Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. 1. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal
antara vertebra lumbal 1 dan 4. Ginjal terdiri dari korteks dan medula. Tiap ginjal
terdiri dari 8-12 lobus yang berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di korteks
dan puncaknya yang disebut papilla bermuara di kaliks minor. Pada daerah
korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal.

Panjang dan beratnya bervariasi yaitu ±6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup
bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram. Pada janin permukaan ginjal tidak
rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya
umur.

Tiap ginjal mengandung ± 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang


berhubungan dengannya ). Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin
35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan
selanjutnya adalah hipertrofi dan hiperplasia struktur yang sudah ada disertai
maturasi fungsional.

1
Tiap nefron terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, anse
henle dan tubulus distal. Glomerulus bersama dengan kapsula bowman juga
disebut badan maplphigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus
tetapi peranan tubulus dalam pembentukan urine tidak kalah pentingnya.

1. 2 Fungsi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.

Fungsi utama ginjal terbagi menjadi :


1. Fungsi ekskresi
 Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
 Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan
H+dan membentuk kembali HCO3ˉ
 Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang
normal.
 Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama
urea, asam urat dan kreatinin.

2
2. Fungsi non ekskresi
 Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
 Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam
stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
 Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
 Degradasi insulin.
 Menghasilkan prostaglandin
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi
yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida
dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan.
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak
diperlukan dalam tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak
diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang
melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang akhirnya terbentuk
terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga
sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.

1.3 Sistem Glomerolus Normal


Glomerulus terd iri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi
oleh simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks
dan medula (“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer.
Percabangan kapiler berasal dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang

3
dalam keadaan normal tidak nyata, dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola
efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub
vaskuler. Di seberangnya terdapatkutub tubuler, yaitu permulaan tubulus
contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler
tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang terdi ri
atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak
paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang
mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel
epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan
sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”. Maka itu sel
epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit
terdapat membrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane).
Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan
mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan,
yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina
rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel
epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai
Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler
pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler.
Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi
membentuk bulan sabit (”crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau
sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa.

Populasi glomerulus ada 2 macam yaitu :


1. glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada
dibagian luar korteks.
2. glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang
sampai ke bagian dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di
perbatasan korteks dan medula dan merupakan 20% populasi nefron tetapi
sangat penting untuk reabsoprsi air dan elektrolit.

4
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi sebagai
penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel, mempunyai
sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra
dengan diameter 500-1000 A. Membran basal glomerulus membentuk suatu
lapisan yang berkesinambungan, antara sel endotel dengan mesangial pada satu
sisi dan sel epitel disisi lain.

Membran tersebut mempunyai 3 lapisan yaitu :


1. Lamina dense yang padat (ditengah)
2. Lamina rara interna, yang terletak diantara lamina densa dan sel endotel
3. Lamina rara eksterna, yang terletak diantara lamina densa dan sel epitel

Sel-sel epitel kapsula bowman viseral menutupi kapiler dan membentuk tonjolan
sitoplasma foot process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna. Diantara
tonjolan-tonjolan tersebut adalah celah-celah filtrasi dan disebut silt pore dengan
lebar 200-300 A. Pori-pori tersebut ditutupi oleh suatu membran disebut slit
diaphgrma. Mesangium (sel-sel mesangial dan matrik) terletak dianatara kapiler-
kapiler gromerulus dan membentuk bagian medial dinding kapiler. Mesangium
berfungsi sebagai pendukung kapiler glomerulus dan mungkin bereran dalam
pembuangan makromolekul (seperti komplek imun) pada glomerulus, baik

5
melalui fagositosis intraseluler maupun dengan transpor melalui saluran-saluran
intraseluler ke regio jukstaglomerular.

Tidak ada protein plasma yang lebih besar dari albumin pada filtrat gromerulus
menyatakan efektivitas dari dinding kapiler glomerulus sebagai suatu barier
filtrasi. Sel endotel, membran basal dan sel epitel dinding kapiler glomerulus
memiliki kandungan ion negatif yang kuat. Muatan anion ini adalah hasil dari 2
muatan negatif :proteoglikan (heparan-sulfat) dan glikoprotein yang mengandung
asam sialat. Protein dalam darah relatif memiliki isoelektrik yang rendah dan
membawa muatan negatif murni. Karena itu, mereka ditolak oleh dinding kapiler
gromerulus yang muatannnya negatif, sehingga membatasi filtrasi.

6
2. FISIOLOGI

2.1. Filtrasi glomerulus


Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus, plasma disaring melalui
dinding kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel,
mengandung semua substansi plasma seperti ektrolit, glukosa, fosfat, ureum,
kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah kecuali protein
yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperti albumin dan globulin). Filtrat
dikumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ke dalam tubulus sebelum
meningalkan ginjal berupa urin.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut
single nefron glomerular filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentuka
oleh faktor dinding kapiler glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.

SN GFR = Kf.(∆P-∆π)
= Kf.P.uf

7
Koefesien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerulus
yang tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal.

Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya Starling dalam kapiler ditentukan oleh :
- tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerulus (Pg)
o tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman atau tubulus (Pt)
o tekanan onkotik dalam kapiler glomerulus (π g)
o tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultra filtrat
tidak mengandung protein.

8
3.1 Definisi Glomerulonefritis Akut

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi
klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.

