Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kematian
2.1.1. Definisi
Istilah thanatology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata
thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi
adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari hal-hal yang
berkaitan dengan kematian, tipe kematian, berbagai kejadian atau perubahan yang
terjadi pada kadaver dan signifikansi medikolegalnya (Rao, 2006).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan
respirasi secara buatan. Oleh karena itu, menurut Idries (1997) dalam Fitricia
(2010), definisi kematian berkembang menjadi kematian batang otak. Dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 117: “Seseorang
dinyatakan mati apabila fungsi jantung-sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti
telah berhenti secara permanen atau apabila kematian batang otak telah dapat
dibuktikan.” Pada kematian maka proses kehidupan seluruh tubuh berhenti, proses
yang dapat dikenal secara klinis dengan tanda kematian berupa perubahan pada
tubuh mayat.
2.1.2. Fase Kematian
Untuk memahami mengenai kematian dan mekanismenya, kematian
dibagi menjadi dua fase: kematian somatik dan kematian seluler (Rao, 2006).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai dua fase kematian tersebut:
A. Kematian Somatik
Kematian somatik didefinisikan sebagai penghentian permanen dari fungsi
otak, jantung, dan paru yang mengakibatkan kehilangan sensibilitas dan
kemampuan menggerakkan tubuh secara komplit. Tetapi, beberapa bagian dari
tubuh seperti otot masih bisa memberi respon terhadap stimulus elektrik, thermal
atau kimia. Setelah kematian tubuh aktual terjadi, sel-sel individual tetap hidup
selama waktu yang berbeda-beda. Perubahan yang tidak dapat pulih kemudian

Universitas Sumatera Utara


terjadi pada sel dan organ, kadang-kadang sulit untuk membedakan masalah
patologis premortem yang pasti (Rao, 2006).
Kematian somatik didiagnosis dengan menetapkan tiga hal di bawah ini :
1. Penghentian detak jantung
Dengan melakukan auskultasi suara jantung secara cermat pada daerah
cardiac dengan menggunakan steteskop secara kontinu, untuk lima menit, dan
kemudian ulangi sebanyak tiga kali, dalam interval lima menit. Gambaran
elektrokardiogram yang datar mengkonfirmasi penghentian detak jantung.
2. Penghentian pernafasan
Dengan melakukan auskultasi pada dada untuk suara pernafasan
menggunakan steteskop.
3. Penghentian aktivitas otak
Terdapat gambaran gelombang datar pada elektroencephalogram.
Jadi kematian somatik dinyatakan secara klinis jika tiga organ vital yaitu
jantung, paru, dan otak gagal untuk melakukan fungsinya dan dikonfirmasi
dengan gelombang elektrokardiografi (EKG) yang datar, tidak terdengar suara
nafas, serta gelombang elektroensefalografi (EEG) yang datar (Rao, 2006).
B. Kematian Seluler
Kematian seluler didefinisikan sebagai kematian seluruh elemen seluler.
Setelah kematian somatik, berbagai jaringan tetap bertahan hingga pasokan
oksigen tidak adekuat. Ketika cadangan oksigen pada sel mengalami deplesi,
kematian sel atau kematian molekuler terjadi. Kematian seluler secara umum akan
menjadi komplit dalam waktu 3-4 jam setelah kematian somatik. Kematian seluler
dapat dikonfirmasi dengan ketidakaadaan segala respon terhadap stimulus
elektrik, thermal, maupun kimia pada jaringan (Rao, 2006). Pada kematian
seluler, tubuh mati sedikit demi sedikit. Dilaporkan jaringan syaraf mati dengan
cepat (contoh: otak mati dalam lima menit) sedangkan jaringan otot bertahan
hingga 3-4 jam (Rao, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Perubahan Postmortem dan Perkiraan Waktu Kematian
Beberapa perubahan yang terjadi setelah kematian terkait dengan kematian
somatik dan beberapa dengan kematian molekular. Beberapa tanda muncul segera,
cepat, dan lambat (Nandy, 2001). Tanda tersebut berupa:
A. Perubahan segera
1. Fungsi sistem syaraf berhenti
2. Respirasi berhenti
3. Sirkulasi berhenti
B. Perubahan cepat
1. Pucat pada wajah
2. Hilangnya elastisitas kulit dengan adanya penurunan pada lipatan wajah
3. Relaksasi primer pada otot
4. Contact pallor dan contact flattening
5. Perubahan pada mata
6. Tubuh menjadi dingin
7. Postmortem staining (lividity)
8. Rigor mortis
C. Perubahan lambat
1. Putrefaksi atau dekomposisi biasa
2. Perubahan adepocere
3. Mummifikasi
Untuk menilai waktu kematian yang kurang dari satu setengah jam
sebelum pemeriksan mudah untuk dilakukan. Tubuh masih hangat; membran
mukosa masih lembab namun mulai mengering; pupil mulai berdilatasi; dan pada
orang yang berkulit terang, kulit akan menjadi pucat. Secara umum, jika kematian
terjadi dalam empat hari terakhir namun lebih dari satu setengah jam yang lalu,
membran mukosa dan semua darah yang berasal dari luka akan mengering, akan
nampak lepuhan pada kulit, serta kulit akan menjadi licin. Tubuh akan nampak
sedikit berwarna merah muda, temperatur tubuh menurun, rigor mortis,
postmortem lividity akan tampak, dan pupil akan mengalami restriksi serta
berawan (Orthmann, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Algor mortis merujuk pada proses pendinginan setelah kematian dan dapat
sangat membantu dalam investigasi. Setelah kematian, tubuh cenderung
mempunyai temperatur yang sama dengan lingkungan. Temperatur tubuh turun
dua hingga tiga derajat dalam satu jam pertama setelah kematian dan satu hingga
satu setengah derajat untuk tiap jamnya hingga delapan belas jam. Waktu tersebut
bervariasi pada lingkungan yang dingin atau panas yang abnormal. Temperatur
tubuh akan turun lebih lambat pada pasien yang besar maupun obesitas, menderita
demam tinggi sebelum kematian, kondisi kelembaban lingkungan yang mencegah
evaporasi, atau jika aktivitas fisik yang berat terjadi segera sebelum kematian
(Orthmann, 2013).
Rigor mortis merupakan kekakuan pada tubuh setelah kematian karena
kontraksi sebagian otot skeletal. Onsetnya dapat terjadi di mana saja dari waktu
sepuluh menit hingga beberapa jam setelah kematian, tergantung pada kondisi
fisik yang berkaitan dengan tubuh dan lingkungan. Aktivitas yang berat, pakaian
yang berat, dan temperatur tinggi yang abnormal meningkatkan kecepatan
terjadinya rigor, namun dingin dapat menghambatnya. Bayi dan lansia mengalami
rigor yang lebih sedikit. Rigor mortis pertama kali dibentuk pada otot yang lebih
kecil, seperti pada wajah, dan menyebar ke kelompok otot yang lebih besar di
seluruh tubuh, rigor maksimum terjadi antara 12 dan 24 jam. Tubuh dapat tetap
kaku untuk kira-kira tiga hari, hingga otot mulai mengalami dekomposisi,
walaupun rigor secara umum mulai berakhir pada 36 jam postmortem. Derajat
rigor mortis sebagai indikator waktu kematian biasanya akurat dalam waktu
empat jam jika digunakan bersamaan dengan faktor lainnya, seperti temperatur
sekitar (Orthmann, 2013).
Ketika jantung berhenti berdetak pada kematian, darah tidak lagi
bersirkulasi dan gravitasi akan mengalirkan darah ke bagian terendah dari tubuh.
Hal ini menyebabkan diskolorasi biru atau keunguan pada tubuh yang disebut
lebam mayat, atau livor mortis. Lebam mayat akan berwarna cherry red pada
keracunan karbon monoksida dan berbagai racun lainnya memberikan lebam
mayat dalam warna yang berbeda-beda. Jika tubuh bertumpu pada punggung,
maka lebam akan muncul pada bagian bawah punggung dan tungkai. Jika posisi

