Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM ADAT BALI

“PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN DARI NEGARA TERHADAP


DESA PAKRAMAN”

DEWA AYU SURYA LAHURU DEWANTARI


NIM. 1316051137

FAKULTAS HUKUM PROGRAM REGULER SORE


UNIVERSITAS UDAYANA
2015
A. Pengertian Desa Pakraman

Desa adat atau desa pakraman di Bali merupakan salah satu dari berbagai
kesatuan hukum masyarakat adat yang ada di Indonesia. Sejak jaman Bali Kuna
yaitu sekitar abad 9, masyarakat Bali yang disebutkr am an telah mengenal desa
dengan sebutandes a atau desa pakraman. Menurut Liefrinck, 1886, desa di Bali
merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya
sendiri dengan susunan pemerintahannya bersifat demokratis dan memiliki
otonomi. Sejarah desa pakraman dapat dilihat di dalam lontar Markandya Purana
yang menceritakan perjalanan Maharsi Markandya dari Jawa Timur ke Pulau Bali.
Dengan masuknya kekuasaan pemerintah Hindia. Belanda ke Bali Selatan (1906-
1908) muncullah dua desa yaitu desa lama (Desa Pakraman) dan desa baru (Desa
Dinas bentukan Belanda).
Sejak awal dibentuknya, desa pakraman telah ditata untuk menjadi desa
religius yaitu berlandaskan konsep-konsep dan nilai filosofis Agama Hindu. Suatu
desa merupakan desa otonom (sima swantantra) bila telah memenuhi empat unsur
sebagai syarat yang disebut Catur Bhuta Desa, yaituPar im andala atau lingkungan
wilayah desa, Karaman atau warga desa, Datu atau pengurus/pemimpin desa,
Tuah atau perlindungan dari tuhan/Sang Hyang Widhi. Pemimpin suatu desa
pakraman disebut Kelihan, Kubayan, Bayan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha, atau
Bendesa yang bermakna orang tua.
Sebagai kesatuan hukum adat, desa pakraman diikat oleh adat istiadat atau
hukum adat yang memiliki aturan-aturan tata krama tidak tertulis maupun tertulis
yang dibuat bersama yang dinamakan Sima Awig-Awig,Dresta,Lokacar a, Catur
Dresta, dan nama lainnya. Desa pakraman memiliki kedudukan ganda yaitu
bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan dan mempunyai fungsi yaitu
membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama dalam bidang
keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, melaksanakan hukum adat dan
istiadat dalam desa adatnya, memberikan kedudukan hukum menurut adat
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keadatan
dan keagamaan, membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada

2
umumnya dan kebudayaan Bali khususnya, menjaga, memelihara, dan memanfaat
kan kekayaan desa pakraman untuk kesejahteraan masyarakat desa pakraman.
Dari segi kesatuan wilayah, terdapat beberapa pola hubungan desa
pakraman dengan desa dinas. Pola tersebut yaitu, satu desa dinas mencakup
beberapa desa pakraman, satu desa dinas terdiri dari satu desa pakraman, satu desa
pakraman mencakup beberapa desa dinas, dan satu desa pakraman terbagi dalam
beberapa desa dinas.
Saat ini secara terpusat di Bali, terdapat tiga bagian desa pakraman secara
berurut yaitu : 1 Desa Adat Agung (Tingkat Propinsi), 9 Desa Adat Madya
(Tingkat Kabupaten), Desa Adat Pakraman (Tingkat Kecamatan / Kelurahan /
Desa).
Untuk wilayah desa pakraman yang luas, desa pakraman dibagi menjadi
beberapabanjar dengan Kelihan Banjar. Untuk banjar yang luas, banjar dibagi pula
menjadi beberapa kelompok wilayah tempat tinggal dengan berpedoman pada
mata angin yang dinamakantem pekan yang diketuai oleh seorang Kelihan
Tempek. Kelihan Desa dibantu oleh beberapa orang pengurus yang disebut
prajuru desa adat yang terdiri dari Penyarikan(sekretaris), Petengen(bendahara),
Kesinoman Desa (Juru arah) dan plainnya yang diadakan sesuai kebutuhan desa,
serta Kelihan Banjar Pemilihan Prajuru, Kelihan Banjar, dan Kelihan Tempek ini
juga dilakukan melaluisangkepan desa. Desa pakraman dalam kelangsung-an
kehidupannya, memerlukan sarana- sarana penunjang. Adapun yang merupakan
unsur-unsur utama di desa pakraman ialah Bala (unsur warga atau krama
desa),Wahana (tempat untuk merencanakan, mengkoordinir dan menuntun segala
kegiatan warga) danKosa (perlengkapan, dana dan fasilitas yang akan digunakan
di semua kegiatan krama dalam mewujudkan cita-citanya).

A. Bentuk Pengakuan dan Pelindungan terhadap Desa Pakraman

Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam


bidang pertanahan salah satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya.
Dalam Penjelasan Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan,

3
bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian
besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan
didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang
asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat
dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka
Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan
masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”.

Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan
kekuasaan Negara diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada
tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Ketentuan ini
pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-
agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak
ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan
hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang,
dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak
ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan
disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada
hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu
akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih
ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian
sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang
bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi
“recognitie“, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.

Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi,
air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya,

4
segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.selanjutnya dalam penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah
pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang
diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan
atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini
didasarkan pula atas sistematik dariHukum Adat. Dalam pada itu hak guna
usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan
masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna usaha
bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna
bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan opstal ditiadakan dengan
dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan
Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini
belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur.Pasal 56 juga
menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut
dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuanHukum Adat setempat ……… sepanjang tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan undang-undang ini (UUPA).

Selanjutnya pengaturan mengenai pengakuan terhadap hak atas tanah


menurut hukum adat diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini memberi batasan
yang lebih jelas, yaitu:

Definisi:

1) Hak ulayat dan yang serupa itu dari mesyarakat hukum adat (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara

5
lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangjitan.
2) Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu.
3) Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan.
Pengakuan terhadap hak ulayat:

Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan


oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat
stempat. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:

1) terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari,
2) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari, dan
3) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan
hukum tersebut.
Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat
hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan
tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila
memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar
tanah.

6
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas
tanah berdasar hukum adat dibatasi oleh beberapa hal:

1. hak atas tanah adat masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-
undang;
2. eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat menjadi dasar penentuan
pengakuan terhadap hak tanah adat.

Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering


dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu
dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah
pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan
dalam kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin
dalam kebijakan pertambangan, kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan
kebijakan pemerih pusat atau pemerintah daerah yang lebih memihak kepentingan
pemodal. Penggerusan eksistensi hak-hak adat dengan alasan kepentingan
nasional sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, hilangnya budaya, dan
yang paling parah adalah hilangnya ciri dan kepribadian dalam berbangsa.

Anda mungkin juga menyukai