3.2 Etiologi Glomerulonefritis Akut


Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain: adanya zat yang berasal dari
luar yang bertindak sebagai antigen (Ag), rangsangan autoimun, dan induksi
pelepasan sitokin/ aktifasi komplemen lokal yang menyebabkan kerusakan
glomerular. Pada umumnya kerusakan glomerular (glomerular injury) tidak
diakibatkan secara langsung oleh endapan kompleks imun di glomerulus, akan
tetapi hasil interaksi dari sistem komplemen, mediator humoral dan selular.
Menurut kejadiannya GN dibedakan atas GN primer dan GN sekunder. Dikatakan
GN primer jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri dan GN sekunder jika
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti penyakit autoimun
tertentu, infeksi, keganasan atau penyakit metabolik.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah
infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus
beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57
dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul
gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai
resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907
dengan alasan bahwa:

9
1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
4. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
a. Bakteri : Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae,
Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
b. Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dl
c. Parasit : Malaria dan toksoplasma
1. Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada
manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini
diberi spesies nama S. pyogenes.

S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:


1. Sterptolisin O
Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada
oksigen. Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang
terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam
biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisin O bergabung dengan
antisterptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh
setiap streptokokus yang menghasilkan sterptolisin O. Antibodi
ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. fenomena ini merupakan dasar

10
tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang
melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi
sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi
setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.
2. Sterptolisin S
Adalah zat penyebab timbulnya zona hemolitik disekitar koloni sterptokokus
yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan
antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering
ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman
masa lalu dengan sterptokokus.

Streptococcus
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang
sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan
glomerulonefritis.

3. 2. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat

11
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran
basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit
menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi
yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang
sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya
kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul
subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-
bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus
tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari
reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari
infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang
menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.

Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan


mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-
kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel
membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan
terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini tidak
mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-
endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan
epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular
atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat

12
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada


terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.7
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat
terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik
yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat
fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau
subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali
dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun
subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan
membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal dengan masuknya
kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk pada sisi
epitel.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit


kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel,
sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah

13
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.

Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal
antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau
dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun
dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat,
seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.

3.3. PREVALENSI
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering
dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.

3.4. GEJALA KLINIS

14
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler
gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan
albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang
terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat
pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun
aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat
nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering
terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya
tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah
jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.

15
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan
jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu
dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan
tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-kadang
gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.

Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya


sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau
akibat vasospasme masih belum diketahui dengna jelas.

3.5. GAMBARAN LABORATORIUM


Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria
makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine
dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++),
albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Kadang-kadang kadar ureum dan
kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia,
asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya
proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik total
serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien
dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan
kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan
aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl).
Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan.
Kadar komplomen akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8
minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis

16
yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.
Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok
dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji
serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya
infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B.
Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi
terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin
meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun
beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum
diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis
dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer
ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi
yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer
antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan
secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.
kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai
nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.

3.6. GAMBARAN PATOLOGI


Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik
perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena,
sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan
lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula
infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak
teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh
globulin-gama, komplemen dan antigen Streptococcus.

17
3.7. DIAGNOSIS
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien
dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan
gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas
pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan
rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut
pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis
kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata
mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi
bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah
faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa
hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis
proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok
sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat
membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik

18
dan proteinuria masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar
komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang
penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan
pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl
sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik
akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada
glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis;
tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik
yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.

3.8. DIAGNOSIS BANDING


GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah :
1. Nefritis IgA
Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-2 hari, atau ini
mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan atas.
2. MPGN (tipe I dan II)
Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya dapat bermanifestasi
sama sperti gambaran nefritis akut dengan hipokomplementemia.
3. Lupus nefritis
Gambaran yang mencolok adalah gross hematuria
4. Glomerulonefritis kronis
Dapat bermanifestasi klinis seperti glomerulonefritis akut.

19
3. 9. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak
selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak
berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1
g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada
penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal
kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan
larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan
disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti
gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara

20
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena
kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi
akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.

3. 10. KOMPLIKASI
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi
ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia.
Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.

21
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.

3. 11. PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan
penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel
glomerulus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal
penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah
menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1
minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum
menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap
terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok
yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi
sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien
mengalami proteinuria ringan yang persisten. Sebaliknya prognosis
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa kurang baik.
Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria dan
hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di
Trinidad. Prevalensi hipertensi tidak berbeda dengan kontrol. Kesimpulannya
adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut pascastreptokok baik.
Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit
ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum
pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti
secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan
glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.

22
BAB IV
PEMBAGIAN GLOMERULONEFRITIS

GN pada umumnya dibagi atas dasar gambaran histopatologik dan atas dasar gambaran
klinisnya

Berdasarkan gambaran histopatologisnya dapat dibedakan atas;

GN lesi minimal = nefrosis lipoid

GN membranosa = ekstramembranosa = epimembranosa

GN proliferative = endokapiler = post streptococcal

GN kresentik = progresif cepat

GN membranoproliferatif = mesangiokapiler : tipe 1 dan 2

a. GN proloferatif fokal segmental = proliferative mesangial


b. Glomerulosklerosis fokal segmental
2. Diagnosis GN dapat ditegakkan dengan pemeriksaan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan
sederhana pada umunya dapat membantu menegakkan diagnosis klinik.
Pemeriksaan penunjang berupa biopsy ginjal dapat diperiksa dengan
mikroskop electron, kadar immunoglobulin, dan kadar komplemen.
Berdasarkan gambaran klinisnya GN dikenal 5 macam bentuk, yaitu;
a. Sindroma nefritis akut
b. Sindroma nefrotik
c. Kelainan urin persisten
d. Gagal ginjal akut progresif cepat
e. Gagal ginjal kronik

IV. 1. SINDROMA NEFRITIS AKUT


1. a. Definisi

23
Sindrom Nefritik Akut (Glomerulonefritis Akut, Glomerulonefritis Pasca Infeksi)
adalah suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah
dalam air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein
dalam air kemih) yang jumlahnya bervariasi.