Universitas Sumatera Utara


mayat tertelungkup, akan muncul pada wajah, dada, perut, dan kaki. Selain untuk
membantu menentukan waktu kematian dan terkadang penyebab kematian, lebam
mayat dapat dipakai juga untuk menentukan apakah mayat dipindahkan saat
kematian terjadi (Orthmann, 2013). Restriksi parsial pada pupil terjadi dalam
tujuh jam. Dalam dua belas jam, kornea nampak berawan.
Jika pemeriksaan lambung pada saat otopsi berisi makanan dan proses
pencernaan yang tidak ekstensif, maka diasumsikan bahwa kematian terjadi
segera setelah makan. Jika lambung nampak kosong, kematian kemungkinan
terjadi paling tidak empat hingga enam jam setelah makan terakhir. Jika usus
halus juga kosong, kemungkinan kematian terjadi paling tidak dua belas jam atau
lebih setelah makan terakhir (Orthmann, 2013).
Menjadi lebih sulit untuk mengestimasi waktu kematian jika kematian
terjadi beberapa hari sebelum penemuan jenazah. Mayat akan mengembung,
lebam akan menggelap, abdomen akan menjadi kehijauan, dan muncul bau yang
tidak sedap. Pemeriksa akan membuat estimasi kasar mengenai waktu kematian
berdasarkan keadaan dekomposisi tubuh. Adanya telur serangga pada tubuh,
tahap perkembangan, dan siklus hidupnya juga dapat memberi informasi
mengenai waktu kematian (Orthmann, 2013).

2.2. Kecelakaan Lalu Lintas


2.2.1. Definisi
Dalam menganalisis mengenai kecelakaan lalu lintas diperlukan juga
pengetahuan mengenai definisi kecelakaan. Kecelakaan adalah serangkaian
peristiwa dari kejadian, yang tidak diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan
kerusakan benda, luka, atau kematian (Idris, 2011). Dalam Undang–Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu
lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja
melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan
korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas menurut
World Health Organization (2013) adalah kejadian fatal maupun non fatal akibat
tabrakan di jalan umum yang melibatkan paling tidak satu kendaraan yang

Universitas Sumatera Utara


bergerak. Dengan demikian kecelakaan yang terjadi bukan di jalan raya (jalan
umum), seperti kecelakaan dalam kompleks bukanlah termasuk kategori
kecelakaan lalu lintas. Demikian pula dengan kendaraan yang berjalan di atas rel
tidak dimasukkan ke dalam pengertian kendaraan bermotor pada kecelakaan lalu
lintas (Idries, 2011).
2.2.2. Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas
Menurut Bustan (2007) dalam Sinaga (2012) faktor penyebab kecelakaan
lalu lintas meliputi faktor manusia, kendaraan, lingkungan fisik, dan sosial.
Ditemukan kontribusi masing-masing faktor: 75% manusia, 5% faktor kendaraan,
5% kondisi jalan, 1% kondisi lingkungan, dan faktor lainnya. Kecelakaan yang
terjadi pada umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan
hasil interaksi antar faktor lain. Hal-hal yang tercakup dalam faktor-faktor tersebut
antar lain (Dwiyogo, 2006):
1. Faktor pengemudi: kondisi fisik (mabuk, lelah, sakit, dsb), kemampuan
mengemudi, penyebrang atau pejalan kaki yang lengah, dll
2. Faktor kendaraan: kondisi mesin, rem, lampu, ban, muatan, dll
3. Faktor lingkungan jalan: desain jalan (median, gradien, alinyemen, jenis
permukaan, dsb), kontrol lalu lintas (marka, rambu, lampu lalu lintas), dll
4. Faktor cuaca: hujan, kabut, asap, salju, dll
Menurut Nordrum I (2005), kecelakaan lalu lintas dapat terjadi akibat hal-
hal di bawah ini:
1. Kesalahan pada korban
2. Kesalahan pada pengendara
3. Kesalahan pada kendaraan
4. Kesalahan kendaraan lain, yang tidak terlibat dalam kecelakaan
5. Kondisi jalan yang rusak
6. Kesalahan dalam memahami petunjuk lalu lintas
7. Lebih dari satu dari beberapa penyebab di atas
Pada dasarnya faktor-faktor tersebut berkaitan atau saling menunjang bagi
terjadinya kecelakaan. Namun, dengan diketahuinya faktor penyebab kecelakaan
yang utama dapat ditentukan langkah-langkah penanggulangan untuk menurunkan

Universitas Sumatera Utara


jumlah kecelakaan. Dalam uraian di bawah ini akan dijelaskan mengenai masing-
masing faktor yang berperan dalam menyebabkan kecelakaan lalu lintas:
A. Faktor Manusia
Kecerobohan pengendara merupakan penyebab paling penting pada
kecelakaan kendaraan bermotor. Berkendara dalam kecepatan tinggi; berkendara
di bawah pengaruh alkohol, obat-obatan, maupun sedang dalam pengobatan
tertentu; dan berkendara sambil menggunakan telepon seluler merupakan alasan
yang umumnya menyebabkan kecelakaan yang disebabkan oleh kecerobohan
pengemudi, hal ini semakin meningkat dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang penting. Alasan lain yang menyebabkan kecelakaan adalah
faktor kesengajaan untuk tujuan bunuh diri. Kecelakaan lalu lintas dengan tujuan
pembunuhan dapat juga terjadi namun jarang ditemukan (Nordrum I , 2005).
Berbagai penyakit dapat pula mempengaruhi kemampuan dan
kewaspadaan pengendara ataupun pejalan kaki. Penyakit jantung iskemik
merupakan penyakit yang paling penting dalam konteks ini tetapi penyakit lain
seperti stroke, epilepsi, asthma bronkial, dan diabetes melitus juga dapat
berkontribusi terhadap kejadian kecelakaan. Sekuele penyakit yang pernah
diderita dan adanya cedera yang lama dapat mempengaruhi kompetensi
pengemudi sehingga bisa menjadi penyebab yang relevan dari kecelakaan
(Nordrum I, 2005). Faktor manusia yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
dapat berasal dari: faktor pengemudi, faktor penumpang, dan faktor pemakai
jalan. Berikut ini adalah uraian dari masing-masing faktor tersebut:
1. Faktor Pengemudi
Adapun faktor yang mempengaruhi karakteristik pengemudi, yaitu :
a. Usia pengemudi
Orang-orang yang berusia 30 tahun atau lebih cenderung memiliki sikap
hati-hati dan menyadari adanya bahaya dibandingkan dengan yang berusia muda.
Menurut Hunter (1975) dalam Kartika (2009), hal ini dikarenakan pada usia
dewasa muda (18-24 tahun) terdapat sikap tergesa-gesa dan kecerobohan dan pada
umur tersebut masih pengemudi pemula dengan tingkat emosi yang belum stabil.

