TINJAUAN PUSTAKA
1. 1. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal
antara vertebra lumbal 1 dan 4. Ginjal terdiri dari korteks dan medula. Tiap ginjal
terdiri dari 8-12 lobus yang berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di korteks
dan puncaknya yang disebut papilla bermuara di kaliks minor. Pada daerah
korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal.
Panjang dan beratnya bervariasi yaitu ±6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup
bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram. Pada janin permukaan ginjal tidak
rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya
umur.
1
Tiap nefron terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, anse
henle dan tubulus distal. Glomerulus bersama dengan kapsula bowman juga
disebut badan maplphigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus
tetapi peranan tubulus dalam pembentukan urine tidak kalah pentingnya.
1. 2 Fungsi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.
2
2. Fungsi non ekskresi
Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam
stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Degradasi insulin.
Menghasilkan prostaglandin
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi
yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida
dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan.
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak
diperlukan dalam tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak
diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang
melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang akhirnya terbentuk
terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga
sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.
3
dalam keadaan normal tidak nyata, dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola
efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub
vaskuler. Di seberangnya terdapatkutub tubuler, yaitu permulaan tubulus
contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler
tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang terdi ri
atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak
paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang
mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel
epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan
sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”. Maka itu sel
epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit
terdapat membrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane).
Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan
mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan,
yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina
rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel
epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai
Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler
pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler.
Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi
membentuk bulan sabit (”crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau
sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa.
4
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi sebagai
penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel, mempunyai
sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra
dengan diameter 500-1000 A. Membran basal glomerulus membentuk suatu
lapisan yang berkesinambungan, antara sel endotel dengan mesangial pada satu
sisi dan sel epitel disisi lain.
Sel-sel epitel kapsula bowman viseral menutupi kapiler dan membentuk tonjolan
sitoplasma foot process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna. Diantara
tonjolan-tonjolan tersebut adalah celah-celah filtrasi dan disebut silt pore dengan
lebar 200-300 A. Pori-pori tersebut ditutupi oleh suatu membran disebut slit
diaphgrma. Mesangium (sel-sel mesangial dan matrik) terletak dianatara kapiler-
kapiler gromerulus dan membentuk bagian medial dinding kapiler. Mesangium
berfungsi sebagai pendukung kapiler glomerulus dan mungkin bereran dalam
pembuangan makromolekul (seperti komplek imun) pada glomerulus, baik
5
melalui fagositosis intraseluler maupun dengan transpor melalui saluran-saluran
intraseluler ke regio jukstaglomerular.
Tidak ada protein plasma yang lebih besar dari albumin pada filtrat gromerulus
menyatakan efektivitas dari dinding kapiler glomerulus sebagai suatu barier
filtrasi. Sel endotel, membran basal dan sel epitel dinding kapiler glomerulus
memiliki kandungan ion negatif yang kuat. Muatan anion ini adalah hasil dari 2
muatan negatif :proteoglikan (heparan-sulfat) dan glikoprotein yang mengandung
asam sialat. Protein dalam darah relatif memiliki isoelektrik yang rendah dan
membawa muatan negatif murni. Karena itu, mereka ditolak oleh dinding kapiler
gromerulus yang muatannnya negatif, sehingga membatasi filtrasi.
6
2. FISIOLOGI
Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut
single nefron glomerular filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentuka
oleh faktor dinding kapiler glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.
SN GFR = Kf.(∆P-∆π)
= Kf.P.uf
7
Koefesien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerulus
yang tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal.
Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya Starling dalam kapiler ditentukan oleh :
- tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerulus (Pg)
o tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman atau tubulus (Pt)
o tekanan onkotik dalam kapiler glomerulus (π g)
o tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultra filtrat
tidak mengandung protein.
8
3.1 Definisi Glomerulonefritis Akut
9
1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
4. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
a. Bakteri : Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae,
Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
b. Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dl
c. Parasit : Malaria dan toksoplasma
1. Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada
manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini
diberi spesies nama S. pyogenes.