1. b. Etiologi
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus,
misalnya strep throat.
Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus.

Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan


bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya.
Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya.

Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan
bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif.
Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas
3 tahun dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada usia diatas 50 tahun.

Sindroma nefritik akut juga bisa disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi lainnya,
seperti:
infeksi pada bagian tubuh buatan, endokarditis bakterialis, pneumonia, abses pada
organ perut, cacar air, hepatitis infeksius, sifilis, malaria, dll.

1. c. Gejala Klinis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama
kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema),
berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena
mengandung darah.

24
Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata,
tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat.

Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit kepala,
gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih serius.

1. d. Diagnosa
Urinalisis (analisa air kemih) menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan
konsentrasi urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi.

Kadar antibodi untuk streptokokus di dalam darah bisa lebih tinggi daripada
normal.

Kadang pembentukan air kemih terhenti sama sekali segera setelah terjadinya
glomerulonefritis pasca streptokokus, volume darah meningkat secara tiba-tiba
dan kadar kalium darah meningkat.
Jika tidak segera menjalani dialisa, maka penderita akan meninggal.

Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain streptokokus biasanya
lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya
masih berlangsung.

1. e. Therapi
Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid tidak
efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan. Jika pada saat
ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih berlangsung, maka segera
diberikan antibiotik. Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan
(misalnya katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan
infeksinya bisa diatasi. Untuk mengatasi infeksi biasanya dilakukan pengangkatan
katup buatan yang terinfeksi dan menggantinya dengan yang baru disertai dengan

25
pemberian antibiotik. Penderita sebaiknya menjalani diet rendah protein dan
garam sampai fungsi ginjal kembali membaik. Bisa diberikan diuretik untuk
membantu ginjal dalam membuang kelebihan garam dan air. Untuk mengatasi
tekanan darah tinggi diberikan obat anti-hipertensi. Jika terjadi gagal ginjal yang
berat, penderita perlu menjalani dialisa.

1. f. Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan yang sempurna. Jika
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya sejumlah besar protein dalam air
kemih atau terjadi kemunduran fungsi ginjal yang sangat cepat, maka
kemungkinan akan terjadi gagal ginjal dan kerusakan ginjal.

Pada 1% penderita anak-anak dan 10% penderita dewasa, sindroma nefritik akut
berkembang menjadi sindroma nefritik yang berkembang dengan cepat.

Sekitar 85-95% anak-anak kembali mendapatkan fungsi ginjalnya yang normal,


tetapi memiliki resiko tinggi menderita tekanan darah tinggi di kemudian hari.
Sekitar 40% dewasa mengalami penyembuhan yang tidak sempurna dan tetap
memiliki kelainan fungsi ginjal.

2. SINDROMA NEFROTIK
2. a. Definisi
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal.
Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria
dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat.
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh:
 Peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria)
 Penurunan albumin dalam darah
 Edema

26
 Serum cholesterol yang tinggi (hiperlipidemia)
Tanda – tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran
kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permiabilitas glomerulus.
2. b. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya
etiologi dibagi menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan


Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
 Malaria kuartana atau parasit lainnya.
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
 Glumerulonefritis akut atau kronik,
 Trombosis vena renalis.
 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air
raksa.
 Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop
biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
4. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu.
Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler
glomerulus.

27
5. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
6. Glomerulonefritis proliferatif
 Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
 Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
 Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai
kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
 Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA
rendah. Prognosis buruk.
 Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
7. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi
tubulus. Prognosis buruk.
2. c. Patofisiologi
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran glomerulus.
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju sintesis hepar
dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia. Hal ini
menyebabkan retensi garam dan air.
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan
yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler.
Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem imun angiotensin,
menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.

28
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
karena hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau defisiensi seng.
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau
sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini
dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang
dewasa termasuk lansia.

2. d. Manifestasi Klinik
Gejala utama yang ditemukan adalah :
 Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-
anak.
 Hipoalbuminemia < 30 g/l.
o Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura.
o Anorexia
o Fatigue
o Nyeri abdomen
o Berat badan meningkat
o Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
o Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis
vena dan arteri.
2. e. Komplikasi
 Infeksi (akibat defisiensi respon imun)
 Tromboembolisme (terutama vena renal)
 Emboli pulmo
 Peningkatan terjadinya aterosklerosis
 Hypovolemia
 Hilangnya protein dalam urin
 Dehidrasi

29
2. f. Pemeriksaan Diagnostik
 Adanya tanda klinis pada anak
 Riwayat infeksi saluran nafas atas
 Analisa urin : meningkatnya protein dalam urin
 Menurunnya serum protein
 Biopsi ginjal
2. g. Penatalaksanaan Terapeutik
 Diit tinggi protein, diit rendah natrium jika edema berat
 Pembatasan sodium jika anak hipertensi
 Antibiotik untuk mencegah infeksi
 Terapi diuretik sesuai program
 Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang
 Terapi prednison dgn dosis 2 mg/kg/hari sesuai program

IV. 3. KELAINAN URIN PERSISTEN


3. a. Kelainan dapat berupa:
 Hematuria ringan dengan atau tanpa silinder eritrosit
 Proteinuria dengan atau tanpa silinder hialin
 Piuria dengan atau tanpa silinder leukosit
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Hematuri
tanpa proteinuri atau silinder mungkin dapat merupakan satu-satunya petunjuk
adanya neoplasma, infeksi TBC, atau nefropati analgesic. Hematuria yang
menetap sering memerlukan pemeriksaan pielografi intravena, sistoskopo dan
kadang-kadang perlu pemeriksaan arteriografi. Hematuria glomerurer disertai atau
tanpa silinder eritrosit atau silinder granuler, tanpa proteinuri sering didapatkan
pada hematuria rekuren jinak dan penyakit Buerger.
Hematuri dan proteinuri glomeruler bila terjadi bersama-sama terdapat pada
banyak penyakit ginjal yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal kronis.
Hematuria dan proteinuri glomeruler mempunyai prognosa lebih jelek daripada
hematuri atau proteinuri saja.