Universitas Sumatera Utara


b. Jenis kelamin
Angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas pada pria lebih tinggi dari
pada wanita (Ditjen Perhubungan Darat, 2006).
c. Pendidikan pengemudi
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap program peningkatan
pengetahuan secara langsung dan secara tidak langsung terhadap tindakan. Pada
umumnya pekerja yang berpendidikan rendah mempunyai ciri sulit untuk diajak
bekerja sama dan kurang terbuka terhadap pembaharuan. Hal ini disebabkan
masih adanya nilai-nilai lama yang mereka anut selama ini (Ditjen Perhubungan
Darat, 2006).
d. Kemampuan mengemudi
Kemampuan seseorang dalam mengemudi dengan aman ditentukan oleh
faktor yang saling berkaitan, yaitu keterampilan mengemudi untuk mengendalikan
arah kendaraan meliputi cara membelok atau merubah arah, cara mundur, cara
mendahului kendaraan lain, cara mengikuti kendaraan lain, serta mengendalikan
kecepatan kendaraan yang dikemudikan melalui sistem gas, rem, dan perseneling
(Ditjen Perhubungan Darat, 2006).
e. Pengalaman mengemudi
Pengemudi yang berusia muda mempunyai keterampilan yang baik dalam
mengemudi akan tetapi juga paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
karena lebih dari 70% pengemudi tersebut adalah pemula (Kartika, 2009).
f. Tindakan
Faktor tindakan pengemudi yang tidak aman memegang peranan penting
dalam terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tindakan yang tidak aman seperti:
mengemudi dalam kecepatan tinggi; mengemudi dalam keadaan mengantuk;
mengemudi di bawah pengaruh alkohol, obat-obatan, maupun sedang dalam
pengobatan tertentu; mengemudi sambil menggunakan telepon seluler, dan lain-
lain (Nordrum, 2005).

Universitas Sumatera Utara


g. Kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM)
SIM adalah bentuk penyerahan hak negara kepada pengemudi guna
menjalankan kendaraan dan menggunakan jalan atau disebut berlalu lintas secara
benar (Kartika, 2009).
2. Faktor Penumpang
Tidak jarang akibat jumlah muatan, baik penumpang maupun barang yang
berlebihan, terjadi kecelakaan lalu lintas. Secara psikologis, ada juga
kemungkinan penumpang mengganggu konsentrasi pengemudi (Kartika, 2009).
3. Faktor Pemakai Jalan
Semakin banyak ragam pemakai jalan, tidak menutup kemungkinan
semakin banyaknya masalah lalu lintas yang dijumpai di jalan. Bukan hanya
kendaraan saja yang berlalu lalang di jalanan tetapi juga dijumpai pejalan kaki,
pedagang kaki lima, peminta-minta, dan jalan raya yang juga dipakai sebagai
sarana parkir. Kesalahan yang paling sering dilakukan oleh pemakai jalan adalah
lengah, kecepatan yang berlebihan saat menyebrang, salah anggapan, dan sikap
panik. Selain itu, penyebab adanya korban pejalan kaki karena rendahnya disiplin
di dalam berlalu lintas, seperti menyebrang tanpa memperhatikan kendaraan
sekitarnya dan tidak menggunakan fasilitas yang diperuntukkan bagi pejalan kaki
misalnya trotoar, zebra cross,dan jembatan penyebrangan (Silaban, 2004).
B. Faktor Kendaraan
Kendaraan mempunyai karakteristik-karakteristik variabel yang lebih
sedikit dari manusia sebagai pengemudi, juga lebih banyak undang-undang
pengontrol bagi kendaraan dibanding pengguna jalan, misal: batasan berat, ukuran
dan daya guna, persyaratan minimal untuk rem, pencahayaan, dan sebagainya
(Dwiyogo, 2006). Desain kendaraan merupakan faktor engineering pada
kendaraan yang dapat mengurangi terjadinya kecelakaan (crash avoidance) dan
faktor yang dapat mengurangi cedera yang dialami jika terjadi kecelakaan (crash
worthiness).
C. Faktor Lingkungan Fisik
Disamping bentuk fisik jalan yang dipengaruhi oleh “geometric design”

Universitas Sumatera Utara


dan “konstruksi jalan”, faktor lingkungan jalan pun dapat mempengaruhi
kemungkinan terjadinya kecelakaan. Ada empat faktor yang mempengaruhi
kelakuan manusia yang berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan
lalu lintas, yaitu (Dwiyogo, 2006):
1. Pengunaan tanah dan aktifitasnya, daerah ramai, lenggang dimana refleks
pengemudi akan mengurangi kecepatan kendaraan atau sebaliknya
2. Cuaca, udara, dan kemungkinan-kemungkinan yang terlihat, misalnya:
pada keadaan hujan, berkabut, dan sebagainya
3. Fasilitas yang ada pada jaringan jalan, adanya rambu-rambu lalu lintas
4. Arus dan sifat-sifat lalu lintas, jumlah, macam, dan komposisi kendaraan
akan sangat mempengaruhi kecepatan perjalanan
Kondisi jalan dapat pula menjadi salah satu sebab terjadinya kecelakaan
lalu lintas. Lingkungan jalan mempengaruhi pengemudi dalam mengatur
kecepatan (mempercepat, memperlambat, berhenti) jika menghadapi situasi
tertentu (Silaban, 2004). Meskipun demikian, semuanya kembali kepada manusia
pengguna jalan itu sendiri. Dengan rekayasa, para ahli merancang sistem jaringan
dan rancang bangun jalan sedemikian rupa untuk “mempengaruhi” tingkah laku
para pengguna jalan dan untuk mengurangi atau mencegah tindakan-tindakan
yang membahayakan keselamatan lalu lintas (Dwiyogo, 2006).
2.2.3. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan dapat melibatkan kendaraan bermotor seperti mobil, truk, dan
kendaraan bermotor roda dua seperti sepeda motor dan skuter. Kecelakaan dapat
berupa kecelakaan tunggal atau bisa menjadi situasi yang lebih kompleks yang
melibatkan kendaraan bermotor lainnya, sepeda, atau pejalan kaki. Tabrakan
dengan kendaraan motor lain dapat terjadi dalam keadaan tabrakan front-to-front,
a side-impact atau rear-impact crash, atau kombinasinya (Nordrum , 2005).
Karakteristik kecelakaan menurut jenis tabrakan dapat diklasifikasikan
menjadi (Ditjen Perhubungan Darat, 2006) :
1. Angle (Ra), tabrakan antara kendaraan yang bergerak pada arah yang berbeda,
namun bukan dari arah berlawanan

