Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Miasis berasal dari bahasa Yunani (myia, yang berarti lalat) pertama kali
diperkenalkan oleh Hope pada tahun 1840 untuk menunjukkan suatu keadaan
penyakit yang disebabkan oleh infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia
atau vertebrae hidup dan memakan jaringan mati atau hidup serta cairan tubuh atau
makanan yang ditelan oleh hospesnya.1
Miasis ini banyak ditemukan pada negara – negara tropis dan subtropis seperti
Afrika dan Amerika. Diantara lalat penyebab myiasis di dunia, lalat Chrysomya
bezziana mempunyai nilai medis yang penting karena larvanya bersifat obligat
parasit. Infestasi myiasis pada jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala
tergantung pada lokasi yang dikenai. Larva yang menyebabkan myasis dapat hidup
sebagai parasit di kulit, jaringan subkutan, soft tissue, mulut, traktus gastrointestinal,
sistem urogenital, hidung, telinga dan mata. Higiene yang buruk dan bekerja pada
daerah yang terkontaminasi, melatarbelakangi infestasi parasit ini.2,3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 Anatomi Hidung
. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang yang terdiri dari ; tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalus os maksila, dan proscessus nasalis os frontal; sedangkan
2
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung yaitu; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
tepi anterior kartilago septum.6
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Rongga hidung berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
dengan vibrise. 6,7
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina
perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan 2) kolumela. Dinding lateral terdapat 4 buah konka yakni; konka superior, konka
media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka
superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior
disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.6
3
Batas rongga hidung pada dinding inferior adalah os maksila dan os palatum,
dinding superior atau atap hidung sangat sempit dibentuk oleh lamina kribriformis,
dan dibagian posterior atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Suplai darah
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.7
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari areteri karotis. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang arteri fasialis.6
4
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine mayor,
yang disebut pleksus Kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.6
Persyarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral.6,7
5
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologic dan fungsional
dibagi atas mukosa atas pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa pnghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terpadapat pada atap rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated
pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel – sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia
(pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh 3
macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna cokelat kekuningan.6
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang – kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diiputi
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika
propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan
limfoid.6
2. Fisiologi Hidung
6
kelembapan udara dan mengatur suhu, (3)Penyaring udara dan pelindung, (4) Sebagai
indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara, (7)
Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan.6,7
Myiasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur
baik secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat
sedang tidur.1
C. KLASIFIKASI MIASIS 3
1 Berdasarkan Etiologi
a. Miasis spesifik ( Miasis Obligatori ) , miasis yang berkembang pada berkembang
pada jaringan atau manusia yang hidup
b. Miasis semi spesifik ( Miasis fakultatif ), parasit ini dapat tumbuh pada jaringan
yang hidup atau yang mati
c. Miasis Akidental ( Miasis Accidental ), telur dari lalat akan masuk kedalam tubuh
melalui makanan yang sudah terkontaminasi.
7
D. ETIOLOGI 2,8,9,10
Myiasis adalah infestasi larva lalat pada jaringan tubuh hewan yang masih hidup,
disebabkan oleh larva lalat fakultatif dan atau obligat. Kejadian Myiasis di Indonesia
teridentifikasi disebabkan oleh larva lalat : Chrysomia benziana, Booponus intonsus,
Lucillia, Calliphora, Musca dan Sarcophaga. Genus Chrysomia yang memegang
peranan penting dalam kasus myasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia
bezziana.