10
tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang
melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi
sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi
setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.
2. Sterptolisin S
Adalah zat penyebab timbulnya zona hemolitik disekitar koloni sterptokokus
yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan
antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering
ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman
masa lalu dengan sterptokokus.
Streptococcus
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang
sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan
glomerulonefritis.
3. 2. PATOFISIOLOGI
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
11
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran
basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit
menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi
yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang
sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya
kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul
subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-
bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus
tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari
reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari
infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang
menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.
12
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.
13
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal
antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau
dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun
dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat,
seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.
3.3. PREVALENSI
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering
dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.
14
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler
gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan
albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang
terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat
pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun
aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat
nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering
terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya
tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah
jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.
15
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan
jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu
dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan
tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-kadang
gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
16
yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.
Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok
dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji
serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya
infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B.
Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi
terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin
meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun
beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum
diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis
dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer
ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi
yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer
antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan
secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.
kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai
nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.
17
3.7. DIAGNOSIS
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien
dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan
gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas
pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan
rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut
pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis
kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata
mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi
bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah
faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa
hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis
proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok
sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat
membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik
18
dan proteinuria masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar
komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang
penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan
pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl
sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik
akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada
glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis;
tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik
yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.
19
3. 9. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak
selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak
berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1
g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada
penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal
kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan
larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan
disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti
gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara
20
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena
kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi
akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
3. 10. KOMPLIKASI
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi
ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia.
Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
21
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.
22
BAB IV
PEMBAGIAN GLOMERULONEFRITIS
GN pada umumnya dibagi atas dasar gambaran histopatologik dan atas dasar gambaran
klinisnya
23
Sindrom Nefritik Akut (Glomerulonefritis Akut, Glomerulonefritis Pasca Infeksi)
adalah suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah
dalam air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein
dalam air kemih) yang jumlahnya bervariasi.
1. b. Etiologi
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus,
misalnya strep throat.
Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus.
Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan
bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif.
Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas
3 tahun dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada usia diatas 50 tahun.
Sindroma nefritik akut juga bisa disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi lainnya,
seperti:
infeksi pada bagian tubuh buatan, endokarditis bakterialis, pneumonia, abses pada
organ perut, cacar air, hepatitis infeksius, sifilis, malaria, dll.
1. c. Gejala Klinis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama
kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema),
berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena
mengandung darah.
24
Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata,
tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat.
Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit kepala,
gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih serius.
1. d. Diagnosa
Urinalisis (analisa air kemih) menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan
konsentrasi urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi.
Kadar antibodi untuk streptokokus di dalam darah bisa lebih tinggi daripada
normal.
Kadang pembentukan air kemih terhenti sama sekali segera setelah terjadinya
glomerulonefritis pasca streptokokus, volume darah meningkat secara tiba-tiba
dan kadar kalium darah meningkat.
Jika tidak segera menjalani dialisa, maka penderita akan meninggal.
Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain streptokokus biasanya
lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya
masih berlangsung.
1. e. Therapi
Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid tidak
efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan. Jika pada saat
ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih berlangsung, maka segera
diberikan antibiotik. Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan
(misalnya katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan
infeksinya bisa diatasi. Untuk mengatasi infeksi biasanya dilakukan pengangkatan
katup buatan yang terinfeksi dan menggantinya dengan yang baru disertai dengan
25
pemberian antibiotik. Penderita sebaiknya menjalani diet rendah protein dan
garam sampai fungsi ginjal kembali membaik. Bisa diberikan diuretik untuk
membantu ginjal dalam membuang kelebihan garam dan air. Untuk mengatasi
tekanan darah tinggi diberikan obat anti-hipertensi. Jika terjadi gagal ginjal yang
berat, penderita perlu menjalani dialisa.