Universitas Sumatera Utara


2. Rear-End (Re), kendaraan menabrak dari belakang kendaraan lain yang
bergerak searah
3. Sideswipe (Ss), kendaraan yang bergerak menabrak kendaraan lain dari
samping ketika berjalan pada arah yang sama, atau pada arah yang berlawanan
4. Head-On (Ho), tabrakan antara kendaraan yang berjalan pada arah yang
berlawanan (tidak sideswipe)
5. Backing, tabrakan secara mundur
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas
dan Angkutan Jalan pada pasal 229, karakteristik kecelakaan lalu lintas dapat
dibagi kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1) Kecelakaan lalu lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang
2) Kecelakaan lalu lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang
3) Kecelakaan lalu lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat
Menurut Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (2000), ada
kecelakaan lalu lintas jalan yang bersifat luar biasa, yaitu :
1. Kecelakaan lalu lintas jalan yang menimbulkan korban manusia yang
meninggal delapan orang atau lebih
2. Kecelakaan lalu lintas jalan yang mengundang perhatian publik secara luas,
karena melibatkan tokoh ternama/penting atau figur publik
3. Kecelakaan lalu lintas jalan yang menimbulkan polemik/kontroversi
4. Kecelakaan lalu lintas jalan yang menyebabkan prasarana rusak berat
5. Kecelakaan yang berulang-ulang pada merk dan tipe kendaraan yang sama
6. Kecelakaan yang sama pada satu titik lokasi lebih dari tiga kali dalam setahun
7. Kecelakaan lalu lintas jalan yang mengakibatkan kerusakan/pencemaran
lingkungan akibat bahan/limbah berbahaya beracun (B3)

Universitas Sumatera Utara


2.2.4. Peraturan dan Perundang-Undangan Lalu Lintas
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU LAJ) Nomor
22 Tahun 2009 merupakan produk hukum yang menjadi acuan utama yang
mengatur aspek-aspek mengenai lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia. Lalu
lintas dan angkutan jalan adalah kunci pertumbuhan sebuah komunitas.
Masyarakat sangat bergantung pada sarana transportasi darat berkaitan erat
dengan lalu lintas dan angkutan jalan. Dibutuhkan sebuah regulasi untuk
mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Sebelum UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009, sudah ada Undang-Undang
(UU) Nomor 14 Tahun 1992. Kelahiran UU Nomor 14 Tahun 1992 tentu sebuah
langkah maju pada waktu itu. Salah satu contohnya adalah di undang-undang ini
pemerintah memasukkan unsur teknologi untuk mencegah pencemaran
lingkungan. Pada Pasal 50 UU LLAJ Nomor 14 Tahun 1992 pemerintah
mewajibkan pemilik kendaraan bermotor untuk melakukan perawatan agar gas
buang dan suara yang dihasilkan tidak merusak lingkungan dan menggangu. Pada
saat itu, tentu regulasi ini sebuah terobosan karena pada UU LLAJ Nomor 3
Tahun 1965 masalah pencemaran belum diatur.
Meskipun demikian, kita hidup di dunia yang dinamis, terus bergerak, dan
berubah. Pemerintah melihat bahwa perkembangan zaman membuat regulasi yang
ada, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, dianggap tidak sesuai lagi. Belum
lagi jika kita menilik isi pasal-pasal pada UU LLAJ Nomor 14 Tahun 1992, aturan
yang ada dianggap kurang spesifik, kurang terperinci, dan terlalu umum. Melihat
kenyataan di lapangan dan perkembangan zaman, lahirlah UU LLAJ Nomor 22
Tahun 2009. Undang-undang lalu lintas yang selama ini berlaku lebih
mementingkan kepada keterampilan pengguna jalan, sedangkan undang-undang
yang baru ini lebih komprehensif. Undang-undang lalu lintas terbaru tidak hanya
menitikberatkan pada keterampilan, tetapi juga pada pembentukan budaya berlalu
lintas. Kesadaran ini timbul karena akhir-akhir ini pengendara kendaraan
bermotor kebanyakan sudah terampil, tetapi tidak bertanggung jawab (Kusmagi,
2010).

Universitas Sumatera Utara


2.3. Kematian dalam Kecelakaan Lalu Lintas
2.3.1. Investigasi Forensik dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Dengan pengetahuannya mengenai identifikasi cedera, seorang ahli
kedokteran forensik dapat memberikan banyak informasi, yang akan membantu
untuk menarik kesimpulan pada berbagai keadaan. Tidak hanya itu, peninjauan
tempat kejadian perkara oleh ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa atau
akan memeriksa jenazah korban atau korban yang terluka, dapat sangat membantu
untuk merekonstruksi keadaan pada saat kecelakaan terjadi (Nandy, 2001).
Investigasi kasus kecelakaan lalu lintas mempunyai beberapa tujuan, yaitu
(Nandy, 2001):
1. Untuk mengidentifikasi penyebab kecelakaan
2. Untuk memperhitungkan bentuk kompensasi yang sesuai bagi korban, jika
hidup, atau bagi sanak keluarga, jika korban meninggal
3. Untuk menghukum pelanggar, jika memang ada pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku
4. Untuk mencari pedoman terhadap pencegahan kecelakaan di masa mendatang
Untuk tujuan tersebut, maka investigasi dalam kecelakaan lalu lintas tidak
hanya dilakukan oleh petugas kepolisian, namun juga sebaiknya dibantu oleh
suatu tim yang anggotanya berasal dari multidisiplin ilmu, misalnya melibatkan
ahli dalam bidang medikolegal dan ahli dalam bidang automobile. Investigasi
yang dilakukan meliputi (Nandy, 2001):
1. Pengumpulan riwayat kejadian
2. Pemeriksaan jenazah serta korban yang terluka
3. Pemeriksaan kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan
4. Pemeriksaan lokasi atau pun tempat terjadinya kecelakaan
Pemeriksaan eksternal pada korban harus dilakukan secara berhati-hati dan
semua cedera harus diidentifikasi. Pengukuran cedera dengan penggaris harus
dilakukan dan dicatat dengan teliti. Tanda bekas ban, dalam bentuk abrasi atau
memar intradermal, bisa didapatkan baik pada korban hidup maupun meninggal
dan foto maupun gambaran yang akurat sangat bernilai untuk mengidentifikasi
korban. Untuk korban pejalan kaki, jarak di atas tumit dan batas bawah cedera

