Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai prasasti yang didapatkan di Desa Pejeng berbahasa Sanskerta. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Sekta Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama tersebut telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyatnya. Oleh karena itu, agama Hindu (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari Candi Dieng Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana, yaitu stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Pada abad ke-8 Dang Hyang Markandeya mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Pura Besakih) harus ditanami panca datu, yaitu lima unsur logam yang penting pada saat itu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah itu beliau menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider- ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
Nama Anggota Kelompok :
I Dewa Made Kevin Surya Negara (04)
I Kadek Guntur Karra Kaniskha (07) I Putu Gde Inov Bagus Prasetya (11) I Wayan Guna Permana (12)