1. f. Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan yang sempurna. Jika
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya sejumlah besar protein dalam air
kemih atau terjadi kemunduran fungsi ginjal yang sangat cepat, maka
kemungkinan akan terjadi gagal ginjal dan kerusakan ginjal.
Pada 1% penderita anak-anak dan 10% penderita dewasa, sindroma nefritik akut
berkembang menjadi sindroma nefritik yang berkembang dengan cepat.
2. SINDROMA NEFROTIK
2. a. Definisi
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal.
Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria
dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat.
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh:
Peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria)
Penurunan albumin dalam darah
Edema
26
Serum cholesterol yang tinggi (hiperlipidemia)
Tanda – tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran
kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permiabilitas glomerulus.
2. b. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya
etiologi dibagi menjadi :
27
5. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
6. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai
kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA
rendah. Prognosis buruk.
Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
7. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi
tubulus. Prognosis buruk.
2. c. Patofisiologi
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran glomerulus.
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju sintesis hepar
dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia. Hal ini
menyebabkan retensi garam dan air.
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan
yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler.
Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem imun angiotensin,
menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
28
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
karena hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau defisiensi seng.
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau
sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini
dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang
dewasa termasuk lansia.
2. d. Manifestasi Klinik
Gejala utama yang ditemukan adalah :
Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-
anak.
Hipoalbuminemia < 30 g/l.
o Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura.
o Anorexia
o Fatigue
o Nyeri abdomen
o Berat badan meningkat
o Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
o Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis
vena dan arteri.
2. e. Komplikasi
Infeksi (akibat defisiensi respon imun)
Tromboembolisme (terutama vena renal)
Emboli pulmo
Peningkatan terjadinya aterosklerosis
Hypovolemia
Hilangnya protein dalam urin
Dehidrasi
29
2. f. Pemeriksaan Diagnostik
Adanya tanda klinis pada anak
Riwayat infeksi saluran nafas atas
Analisa urin : meningkatnya protein dalam urin
Menurunnya serum protein
Biopsi ginjal
2. g. Penatalaksanaan Terapeutik
Diit tinggi protein, diit rendah natrium jika edema berat
Pembatasan sodium jika anak hipertensi
Antibiotik untuk mencegah infeksi
Terapi diuretik sesuai program
Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang
Terapi prednison dgn dosis 2 mg/kg/hari sesuai program
30
Proteinuri adalah tanda dari banyak penyakit ginjal yang sedikit banyak
menunjukkan manifestasi reaksi peradangan dalam glomerolus misalnya pada
diabetes mellitus, amiloidosis, dll.
Proteinuri ringan dapat merupakan bentuk dari semua penyakit ginjal yang dapat
menjadi sindroma nefrotik dikemudian hari.
IV. 3. b. Tatalaksana
Disini pada umumnya tidak memerlukan penatalaksanaan khusus. Namun perlu
disingkirkan kemungkinan penyebab kelainan ekstraglomerular dan memerlukan
monitoring terus-menerus.
31
4.1 Glomerulonefritis kronik
4.2 Epidemiologi
4.3 Patogenesis
A. Imunopatogenesis Glomerulonefritis
Proses imunologik diatur oleh berbagai faktor imunogenetik yang
menentukan bagaimana individu merespon terhadap suatu
kejadian. Secara garis besar dua mekanisme glomerulonefritis yaitu
circulating immune complex (CIC) dan terbentuknya deposit
komplek imun in-situ. Pada CIC, antigen (Ag) eksogen memicu
terbentuk antibody (Ab) spesifik, kemudian membentuk komplex
32
imun (Ag-Ab) dalam sirkulasi. Komplex imun akan mengaktivasi
system komplemen dan selanjutnya komplemen dengan Ag-Ab
bertujuan untuk membersihkan komplex imun dari sirkulasi
melalui reseptor C3b yang terdapat pada eritrosit. Komplex imun
akan mengalami degradasi dan dibersihkan dari sirkulasi pada saat
eritrosit melewati hati dan limpa. Apabila antigenemia menetap
menetap dan bersihan komplex imun terganggu, maka komplex
akan menetap dalam sirkulasi. komplex imun kemudian akan
menjebak pada glomerulus melalui ikatannya dengan reseptor Fc
yang terdapat pada sel mesangial atau mengendap secara pasif di
daerah mesangium atau ruang sub-endotel. Aktivasi sistem
komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan
komplex imun pada glomerulus.