30
Proteinuri adalah tanda dari banyak penyakit ginjal yang sedikit banyak
menunjukkan manifestasi reaksi peradangan dalam glomerolus misalnya pada
diabetes mellitus, amiloidosis, dll.
Proteinuri ringan dapat merupakan bentuk dari semua penyakit ginjal yang dapat
menjadi sindroma nefrotik dikemudian hari.
IV. 3. b. Tatalaksana
Disini pada umumnya tidak memerlukan penatalaksanaan khusus. Namun perlu
disingkirkan kemungkinan penyebab kelainan ekstraglomerular dan memerlukan
monitoring terus-menerus.

31
4.1 Glomerulonefritis kronik

Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau non inflamasi pada


glomerulus yang menyebabkan perubahan permeabilitas, perubahan struktur, dan
fungsi glomerulus. Data imunologik dan eksperimental menyokong bahwa
kerusakan glomerulus pada glomerulonefritis merupakan mekanisme imunologik.
Glomerulonefritis kronik adalah suatu gejala yang menggambarkan
penyakit peradangan pada glomerulus tahap akhir, yang ditandai dengan
kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang
perkembangannya perlahan lahan dan membahayakan serta berlangsung lama.

4.2 Epidemiologi

Data epidemiologi glomerulonefritis yang bersifat nasional belum ada dan


laporan dari berbagai pusat ginjal dan hipertensi masih terbatas. Hal ini
disebabkan biopsy ginjal tidak selalu dapat dilakukan dalam menegakkan
diagnosis etiologi glomerulonefritis. Data perhimpunan Nefrologi Indonesia
menunjukkan bahwa penyebab glomerulonefritis sebagai penyebab pasien
menjalani hemodialisis sebesar 39% pada tahun 2000. Sidabutar RP dan kawan
melaporkan bahwa dari 177 kasus glomerulonefritis yang dilakukan biopsi ginjal
didapatkan 35,6% menunjukkan manifestasi sindrom nefrotik, 19,2%
menunjukkan sindrom nefrotik akut 3,9% glomerulonefritis progresif cepat,
15,3% dengan hematuria, 19,3% dengan proteinuria, dan 6,8% hipertensi.

4.3 Patogenesis
A. Imunopatogenesis Glomerulonefritis
Proses imunologik diatur oleh berbagai faktor imunogenetik yang
menentukan bagaimana individu merespon terhadap suatu
kejadian. Secara garis besar dua mekanisme glomerulonefritis yaitu
circulating immune complex (CIC) dan terbentuknya deposit
komplek imun in-situ. Pada CIC, antigen (Ag) eksogen memicu
terbentuk antibody (Ab) spesifik, kemudian membentuk komplex

32
imun (Ag-Ab) dalam sirkulasi. Komplex imun akan mengaktivasi
system komplemen dan selanjutnya komplemen dengan Ag-Ab
bertujuan untuk membersihkan komplex imun dari sirkulasi
melalui reseptor C3b yang terdapat pada eritrosit. Komplex imun
akan mengalami degradasi dan dibersihkan dari sirkulasi pada saat
eritrosit melewati hati dan limpa. Apabila antigenemia menetap
menetap dan bersihan komplex imun terganggu, maka komplex
akan menetap dalam sirkulasi. komplex imun kemudian akan
menjebak pada glomerulus melalui ikatannya dengan reseptor Fc
yang terdapat pada sel mesangial atau mengendap secara pasif di
daerah mesangium atau ruang sub-endotel. Aktivasi sistem
komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan
komplex imun pada glomerulus.

Mekanisme pembentukan endapan komplex imun dapat terjadi secara in


situ apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen
dari membrane basal glomerulus (fixed-Ag) atau Ag dari luar yang terjebak pada
glomerulus (planted-antigen). Alternatif lain apabila Ag non-glomerulus yang
bersifat kation terjebak pada bagian anion dari glomerulus, diikuti pengendapan
Ab dan aktivasi komplemen secara lokal.

Kerusakan glomerulus pada Glomerulonefritis


Kerusakan glomerulus tidak hanya secara langsung disebabkan oleh endapan
komplex imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator
inflamasi, dan komplemen dari sel inflamasi. Pada sebagian glomerulonefritis,
endapan komplex imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan
menyebabkan proses inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi
sel. Pada glomerulonefritis non-proliferatif dan tipe sklerosing seperti
glomerulonefritis seperti membranosa atau glomerulosklerosis fokal segmental
tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang
mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan, komposisi dan lokasi endapan,
komposisi dan jumlah endapan, serta jenis Ab berpengaruh terhadap kerusakan
glomerulus.