8
Gambar 3. Morfologi Tubuh lalat10
Lalat dewasa C. bezziana berwarna metalik hijau atau biru. Wajah lalat ini
biasanya berwarna kuning dengan lembut bulu-bulu kuning halus, Panjang lalat
dewasa berkisar antara 8 dan 12 mm. Tidak ada tanda-tanda makroskopik yang khas
untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata sehingga identifikasi hanya dapat
dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik.9,11
9
anterior berlokasi pada segmen kedua dan kait-kait posterior berlokasi pada segmen
terakhir. Larva juga memiliki tanduk yang dapat mengelilingi setiap segmen
tubuhnya. Kait-kait anterior memiliki 4-6 bibir.9,11
Siklus hidup C.bezziana berkisar 9-15 hari dan lalat betina bertelur 150-200
telur sekaligus. Telur diletakkan di luka dan selaput lendir dari mamalia hidup dan
akan menetas setelah 24 jam pada suhu 30°C. Setelah 12-18 jam, larva stadium I
muncul dari dalam telur dan bergerak dipermukaan luka atau pada jaringan yang
basah. Larva ini berubah menjadi larva stadium II setelah 30 jam dan larva stadium
III setelah 4 hari. Larva stadium I berwarna putih dan memiliki ukuran panjang 1,5
mm, larva stadium II berukuran 4-9 mm dan larva stadium III berukuran 18 mm.
Larva stadium II dan III menembus jaringan hidup dari host dan hidup dari
jaringannya. Pada saat makan hanya kait-kait posterior yang tampak. Larva stadium
III meninggalkan luka setelah makan dan berubah menjadi pupa dan kemudian lalat
dewasa. Tahap pupa sangat tergantung dengan factor suhu, cuaca yang hangat akan
10
menguntungkan pertumbuhan. Tergantung pada suhu, tahap pupa dapat berlangsung
dari 1 minggu sampai 2 bulan. Lalat jantan menjadi seksual dewasa setelah 24 jam
meninggalkan puparium mereka, sementara lalat betina memakan waktu sekitar 6-7
hari untuk menjadi sepenuhnya seksual dewasa. Jika cuaca tropis (29°C atau 84,2°F),
seluruh siklus hidup akan berlangsung sekitar 24 hari, namun, pada suhu dingin (di
bawah 22°C atau 71,6°F), siklus hidup dapat berlangsung selama 2-3 bulan.9,11
E. PATOGENESIS 2,8
Pada usia tua biasanya telah terjadi kurangnya derajat penciuman yang dapat
memfasilitasi lalat untuk bertelur pada hidung. Faktor predisposisinya adalah rhinitis
atrofi dan keganasan. Myiasis pada hidung lebih sering terjadi pada orang yang
menderita rhinitis atrofi, yaitu penyakit hidung kronis dengan etiologi tidak diketahui,
ditandai dengan progresif atrofi mukosa hidung dan tulang yang mendasari dan
adanya sekresi kental yang cepat mengering dan membentuk krusta yang memberikan
karakteristik bau busuk disebut ozaena. Pada rhinitis atrofi, sensasi sensorik
11
berkurang sehingga pasien dapat tidak menyadari lalat hinggap pada krusta atau
cairan hidung.2,8
Lalat betina tertarik pada lesi bernanah atau cairan yang berbau, dan
meletakkan telurnya kurang lebih 200 butir, yang kemudian dalam waktu 24 jam
menetas menjadi larva. Lalat dewasa tidak dapat bertelur dalam dua lubang hidung,
namun, migrasi larva dalam lubang hidung lain melalui koana dapat terjadi. Telur ini
dapat pula berpindah ke tempat lainnya pada tubuh manusia dengan jari pasien
sendiri terlebih lagi dengan higienitas yang buruk ataupun hilang dengan bersin atau
saat menggaruk. 8
Setelah telur lalat menetas, larva akan masuk lebih dalam dengan kait tajam
pada mulut dan duri halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai
pembuluh darah sekitar serta membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan
memperparah kerusakan. Larva menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan
hostnya. Sekresi enzim proteolitik oleh bakteri di sekitarnya akan menguraikan
jaringan menjadi jaringan nekrotik termasuk allantoin, amonia, dan kalsium karbonat
yang kemudian akan dimakan oleh larva. Interaksi dari enzim dan toksin bakteri-larva
dapat pula menyebabkan erosi pada tulang.