Gambaran Klinis
33
Manifestasi klinik penyakit glomerular merupakan kumpulan gejala atau sindrom
klinis yang terdiri kelainan urin asimtomatik, hematuri makroskopik, sindrom
nefrotik, glomerulonefrotik progresif cepat dan kronik. Pada sebagian besar
penyakit glomerular tidak menunjukan gejala khas. Gejala dan tanda misalnya
proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, perubahan ekspresi garam dengan
akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi mungkin dapat ditemukan.
Ditemukan ureum dan kreatinin meningkat
Penatalaksanaan
Pemantauan klinik regular, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan
penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme
inhibitors, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists, AIIRA) bermanfaat sebagai pengobatan konservatif. Target tekanan
darah yang diharapkan <130/80 mmHg atau <125/75 mmHg bila proteinuria >1
g/24 jam. Pengaturan asupan protein 0,8 g/kg/hari sesuai berat badan ideal.
Ditambah kehilangan protein urin dalam 24 jam dan control kadar lemak darah
dengan HMG CoA reduktase diharapkan dapat membantu menghambat
progresivitas glomerulonefritis.
4.6 Komplikasi
Pada glomerulonefritis dengan gejala sindrom nefrotik yang disertai
proteinuria massif sehingga menyebabkan hipoalbuminemia dan kadar kolesterol
yang tinggi dalam darah merupakan faktor penyebab timbulnya komplikasi.
Hiiperkoagulasi dengan berbagai akibatnya dapat juga ditemukan pada sindrom
nefrotik yang disebabkan glomerulonefritis tertentu. Gangguan fungsi ginjal dapat
timbul pada glomerulonefritis yang disertai sindrom nefrotik berat. Pengobatan
imunosupresi yang tidak berhasil mencegah progresivitas glomerulonefritis dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Kerentanan terhadap timbulnya infeksi
sebagai komplikasi akibat penggunaan imunosupresi pada pengobatan
glomerulonefrotik perlu diperhatikan.
34
BAB III
STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP PASIEN
35
Suku Batak
Agama Protestan
Alamat Desa Sitanggur Punturaja
36
Riwayat imunisasi : Tidak jelas
Hobi : Tidak dijumpai
Olahraga : Jarang
Kebiasaan makan : Tidak teratur
Merokok : 15 batang per hari
Minum alkohol : Tidak
Hubungan seks : Belum menikah
Penggunaan obat-obatan : Tidak dijumpai
b. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : (-)
- Gangguan tropis : (-)
- Sakit waktu istirahat : (-)
37
- Mati rasa di ujung jari : (-)
- Kebas-kebas : (-)
c. Traktus respiratorius
- Batuk : (-) - Nyeri tenggorokan : (-)
- Flu : (-) - Pernafasan cuping hidung : (-)
- Haemaptoe : (-) - Nyeri dada saat bernafas : (-)
- Dahak : (-) - Suara parau : (-)
- Sesak nafas : (-)
d. Traktus digestivus
1) Lambung
- Nyeri epigastrium sebelum/ - Muntah : (+)
sesudah makan : (-) - Hematemesis : (-)
- Rasa panas di epigastrium: (-) - Disfagia : (-)
- Ructus : (-) - Foetor ex ore : (-)
- Mual : (+) - Anoreksia : (-)
2) Usus
- Nyeri abdomen : (-) - Obstipasi : (-)
- Melena : (-) - Flatulensi : (-)
- Defekasi :Tidak - Borborygmi : (-)
dijumpai sejak 3 hari yang lalu - Hemoroid : (-)
- Diare : (-) - Tenesmus : (-)
3) Hati dan saluran empedu
- Nyeri di perut kanan : (-) - Icterus : (-)
