Anda di halaman 1dari 4

Diskusi 7

Terdapat pengaruh timbal balik antara kondisi lingkungan dengan kondisi sosial
budaya. Dengan mengambil contoh kondisi yang ada di wilayah Anda,
uraikanpengaruh timbal balik antara kondisi lingkungan dengan kondisi sosial
budaya!
Jawab :

Keberlangsungan hidup manusia tidak bisa terlepas, bahkan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Lingkungan sosial
menjadi arena untuk bersosialisasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia sebagai
makhluk sosial. Lingkungan sosial yang baik akan memberi pengaruh baik bagi manusia
secara individu, begitupun sebaliknya lingkungan sosial yang buruk sedikit banyak akan
memberi pengaruh buruk pula bagi pribadi manusia. Sedangkan lingkungan alam menjadi
faktor yang tidak kalah penting bagi kelangsungan hidup manusia. Lingkungan alam seperti
kondisi udara, tanah dan air yang baik akan menunjang kehidupan manusia. Sebaliknya
lingkungan yang tidak baik seperti udara yang tercemar polusi atau air yang tidak bersih,
akan menghambat kelangsungan hidup manusia.

Pentingnya persoalan lingkungan alam terlihat dari fakta yang ada, bahwa persoalan tersebut
saat ini sudah menjadi isu internasional. Pemanasan global, penyelamatan lingkungan telah
lama menjadi topik pembicaraan di seantero dunia. Kampanye "selamatkan bumi" ramai
dikumandangkan dan menjadi kesepakatan berbagai negara untuk menjalin kerjasama bahkan
negara-negara yang tidak mau terlibat dalam program penyelamatan bumi, akan dikecam dan
kucilkan oleh negara-negara lain. Indonesia termasuk negara yang cukup banyak disorot
dalam rangka himbauan "selamatkan bumi" ini karena tingkat kerusakan hutannya disinyalir
relatif tinggi.

Realita ini sungguh ironi sekali karena pada dasarnya bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai sukubangsa, setiap sukubangsa tersebut memiliki local wisdom dalam hal
pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan alam. Artinya, kampanye penyelamatan bumi
sebenarnya bukanlah isu yang baru saja dilontarkan. Jauh sebelum itu masyarakat tradisional
(masyarakat adat) sudah mengenal cara-cara mengelola, menjaga dan menyelamatkan
hutan. Local wisdom itu antara lain berupa larangan-larangan (tabu-tabu) yang intinya
mengatur hubungan sosial maupun hubungan manusia dengan lingkungan alamnya.

Enggano sebagai sebuah suku bangsa mendiami Pulau Enggano yang relatif terisolir di pantai
barat Bengkulu merupakan suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang eksotis dan norma-
norma tentang pemeliharaan lingkungan alam. Pulau Enggano merupakan pulau yang
memiliki keunikan tersendiri. Berada pada bagian selatan jajaran pulau-pulau bagian barat
Pulau Sumatera seperti Simelue, Nias, dan Kepulauan Mentawai. Pulau yang memiliki
panjang 40 km dan lebar 17 km ini oleh masyarakatnya yaitu suku bangsa Enggano
disebut ekeppu yanipah.
Enggano sudah mengalami kontak dengan dunia luar sejak abad ke-17 terutama pada tahun
1602, 1614, 1622, dan 1629 kapal-kapal Belanda telah mendarat di pulau ini dan melakukan
transaksi dagang dengan masayrakat setempat. Selanjutnya pada tahun 1645 Belanda
mengirimkan dua kapal ke Enggano untuk mendapatkan 82 orang budak. Sebelumnya pda
tanggal 5 juni 1596 empat kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornellis de Houtman merapat
untuk mendapatkan barang-barang dan makanan segar, namun segera berangkat karena
penduduk Enggano sangat agresif dan menolak kehadiran mereka. Catatan mengenai suku
bangsa Enggano mulai ada sejak abad ke 18. Pada tahun 1771, seorang Inggris mengunjungi
daerah Enggano dan menuiskannya pengalamannya yang dipublikasikan pada tahun 1778.
Selanjutnya pada tahun 1865 - 1866 dan tahun 1868 - 1870, R. Francis seorang pedagang
minyak kelapa (coconut oli) menetap di Enggano dan berinteraksi dengan masyarakat
Enggano. Tulisan yang sangat penting adalah tulisan Elio Modigliani seorang petualang
Italia, pada tahun 1891 menetap di Enggano selama 8 bulan dan pada tahun 1894
menerbitkan buku berjudul "L'isola delle donne Viaggio ad Enggano.

Menurut legenda masyarakat setempat, penduduk Pulau Enggano berasal dari dua buah kapal
layar yang terdampar di pulau. Penumpang yang terdampar terkena wabah penyakit hingga
banyak yang meninggal. Dari rombongan tersebut hanya menyisakan 2 orang yang selamat
yaitu satu perempuan dan satu laki-laki. Dari hasil hubungan dua orang ini, kemudian
berkembang dan terbagi kedalam 3 silsilah keturunan (suku). Ketiga suku tersebut adalah (1)
Suku Kaitora, (2) suku Kaarubi, (3) suku Kaahoao. Dalam perjalanannya suku Kaahoao
pecah menjadi dua suku yaitu Kaahoao dan Suku Kauno. Suku Kaarubi juga pecah menjadi
dua suku juga yaitu Kaarubi dan Kaharuba. Sedang suku kaitora tidak ada perubahan atau
perpecahan. Masing-masing suku dipimpin oleh ketua suku dan kemudian mereka
membentuk lembaga adat dengan nama "KAHA YAMU'Y. Lembaga adat ini dibentuk oleh
para kepala suku, kemudian memilih seorang ketua yang disebut dengan PA'ABUKI.