Universitas Sumatera Utara


utama harus diukur karena hasil pengukuran tersebut bisa berkorelasi dengan
tinggi bumper, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kendaraan yang menabrak.
Pemeriksaan postmortem sebaiknya melibatkan pemeriksaan tubuh
korban, pemeriksaan pakaian, serta material lainnya yang diikutsertakan bersama
korban. Dokter yang melakukan pembedahan otopsi akan mencari serta
mengidentifikasi robekan yang baru saja terjadi, noda minyak, noda darah, tanah
maupun noda lainnya, yang ada pada pakaian. Noda minyak, noda darah dan noda
tanah, lumpur, pasir, dan lain-lain harus diperhatikan dan diidentifikasi
jumlahnya, ukurannya, serta lokasinya (Nandy, 2001). Kemungkinan penggunaan
alkohol atau obat-obatan terlarang yang berkontribusi terhadap terjadinya
kecelakaan harus selalu dipertimbangkan dan lakukan pengambilan sampel darah
maupun urin pada pemeriksaan postmortem untuk diperiksa di laboratorium
(Shepherd, 2003).
2.3.2 Perlukaan dan Interpretasinya dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
Dalam ilmu perlukaan dikenal trauma tumpul dan trauma tajam. Luka
merupakan kerusakan atau hilangnya hubungan antar jaringan (discontinuous
tissue) seperti jaringan kulit, jaringan lunak, jaringan otot, jaringan pembuluh
darah, jaringan syaraf , dan jaringan tulang. Trauma tumpul ialah suatu ruda paksa
yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tumpul. Hal
ini disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti
batu, kayu, martil, terkena bola, ditinju, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu
lintas, dan lain-lain sebagainya (Satyo, 2006).
Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar
(contusion), luka lecet (abrasio), dan luka robek (vulnus laceratum). Trauma
tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh
oleh benda-benda tajam. Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka
iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum), atau luka bacok
(vulnus caesum) (Satyo, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Perbedaan Antara Trauma Tumpul dan Trauma Tajam
Trauma Tumpul Tajam
Bentuk luka Teratur Tidak teratur
Tepi luka Tidak rata Rata
Jembatan jaringan Ada Tidak ada
Rambut Tidak ikut terpotong Ikut terpotong
Dasar luka Tidak teratur Berupa garis atau titik
Sekitar luka Ada luka lecet atau Tak ada luka lain
memar
Sumber : Satyo (2006).
Perlukaan setelah kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor
merupakan konsekuensi dari kecepatan, lingkungan, karakteristik kendaraan yang
terlibat, perangkat keselamatan, peralatan pelindung, dan karakteristik tubuh.
Perlukaan oleh karena benda tajam maupun tumpul dalam berbagai ukuran,
jumlah, dan kombinasi, mulai dari cedera minimal yang tidak memerlukan
pengobatan, hingga ada bagian tubuh yang putus dan perlukaan yang fatal, dapat
ditemui. Perlukaan eksternal dan internal mungkin tidak selalu sesuai. Terkadang
didapatkan temuan yang ekstensif pada permukaan tubuh, tetapi secara klinis atau
pada saat otopsi, perlukaan dalam didapatkan dalam jumlah terbatas. Di sisi lain,
cedera yang mematikan seperti laserasi dan rupture organ internal dapat terjadi
tanpa adanya tanda pada permukaan tubuh (Nordrum I , 2005).
Konsekuensi anatomi dari cedera benda tumpul adalah abrasi, memar,
kontusio, avulsi, laserasi, ruptur, dan fraktur. Cedera tumpul juga dapat
mempengaruhi fungsi organ tanpa meninggalkan tanda secara anatomi. Contoh
penting misalnya aritmia jantung yang fatal setelah trauma pada dada, dan gegar
otak setelah trauma kepala. Gegar otak dapat mengakibatkan ketidaksadaran dan
konsekuensi sekunder yang mengancam nyawa seperti hipotermia dan perdarahan
terus menerus dari luka. Kompresi dada akan menimbulkan jejas secara anatomi.
Tanda yang dapat diamati yaitu pada kulit, fraktur pada iga, dan perdarahan pada
paru. Cedera laserasi internal terjadi ketika jaringan lunak atau organ, menerima
energi kinetik akibat perubahan cepat pada kecepatan. Perbedaan kekuatan fiksasi

Universitas Sumatera Utara


dari organ internal terhadap struktur di sekelilingnya berkontribusi dalam
menentukan pola dan keparahan perlukaan (Nordrum I, 2005).
Cedera tumpul pada paha dan bokong bisa mengakibatkan timbulnya
rongga pada jaringan lunak. Perdarahan yang berasal dari rongga tersebut dapat
sangat banyak hingga menyebabkan kematian. Dua cedera klasik dan fatal pada
dada dan kepala yang sering terjadi , yaitu pertama ruptur aorta akibat trauma,
yang mana disebabkan karena deselerasi berkekuatan besar. Yang lainnya adalah
hinge fracture pada tengkorak yang secara tipikal terjadi pada tulang petrous dan
sella turcica pada dasar tengkorak. Fraktur tersebut biasanya disebabkan oleh
tabrakan jenis sideway. Abrasi ekstensif pada kulit dapat terlihat jika seseorang
mengalami deselerasi pada permukaan jalan yang kasar. Luka bakar akibat
pergesekan juga bisa didapatkan (Nordrum, 2005).
Mekanisme perlukaan yang timbul akibat kecelakaan lalu lintas dijelaskan
dalam uraian di bawah ini:
A. Perlukaan Pada Pejalan Kaki
Perlukaan pejalan kaki pada kecelakaan lalu lintas sering kali berupa
cedera akibat benda tumpul yang berkekuatan besar. Trauma yang dialami pada
umumya meliputi kepala, thoraks, dan ekstremitas bawah (American College of
Surgeons Comittee on Trauma, 2008). Berdasarkan urutan kejadiannya, maka
perlukaan pejalan kaki pada kecelakaan lalu lintas tebagi atas (Nandy, 2001):
1. Primary impact injuries

Gambar 2.1 Diagram representasi primary impact injuries (Sumber: Guharaj, 2003)

Universitas Sumatera Utara


Primary impact injuries yaitu ketika kendaraan menabrak korban hingga
tumbang untuk pertama kali. Perlukaan tersebut sangat penting diidentifikasi
untuk mendeteksi kendaraan yang menabrak, karena perlukaan yang diakibatkan
memunculkan bentuk dari bagian kendaraan yang menabrak misalnya abrasi yang
tercetak maupun memar yang menyerupai pola tertentu. Jadi, jika bagian depan
dari kendaraan menabrak tubuh, maka bentukan bagian tersebut dapat saja
tercetak pada tubuh korban. Letak primary impact injury pada tubuh korban juga
dapat dipakai untuk menentukan perkiraan tinggi kendaraan (Nandy, 2001).
Tinggi bemper versus ketinggian pasien merupakan faktor kritis dalam
trauma yang terjadi. Pada orang dewasa dengan posisi berdiri, benturan awal
dengan bemper biasanya mengenai tungkai dan pelvis. Trauma lutut terjadi sama
seringnya seperti trauma pelvis. Anak-anak lebih mungkin terkena dada dan
abdomen. Dengan berubahnya desain kendaraan, di mana bemper lebih rendah,
maka pola cideranya pun bergeser, dimana baik dewasa maupun anak trauma
ekstremitas bawah lebih menonjol. Namun kecenderungan ini tidak berlaku bagi
kendaraan truk pick-up ataupun kendaraan rekreasi yang sering ada di jalan raya
(American College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
2. Secondary Impact Injuries