Gambaran Klinis

33
Manifestasi klinik penyakit glomerular merupakan kumpulan gejala atau sindrom
klinis yang terdiri kelainan urin asimtomatik, hematuri makroskopik, sindrom
nefrotik, glomerulonefrotik progresif cepat dan kronik. Pada sebagian besar
penyakit glomerular tidak menunjukan gejala khas. Gejala dan tanda misalnya
proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, perubahan ekspresi garam dengan
akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi mungkin dapat ditemukan.
Ditemukan ureum dan kreatinin meningkat

Penatalaksanaan
Pemantauan klinik regular, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan
penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme
inhibitors, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists, AIIRA) bermanfaat sebagai pengobatan konservatif. Target tekanan
darah yang diharapkan <130/80 mmHg atau <125/75 mmHg bila proteinuria >1
g/24 jam. Pengaturan asupan protein 0,8 g/kg/hari sesuai berat badan ideal.
Ditambah kehilangan protein urin dalam 24 jam dan control kadar lemak darah
dengan HMG CoA reduktase diharapkan dapat membantu menghambat
progresivitas glomerulonefritis.
4.6 Komplikasi
Pada glomerulonefritis dengan gejala sindrom nefrotik yang disertai
proteinuria massif sehingga menyebabkan hipoalbuminemia dan kadar kolesterol
yang tinggi dalam darah merupakan faktor penyebab timbulnya komplikasi.
Hiiperkoagulasi dengan berbagai akibatnya dapat juga ditemukan pada sindrom
nefrotik yang disebabkan glomerulonefritis tertentu. Gangguan fungsi ginjal dapat
timbul pada glomerulonefritis yang disertai sindrom nefrotik berat. Pengobatan
imunosupresi yang tidak berhasil mencegah progresivitas glomerulonefritis dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Kerentanan terhadap timbulnya infeksi
sebagai komplikasi akibat penggunaan imunosupresi pada pengobatan
glomerulonefrotik perlu diperhatikan.

34
BAB III
STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP PASIEN

3.1. Status Orang Sakit


A. Anamnesis Pribadi

Nama Erikson Simare Mare


Umur 23 Tahun
Jenis Kelamin Laki-laki
Status Perkawinan Belum menikah
Pekerjaan Tidak bekerja

35
Suku Batak
Agama Protestan
Alamat Desa Sitanggur Punturaja

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama : Tidak bisa buang air kecil
Telaah :
Tidak bisa buang air kecil dialami pasien kurang lebih 2 hari yang lalu sebelum
masuk RS. Sebelumnya pasien juga mengeluhkan buang air kecil yang lebih
sedikit dari biasanya sejak dua minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan lemah
badan. Lemah dirasakan di seluruh tubuh sehingga membuat pasien tidak dapat
mengerjakan aktivitas sehari-harinya seperti biasanya, pasien hanya berbaring di
tempat tidur. Pasien juga tidak mau makan dan minum. Pasien mengalami
penurunan berat badan. Pasien tidak buang air besar selama 3 hari. Riwayat mual
dan muntah disangkal. Riwayat batuk, sesak nafas, nyeri dada, dan jantung
berdebar debar disangkal. Demam juga dialami pasien, demam bersifat hilang
timbul. Pasien memilliki riwayat penyakit darah tinggi sejak 4 tahun yang lalu
dengan tekanan darah sistolik tertinggi mencapai 200 mmHg. Pasien tidak
mengonsumsi obat hipertensi dengan rutin. Menurut keterangan pasien dikeluarga
pasien yaitu Ibu pasien juga memiliki penyakit darah tinggi.

C. Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien pernah menderita penyakit darah tinggi pada tahun 2015 dan pernah
mengonsumsi obat namun pasien tidak mengetahui secara jelas nama obatnya,
dan pasien tidak meminum obat secara rutin.
D. Riwayat Penggunaan Obat
Keterangan tidak jelas
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien memiliki penyakit darah tinggi.
F. Riwayat Pribadi
Riwayat alergi : Tidak dijumpai

36
Riwayat imunisasi : Tidak jelas
Hobi : Tidak dijumpai
Olahraga : Jarang
Kebiasaan makan : Tidak teratur
Merokok : 15 batang per hari
Minum alkohol : Tidak
Hubungan seks : Belum menikah
Penggunaan obat-obatan : Tidak dijumpai

G. Anamnesis Organ (Review of System)


1. Anamnesis Umum
-
- Badan kurang enak : (-)
- Merasa capek / lemas : (+)
- Merasa kurang sehat : (+)
- Deman : (-)
- Menggigil : (-)
- Pusing : (-)
- Nafsu makan Meningkatt
- Tidur : dbn
- Berat badan : Menetap
2. Anamnesis organ
a. Jantung
- Dyspnoe d’effort : (-) - Cyanosis : (-)
- Dyspnoe d’repos : (-) - Angina pectoris : (-)
- Asma cardial : (-) - Palpitasi cordis : (-)

b. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : (-)
- Gangguan tropis : (-)
- Sakit waktu istirahat : (-)

37
- Mati rasa di ujung jari : (-)
- Kebas-kebas : (-)

c. Traktus respiratorius
- Batuk : (-) - Nyeri tenggorokan : (-)
- Flu : (-) - Pernafasan cuping hidung : (-)
- Haemaptoe : (-) - Nyeri dada saat bernafas : (-)
- Dahak : (-) - Suara parau : (-)
- Sesak nafas : (-)

d. Traktus digestivus
1) Lambung
- Nyeri epigastrium sebelum/ - Muntah : (+)
sesudah makan : (-) - Hematemesis : (-)
- Rasa panas di epigastrium: (-) - Disfagia : (-)
- Ructus : (-) - Foetor ex ore : (-)
- Mual : (+) - Anoreksia : (-)
2) Usus
- Nyeri abdomen : (-) - Obstipasi : (-)
- Melena : (-) - Flatulensi : (-)
- Defekasi :Tidak - Borborygmi : (-)
dijumpai sejak 3 hari yang lalu - Hemoroid : (-)
- Diare : (-) - Tenesmus : (-)
3) Hati dan saluran empedu
- Nyeri di perut kanan : (-) - Icterus : (-)
- Gatal- gatal di kulit : (-) - Asites : (-)
- Kolik : (-) - Berak dempul : (-)

