efek inhibisi bakteri dalam hal ini E.coli telah terbukti memiliki

efek negative yang signifikan pada parameter motilitas sperma.24,25,26

Golshani dkk (2006) mencatat bahwa gangguan motilitas dan

19
kelainan morfologi lebih sering dijumpai pada kasus kasus dengan

bakteriosperma positip terutama pada sampel dimana E.coli dan

Enterococci positip.27

Efek lain dari bakteri patogen pada spermatozoa adalah

perusakan membran spermatozoa. Integritas struktur dan fungsi

membran sperma sangat penting bagi viabilitas spermatozoa. Efek

bakteri patogen terhadap membran spermatozoa secara in vitro

dipelajari oleh Qiang dkk dimana hasilnya menunjukkan bahwa

ketika sperma diberi β-hemolitik strain, membran kepala sperma

tersebut bengkak, cacat, kabur dan bahkan putus.28 Selain itu

Membran akrosom dan membran inti juga tampak terluka, bergulung,

mengkerut dan patah, membran di leher dan bagian tengah ekor

juga cacat, mitokondria tidak teratur dan beberapa komponen

dibebaskan dari sitoplasma, tetapi membran di bagian ujung ekor

tidak terlalu rusak dan relatif utuh. Hal ini menunjukkan bahwa

bakteri hemolitik merusak membran spermatozoa secara signifikan.

Elbhar (2005) melaporkan bahwa kesuburan pria sangat

menurun karena adanya infeksi pada saluran urogenital. Oleh karena

itu infeksi dianggap sebagai salah satu kelainan pada semen yang

berkontribusi untuk infertilitas. Infeksi ini ditandai dengan adanya

leukosit dalam semen, sehingga disebut leuksitospermia atau

pyospermia.29

20
Wolff dkk (1990) menyatakan bahwa identifikasi dan

kuantifikasi leukosit dalam semen harus terintegrasi dalam setiap

pemeriksaan infertilitas pria karena leukosit dapat mempengaruhi

kualitas sperma baik secara in vitro maupun in vivo.12

Munoz dan Witkin (1995) menyatakan bahwa mekanisme yang

menyebabkan infertilitas melalui infeksi C. trachomatis tidak jelas.

Diasumsikan bahwa infeksi bakteri pada saluran genital, khususnya

dengan C. trachomatis merangsang sistem imun, mungkin melalui

vasoepididymitis terjadi obstruksi unilateral sehingga terjadi

penurunan jumlah sperma atau spermatozoa terpapar sel sel imun

dalam kondisi peradangan.30


31
Donovan dan Lipshultz memperkirakan bahwa infeksi

menyebabkan infertilitas melalui mekanisme sebagai berikut :

− Bakteri melekat pada sperma

− Faktor immobilisasi yang diproduksi oleh bakteri, terutama E.coli.

− Rekrutmen sistem imun, dan

− Perubahan dari Fungsi kelenjar reproduksi.

World Health organization Guidelines (WHO,1992)32

mendefenisikan suatu infeksi traktus seminalis dengan beberapa

parameter :

− Significant bacteriospermia (dimana dijumpai bakteri ≥ 103/ml

ejakulat).

− Ditemukan adanya Neisseria gonorrhoe/ C.trachoma.


21
− Significant Leukocytospermia( dimana dijumpai leukoisit ≥ 106 /ml

ejakulat peroxidase-positip)

22

Anda mungkin juga menyukai