Gambar 2.2 Diagram representasi secondary impact injuries( Sumber: Guharaj,


2003)
Perlukaan ini merupakan hasil dari tubrukan antara tubuh dan kendaraan
yang terjadi kedua kali. Setelah tubrukan yang pertama kali, korban akan

Universitas Sumatera Utara


terlempar dan terjatuh ke tanah di depan kendaraan, jika kendaraan tetap bergerak,
ban kendaraan akan melindas korban. Korban dapat dilindas oleh ban depan
maupun ban belakang. Laserasi avulsi merupakan perlukaan yang paling sering
pada korban yang terlindas (Nandy, 2001). Trauma dada dan kepala merupakan
akibat dari benturan dengan atap dan kaca (American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008).
3. Secondary injuries

Gambar 2.3 Diagram representasi secondary injuries (Sumber: Guharaj, 2003)


Perlukaan ini muncul pada korban setelah jatuh ke tanah karena ditabrak
oleh kendaraan dan terjadi pergesekan atau tubrukan dengan tanah. Pemeriksaan
yang teliti, mencari adanya pasir, tanah maupun kerikil pada luka dapat menjadi
bukti keterkaitan tempat kejadian dengan perlukaan. Perlukaan yang tersering
didapatkan adalah grazed abrasions serta stretched lacerations (Nandy, 2001).
Trauma kepala dan tulang belakang dapat terjadi karena pasien terjatuh ke tanah
atau mengalami akselerasi dan mengenai obyek lain sebagai tambahannya.
Trauma kompresi organ dapat terjadi pada keadaan ini (American College of
Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
B. Perlukaan Pada Pengguna Kendaraan Roda Dua
Pengendara maupun penumpangnya dapat mengalami kompresi,
akselerasi/deselerasi, dan trauma tipe robekan (shear). Pengendara tidak
dilindungi oleh perlengkapan pengaman sebagaimana halnya pengendara mobil.
Mereka hanya dilindungi oleh pakaian dan perlengkapan pengaman yang dipakai

Universitas Sumatera Utara


langsung pada badannya, helm, sepatu, atau pakaian pelindung. Hanya helm yang
memiliki kemampuan untuk mendistribusi transmisi energi dan mengurangi
intensitas benturan, ini pun sangat terbatas (American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008).
Helm yang digunakan oleh pengendara sepeda (bermotor maupun bukan
bermotor) telah terbukti secara meyakinkan dapat menurunkan angka kematian,
kejadian trauma kepala berat, pemendekan waktu perawatan, mengurangi biaya
rumah sakit, dan mungkin berhubungan dengan berkurangnya kebiasaan
mengambil risiko. Baik pada pengendara sepeda maupun sepeda motor, trauma
kepala akan terjadi pada lebih dari 1/3 kasus trauma dan 66% akan dirawat.
Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian nomor satu (85%) di antara
penyebab kematian lain pada pengendara sepeda/sepeda motor (American College
of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
Walaupun kemampuan helm untuk melindungi kepala agak terbatas
namun penggunaanya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi
kekuatan yang mengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan
melalui kerja deformasi dari bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan
(menyebarkan) kekuatan yang menimpa tersebut melalui area yang seluas-
luasnya. Secara nyata helm mampu mengurangi transfer energi dengan cara
translasi. Secara umum dianggap bahwa yang sangat sering menyebabkan trauma
otak adalah akselerasi angular atau rotasional. Helm akan mengurangi gaya
rotasional pada benturan. Anggapan bahwa dengan makin banyaknya penggunaan
helm oleh pengendara sepeda/motor akan secara relatif meningkatkan trauma
organ lain selain kepala, khususnya trauma servikal, belum terbukti (American
College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
Jelas bahwa semakin sedikit alat pelindung semakin besar risiko terjadinya
trauma. Mekanisme trauma yang mungkin terjadi dalam tabrakan motor atau
sepeda meliputi benturan frontal, lateral, terlempar, dan “laying the bike down”.
Di samping itu pengendara mungkin mengalami trauma karena jatuh dari
sepeda/motor, atau terperangkap oleh komponen-komponen mekanik (American

Universitas Sumatera Utara


College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008). Berikut adalah uraian mengenai
mekanisme trauma pada pengguna kendaraan roda dua:
1. Benturan Frontal-Ejeksi (Terlempar)
Pada saat gerakan ke depan kepala, dada, atau perut pengendara mungkin
membentur setang kemudi. Bila pengendara terlempar ke atas melewati setang
kemudi, maka tungkainya dapat terbentur dengan setang kemudi, dan dapat terjadi
fraktur femur bilateral. Derajat trauma yang dialami selama tabrakan sekunder
bergantung kepada tempat benturan, energi kinetik dari pengendara/motornya, dan
interval waktu (lamanya) energi ini bekerja (American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008).
2. Benturan Lateral/ Ejeksi
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup
tungkai bawah. Crush injury pada tungkai bawah sering dijumpai. Kalau
pengendara sepeda/motor ditabrak oleh kendaraan bergerak, maka pengendara
akan rawan untuk mengalami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang
mengalami tabrakan samping. Tidak seperti penumpang dalam mobil, pengendara
sepeda/motor tidak memiliki struktur kompartemen bagi penumpang yang dapat
mengurangi pemindahan energi kinetik benturan. Pengendara menerima energi
benturan secara penuh. Sebagaimana halnya dalam benturan frontal, tabrakan
trauma yang dialami selama benturan dengan tanah atau obyek-obyek statis
lainnya (American College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
3. Laying The Bike Down
Untuk menghindari terjepit antara kendaraan dan obyek yang akan
ditabraknya, pengendara mungkin akan menjatuhkan kendaraannya ke samping
membiarkan kendaraannya bergeser, dan ia sedikit bergeser di belakangnya.
Strategi ini dimaksudkan untuk memperlambat pengendara dan memisahkan
pengendara dari sepeda/ motor. Di samping jenis-jenis trauma yang telah
diuraikan sebelumnya, bila jatuh dengan cara ini akan dapat terjadi trauma
jaringan lunak yang parah (American College of Surgeons Comittee on Trauma,
2008).