e. Ginjal dan Traktus Urinari


- Wajah sembab : (-) - Poliuria : (+)
- Kolik : (-) - Miksi (frek, vol., warna) : (-)
- Oliguria : (-) - Polaksuria : (-)
- Anuria : (+) - Mengedan saat miksi : (+)

f. Sendi

38
- Nyeri persendian : (-) - Bengkak : (-)
- Nyeri digerakkan : (-) - Merah : (-)
- Kaku sendi : (-)

g. Tulang
- Nyeri : (-) - Bengkak : (-)
- Faktur spontan : (-) - Deformitas : (-)

h. Otot
- Sakit : (-) - Kebas-kebas : (-)
- Kejang-kejang : (-) - Kelemahan otot :(-)

i. Darah
- Sakit di mulut dan lidah : (-) - Pembengkakan kelenjar : (-)
- Wajah pucat : (-) - Penyakit darah : (-)
- Pandangan berkunang : (-) - Ruam kemerahan di kulit : (-)
- Bengkak : (-) - Pendarahan sub kutan : (-)

j. Endokrin
1) Pankreas
- Polidipsi : (-) - Polifagi : (+)
- Poliuria : (-) - Pruritus : (-)
2) Tiroid
- Nervositas : (-) - Exoftalmus : (+/+)
- Struma : (-/-) - Miksodema : (-)
3) Hipofisis
- Akromegali : (-)
k. Sistem saraf
- Sakit kepala : (+) - Paralisis : (-)
- Hipoastesia : (-) - Tics :(-)
- Parastesia : (-)

l. Panca indra
- Penglihatan : dbn - Perasaan : dbn
- Pengecapan : dbn - Penciuman :dbn
- Pendengaran : menurun

39
m. Emosi dan Status Psikologi
Stabil

H. Status Present
Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/ menit, regular, t/v cukup
Frekuensi pernafasan : 18 x/ menit, regular
Temperatur : 37,2 oC
Keadaan Penyakit
- Anemia : (-) - Eritema : (-)
- Ikterus : (-) - Turgor : kembali cepat
- Sianosis : (-) - Gerakan aktif : (-)
- Dipsnoe : (-) - Sikap tidur paksa : (-)
- Edema : (-)

Keadaan Gizi
BB : 60 kg TB : 160 cm
IMT = 60 = 22,4 kg/m2 (normoweight)
(1,60)2

I. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : dbn
a. Wajah
- Sembab : (-) - Parase : (-)
- Pucat : (-) - Gangguan lokal : (-)
- Kuning : (-)
b. Mata
- Stand mata : dbn - Jaundice : (-/-)

40
- Gerakan : dbn - Anemis : (-/-)
- Exoftalmus : (-/-) - Reflek pupil : isokor
- Lidlag : (-/-) - Edema Palpebra : (-/-)
- Lid Retraction : (-/-)
c. Telinga
- Sekret : (-/-) - Bentuk : dbn
- Radang : (-/-) - Atrofi : (-)
d. Hidung
- Sekret : (-) - Benjolan-benjolan : (-)
- Bentuk : dbn
e. Bibir
- Sianonis : (-) - Kering : (+)
- Pucat : (-) - Radang : (-)
f. Gigi
- Karies : (-) - Jumlah : 32
- Pertumbuhan : dbn - Pyorroe alveolaris : (-)
g. Lidah
- Kering : (-) - Beslag : (-)
- Pucat : (-)
h. Tonsil
- Merah : (-) - Membran : dbn
- Bengkak : (-/-) - Angina lakunaris : (-)
- Beslag : (-)

2. Leher
Inspeksi
- Tortikolis : (-)
- Pembengkakan KGB : (-)
- Venektasi : (-)
- Pulsasi vena : dbn
Palpasi
- Posisi trakea : medial
- Tekan vena jugularis : R- 2 CmH2O
41
- Sakit / nyeri tekan : (-) di daerah struma, fiksasi (-)
- Kosta servikalis : dbn
Auskultasi
- Bruit : (-)
3. Thoraks Depan Kanan-Kiri
Inspeksi
- Bentuk : Simetris fusiformis
- Simetris/asimetris : Simetris
- bendungan vena : (-)
- ketinggalan bernafas : (-)
- venektasi : (-)
- pembengkakan : (-)
- pulsasi verbal : (-)
- mammae : (-)
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak dijumpai
- Fremitus suara : kanan = kiri, kesan normal
- Iktus : dbn
Perkusi
Paru- paru
- Paru : Sonor
- Batas Paru Hati (R/A) :
 Relatif : ICS IV linea midclavicularis dextra
 Absolute : ICS VI linea midclavicularis dextra

Jantung
- Batas atas jantung : ICS III linea mid clavicularis sinistra
- Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri jantung : ICS V, 1 cm ke medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi
Paru-paru
- Suara pernafasan : vesikuler (+/+)
- Frekuensi pernafasan : 18 x/menit, reguler
- Suara tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