Secara tradisional, masyarakat Enggano hidup dari pertanian (yaapiya), berternak, dan
nelayan. Disamping itu masyarakat juga mengambil hasil hutan seperti manau (rotan) dan
kayu. Secara tradisional pula masyarakat Enggano memiliki aturan tentang pemanfaatan
hutan (lingkungan alam) termasuk binatang yang ada di hutan. Pulau seluas 680 km2 tersebut
telah mereka bagi sesuai dengan sistem pengetahuan mereka.

Saat ini Kecamatan Enggano telah didiami oleh berbagai suku bangsa seperti jawa yang
datang sebagai transmigran, suku bangsa Minangkabau yang datang sebagai pedagang, suku
bangsa Batak yang datang sebagai petani dan pegawai negeri, dan suku bangsa lainnya yang
tidak begitu dominan seperti bugis, melayu Bengkulu, dan suku bangsa lainnya dari daratan
Sumatera. Seiring dengan perkembangan zaman, kekayaan budaya mereka ini dikhawatirkan
akan terancam punah dengan banyak interaksi dengan budaya lain. kondisi ini perlu ditindak
lanjuti dengan mengadakan penelitian yang intensif dan komprehensif terhadap kebudayaan
Enggano yang menyangkut sistem pengetahuan mereka dalam pemeliharaan dan
pemanfaatan lingkungan alam.

Kearifan lokal berangkat dari sistem pengatahuan sebuah masyarakat yang diwujudkan dalam
perilaku mereka. Cavallaro mengatakan bahwa untuk memahami sistem pengetahuan harus
memahami pula mekanisme-mekanisme yang ada yaitu dimana pengetahuan itu dihasilkan,
konteks-konteks dimana pengetahuan itu bermula. Channel-channel dimana pengetahuan itu
disebarkan, dan sistem nilai yang melegitimasi kalau bukan mendelegitimasinya.

Ahimsa Putra, berpendapat bahwa kearifan tradisional adalah seperangkat pengetahuan milik
suatu masyarakat untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan
yang dihadapi, yang dipelajari/diperoleh dari generasi sebelumnya secara lisan atau melalui
contoh tindakan. Demikian juga yang dikatakan oleh Warren bahwa kearifan lokal atau
kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge system) adalah
pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang
lama, sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat dengan
lingkungannya.

Kearifan lokal merupakan suatu tatanan nilai yang memberikan pedoman pada masyarakat
dalam bertindak dan bertingkah laku dalam hubungannya dengan lingkungannya. Sedangkan
Keraf menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah semua pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, wawasan serta adat istiadat kebiasaan yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas permukimannya. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan
konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus
dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah
menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk
bangunan dan lingkungannya.

Dalam hubungannya manusia dengan alam mempunyai hubungan yang harmonis dimana
manusia berusaha hidup selaras dengan alam. Dalam pandangan manusia, alam itu besar dan
sakral sehingga segala sesuatu yang terjadi di alam di luar kemampuan manusia, oleh karena
keselarasan hubungan manusia dengan alam merupakan hal yang senantiasa dijaga karena
mempunyai hubungan yang erat dengan budaya manusia itu sendiri dalam komunitas.

Berkaitan dengan lingkungan hidup seperti yang diuraikan di atas terdiri dari lingkungan fisik
seperti sungai, air, udara, dan rumah. Jenis lingkungan kedua adalah lingkungan biologis
(organisma alam) seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Antara lingkungan fisik
dan lingkungan biologis terjadi hubungan timbal balik terutama dengan manusia sebagai
makhluk biologis yang tidak saja berinteraksi dengan lingkungan fisiknya melainkan dengan
lingkungan sosial dan lingkungan budayanya. Berkaitan dengan ini, Bambang Rudito
memberikan batasan bahwa lingkungan hidup terdiri dari lingkungan alam yang terdiri dari
benda-benda alam yang secara kodrati ada, yang belum termasuk campur tangan manusia
yang biasanya berupa tumbuhan, binatang dan juga benda-benda alam seperti gunung, batu,
dan air. Lingkungan sosial merupakan suatu bentuk aturan-aturan, norma, nilai, dan moral
yang digunakan oleh manusia untuk mengatur interaksi sosial yang terjadi di dalam hubungan
antarmanusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan lingkungan budaya merupakan suatu
bentuk lingkungan yang terdiri dari benda-benda buatan manusia yang pada dasarnya beraal
dari lingkungan alam. Hasil pemahaman terhadap lingkungan alam ini biasanya dibentuk
dalam suatu pemahaman binaan atau budaya seperti sawah, mobil, rumah, pohon yang
dicangkok, hujan buatan, dan lain sebagainya.

Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan alamnya memberikan pengetahuan
dan pemikiran tentang bagaimana mereka memperlakukan alam. Dengan demikian juga
manusia memahami akan adanya perubahan yang terjadi terhadap lingkungan alam dan
mampu pula untuk mengatasi untuk kepentingannya. Untuk memahami lingkungan alam
maka manusia harus menerapkan etika, sikap dan prilaku, dan tradisi yang memberikan
dampak pada pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan alam tersebut

Anda mungkin juga menyukai