Universitas Sumatera Utara


C. Perlukaan Pada Pengguna Kendaraan Roda Empat Atau Lebih
Berikut adalah uraian mekanisme perlukaan pada pengguna kendaraan
roda empat atau lebih :
1. Benturan Frontal
Benturan frontal adalah tabrakan/benturan dengan benda di depan
kendaraan, yang secara tiba-tiba mengurangi kecepatannya. Bayangkan dua
kendaraan yang sama, jalan dengan kecepatan yang sama. Setiap kendaraan
mempunyai energi kinetik yang sama (KE= (M×V2)/2). Satu kendaraan menabrak
jembatan beton sedangkan yang lain mengerem sampai berhenti. Kendaraan yang
mengerem kehilangan energi yang sama seperti yang menabrak, tetapi untuk
jangka waktu yang lebih lama. Hukum energi pertama menyatakan bahwa energi
tidak dapat dibentuk ataupun dirusak, karena itu energi tersebut harus dipindahkan
ke dalam bentuk lain dan diserap oleh kendaraan yang menabrak dan
penumpangnya. Orang yang di dalam kendaraan yang mengerem mendapat
jumlah energi yang sama, tetapi dibagi pada permukaan yang luas (seperti
gesekan tempat duduk, kaki pada lantai, ban yang mengerem, ban pada jalan,
tangan pada setir) dan untuk jangka waktu yang lebih lama. Penumpang yang
tidak memakai sabuk pengaman dalam kendaraan yang tabrakan, mengalami
peristiwa yang sama seperti kendaraan yang ditumpanginya. Ketika tabrakan
menyebabkan kendaraan berhenti tiba-tiba penumpangnya bergerak terus ke
depan dengan initial velocity yang sama sampai sesuatu menghentikan gerakan
ke depan tersebut, seperti setir, dashboard, kaca depan, atau tanah kalau
penumpang tersebut terlempar keluar ( American College of Surgeons Comittee
on Trauma, 2008).
Selama tubrukan, energi pada objek yang bergerak akan ditransfer. Jika
benda yang bertubrukan sama-sama bergerak dalam arah yang sama, energi yang
ditransfer sama dengan energi kinetik objek yang bergerak lebih cepat dikurangi
energi kinetik benda yang bergerak lebih lambat. Jika kedua objek terus bergerak
dalam arah yang sama setelah tubrukan, sedikit energi akan ditransfer
dibandingkan situasi dimana benda yang menabrak berhenti bergerak setelah
menabrak dan objek yang ditabrak terlempar. Jika objek bergerak dalam arah

Universitas Sumatera Utara


yang berlawanan, energi kinetik kedua objek yang bergerak akan dikombinasikan
(tabrakan front to front, di mana kedua objek/tubuh dapat berhenti bergerak
setelah tubrukan), memicu deformasi satu objek atau kedua objek. Secara umum,
tabrakan saat bergerak dalam arah yang sama akan menghasilkan cedera yang
lebih ringan dibandingkan tabrakan saat bergerak dalam arah yang berlawanan
dengan kecepatan yang sama. Dalam kata lain, jumlah energi yang ditransfer
tergantung pada kecepatan relatif objek dibandingkan dengan lainnya ( Bilo,
2013).
Pada benturan, pasien mengikuti jalur down and under dengan tungkai
bawah sebagai titik benturan pertama dan lutut atau kaki yang menerima
permulaan dari pertukaran energi ( American College of Surgeons Comittee on
Trauma, 2008). Gerakan ke depan dari tubuh terhadap tungkai dapat
mengakibatkan :
1. Fraktur dislokasi sendi ankle
2. Dislokasi lutut karena femur override terhadap tibia dan fibula
3. Fraktur Femur
4. Dislokasi posterior dari femoral head dan asetabulum karena pelvis override
femur
Komponen kedua dari gerakan down and under ini adalah gerakan ke
depan dari tubuh dan mengenai setir atau dashboard. Bila bentuk kursi dan
posisi pasien menyebabkan kepala menjadi titik paling depan, maka kepala akan
mengenai kaca depan atau rangka kaca depan. Vertebra servikal menyerap
sebagian dari energi inisial dan abdomen menyerap energi dari benturan setir atau
dashboard. Tergantung pada posisi kepala waktu terjadi benturan, pemindahan
energi dapat menyebabkan direct atau shear forces pada jaringan otak, rotational,
flexion, atau extension forces pada vertebra servikal, dan juga kompresi langsung
pada struktur muka. Dapat juga terjadi laserasi pada jaringan lunak oleh pecahan/
bagian dari kendaraan (American College of Surgeons Comittee on Trauma,
2008).

Universitas Sumatera Utara


2. Benturan Lateral
Benturan lateral adalah tabrakan/ benturan pada bagian samping kendaraan
yang mengakselerasi penumpang menjauhi titik benturan (akselerasi adalah
kebalikan dari deselerasi). Benturan seperti ini adalah penyebab kematian dan
trauma tersering kedua setelah benturan frontal. Tiga puluh satu dari kematian
karena tabrakan kendaraan terjadi sebagai akibat dari benturan lateral. Yang
menarik adalah, 75 % korban tabrakan benturan lateral, berumur di atas lima
puluh tahun. Sedangkan 25% korban yang terlibat dalam tabrakan benturan
frontal, berumur di atas lima puluh tahun. Banyak tipe trauma yang sama juga
terdapat pada benturan frontal, selain itu trauma kompresi pada tubuh dan pelvis
juga sering terjadi. Trauma internal terjadi pada sisi yang sama dengan sisi di
mana force diterapkan, posisi penumpang/pengemudi, dan force dari benturannya,
dan lamanya force ditetapkan (berapa jauh/ dalam melesaknya kabin penumpang).
Pengemudi yang ditabrak pada sisi pengemudi, mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk trauma pada sisi kanan tubuhnya, termasuk fraktur iga kanan, trauma
paru kanan, trauma hati, dan fraktur-fraktur skeletal sebelah kanan termasuk
fraktur kompresi pelvis. Demikian juga penumpang di sebelah kiri, akan
mendapat trauma skeletal yang sama pada sisi kiri, demikian juga dengan trauma
thoraks dan sering didapati trauma limpa (American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008).
Pada benturan lateral kepala bergerak seperti massa/ benda yang berat
yang memutar dan membengkokan leher ke samping, sedangkan badan
diakselerasi menjauhi sisi terjadinya tabrakan/ benturan. Karena itu biomekanik
trauma melibatkan bermacam-macam force yang spesifik, termasuk shear, torgue,
dan kompresi lateral dan distraksi. Dengan rotasi dan torgue yang cukup kuat,
dapat terjadi avulsi akar saraf dan trauma pada pleksus brakhialis. Dokter yang
memeriksa pasien, juga harus mempertimbangkan force akselerasi dan deselerasi
dan memperhatikan anatomi bagian lateral tubuh (American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008).