42
Jantung
- Frekuensi Jantung : 90 x/menit, regular, intensitas cukup
- Suara katup : M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 A2 > P2
- Suara tambahan : (-)
- Desah jantung sistolis/ diastolis : (-)
- Gesek pericardial/ pleurocardial : (-)
4. Thoraks Belakang Kanan- Kiri
Inspeksi
- Bentuk : Simetris fusiformis
- simetris/asimetris : simetris
- benjolan : (-)
- scapula alta : (-)
- ketinggalan bernafas : (-)
- venektasi : (-)
Palpasi
- Penonjolan-penonjolan : tidak dijumpai
- Fremitus suara : kanan = kiri, kesan normal
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor
Auskultasi
- Suara pernafasan : vesikuler (+/+)
- Suara tambahan : ronkhi (-/-)
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : (-) - metereorismus : (-)
- Venektasi : (-) - Sirkulasi Kolateral : (-)
- Hepar :
Palpasi tidak teraba
- Defens muskular : (-)
- Ginjal
:Ballotement (-/-)
- Nyeri tekan : (+)
Perkusi
- Lien : - Pekak hati : dbn
tidak teraba - Shifting dullness : (-)
- Ren :
Auskultasi
tidak teraba - Peristaltik usus : (+),
kesan normal
43
- Double sound : (-) - Merah : (-/-)
- Kekuatan otot :5
6. Extremitas - Tremor : (-/-)
a. Atas - Tangan lembab : (-/-)
- - Gangguan fungsi : (-/-)
- Edema : (-/-) - Akral hangat : (+/+)
- Piting Edema : (-/-) - CRT <2 detik :(+/+)

b. bawah

- Edema : (-/-) - Gangguan fungsi : (-/-)


- Piting Edema : (-/-) - Akral hangat : (+/+)
- Merah : (-/-) - CRT <2 detik : (+/+)
- Kekuatan otot :5

7. Genitalia Luar : tidak dilakukan pemeriksaan


8. Pemeriksaan Colok Dubur (RT) : tidak dilakukan pemeriksaan

44
J. Pemeriksaan Laboratorium
16 MEI 2019
Darah Rutin Urine Rutin Feses Rutin
Hb : 9,19 g/dl
Eritrosit : 3,21 x 106/mm3
Leukosit : 9,330 /ul
Trombosit : 321000
Hematokrit : 25,2 %
MCV : 78,5 fl
MCH : 28,3 pg
MCHC : 36,1 g/dl
Eosinofil : 0,25 %
Basofil : 0,00 %
Neutrofil : 7,70%
Monosit : 0,62 %

Kimia Klinik
Alkaline Phospatase 113 U/L
SGOT 12 U/L
SGPT 15 U/L
Total Bilirubin 0,47 mg/dl
Direct Bilirubin 0,10 mg/dl
Ureum 397 mg/dl
Creatinin 25,6 mg/dl
Uric Acid 12,1 mg/dl
Glukosa Adrandom 150 mg/dl
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L
Kalium 3,9 mmol/L
Chlorida 109 mmol/L

17 Mei 2019
Imunologi
Hbsag Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
HIV 3 Metode Non reaktif

45
24 MEI 2019
Urine Rutin Feses Rutin
Warna: kuning -
Kekeruhan: keruh (jernih)
Protein: +++ (negative)
Reduksi: ++ (negative)
Sedimen – eritrosit: negatif
Sedimen – leukosit: 4-8 / lpb
Sedimen – renal epitel: negative
Sedimen – blass epitel: negatif
Sedimen – Vaq/ urether: 1-2/ lpb
Kristal – ca ovalat: negatif
Kristal – t. phospat: negatif
Kristal – cystin: negatif
Kristal – urat: negatif
Silinder : negatif
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : positif
Ph : 6,0
Berat jenis: 1,015
Nitrit : negatif

K. Radiologi
21 mei 2019
USG Ginjal
Uraian hasil pemeriksaan: Kesan :
Kedua ginjal ukuran normal, batas cortex sinus tidak Nefritis berat bilateral
tegas dan tidak tampak dilatasi pelvi calyces kanan Acites paravesica
kiri. Vesica urinaria dindingnya licin dan tidak
tampak batu, tidak tampak batu atau masa
didalamnya.

46
RESUME DATA DASAR

Nama Pasien : Erikson Simare Mare No. RM : 01.08.62.49


Keluhan Utama : Anuria
Anamnesis :
Anuria (+) sejak dua hari sebelum masuk RS. Sebelumnya pasoen mengeluhkan
BAK sedikit-sedikit. Malaise (+), dirasakan pasien sejak 2 minggu lalu sebelum
masuk RS. Riwayat nausea (+), vomitus (+), dan febris (+) bersifat hilang timbul.
BAB tidak bisa sejak 3 hari yang lalu.
RPT : hipertensi sejak 4 tahun yang lalu
RPK : Ibu pasien mempunyai hipertensi
Pemeriksaan Fisik :
Sensorium : Compos mentis
TTV : TD 150/90 mmHg / HR 90x/menit / RR 18x/menit / T 37,2oC
Kepala : tidak dijumpai kelainan/ Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral
anemis (+/+),/ Bibir: pucat/ Telinga: dbn/, hidung: dbn/ Leher : dbn/ thoraks :
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-)/ Abdomen: dbn / Ekstremitas: dbn.
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Darah Rutin (20 Maret 2019):
Hb : 9,19 g/dl
Eritrosit : 3,21 x 106/mm3
Leukosit : 9,330 /ul
Trombosit : 321000
Hematokrit : 25,2 %
MCV : 78,5 fl
MCH : 28,3 pg
MCHC : 36,1 g/dl
Eosinofil : 0,25 %
Basofil : 0,00 %
Neutrofil : 7,70%
Monosit : 0,62 %
2. Kimia Klinik (20 Maret 2019) :
Kimia Klinik
Alkaline Phospatase 113 U/L
SGOT 12 U/L
SGPT 15 U/L
Total Bilirubin 0,47 mg/dl
Direct Bilirubin 0,10 mg/dl
Ureum 397 mg/dl

47
Creatinin 25,6 mg/dl
Uric Acid 12,1 mg/dl
Glukosa Adrandom 150 mg/dl
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L
Kalium 3,9 mmol/L
Chlorida 109 mmol/L

3. Imunologi (22 Maret 2019):


17 Mei 2019
Imunologi
Hbsag Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
HIV 3 Metode Non reaktif

Radiologi :
Usg ginjal: nefritis berat bilateral

Diagnosis Utama : Chronic Kidney Disease stage V et causa


Glomerufonefritis
Diagnosis Banding :
- Chronic Kidney Disease stage V et causa hipertensi
- Chronic Kidney Disease stage V et causa nefropati diabetikum
Rencana Terapi :
- Tirah Baring
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1

Rencana Monitoring :

48
- Darah rutin
- Elektrolit
- Kimia klinik

49
3.2. Follow Up Pasien
17 mei 2019
S: mual (+), muntah (+), BAK (-)
O: Sensorium: CM
TD: 150/90 , HR: 88 x/i , RR: 18 x/i , Temp: 36,9oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
P: Tirah baring
IVFD RL 0,9% 10 gtt/menit
Amlodipine 1 x 10 mg
R/ ambil alih dr. Gusti
17 mei 2019
S: mual (+), muntah (+), BAK (-)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik

50
P: Tirah barin
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1

R/ HD

18 MEI 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/80 mmHg, HR: 82 x/i , RR: 16 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
Anemia
P: Tirah baring
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1

51
- Sf 1x1
- Callos 2x 1

R/ pemasangan double lumen


USG Ginjal dan sal kemih

20 Mei 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/90 mmHg, HR: 86 x/i , RR: 16 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
anemia
P: Tirah baring
- IVFD nefrosteril
R/ HD

21 Mei 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc

52
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (-/-),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
anemia
P: Tirah baring
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1

22 Maret 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (-/-),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik

53
anemia
P: Tirah baring
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- Omeprazole 1x1
- Domperidon 3 x 1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1

23 Mei 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 80 x/i , RR: 18 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (-/-),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
anemia
P: Tirah baring

R/ - urinalisa

54
55
BAB V
KESIMPULAN

Glomerunefritis merupakan penyakit perdangan ginjal bilateral. Glomerulonefritis


akut paling lazim terjadi pada anak-anak 3 sampai 7 tahun meskipun orang
dewasa muda dan remaja dapat juga terserang , perbandingan penyakit ini pada
pria dan wnita 2:1.
GNA ialah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi. Tidak semua infeksi streptokokus
akan menjadi glomerulonefritis, hanya beberapa tipe saja. Timbulnya GNA
didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respirotorius bagian kulit
oleh kuman streptokokus beta hemolitikus golongan A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49.
dari tipe tersebut diatas tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen disbanding yang
lain. Mengapa tipe tersebut lebih nefritogen dari pada yang lain tidak di ketahui.
Gejala-gejala umum yang berkaitan dengan permulaan penyakit adalh rasa lelah,
anoreksia dan kadang demam,sakit kepala, mual, muntah. Gambaran yang paling
sering ditemukan adalah :hematuria, oliguria,edema,hipertensi.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan glomerulonefritis adalah untuk
Meminimalkan kerusakan pada glomerulus, Meminimalkan metabolisme pada
ginjal, Meningkatkan fungsi ginjal.
Tidak ada pengobatan khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan
glomerulus. Pemberian penisilin untuk memberantas semua sisa infeksi,tirah
baring selama stadium akut, diet bebas bila terjadi edema atau gejala gagal
jantung danantihipertensi kalau perlu,sementara kortikosteroid tidak mempunyai
efek pada glomerulofritis akut pasca infeksi strepkokus.
Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan
penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal kembali
pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sembab dan
secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal(ureum dan
kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4
minggu.

56
Potter dan kawan-kawan menemukan kelainan sediment urine yang menetap
(proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17
tahun di Trinidad.Gejala fisik menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia
darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau
makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu. LED meninggi terus sampai
kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan dapat menetap untuk beberapa
bulan.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan,
tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap
menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit
glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED
digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap
tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh
sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi
glomerulonefritis kronis.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Tao L., Kendall K. Sinopsis organ sistem: Endokrinologi. Tanggerang :


Karisma Publishing; 2014. hh. 157-162.
2. Ginsberg J. Diagnosis and management of Graves' disease. Cmaj. 2003 Mar
4;168(5):575-85.
3. Vijayakumar, Abhishek, Giridhar Ashwath, and Durganna Thimmappa.
"Thyrotoxic periodic paralysis: clinical challenges." Journal of thyroid
research 2014 (2014).
4. Baumgartner, Fritz J., and Eric T. Lee. "Hyperthyroid hypokalemic periodic
paralysis in a Hispanic male." Journal of the National Medical Association
82.2 (1990): 129.
5. Yeung, Sai-Ching Jim. Graves Disease. Medscape [internet] 2018 Mar 23.
Medscape – diakses tanggal 21 April 2018
https://emedicine.medscape.com/article/120619-overview#a6
6. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves'
Disease. Acta Medica Indonesiana. 2018 Apr;50(2):177-82.
7. Lam L, Nair RJ, Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. InBaylor University
Medical Center Proceedings 2006 Apr 1 (Vol. 19, No. 2, pp. 126-129). Taylor
& Francis.
8. Arsyad E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Penyakit THT
UI. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007: 27-38.

58

Anda mungkin juga menyukai