Efektivitas dari aktivitas larva tampak dari hasil stimulasi jaringan granulasi
oleh aktivitas fisik larva yang selalu bergerak untuk mendapatkan makanan dari
jaringan nekrotik. Terdapat peningkatan eksudat serosa, yang juga didorong oleh efek
iritan dari aktivitas larva. Nekrosis jaringan terus berlangsung diikuti dengan invasi
dan pertumbuhan larva hingga membentuk lesi berbentuk gua yang besar. Dapat
timbul tanda klinis 2 hari setelah infestasi seperti pendarahan dari lesi, jaringan
sekitarnya menjadi tegang , edema dan bau busuk yang menyengat.
12
F. MANIFESTASI KLINIS
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Tanda-tanda myiasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan dan
pergerakan larva, yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan atau tanpa
sensasi gerakan, hidung dan wajah menjadi edema dan eritem yang dapat meluas ke
dahi dan bibir, adanya noda darah atau cairan hidung mukopurulen, berbau busuk,
dan anosmia. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas melalui mulut dan suara
sengau. Dapat menjadi epistaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari hidung. Jika
belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat bermanifestasi sebagai batuk,
laringospasme, dispnea, dan stridor.1,3
2. Pemeriksaan Fisis
13
a. Rhinoskopi Anterior
Pemeriksaan Rhinoskopi tampak edema, ulserasi membran mukosa yang
berisi material nekrotik dan belatung. Dapat pula tampak perforasi septum, palatal,
ataupun keduanya pada pasien. Sekret mukopurulen berbau busuk. Pada kasus yang
lanjut dapat menyebabkan sumbatan duktus nasolakrimalis. Ulat dapat merayap ke
dalam sinus atau menembus ke intrakranial. Pemeriksaan Rhinoskopi mungkin tidak
hanya mengkonfirmasi diagnosis tetapi juga dapat digunakan untuk mengobati
pasien, membantu dalam mengeluarkan belatung dengan forsep.1,6,8,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasoendoskopi1,6,8
Dapat memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas. Tampak jaringan
nekrotik luas berisi kelompok belatung. Kadang-kadang, larva tidak dapat terlihat
karena mereka fotofobik dan cenderung bersembunyi di bagian terdalam dari rongga
hidung hingga ke tuba eustachius.
14
mukosa rongga hidung,destruksi tulang dan invasi jaringan. Gambaran radiologik CT
–Scan yang sering didapatkan adalah gambaran hipolusen melingkar.2,5
15
H. PENATALAKSANAAN
I. KOMPLIKASI
16
dapat menyebabkan penetrasi ke dalam sistem saraf pusat, menembus dasar
tengkorak dan menyebabkan meningitis sampai kematian, dengan tingkat kematian
hingga 1,19%. Setelah belatung telah dikeluarkan, semua pasien disarankan untuk
operasi korektif untuk perforasi palatal, perforasi septum nasi, maupun perforasi
periorbital. Namun sebagian besar pasien tidak setuju untukdilakukan tindakan.1,2,5
J. PROGNOSIS
Prognosis myiasis hidung baik jika perawatan dilakukan dengan benar. Dua
bulan setelah operasi endoskopi, tidak ada tanda-tanda kekambuhan pada pasien.
Dalam sebuah penelitian, 80% pasien yang menolak pengobatan memiliki myiasis
2,4
hidung berulang.
K. PENCEGAHAN
17
pelepasan lalat jantan yang disterilisasi dengan teknik radiasi dan pengembangan
pemikat lalat (attraktan) juga masih dilakukan danmenunjukkan hasil yang cukup
memuaskan.3,8,9
18
ALGORITMA
19
DAFTAR PUSTAKA
6. Soepardi F A,et al. Sumbatan Hidung. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi keenam. Jakarta; FKUI.2011.
p.118-22,143
11. Spradbery J C.Life Cycle. In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm Fly.
Australia ; Commonwealth of Australia. 2002.p.4-8
20
13. Manfirm A M, et.al. Nasal Myiasis : Case Report and Literature Review.
Acces on : Mei 14th 2014. Available at
http://www.internationalarchivesent.org/conteudo/acervo_eng.asp?id=409
21