- Gatal- gatal di kulit : (-) - Asites : (-)
- Kolik : (-) - Berak dempul : (-)
f. Sendi
38
- Nyeri persendian : (-) - Bengkak : (-)
- Nyeri digerakkan : (-) - Merah : (-)
- Kaku sendi : (-)
g. Tulang
- Nyeri : (-) - Bengkak : (-)
- Faktur spontan : (-) - Deformitas : (-)
h. Otot
- Sakit : (-) - Kebas-kebas : (-)
- Kejang-kejang : (-) - Kelemahan otot :(-)
i. Darah
- Sakit di mulut dan lidah : (-) - Pembengkakan kelenjar : (-)
- Wajah pucat : (-) - Penyakit darah : (-)
- Pandangan berkunang : (-) - Ruam kemerahan di kulit : (-)
- Bengkak : (-) - Pendarahan sub kutan : (-)
j. Endokrin
1) Pankreas
- Polidipsi : (-) - Polifagi : (+)
- Poliuria : (-) - Pruritus : (-)
2) Tiroid
- Nervositas : (-) - Exoftalmus : (+/+)
- Struma : (-/-) - Miksodema : (-)
3) Hipofisis
- Akromegali : (-)
k. Sistem saraf
- Sakit kepala : (+) - Paralisis : (-)
- Hipoastesia : (-) - Tics :(-)
- Parastesia : (-)
l. Panca indra
- Penglihatan : dbn - Perasaan : dbn
- Pengecapan : dbn - Penciuman :dbn
- Pendengaran : menurun
39
m. Emosi dan Status Psikologi
Stabil
H. Status Present
Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/ menit, regular, t/v cukup
Frekuensi pernafasan : 18 x/ menit, regular
Temperatur : 37,2 oC
Keadaan Penyakit
- Anemia : (-) - Eritema : (-)
- Ikterus : (-) - Turgor : kembali cepat
- Sianosis : (-) - Gerakan aktif : (-)
- Dipsnoe : (-) - Sikap tidur paksa : (-)
- Edema : (-)
Keadaan Gizi
BB : 60 kg TB : 160 cm
IMT = 60 = 22,4 kg/m2 (normoweight)
(1,60)2
I. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : dbn
a. Wajah
- Sembab : (-) - Parase : (-)
- Pucat : (-) - Gangguan lokal : (-)
- Kuning : (-)
b. Mata
- Stand mata : dbn - Jaundice : (-/-)
40
- Gerakan : dbn - Anemis : (-/-)
- Exoftalmus : (-/-) - Reflek pupil : isokor
- Lidlag : (-/-) - Edema Palpebra : (-/-)
- Lid Retraction : (-/-)
c. Telinga
- Sekret : (-/-) - Bentuk : dbn
- Radang : (-/-) - Atrofi : (-)
d. Hidung
- Sekret : (-) - Benjolan-benjolan : (-)
- Bentuk : dbn
e. Bibir
- Sianonis : (-) - Kering : (+)
- Pucat : (-) - Radang : (-)
f. Gigi
- Karies : (-) - Jumlah : 32
- Pertumbuhan : dbn - Pyorroe alveolaris : (-)
g. Lidah
- Kering : (-) - Beslag : (-)
- Pucat : (-)
h. Tonsil
- Merah : (-) - Membran : dbn
- Bengkak : (-/-) - Angina lakunaris : (-)
- Beslag : (-)
2. Leher
Inspeksi
- Tortikolis : (-)
- Pembengkakan KGB : (-)
- Venektasi : (-)
- Pulsasi vena : dbn
Palpasi
- Posisi trakea : medial
- Tekan vena jugularis : R- 2 CmH2O
41
- Sakit / nyeri tekan : (-) di daerah struma, fiksasi (-)
- Kosta servikalis : dbn
Auskultasi
- Bruit : (-)
3. Thoraks Depan Kanan-Kiri
Inspeksi
- Bentuk : Simetris fusiformis
- Simetris/asimetris : Simetris
- bendungan vena : (-)
- ketinggalan bernafas : (-)
- venektasi : (-)
- pembengkakan : (-)
- pulsasi verbal : (-)
- mammae : (-)
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak dijumpai
- Fremitus suara : kanan = kiri, kesan normal
- Iktus : dbn
Perkusi
Paru- paru
- Paru : Sonor
- Batas Paru Hati (R/A) :
Relatif : ICS IV linea midclavicularis dextra
Absolute : ICS VI linea midclavicularis dextra
Jantung
- Batas atas jantung : ICS III linea mid clavicularis sinistra
- Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri jantung : ICS V, 1 cm ke medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi
Paru-paru
- Suara pernafasan : vesikuler (+/+)
- Frekuensi pernafasan : 18 x/menit, reguler
- Suara tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
42
Jantung
- Frekuensi Jantung : 90 x/menit, regular, intensitas cukup
- Suara katup : M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 A2 > P2
- Suara tambahan : (-)
- Desah jantung sistolis/ diastolis : (-)
- Gesek pericardial/ pleurocardial : (-)
4. Thoraks Belakang Kanan- Kiri
Inspeksi
- Bentuk : Simetris fusiformis
- simetris/asimetris : simetris
- benjolan : (-)
- scapula alta : (-)
- ketinggalan bernafas : (-)
- venektasi : (-)
Palpasi
- Penonjolan-penonjolan : tidak dijumpai
- Fremitus suara : kanan = kiri, kesan normal
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor
Auskultasi
- Suara pernafasan : vesikuler (+/+)
- Suara tambahan : ronkhi (-/-)
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : (-) - metereorismus : (-)
- Venektasi : (-) - Sirkulasi Kolateral : (-)
- Hepar :
Palpasi tidak teraba
- Defens muskular : (-)
- Ginjal
:Ballotement (-/-)
- Nyeri tekan : (+)
Perkusi
- Lien : - Pekak hati : dbn
tidak teraba - Shifting dullness : (-)
- Ren :
Auskultasi
tidak teraba - Peristaltik usus : (+),
kesan normal
43
- Double sound : (-) - Merah : (-/-)
- Kekuatan otot :5
6. Extremitas - Tremor : (-/-)
a. Atas - Tangan lembab : (-/-)
- - Gangguan fungsi : (-/-)
- Edema : (-/-) - Akral hangat : (+/+)
- Piting Edema : (-/-) - CRT <2 detik :(+/+)
b. bawah
44
J. Pemeriksaan Laboratorium
16 MEI 2019
Darah Rutin Urine Rutin Feses Rutin
Hb : 9,19 g/dl
Eritrosit : 3,21 x 106/mm3
Leukosit : 9,330 /ul
Trombosit : 321000
Hematokrit : 25,2 %
MCV : 78,5 fl
MCH : 28,3 pg
MCHC : 36,1 g/dl
Eosinofil : 0,25 %
Basofil : 0,00 %
Neutrofil : 7,70%
Monosit : 0,62 %
Kimia Klinik
Alkaline Phospatase 113 U/L
SGOT 12 U/L
SGPT 15 U/L
Total Bilirubin 0,47 mg/dl
Direct Bilirubin 0,10 mg/dl
Ureum 397 mg/dl
Creatinin 25,6 mg/dl
Uric Acid 12,1 mg/dl
Glukosa Adrandom 150 mg/dl
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L
Kalium 3,9 mmol/L
Chlorida 109 mmol/L
17 Mei 2019
Imunologi
Hbsag Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
HIV 3 Metode Non reaktif
45
24 MEI 2019
Urine Rutin Feses Rutin
Warna: kuning -
Kekeruhan: keruh (jernih)
Protein: +++ (negative)
Reduksi: ++ (negative)
Sedimen – eritrosit: negatif
Sedimen – leukosit: 4-8 / lpb
Sedimen – renal epitel: negative
Sedimen – blass epitel: negatif
Sedimen – Vaq/ urether: 1-2/ lpb
Kristal – ca ovalat: negatif
Kristal – t. phospat: negatif
Kristal – cystin: negatif
Kristal – urat: negatif
Silinder : negatif
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : positif
Ph : 6,0
Berat jenis: 1,015
Nitrit : negatif
K. Radiologi
21 mei 2019
USG Ginjal
Uraian hasil pemeriksaan: Kesan :
Kedua ginjal ukuran normal, batas cortex sinus tidak Nefritis berat bilateral
tegas dan tidak tampak dilatasi pelvi calyces kanan Acites paravesica
kiri. Vesica urinaria dindingnya licin dan tidak
tampak batu, tidak tampak batu atau masa
didalamnya.