Universitas Sumatera Utara


3. Benturan dari Belakang
Biasanya benturan seperti ini terjadi ketika kendaraan sedang berhenti dan
ditabrak dari belakang oleh kendaraan lain. Kendaraan tersebut berikut
penumpangnya diakselerasi ke depan oleh perpindahan energi dari benturannya.
Karena aposisi sabuk pengaman dan badan, badan diakselerasi ke depan bersama
dengan kendaraannya. Tetapi kepala penumpang/pengemudi sering tidak
diakselerasi bersama dengan badannya, karena tidak ada sandaran kepala yang
fungsional dan mengakibatkan hiperekstensi leher. Kejadian ini meregang struktur
penunjang leher dan menyebabkan terjadinya trauma whiplash. Fraktur dari
elemen posterior vertebra servikalis dapat terjadi, seperti fraktur laminar, fraktur
pedikel, fraktur process spinous, dan ini disebar ke seluruh vertebra servikal.
Fraktur pada beberapa tingkat sering terjadi dan sering disebabkan karena kontak
langsung dari bagian-bagian bertulang (American College of Surgeons Comittee
on Trauma, 2008).
4. Benturan Quater Panel
Benturan quater panel dari depan maupun dari belakang menyebabkan
terjadinya beberapa jenis trauma tabrakan, benturan lateral maupun frontal atau
benturan lateral dan benturan dari belakang (American College of Surgeons
Comittee on Trauma, 2008).
5. Terbalik
Pada kendaraan yang terbalik, penumpangnya dapat mengenai/ terbentur
pada semua bagian dari kompartemen penumpang. Jenis trauma dapat diprediksi
dengan mempelajari titik benturan pada kulit pasien. Sebagai hukum yang umum,
dalam kejadian terbaliknya kendaraan maka terjadi beberapa gerakan yang
dahsyat, dapat menyebabkan trauma yang serius. Ini lebih berat bagi penumpang,
yang tidak memakai sabuk pengaman (American College of Surgeons Comittee
on Trauma, 2008).
6. Ejeksi
Trauma yang diderita penumpang dapat lebih berat waktu terjadi ejeksi
daripada waktu pasien membentur tanah. Kemungkinan terjadi trauma meningkat
300 % kalau penumpang diejeksi keluar dari kendaraan. Dokter yang memeriksa

Universitas Sumatera Utara


pasien yang diejeksi keluar kendaraan, harus dengan teliti mencari trauma yang
tidak tampak (American College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
7. Kompresi/ Benturan Organ
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dan badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ terjepit dari
belakang oleh bagian belakang dinding thorakoabdominal dan kolumna
vertebralis dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma tumpul miokardial
adalah contoh khas untuk jenis mekanisme trauma ini. Trauma yang mirip dapat
terjadi pada parenkim paru dan organ abdominal. Paru-paru dan isi rongga
abdomen menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan
prinsip yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi
mempengaruhi kerusakan jaringan (American College of Surgeons Comittee on
Trauma, 2008).
Memegang kantong kertas yang kempes dan memukulnya dengan tangan
lainnya tidak akan menambah kerusakan pada kantong kertas tersebut. Tetapi
kalau kantung kertas tersebut ditiup dan ditahan pada lehernya, dengan
memukulnya akan menyebabkan pecah. Pada tabrakan maka pasien secara refleks
akan menarik nafas dan menahannya, dengan menutup glotis. Kompresi pada
toraks menyebabkan rupture alveola dan terjadi pneumothorax dan/atau tension
pneumothorax. Meningkatnya tekanan intra abdomen menyebabkan ruptur
diafragma dan translokasi organ-organ abdomen ke dalam rongga toraks.
Transient Hepatic Congestion dengan darah sebagai akibat tindakan valsava
mendadak ini dapat menyebabkan pecahnya hati bila diterapkan kompresi.
Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus yang closed loop terjepit antara
tulang belakang dan sabuk pengaman yang salah memakainya (American College
of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
Trauma kompresi dapat juga terjadi pada jaringan otak. Gerakan kepala
dikaitkan dengan penerapan force melalui benturan dapat merupakan akselerasi
cepat pada otak. Keadaan ini menyebabkan stres dan deformasi grey dan white
matter intrakranial. Gerakan akselerasi angular dapat juga menyebabkan gerakan
otak terhadap permukaan tidak rata dari bagian dalam tengkorak, sehingga terjadi

Universitas Sumatera Utara


trauma. Akselerasi otak pada aksis manapun dapat menyebakan trauma kompresi
pada jaringan susunan saraf pusat di tempat yang berlawanan dengan titik
benturan, trauma contra coup. Akselerasi otak juga menyebabkan penekanan dan
peregangan pada tempat pertemuan kritis, seperti pertemuan otak dan batang otak
atau sumsum tulang belakang, dan pertemuan parenkim otak dan membran
meningeal. Trauma kompresi dapat juga terjadi pada depresi tulang tengorak
( American College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
Trauma deselerasi terjadi jika bagian yang menstabilisasi organ, seperti
pedikel ginjal, ligamentum teres, aorta desenden thoraks berhenti bergerak ke
depan bersama badan, sedangkan organ yang mobile, seperti limpa, ginjal ,
jantung, dan aortic arch tetap bergerak ke depan. Shear force terjadi di aorta
dengan berlanjutnya gerak ke depan dari aortic arch terhadapa aorta desenden
yang statis. Aorta distal melekat pada tulang punggung dan deselerasi yang cepat
terjadi bersama badan. Shear force yang terbesar terjadi di mana aorta arch
desenden yang stabil bertemu dengan ligamentum arteriosum. Mekanisme trauma
ini dapat juga terjadi dengan limpa dan ginjal pada pedikelnya; pada hal ini terjadi
laserasi hati bagian sentral, ketika terjadi deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar
ligamentum teres; dan di tengkorak ketika bagian belakang otak terlepas dari
tengkorak dan merobek pembuluh darah dan terbentuk space occupying lesion.
Pelekatan yang banyak pada dura, arakhnoid, dan pia di dalam tengkorak secara
efektif memisah-misah otak ke dalam beberapa kompartemen. Kompartemen-
kompartemen ini menderita beban shear oleh akselerasi maupun deselerasi.
Contoh lain adalah vertebra servikal yang fleksibel dan terikat tidak dapat
bergerak, sering terjadi trauma pada pertemuan C7- T1 (American College of
Surgeons Comittee on Trauma, 2008).
Benturan organ bisa juga disebabkan karena penggunaan alat pengaman.
Nilai alat pengaman dalam menurunkan trauma telah terbukti, sehingga tidak
perlu diperdebatkan lagi. Bila dipakai dengan benar, sabuk pengaman dapat
mengurangi trauma. Pada kecepatan tinggi, sabuk pengaman sendiri dapat
merupakan sumber trauma, namun tentu saja traumanya akan lebih ringan. Bila
tidak dipakai dengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma. Agar

Universitas Sumatera Utara


berfungsi baik sabuk pengaman harus dipakai di bawah spina iliaka anterior
superior, dan di atas femur, tidak boleh mengendor saat tabrakan dan harus
mengikat penumpang dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas spina iliaka)
maka hepar, lien, pankreas, usus halus, duodenum, dan ginjal akan terjepit di
antara sabuk dan tulang belakang, dan timbul burst injury atau laserasi.
Hiperfleksi vertebra lumbalis akibat sabuk terlalu tinggi akan mengakibatkan
fraktur kompresi anterior dari vertebra lumbal. Transfer energi dalam rongga
toraks dapat sangat besar walaupun memakai sabuk pengaman, dan dapat terjadi
pneumothorax, trauma tumpul jantung, maupun fraktur klavikula (American
College of Surgeons Comittee on Trauma, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai