Uji Asumsi-Asumsi Desain Eksperimen
Uji Asumsi-Asumsi Desain Eksperimen
ANNISA AZIZAH
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN
multivariate yang berfungsi untuk membedakan rata-rata lebih dari dua kelompok data
statistic parametrik. Sebagai alat statistik parametrik, maka untuk dapat menggunakan
rumus ANOVA harus terlebih dahulu perlu dilakukan uji asumsi meliputi normalitas,
Analisis varian dapat dilakukan untuk menganalisis data yang berasal dari
berbagai macam jenis dan desain penelitian. Analisis varian banyak dipergunakan pada
independen yang diamati. Analisis varian saat ini banyak digunakan dalam penelitian
survey dan penelitian eksperimen. One way anova dilakukan untuk menguji perbedaan
Konsep analisis variansi didasarkan pada konsep distribusi F dan biasanya dapat
diaplikasikan untuk berbagai macam kasus maupun dalam analisis hubungan antara
1
dianggap sama. Sedangkan asumsi bebas menjelaskan bahwa variansi masing-masing
Oleh karena itu penulis memfokuskan pembahasan annova dari sudut pandang uji
asumsi-asumsi Annova dalam desain eksperimen, yang akan disusun dalam sebuah
2
BAB II
PEMBAHASAN
τ1 = +1 (8+1+1) = 10 (8+1+2) = 11 1
τ2 = +3 (8+3+1) = 12 (8+3+2) = 13 1
Selisih Pengaruh 2 2
Perlakuan
3
β1 = +1 β1= +2 Ulangan
τ1 = +1 (8+1+1) = 10 (8+1+2) = 11 1
τ2 = +3 (8+3+1) = 12 (8+3+2) = 13 1
Selisih Pengaruh 2 2
Perlakuan
Faktor A
1 2 3 Pengaruh multiplikatif
5 10 15 Pengaruh multiplikatif
Pengaruh multiplikatif
0.70 1.00 1.18
(log)
4
Terdapat interaksi antara perlakuan dengan faktor lain yang tidak
dimasukkan dalam model, seperti jenis kelamin, jenis varietas, dan
sebagainya.
Dalam Rancangan Acak Kelompok, biasanya terjadi interaksi antara
perlakuan dengan kelompok
𝒀𝒊𝒋 = 𝝁 + 𝝉𝒊 + 𝜺𝒊𝒋 𝒊 = 𝟏, 𝟐, … , 𝒑
𝒋 = 𝟏, 𝟐, … , 𝒏
Dimana:
𝑌𝑖𝑗 = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
𝜇 = Nilai rata-rata
𝜏𝑖 = Pengaruh perlakuan ke-i
𝜀𝑖𝑗 = Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-1 ulangan ke-j
𝑝 = Banyaknya perlakuan
𝑛 = Banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i
Adanya ketidakaditivan dalam data mengakibatkan keheterogenan
galat yang disebabkan oleh tak terpenuhinya asumsi, karena tidak dilakukan
transformasi sebelumnya. Komponen ragam galat yang disumbang oleh
berbagai pengamatan tidak menduga ragam yang sama. Ragam galat
gabungan yang diperoleh sedikit tidak efisien untuk selang kepercayaan
pengaruh perlakuan, dan dapat memberi tingkat nyata yang palsu untuk
pembandingan nilai tengah perlakuan tertentu, tetapi tingkat nyata bagi uji F
yang mencakup semua nilai tengah perlakuan hanya dipengaruhi sedikit.
5
Tabel Analisis Ragam untuk Uji Aditivitas
Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat (JK)
Keragaman
Bebas (db)
(SK)
𝑝 2
𝑛
𝑝 2
Non (∑𝑖=1 ∑𝑛𝑗=1 𝑌𝑖𝑗 (𝑌̅𝑖 − 𝑌̅⋯ )(𝑌̅𝑗 − 𝑌̅⋯ ))
1 2
Aditivitas ∑𝑝𝑖=1(𝑌̅𝑖 − 𝑌̅⋯ )2 ∑𝑛𝑗=1(𝑌̅𝑗 − 𝑌̅⋯ )
Hipotesis:
𝐻0 : 𝑎 = 0
𝐻0 : 𝑎 ≠ 0
Kaidah Keputusan:
Terima H0 jika KT NA ≤ Fhit, maka dapat disimpulkan bahwa antara
pengaruh perlakuan dengan lingkungan dapat dikatakan bersifat aditif,
sehingga analisis ragam dapat digunakan pada data tersebut.
Tolak H0 jika KT NA > Fhit, maka dapat disimpulkan bahwa antara
pengaruh perlakuan dengan lingkungan tidak memenuhi sifat keaditivan.
6
Dalam praktiknya, jarang sekali ditemukan sebaran nilai pengamatan yang
mempunyai bentuk ideal, seperti distribusi normal, bahkan sebaliknya, kita
sering menemukan bentuk yang cenderung tidak normal (skewed atau
multimodal) karena keragaman dari sampling. Keragaman ini terjadi apabila
ukuran sampel yang terlalu sedikit, misalnya kurang dari 8–12 (Keppel &
Wickens, 2004; Tabachnick & Fidell, 2007), atau apabila terdapat outliers.
Outlier biasanya terjadi karena adanya kesalahan, terutama kesalahan dalam
entri data, salah dalam pemberian kode, kesalahan partisipan dalam
mengikuti instruksi, dan lain sebagainya.
Beberapa contoh kasus yang sebaran datanya cenderung tidak normal
misalnya:
Banyaknya parasit dalam kehidupan liar
Perhitungan jumlah bakteri
Data dalam bentuk proporsi atau persentase
Skala Arbitrary, seperti pengujian 10 skala uji rasa
Penimbangan objek yang sangat kecil, berhubungan dengan
keterbatasan alat penimbangan.
Hal lain yang bisa merusak asumsi kenormalan ini adalah apabila dalam
melakukan pengacakan (randomization) tidak sesuai dengan prinsip
pengacakan suatu rancangan percobaan. Hal ini memungkinkan data akan
menyebar secara tidak normal.
2.2.3 Uji Ketaknormalan
Pemeriksaan asumsi kenormalan dapat dilakukan antara lain dengan
menggunakan uji Anderson Darling, uji Kolmogorov Smirnov, dan uji Jarque
Bera.
1. Uji Anderson Darling
Uji Anderson Darling ini, menggunakan fungsi sebaran komulatif empiris
berdasarkan fungsi sebaran data contoh. Sebaran empiris menaksir
fungsi sesungguhnya dari sebaran data tersebut, sehingga akan
mendekati nilai yang sebenarnya. Namun, untuk melakukan pengujian
7
dengan menggunakan uji ini, nilai kritis harus dihitung terlebih dahulu
dari setiap data contoh, sehingga kurang efsien.
Dengan:
𝑊 = Fungsi sebaran kumulatif normal baku
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
Hipotesis:
H0 ∶ Data menyebar secara normal
H1 ∶ Data tidak menyebar secara normal
Untuk nilai kritis dari statistik uji ini diberikan:
𝛼 0.1 0.05 0.025 0.01
𝐴2 0.631 0.752 0.873 1.035
Kaidah Keputusan:
Terima H0 jika 𝐴2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐴2𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga dapat disimpulkan bahwa
data tersebut menyebar normal.
Tolak H0 jika 𝐴2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐴2𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga dapat disimpulkan bahwa
data tersebut tidak menyebar normal.
2. Uji Kolmogorov Smirnov
Statistik uji yang digunakan dalam uji ini adalah Chi Square. Uji ini
mampu memberikan pendekatan nilai eksak dengan nilai maksimum = 1
dan nilai kenormalan minimum = 0. uji Kolmogorov Smirnov menggunKan
sebaran kumulatif contoh dan sebaran kumulatif distribusi normal.
Statistik ujinya adalah
𝐃𝐧 = 𝐦𝐚𝐤𝐬 [𝐅𝐧(𝐲) − 𝐅𝐨(𝐲)]
Dengan:
8
𝑛 = jarak tegak maksimum antara fungsi sebaran empiris dan fungsi
sebaran normal
Fn(y)= sebaran kumulatif contoh
Fo(y)= sebaran kumulatif distribusi normal
Hipotesis:
H0 ∶ Fo(y)
H0 ∶ F(y) ≠ Fo(y)
Berdasarkan uji ini, Ho akan ditolak pada taraf apabila Dn > Dnα untuk
Dnα mempunyai titik kritis sepeti pada tabel berikut :
𝛼 0.01 0.05 0.1
dn𝛼 163⁄√𝑛 1.36⁄√𝑛 1.22⁄√𝑛
9
𝑚4
K=
(𝑚2 )2
Dan 𝑚𝑘 adalah momen ke k dengan persamaan
𝑝
1
𝑚𝑘 = ∑(𝑌𝑖 − 𝑦̅)𝑘
(𝑛 − 1)
𝑖=1
Dimana:
JB = Statistik uji untuk uji Jarque Bera
n = Ukuran data
S = Skewnss (keasimetrian) sebaran
K = kurtosis (kelandaian sebaran)
𝑚2 = momen kedua dari fungsi distribusi yang diuji
𝑚3 = momen ketiga dari fungsi distribusi yang di uji
𝑚4 = momen keempat fungsi distribusi yang diuji
Hipotesis
H0 ∶ Data menyebar secara normal
H1 ∶ Data tidak menyebar secara normal
Bila sebaran tersebut benar-benar berdistribusi normal, maka
skewnessnya akan mendekati 0 dan kurtosisnya mendekati 3. Sedangkan
dari hasil perhitungan statistic ujinya, dapat kita bandingkan dengan nilai
kritis dari 𝑋 2 dengan derajad bebas 2 pada taraf signifikan. Keputusan
untuk menolak H0 akan didapat apabila diperoleh statistik uji yang
bernilai lebih besar daripada nilai kritis sebaran 𝑋 2 .
Kaidah Keputusan:
𝟐
Terima H0 jika JB ≤ 𝑋[(𝑝−1)(𝛼 , sehingga dapat disimpulkan bahwa
)]
2
10
Asumsi lain yang mendasari analisis ragam adalah kehomogenan ragam atau asumsi
homoskedastisitas (homoscedasticity). Homoskedastisitas berarti bahwa ragam dari
nilai residual bersifat konstan. Asumsi homogenitas mensyaratkan bahwa distribusi
residu untuk masing-masing perlakuan/kelompok harus memiliki ragam yang sama.
Dalam prakteknya, ini berarti bahwa nilai Yij pada setiap level variabel independen
masing-masing beragam di sekitar nilai rata-ratanya.
i. Ragam nilai residual dan ragam data pengamatan dalam grup yang sama seharusnya
homogen
ii. Dampak ketidakhomogenan ragam lebih serius dibandingkan dengan
ketidaknormalan data karena dapat mempengaruhi Uji-F. Hal ini akan meningkatkan
kesalahan tipe I (tampak seperti ada pengaruh dari perlakuan padahal sebenarnya
tidak ada)
iii. Box plot data pengamatan seharusnya tersebar merata diantara kelompok perlakuan
(among grup)
iv. Sebaran residual harusnya merata pada saat diplotkan dengan nilai rata-ratanya
Ragam yang heterogen merupakan penyimpangan asumsi dasar pada analisis ragam.
Data yang seperti ini tidak layak untuk dianalisis ragam. Artinya untuk bisa dianalisis
ragam, data harus mempunyai ragam yang homogen.
11
Ragam yang tidak homogen ditambah dengan ukuran sampel yang tidak sama, dapat
menjadi masalah serius pada pengujian hipotesis dengan ANOVA. Pelanggaran
terhadap asumsi ini lebih serius dibandingkan dengan asumsi Normalitas, karena
akan berdampak serius terhadap kepekaan hasil pengujian analisis ragam. Wilcox et
al. (1986) dengan menggunakan data simulasi membuktikan bahwa:
i. Dengan empat perlakuan/kelompok dan ukuran contoh (n) sama, yaitu sebelas,
rasio standar deviasi terbesar dengan terkecil = 4:1 (berarti rasio ragam = 16:1)
menghasilkan tingkat kesalahan Tipe I untuk taraf nyata 0.05 adalah sebesar
0.109.
ii. Selanjutnya, dengan batasan yang sama seperti di atas, namun ukuran sampelnya
yang berbeda, yaitu 6, 10, 16 dan 40, laju kesalahan Tipe I dapat mencapai 0,275.
Ragam yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih kecil akan mengakibatkan
peningkatan tingkat kesalahan Tipe I sehingga uji F cenderung liberal dimana nilai
taraf nyata yang kita tentukan 0.05, pada kenyataannya nilai α tersebut lebih
longgar, misalnya 0.10. Sebaliknya, Ragam yang lebih besar dengan ukuran sampel
yang lebih besar mengakibatkan berkurangnya power, sehingga uji F cenderung lebih
konservatif dimana nilai taraf nyata yang kita tentukan 0.05, pada kenyataannya nilai
α tersebut lebih ketat, misalnya 0.01. Pengujian homogenitas ragam dapat dilakukan
dengan beberapa cara seperti uji bartlet dan uji levene.
a. Uji Bartlet
Hipotesis : 𝐻0 ∶ 𝜎1 2 = 𝜎2 2 = ⋯ = 𝜎𝑝 2 = 𝜎 2
12
𝑝
∑𝑖=1(𝑛𝑖 −1)𝑆 2 𝑖
𝑆2 = 𝑝
∑𝑖=1(𝑛𝑖 −1)
2
̅̅̅2
(𝑌𝑖𝑗 −𝑌) 𝑛𝑖 ∑𝑛 2 𝑛
𝑗=1 𝑌 𝑖𝑗 −(∑𝑗=1 𝑌𝑗 )
𝑆 2 𝑖 = ∑𝑛𝑗=1 = dengan i = 1,2,..., p : j = 1,2,...,r
𝑛𝑖 −1 𝑛𝑖 (𝑛𝑖 −1)
Namun apabila 𝑋ℎ𝑖𝑡 2 secara nyata dekat dengan nilai kritis, maka 𝑋ℎ𝑖𝑡 2 dikoreksi
𝑋ℎ𝑖𝑡 2 ⁄
dengan 𝐹𝐾
1 1 1
FK = 1 + [(3(𝑝−1) [(∑𝑝𝑖=1 𝑛 −1) − ( 𝑝 1 )]]
𝑖 ∑𝑖=1
𝑛𝑖 −1
b. Uji Levene
Dari bentuk model klasifikasi 1 arah 𝑌𝑖𝑗 = 𝜇 + 𝜏𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 , maka dapat diduga
besarnya kuadrat terkecil untuk 𝜀𝑖𝑗 adalah
𝜀̂2 𝑖𝑗 = (𝑌𝑖𝑗 − 𝑌
̂𝑖 + 𝑌̂)2
Dengan uji lavene, maka dibentuk peubah baru yaitu g dan 𝑔2 sedemikian
sehingga 𝑔𝑖𝑗 |𝜀𝑖𝑗 | dan 𝑔2 𝑖𝑗 = |𝜀𝑖𝑗 |2
JKT
13
Dengan faktor koreksi sebesar :
𝑝 2
(∑𝑖=1 ∑𝑛
𝑗=1 𝑔𝑖𝑗 )
FK = 𝑝𝑛
Hipotesis : 𝐻0 ∶ 𝜎1 2 = 𝜎2 2 = ⋯ = 𝜎𝑝 2 = 𝜎 2
Statistik Uji :
𝐽𝐾𝑃⁄
𝐾𝑇𝑃 𝑑𝑏𝑃
𝐹ℎ𝑖𝑡 = = ~ 𝐹(𝛼)[𝑝(𝑛−2)]
𝐾𝑇𝐺 𝐽𝐾𝐺 ⁄𝑑𝑏𝐺 2
i. Tidak bebas:
o Terdapat korelasi positif diantara ulangan dalam masing-masing kelompok
perlakuan (within group) yang akan menghasilkan nilai ragam yang berada di
bawah dugaan (under estimate) sehingga akan meningkatkan nilai kesalahan
tipe I (nilai α – pengaruh perlakuan yang terdeteksi tidak benar). Sering
terjadi pada pengamatan yang dilakukan secara berulang pada satuan
percobaan yang sama (repeated measure).
14
o Terdapat korelasi negatif diantara ulangan dalam masing-masing kelompok
perlakuan (within group) yang akan menghasilkan nilai ragam yang berada di
atas dugaan (over estimate) sehingga akan meningkatkan nilai kesalahan tipe
II (nilai β – pengaruh yang sebenarnya tidak terdeteksi)
o Respons pada salah satu perlakuan mempengaruhi respons pada perlakuan
lainnya, misalnya hewan yang bergerak ke perlakuan lainnya.
ii. Asumsi ini harusnya dipertimbangkan pada saat perancangan sebelum
percobaan dimulai.
Seringkali uji independensi ini di abaikan oleh para peneliti, terutama peneliti dalam
ilmu-ilmu sosial dan perilaku. Hays (1981) dan Stevens (2002) menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap independensi data merupakan masalah yang sangat serius
dalam analisis ragam. Konsekuensinya akan menyebabkan inflasi terhadap nilai taraf
nyata (α) yang sudah ditentukan. Sebagai contoh, Stevens (2002) menyatakan bahwa
meskipun indikasi adanya independensi di antara nilai pengamatan hanya sedikit,
namun akan meningkatkan nilai kesalahan tipe I (nilai α – pengaruh perlakuan yang
terdeteksi tidak benar) beberapa kali lebih besar, misalnya apabila taraf nyata yang
kita tentukan sebesar 0.05, nilai taraf nyata aktual akan jauh lebih besar (misalnya,
0.10 atau 0.20).
o Apabila nilai perlakuan saling bebas, datanya akan tersebar di sekitar garis
horisontal
o Apabila independen, sebarannya akan mengikuti pola tertentu, misalnya linier,
kuadratik, atau bentuk kurva lainnya.
2.4.4 Solusi
15
Asumsi kebebasan galat ini biasanya bisa terpenuhi apabila pengacakan satuan
percobaan sudah dilakukan dengan benar (sesuai dengan prinsip-prinsip
perancangan percobaan). Jadi apabila susunan satuan percobaan anda tersusun
secara sistematis, maka kemungkinan asumsi kebebasan galat akan dilanggar.
Transformasi data yang sesuai akan membantu dalam menghilangkan pengaruh
dependensi ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Steel, Robert G.D. dan James H. Torrie. 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika
Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi Kedua. Alih Bahasa: Bambang Sumantri.Gramedia
Pustaka Tama. Jakarta.
http://www.minitab.com/resources/whitepapers/normprob.aspx
17