46
RESUME DATA DASAR
47
Creatinin 25,6 mg/dl
Uric Acid 12,1 mg/dl
Glukosa Adrandom 150 mg/dl
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L
Kalium 3,9 mmol/L
Chlorida 109 mmol/L
Radiologi :
Usg ginjal: nefritis berat bilateral
Rencana Monitoring :
48
- Darah rutin
- Elektrolit
- Kimia klinik
49
3.2. Follow Up Pasien
17 mei 2019
S: mual (+), muntah (+), BAK (-)
O: Sensorium: CM
TD: 150/90 , HR: 88 x/i , RR: 18 x/i , Temp: 36,9oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
P: Tirah baring
IVFD RL 0,9% 10 gtt/menit
Amlodipine 1 x 10 mg
R/ ambil alih dr. Gusti
17 mei 2019
S: mual (+), muntah (+), BAK (-)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
50
P: Tirah barin
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1
R/ HD
18 MEI 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/80 mmHg, HR: 82 x/i , RR: 16 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
Anemia
P: Tirah baring
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1
51
- Sf 1x1
- Callos 2x 1
20 Mei 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/90 mmHg, HR: 86 x/i , RR: 16 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
anemia
P: Tirah baring
- IVFD nefrosteril
R/ HD
21 Mei 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc
52
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (-/-),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
anemia
P: Tirah baring
- Ranitidine 50 mg / 12 jam 1 x 1
- Ondansentron 4 mg / 8 jam 1 x 1
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1
22 Maret 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (-/-),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
53
anemia
P: Tirah baring
- Adalat oros 30 mg 1x1
- Valsartan 80 mg 1x1
- Omeprazole 1x1
- Domperidon 3 x 1
- As folat 1x1
- Sf 1x1
- Callos 2x 1
23 Mei 2019
S: mual (-), muntah (-), BAK (+)
O: Sensorium: CM,
TD: 150/80 , HR: 80 x/i , RR: 18 x/i , Temp: 36,5oc
Kepala : DBN Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (-/-),
/ Bibir: pucat/ Telinga: DBN Hidung: DBN / Leher ; DBN/ Thoraks :
vesikuler (+/+), / Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),CRT
< 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+),Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A : ckd st V
Dd: uremic syndrome
Asidosis metabolik
anemia
P: Tirah baring
R/ - urinalisa
54
55
BAB V
KESIMPULAN
56
Potter dan kawan-kawan menemukan kelainan sediment urine yang menetap
(proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17
tahun di Trinidad.Gejala fisik menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia
darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau
makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu. LED meninggi terus sampai
kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan dapat menetap untuk beberapa
bulan.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan,
tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap
menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit
glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED
digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap
tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh
sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi
glomerulonefritis kronis.
57
DAFTAR PUSTAKA
58